Senin, 18 Maret 2013

Kisah Perjalanan Seorang Ibu





Jusna, begitulah nama beliau. Sosok seorang ibu yang penuh pengorbanan selama hidupnya. Menghadapi tantangan hidup yang tidak ringan dari masa ke masa. Sekarang di usianya yang lebih delapan puluh empat tahun ingatan beliau masih normal. Gurat wajah dalam mengalami dinamika hidup selama ini membekas di wajah beliau yang sudah nampak tua. Lahir dan dibesarkan di sebuah dusun dengan kesederhanaan. Beliau ditinggal wafat seorang ayah sebagai tempat bergantung ketika masih berusia 16 tahun, ketika itu di zaman penjajahan Jepang. Akhirnya beliau tinggal bersama dengan ibu serta  tiga orang adik-adiknya.

Kesulitan hidup di masa-masa penjajahan memang terasa berat tapi mau tidak mau harus dijalani, begitu juga menghadapi masa kemerdekaan dan kesusahan di masa perang kemerdekaan. Setelah masa revolusi fisik atau masa agresi militer Belanda Ibu Jusna menikah dengan seorang prajurit TNI dari dusun tetangga nama beliau Pak Menan. Dan dikaruniai enam orang anak, anak yang ketiga lahir kembar dua perempuan, sedangkan anak pertama meninggal pada umur satu tahun lebih. Sebagai isteri seorang prajurit tentu beliau mengikuti kemana suami bertugas. Banyak suka duka menjadi isteri seorang prajurit atau tentara. Pernah beliau mengikuti suami bertugas ke Aceh selama beberapa tahun sampai menjelang peristiwa PRRI. Sehingga salah seorang anak beliau lahir di Aceh.   

Pada masa Pergolakan daerah di Sumatera Tengah yaitu Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia / PRRI tahun 1957, suami beliau berjuang di hutan belantara sebagai tentara PRRI. Suatu perjuangan yang berat dimana pemerintah pusat menganggap PRRI itu sebuah pemberontakan. Pada tahun 1958 adik Ibu Jusna yang bernama Amah wafat dan meninggalkan dua orang putra yang masih kecil-kecil. Sehingga Ibu Jusna harus menjaga anak yang masih kecil tersebut. Menjelang akhir riwayat PRRI tahun sekitar 1961 pak Menan yang waktu itu berpangkat Letnan TNI hilang di rimba ketika berjuang sebagai tentara PRRI menghadapi tentara pusat atau Angkatan Perang Republik Indonesia / APRI. Keberadaan beliau tidak pernah diketahui sampai sekarang apakah masih hidup atau sudah meninggal dunia, bahkan beliau dengan keluarga sudah mencari ke Jambi dan tempat lainnya berdasarkan informasi seorang dukun atau paranormal. Tapi usaha itu sia-sia karena tidak pernah menemukan suami tercinta. Ibu Jusna harus menghidupi tujuh orang anak yang masih kecil-kecil, lima anak kandung beliau dan dua orang anak saudaranya yang telah meninggal dunia.

Bertahun tahun Ibu Jusna harus tabah menghadapi cobaan yang dihadapi, tapi untunglah ada sawah peninggalan leluhur yang dapat dikerjakan, itupun harus dibagi-bagi dengan saudara-saudara sepupu. Tetapi itu belum mampu mencukupi kebutuhan sehari-hari. Kemudian bersama Ibunya beliau membuat usaha rumah tangga yaitu kue sapik dari tepung beras dan dijual ke sebuah kota selama lebih kurang satu jam lebih perjalanan dengan kendaraan pada waktu itu.

Setelah sekian lama berlalu Ibu Jusna akhirnya mendapatkan pensiun janda dari pemerintah karena perjuangan suami sebagai tentara diakui dengan pangkat Sersan Mayor. Alhamdulillah dengan uang pensiun tersebut dapat menambah kebutuhan sehari-hari pada waktu itu.

Pada tahun 1968 beliau menikah dengan seorang veteran pejuang nama beliau pak Amin dan secara kebetulan masih satu kampung dengan pak Menan suami beliau terdahulu dan kebetulan pula sama-sama seperjuangan di masa revolusi. Pak Amin pada waktu itu sedang bekerja sebagai anggota DPRD kabupaten dan beristeri serta mempunyai anak tiga orang. Dari perkawinan tersebut dikaruniai seorang anak laki-laki.

Pada tahun 1970 an ibu Jusna harus merelakan kepergian empat orang anak, satu laki-laki dan tiga orang perempuan untuk merantau ke negeri seberang yaitu Malaysia kecuali satu orang perempuan yang tetap di kampung dan seorang anak laki-laki dengan pak Amin. Yang membawa merantau adalah etek atau bibi dari ibu Jusna yang telah lama merantau di Malaysia dan telah menjadi warga negara Malaysia. Ibu beliau Rasidah juga meninggal dunia pada akhir tahun 70 an. Berturut turut kemudian meninggal pula dua orang adik laki-laki beliau akhir tahun 80 an.

Saat bahagia dan duka datang silih berganti begitulah kehidupan, Ibu Jusna pernah datang beberapa kali ke Malaysia terutama menghadiri pernikahan anak dan para cucu beliau, dimana cucu beliau sekarang ini berjumlah 18 orang dan cicit sebanyak 15 orang baik yang di rantau maupun di kampung. Pada tahun 2000 suami beliau pak Amin juga meninggal dunia disusul beberapa tahun kemudian anak laki-laki yang tertua yang meninggal dunia di Malaysia.

Disaat usia yang semakin senja Allah masih memberikan kesehatan sehingga beliau masih sempat berkunjung ke Malaysia untuk yang kesekian kalinya. Pada kunjungan beliau, mungkin yang terakhir, pada awal tahun 2011 beliau cukup lama berada di Malaysia kira-kira hampir satu tahun. Beliau pulang ke kampung pada akhir 2011. Selama lebih kurang sepuluh hari berada di kampung beliau terjatuh di halaman samping rumah, sehingga mengalami patah tulang pinggul. Dengan penderitaan selama berbulan-bulan Alhamdulillah beliau sudah mampu berjalan sedikit menggunakan tongkat berkaki empat.

Ibu Jusna, yang kami anak-anak beliau memanggil dengan Amak sekarang berada di kampung, kami berjanji akan merawat amak dengan kemampuan yang ada pada kami meskipun tidaklah seberapa dibandingkan dengan perjuangan dan pengorbanan amak selama ini yang tidak terhitung. Maafkanlah kelalaian dan kesalahan kami. Kami berdoa semoga amak diberikan umur yang berkah dan kekuatan oleh Allah dalam menghadapi sisa hidup ini. Amak... kami anak-anak dan cucu-cucu mu sangat mencintai Amak.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar