Senin, 24 September 2012

Kolonel M.Dahlan Djambek






































Dengan gagah berani engkau
tetap berjuang bahkan
sampai titik darah penghabisan
karena yakin bahwa
perjuangan itu
adalah kebenaran

kami kagum dengan
pendirian engkau yang teguh
dengan memimpin
suatu gerakan penuh resiko
terhadap ideologi yang
memusuhi iman dan aqidah
dan kelak setelah syahid
akhirnya terbukti
bahwa yang engkau musuhi
memang salah dan
akhirnya dihabisi

Bahkan tatkala semua menyerah
engkau masih belum tergerak

justru berkata
rela ditangkap dan diadili
karena meyakini
yang diperjuangkan ini
adalah koreksi
bukan pemisahan diri

Di saat revolusi kemerdekaan
engkau didatangi oleh
pendahulu kami
memohon dipersenjatai
untuk perjuangan
kemudian engkau tunjukkan
dimana mendapatkan

Doa kami selalu menyertai  mu
semoga Allah selalu bersama
anda wahai sang Kolonel 

Dalko, 24/09/2012




Minggu, 23 September 2012

Rohis Teroris? Verifikasi Media Kita Kritis






saya manusia biasa yang terus belajar untuk menjadi lebih baik lagi


Oleh: Adian Saputra


Sejak sepekan terakhir jejaring Facebook teman-teman yang dulu dan sekarang masih aktif di Rohanis Islam (Rohis) fokus ke pemberitaan Metro TV soal keterkaitan Rohis dan Teroris. Ada tampilan di Facebook yang diambil dari grafis yang ditayangkan Metro TV beberapa waktu lalu. Kebetulan saya sedikit menonton acara tersebut. Tampilan di layar televisi yang berisi grafis itu memang tidak secara terang menyebut Rohis. Tapi kalau menyebut ekstrakurikuler keislaman di sekolah, khususnya muslim, apalagi kalau bukan Rohis. Terus juga ditayangkan bagaimana modus operansi teroris menginfiltrasi Rohis. Mengajak anak yang punya ketertarikan dengan Islam, mengajaknya berdiskusi di luar, menjejalkan perihal permasalahan bangsa, dan sebagainya. Yang mengerikan memang judul di bawah tampilan grafis itu: “Awas Generasi Baru Teroris”. Begitu kurang lebih.
Acara itu sendiri talkshow. Ada dua narasumber di situ. Saya tak ingat nama mereka. Tapi yang satu memberikan analisis demikian. Cuma memang dia tak menyebut Rohis. Bisa jadi kehati-hatian, bisa jadi ia sendiri tak yakin dengan analisisnya. Dari pemaparan dia inilah, grafis ditampilkan saat diskusi masih berlangsung. Jadi, tampilan grafis yang bikin heboh itu diambil dari pemaknaan redaksi atas uraian narasumber. Soal ini pas atau tidak, nanti kita bahas. Ini penting disampaikan supaya tahu bahwa grafis itu ada karena talkshow. Bukan reportase jurnalis Metro TV di lapangan atau editorial atau tajuk media televisi itu.
Nah, dari cerita ini, saya ingin mendedahkan beberapa hal di artikel sederhana ini. Pertama, soal Rohis. Analisis soal Rohis erat kaitannya dengan teroris tidak tidak beralasan. Kalaupun ada teroris muda yang dulu pernah aktif di Rohis, media tentu tidak bisa menggeneralisasinya demikian. Saya kebetulan waktu sekolah di SMAN 2 Tanjungkarang sempat aktif di Rohis. Kebetulan saya pun tahun 1995-1996 didapuk jadi ketua umum OSIS. Bahkan pernah didaulat menjadi Ketua Forum Kerja Sama Alumni Rohis (FKAR) Bandar Lampung.
Soal pengajian yang digelar alumni, memang ada. Biasanya fokus pada akidah dan kelancaran membaca Alquran. Soal pandangan terhadap dunia Islam, semisal Palestina, Bosnia-Herzegovina, dan lain-lain tentu jadi kajian menarik. Namanya saja Rohis, tentu wajar kalau ada kajian soal Islam. Tapi apakah itu menjurus ke perilaku anarki, tidak benar sama sekali. Yang menjadi bahan bakar pengelolaan dakwah di kalangan pelajar ialah memperbaiki akhlak remaja. Justru dengan adanya organisasi, Rohis menjadi legal dan formal di sekolah. Pembinanya saja guru sekolah setempat. Kalau ada anasir yang mulai mencurigakan, pembina biasanya berkonsultasi dengan alumni, apakah itu benar datang dari Rohis dan alumni ataukah bukan. Komunikasi yang lancar seperti itu menjadikan semua aktivitas Rohis diketahui secara baik oleh sekolah dan orangtua.
Kedua, soal tayangan Metro TV. Media memang menayangkan yang demikian tentu konteksnya pas. Sedang marak penangkapan terhadap pelaku teror. Cuma masalahnya, media kita terlalu gegabah dalam menampilkan grafis dan karya jurnalistik lainnya tanpa verifikasi yang memadai. Sekiranya fokus diskusi soal organisasi keislaman yang terindikasi teroris, akan lebih baik juga menampilan narasumber yang punya kapasitas di situ. Misalnya aktivis Rohis beserta guru. Sehingga akan ada pembanding antara opini narasumber yang satu dan lainnya. Ini yang sepengamatan saya tidak dilakukan Metro TV.
Kemudian soal tayangan grafis itu, memang sebaiknya tidak demikian. Begini. “Nabi Jurnalisme” Bill Kovach, penyusun “kitab suci” Sembilan Elemen Jurnalisme, menyebutkan, intisari kerja jurnalisme ialah disiplin dalam verifikasi. Fakta yang tersaji dicek kembali. Angka yang tertera diuji. Uraian narasumber diuji kesahihannya. Apalagi yang berkenaan dengan isu, bukan kejadian atau peristiwa. Dalam tayangan itu, media yang baik ialah media yang kritis dengan uraian narasumber. Jurnalis yang baik tidak memercayai begitu saja ucapan narasumber. Tapi ia mesti mengonfirmasinya kepada pihak yang disebut. Maka itu, semakin banyak perspektif pembicaraan soal kaitan Rohis dan teroris, akan lebih baik. Jadi, tak ada nuansa penghakiman terhadap unsur tertentu.
Jurnalis juga mesti skeptis. Misalnya, apa benar si pengamat memberikan pemaparan demikian dan itu berkenaan dengan orang banyak. Komunitas muslim di Rohis misalnya. Jurnalis yang telaten tidak mudah percaya dengan sumber-sumber resmi sebelum ia sendiri melakukan reportase yang mendalam. Seorang wartawan asing berhari-hari menginap di Pondok Pesantren Daarut Tauhid milik Abdullah Gymnastiar hanya untuk menulis artikel pendek soal Aa Gym itu. Tapi jurnalis kita cukup dengan pengamatan dari jauh kemudian menurunkan laporan. Memang harus demikian. Karya yang baik ialah konstruksi jurnalisme yang dibangun dari basis verifikasi yang kuat. Jangan pernah menayangkan atau menuliskan artikel yang jurnalisnya sendiri tak yakin dengan kebenaran dalam tulisan yang ia buat.
Kalau misalnya diskusi itu tak menghadirkan pihak “tertuduh” yakni Rohis, bisa saja dibuatkan talkshow keesokan harinya. Tentu narasumbernya aktivis Rohis yang organisasinya disinyalir berkaitan dengan teroris. Lucu saja kalau baru dugaan awal teroris yang ditangkap dulu aktif di Rohis, maka semua Rohis adalah teroris. Ini sebuah kesimpulan yang gegabah. Sama saja dengan mengatakan motor Honda kualitasnya buruk karena banyak bengkelnya. Ya Honda mesti banyak bengkel karena memang produksi motor mereka gila-gilaan. Ini yang semestinya jadi basis bekerja jurnalis. Menarik kesimpulan dari basis reportase yang ketat.
*
Usai tayangan di Metro TV itu, banyak teman yang melakukan penggalangan SMS ke pemred Metro TV yang berisi pesan: Saya anak Rohis dan saya bukan teroris! Ini tentu sebuah usaha masyarakat sipil melakukan protes karena komunitas mereka disudutkan tanpa ada ruang untuk mereka bersuara. Dan kesadaran kritis ini bagus. Mesti diapresiasi. Mereka justru protes dengan elegan dan menjauhi anarki. Juga sebongkah bentuk menunjukkan kalau Rohis memang bukan teroris nan anarki. Ada juga permintaan agar Metro TV meminta maaf.
Persoalan minta maaf di Indonesia ini, dalam ranah apa pun, sungguh sulit. Lihat saja betapa banyak kejadian kecelakaan pesawat, kereta api, kecelakaan saat mudik, di laut; tetapi adakah pejabat yang berwenang, menteri misalnya, yang minta maaf seraya mundur dari jabatan? Di ranah media juga demikian. Jarang ada kabar sebuah media meminta maaf atas kelalaian jurnalisnya atau kesalahan dalam menulis. Juga lemah dalam verifikasi. Padahal, minta maaf itu tidak membuat sebuah media kehilangan martabatnya. Justru media itu sedang membangun kultur yang sehat dalam berbisnis dan mengedukasi masyarakat.
Di Amerika Serikat ada majalah The New Republic. Ini majalah keren. Prestisenya tinggi. Dilanggani pesawat Kepresidenan Amerika Serikat: Air Force One. Isinya banyak feature, tulisan khas yang sarat sisi humanisme. Ada satu jurnalisnya yang terkenal. Stephen Glass namanya. Orangnya simpatik, jurnalis muda yang bertalenta. Hampir semua artikel yang ditulis Glass disukai pembaca. Suatu waktu, usai perubahan editor—setara pemimpin redaksi—di sana, dari Kelly ke Chuck, ada ihwal yang menarik. Di suatu edisi, Glass menulis “Hack Heaven”. Artikel menarik soal pertemuan para hacker di sebuah tempat yang anehnya hanya ada di majalah The New Republic. Wartawan Majalah The Forbes Digital dimarahi editornya karena tak ada artikel itu di Forbes. Si reporter yang biasa meliput soal dunia peretas pening. Ia juga bingung kenapa event sepenting itu ia tidak tahu dan hanya ada di The New Republic. Ia penasaran dan mengecek. Ia lakukan verifikasi. Semua nama orang, nama tempat, jam dan waktu kejadian di tulisan Glass ia pelototi. Ia telepon semua narasumber peretasnya. Nama perusahaan Juct Micronics yang ditulis Glass ia cek. Hasilnya nihil. Si wartawan Forbes berkesimpulan: artikel Glass bohong!
Editor Forbes kontak Chuck di The New Republic. Ia bilang artikel Glass bohong. Chuck tidak marah. Ia justru curiga kepada jurnalisnya, Glass. Ia skeptis. Maka ia lacak juga artikel Glass yang pernah ditulis, tak cuma “Hack Heaven”. Glass ditanya. Glass bergeming. Ia yakin ia tak bohong dan menuduh pihak Forbes ingin menjatuhkan kredibilitasnya.
Chuck mengecek sendiri. Hotel tempat para peretas berkumpul ternyata tutup di jam yang ditulis Glass dalam artikelnya. Demikian juga soal nama perusahaan, tidak ada sama sekali. Tempat para peretas makan juga demikian. Akhirnya Chuck tegas. The New Republic harus bikin permintaan maaf di sebuah edisi dengan tanda tangan semua kru redaksi. Awalnya semua kru tak mau dan berkeras Glass tak salah. Tapi Chuck editor yang tangguh. Ia ambil tanggung jawab dan berikan pengertian kepada jurnalisnya: minta maaf tidak akan menurunkan martabat sebuah media. Justru itu adalah bentuk pertanggungjawaban media kepada khalayak. Akhirnya edisi apologize itu dibuat. Semua kru meneken. Dan Stephen Glass, wartawan muda yang cerdas itu, dipecat. Karier jurnalistik Glass habis. Dan memang keyakinan Chuck benar. The Republic tak habis karena mengakui kekeliruan atas semua karya wartawannya. Justru publik Amerika salut. Tiras majalah pun terjaga, bahkan terkerek ke langit yang paling atas.
Kalau media kita, taruhlah misalnya Metro TV, mau melakukan klarifikasi, itu sangat bagus. Media itu dibangun oleh personal. Dan mereka manusia juga. Karena manusia, salah itu lazim dan sangat boleh jadi. Salah itu tidak dosa. Tapi apa upaya yang dilakukan usai bersalah itu yang penting. Media memang mesti yakin dengan konten yang diberitakan. Tapi jika hasil penilaian internal memang ada kesalahan, akui saja dengan jantan. Apakah ada cela dan jadi titik noda jika ada media yang mau minta maaf atas kekeliruan yang ia buat? Justru publik akan menghargai dan nama baik media itu terjaga.
Buat para teman yang dulunya aktif di Rohis dan kini masih membina adik-adiknya di organisasi itu juga mesti bijak dan teliti. Jangan mengambil sebuah kesimpulan kalau kita sendiri tidak yakin. Pelajari dulu. Baru ambil sikap. Kalau terburu-buru bisa menjadi blunder dan memancing kemarahan. Saat marah dan anarki, masyarakat kemudian beranggapan, benar bahwa Rohis memang organisasi yang terkait dengan teroris karena acap anarkis.
Justru dengan pemberitaan begitu, semangat berdakwahnya mesti dijaga dan silaturahimnya ditingkatkan. Orang akan melihat dari perilaku. Masyarakat kini semakin cerdas. Tidak semua informasi yang dijejalkan media itu ditelan bulat-bulat. Ada proses menyaring dan mencari yang akurasinya kuat. Independensinya tepercaya. Dan disiplin verifikasi medianya ketat.
Soal verifikasi ini juga penting dilakukan orang per orang. Jangan mudah mencap, menuduh, kalau kita tak ketahui hal itu dengan baik. Jangan mudah percaya gosip. Toh di satu ayat Alquran saja ada: kalau ada orang fasik bawa berita, jangan mudah percaya. Tanya dulu. Tabayun dulu. Cek dulu. Verifikasi dulu.
Di ranah keislaman Indonesia ini mudah betul memancing kemarahan. Lihat pemberitaan kita. Warga Syiah diserang, jemaah Ahmadiyah sulit beribadah, dan sebagainya. Kalau kita tak pernah tahu dan bergaul dengan baik dengan saudara-saudara itu, tidak mesti bersikap sok tahu. Diam saja. Itu lebih aman. Yakin saja dengan keyakinan kita.
Dulu bapak dan ibu saya selalu mewanti-wanti pas aktif di Rohis jangan ikutan LDII atau Lembaga Dakwah Islam Indonesia. Ada kabar kalau salat di masjid mereka dipellah, dicap kafirlah, seram pokoknya. Untungnya saya dulu ya biasa saja. Tidak mudah percaya dengan kabar yang saya sendiri belum membuktikannya. Sudah ada bibit verifikasi juga meski belum jadi jurnalis. Kalau belum melihat sendiri, ya tidak yakin. Sekarang tempat tinggal saya di Hajimena mayoritas dihuni saudara-saudara LDII. Dan semua anggapan yang buruk-buruk itu tidak ada. Saya hangat bergaul di dalamnya, salat di masjid bersama warga sekitar, tidak ada cap kafir, malah pergaulan yang amat baik. Hubungan silaturahim yang tulus. Juga mengaji Alquran dan Hadis yang sahih. Yang membuat saya salut, konten mengajinya juga sama seperti jurnalis: verifikasi. Jadi, semua makna dari Alquran dan Hadis dijaga benar keasliannya seperti yang dulu pernah Rasulullah Muhammad sampaikan kepada sahabatnya. Mirip perawi hadis. Dan kerja jurnalis juga identik dengan hal demikian. Tak hanya soal LDII, soal Ahmadiyah, Syiah, bahkan yang lainnnya juga dijalani dengan baik. Selama tidak merusak hubungan baik dan menjaga tenggang rasa, semua bisa dilakoni dengan indah. Kalau hanya melihat perbedaan, curiga-mencurigai, alangkah banyak yang kita lihat sehari-hari. Ujungnya bentrok. Konflik. Tak pernah ada damai. Hanya melihat yang berbeda tanpa pernah mau memperbanyak kesamaan.
*
Sengaja saya mendetailkan dengan banyak perspektif di artikel ini. Ini bertujuan agar media juga berjalan pada trek yang benar dan tidak masuk dalam ranah fitnah dan lemah dalam verifikasi. Kita tentu berkeinginan kejadian ini tak terulang. Apalagi yang berkenaan dengan Islam. Ini baru bahas Rohis, belum bahas Pondok Pesantren Ngruki yang juga telanjur dicap teroris oleh masyarakat lantaran pemberitaan media. Kenapa selalu yang dicap teroris itu komunitas muslim? Justru media harus tertantang membikin liputan kenapa soal teroris ini cepat betul polisi bekerja. Kok mengurus korupsi simulator SIM saja lamanya minta ampun. Jangan sampai, isu teroris ini melarikan kita dari kasus yang lebih akbar. Dan tidak menutup kemungkinan penangkapan terduga teroris ini justru bagian dari kerja intelijen kepolisian. Tidak mustahil bukan? Dan media ditunggu mewartakannya.
*
Pemimpin Umum Lampung Post Bambang Eka Wijaya pernah bilang, pemilihan umum di ranah media itu berlangsung setiap hari. Orang boleh bebas memilih mau membaca koran apa, mau melihat televisi apa, dan menikmati siaran radio apa saja. Kalau ia tak suka dengan satu media, ia beralih ke media lain. Itu berlangsung setiap hari. Maka itu, media yang bermartabat, mengedepankan edukasi, tanpa melepas unsur-unsur menarik dalam pemberitaan (konflik, kekerasan, politik, korupsi), tetap punya hati di masyarakat. Dan bicara soal media cetak semacam itu, nama Kompas patut diusung. Kenapa ini saya masukkan ke dalam tubuh artikel soal Rohis dan teroris ini? Sebab nama Kompas—mungkin—masih diapresiasi gimana gitu oleh kalangan muslim. Khususnya aktivis Islam.
Kompas dulu dikenal dengan kepanjangan “komando pastur”. Saya sejak dulu tak percaya. Membaca Kompas untuk masyarakat Indonesia adalah kebutuhan utama. Pembaca koran seolah belum membaca berita kalau belum buka Kompas. Saya mencoba memverifikasi. Kompas memang identik dengan Katolik. Wajar karena pendirinya memang Katolik. Nama Frans Seda mesti disebut. Tapi duet almarhum PK Ojong dan Jakob Oetama adalah yang utama. Jakob alumnus sekolah Seminari. Katolik. Ojong juga begitu. Dan saya pengagum berat Ojong.
Metode kerja, integritas, kesederhanaan, dan welas asih dalam membesarkan korporasi, itu yang mesti dicontoh. Dan dalam keseharian itu terlihat dari mutu jurnalismenya yang menurut saya sampai sekarang masih tepercaya. Soal nilai Katolik di dalamnya, barangkali sulit untuk dihilangkan karena itu jadi masa lalu yang baik. Dan mungkin hanya sedikit yang tahu, saat dipenjara, eks Perdana Menteri Mohammad Roem yang juga tokoh Masyumi, dikirimi buku-buku bermutu oleh Ojong. Dan mereka berkarib. Hangat. Ketika melayat kediaman Ojong saat pendiri Kompas dan pencipta nama Kompasiana itu meninggal, Roem bilang, “Ini cara orang baik meninggal.”Wallahualam bissawab.

Rohis Bukan Teroris


Sabtu, 22 September 2012, 14:24 WIB

Rohis Bukan Teroris
Asma Nadia

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Asma Nadia

"Kalau sampai besok tukang susu nggak datang juga, jangan-jangan dia teroris!"
Kalimat 'si Mbak' yang sudah mendampingi keluarga selama 12 tahun itu sontak membuat kami yang sedang menyantap sarapan pagi tercengang. Pengantar susu langganan memang tinggal di Beji, lokasi yang belum lama ini, terjadi ledakan hebat di rumah warga terduga teroris di daerah itu. Satu orang yang berada paling dekat dengan ledakan --belakangan diketahui sebagai peracik bom tersebut-- meninggal dunia beberapa hari kemudian.
Dan yang mencengangkan adalah betapa mudah asisten rumah tangga kami membuat kesimpulan. Hanya karena di Beji ditemukan terduga teroris, ia menganggap semua orang di sana sebagai tersangka teroris, termasuk mencurigai tukang susu langganan.

Dugaan itu bertahan. Apalagi setelah satu hari berlalu dan sosok pengantar susu sapi dan susu kedelai itu tidak juga terlihat. Prasangka yang kemudian menulari anak-anak. "Benar tukang susu kita teroris, Bunda?"

Saya dengan segera membantah. Terlalu dini, bahkan cenderung menjurus ke fitnah, membuat tuduhan tanpa landasan serupa itu. Memasuki hari kedua, tukang susu belum juga muncul. Si Mbak makin yakin dengan dugaannya.

Di hari ketiga, bel rumah berbunyi. Seperti biasa Mbak kami keluar dan melihat siapa yang datang. Tak lama perempuan berusia tiga puluhan asal Tegal itu muncul dengan wajah semringah, "Ternyata bukan teroris, Bunda. Nih tukang susunya datang."

Si Mbak mengangkat tinggi-tinggi dua plastik berisi cairan berwarna putih dan berlalu. Ungkapan Mbak di rumah kami, sepintas terkesan sederhana dan lugu. Tetapi, justru cara berpikir seperti itu yang kemudian dilakukan sebuah stasiun TV swasta dengan nara sumbernya.

Hanya karena meyakini satu atau dua teroris pernah menjadi anggota rohis ketika sekolah, lalu mengasumsikan rohis sebagai salah satu tempat perekrutan teroris.

Pertama, mengetahui tayangan yang menuai banyak protes masyarakat itu, benak saya langsung berhitung. Bayangkan, jika di setiap satu sekolah, ada 50 hingga seratus anggota Rohis, jika dikalikan jumlah 20 ribu-an SMP dan 10 ribuan SMA di Indonesia, jumlah anggota rohis bisa mencapai ratusan ribu, bahkan jutaan dengan para alumninya. Lalu, bagaimana mungkin hanya karena diasumsikan ada satu-dua orang di antaranya terekrut jaringan teroris, kita lantas menyimpulkan organisasi yang memiliki ratusan ribu orang itu sebagai satu media perekrutan dan kaderisasi teroris.

Saya tidak bisa mengerti metode apa yang digunakan untuk membuat kesimpulan dangkal seperti itu. Apakah ada metode yang membenarkan jika satu orang Jawa jadi teroris, kita boleh mengatakan Jawa adalah tempat lahirnya generasi teroris? Pemikiran yang menganggap semua tak ada bedanya seperti ini, teramat sangat berbahaya. Ini yang mengakibatkan banyak muslim menjadi korban penganiayaan --ditambah pula sikap paranoid akut dari orang atau kelompok tertentu yang memang alergi terhadap Islam-- hanya karena perilaku segelintir muslim lainnya.

Mengapa ketika seorang mahasiswa Korea di Amerika secara brutal menembak hingga menimbulkan banyak korban, tidak ada yang menuduh Korea sebagai tempat nya psikopat? Atau sewaktu warga lokal Norwegia membantai puluhan orang, tidak seorang pun mengatakan bangsa tersebut suka membantai. Terakhir penembakan brutal di gedung bioskop di Amerika, pun pada titik itu kita bisa dengan adil melihat bahwa peristiwa tragis itu merupakan aksi individu.

Perlu kehati-hatian untuk membedakan aksi perseorangan dengan kelompok dan tidak mudah mengaitkan dengan kelompok lainnya. Apalagi kemudian memublikasikannya secara luas. Akibat tayangan itu, BlackBerry Messenger (BBM) penuh dengan imbauan protes, juga ajakan melaporkan ke KPI.

Belum jumlah mention di twitter maupun tag di Facebook untuk menggalang aksi bersama menuntut media tersebut meminta maaf, bahkan dibubarkan.

Tetapi, saya baru-baru ini bertemu dengan sekelompok anak muda --mantan aktivis rohis-- yang uniknya memberi respons berbeda. Mereka tidak menghujat atau memaki, tetapi memilih untuk melawan dengan lagu. Melodinya mudah diingat. Liriknya sederhana, tapi mengembalikan senyum di wajah saya. Senyum yang jika boleh, ingin saya bagi kepada semua aktivis dan alumni rohis yang kemarin sempat terlukai, juga kepada siapa saja:

Aku anak rohis
Selalu optimis
Bukannya sok narsis
Kami memang manis.
Kami aktivis, benci anarkis
Walau kantungku tipis, bukan teroris.

Sabtu, 22 September 2012

Rasulullah SAW Yang Mulia dan Agung

Dahulu, sekarang dan sampai kapan pun
Rasul kami Muhammad Sallallahu 'Alaihi Wasallam
Tetap mulia dan agung
Meskipun si kafir sering
Melecehkan
Walaupun si angkara murka suka
Menghinakan
Biarpun si sesat selalu
Menghujatkan

Kami tidak
Tinggal diam
Menghina Rasul kami adalah
Menghina kami

Dan kami tidak akan
Tinggal diam
Tangan mencencang
Bahu memikul bagi kalian yang
Berbuat mungkar

Kalian penghujat akan tahu
Kalian penghina akan menyaksikan
Bahwa nanti
Islam satu-satunya
Agama yang diredhai Allah
Tuhan kami dan Tuhan kalian

Mencintai yang benar
Beruntung
Mencintai yang batil
Merugi


Dalam Koto, 22/09/2012




Semilir Angin Senja


Februari 17, 2011

KETIKA PAPA BERCERITA (9)

Diarsipkan di bawah: Kenangan Papa — ritrin @ 9:54 pm and

Ketika RRI dibombardir oleh tentara pusat tahun 1958, Papa tengah belajar di SMA B Bukittinggi kelas tiga. Sekarang SMA itu bernama SMA 2 Bukittinggi. Sepupu dia yang bernama Nuraena tengah pula belajar di SMPI di Jirek Bukittinggi kelas 1 yang kelak menjadi pendamping hidup Papa. Papa langsung teringat akan sepupunya itu lalu menyinggahinya untuk dibawa serta pulang ke kampung di Desa Kalung Tilatang Kamang sekitar 8 km dari pusat kota Bukittinggi. Sekolah SMPI bersebelahan dengan Sekolah PGA yang terletak di Dokabu Jirek. Ketika saya tanya apakah saat itu mereka telah baintaian mereka sama-sama mengelak. Rasain no penasaran kan..???. Simpan dulu ya penasarannya..


Selama masa pergolakan itu Mama tidak diizinkan Inyiak (Paman) beliau untuk melanjutkan kembali sekolah di SMPI Jirek. Banyak kisah mengerikan yang sampai ke telinga para orangtua masa itu yang tidak berani melepaskan anak gadisnya pergi jauh dari pengawasan mereka. Inyiak menyekolahkan Mama ke Pekan Kamis, sekolah keterampilan putri yang mengajarkan segala macam tentang keterampilan untuk gadis remaja kala itu. Termasuk memasak dan menjahit pakaian. Mama berkawan dengan seorang istri Camat yang bergelar Datuak Rangkayo Basa. Irma nama istri beliau. Banyak kegiatan yang mereka lakukan. Mulai dari memasak bila ada kunjungan Orang pusat untuk Camat sampai menari pasambahan dan gelombang untuk acara penyambutan. Sehingga Mama lumayan aman di masa itu sebab kedekatannya dengan Camat Koto Malintang Pekan Kamis Tilatang Kamang itu.
Pak Camat waktu itu berpihak kepada Tentara Pusat dan dia jugalah yang membentuk sebuah pasukan khusus untuk penyergapan yang bernama Pasukan Combad (baca : kombed). Pasukan yang sangat dihindari oleh pasukan PRRI yang bergerilya sebab pasukan ini diambil dari orang kampung yang dilatih khusus dengan persenjataan lengkap. Bahkan menurut Papa, pasukan ini lebih ditakuti penduduk masa itu dari pada OPR.
Irma istri Pak Camat dulunya adalah orang biasa di kampung. Sewaktu masa perang dengan Belanda, Pak Camat ikut berperang. Waktu itu pertempuran pecah di dekat pasar Pekan Kamis. Pak Camat sewaktu menggerakkan pasukan untuk menyerang Pak Camat berdiri memberi komando, saat itulah dia kena tembakan di bagian pahanya. Irma waktu itu bertugas sebagai Anggota Palang Merah. Dia melihat Pak Camat tertembak langsung mendekati beliau dan menyeretnya ke tempat yang aman. Pak Camat berhasil sembuh berkat Allah SWT melalui pertolongan pertama dari Irma. Hubungan mereka kemudian berlanjut hingga Pak Camat akhirnya mempersunting Irma, si gadis penolongnya itu ketika telah sembuh.
Pamanku ada dua orang yang ikut keluar dari pihak Mama, sedangkan dari pihak Papa adiknya. Menurut Mama, Nenekku (Alm) adalah seorang yang pemberani. Dia selalu tegar dan menyemangati putra-putranya. Ikut keluar artinya memerangi kelaliman. Pimpinan di daerah kita sudah memutuskan untuk berjuang maka tetaplah berjuang. Nenek ikut membantu dengan dapur umum ketika tentara pusat belum masuk ke Kaluang.
Kampung-kampung penuh dengan lubang mortir yang ditembakkan dari arah Pasa (Bukittinggi kota). Lubang-lubang besar sebesar kubangan kerbau dengan kedalaman kira-kira tiga meter yang melubangi apapun di kapung itu dimana tetap ada hingga awal tahun 1980an. Selain mortir yang ditembakkan juga ada serangan udara dari pesawat-pesawat tempur. Di atas Bukit Kaluang sebuah bukit di desa itu selalu ada yang bersiaga, memberitahukan ke penduduk ataupun tentara PRRI yang berada di kampung bila terlihat iring-ringan tentara pusat berjalan menuju arah kampung itu. Bila tanda diberikan, biasanya Mama dan Nenek langsung bersembunyi di bawah kolong rumah yang sudah dibikin Inyiak (Kakek) lubang persembunyian. Di atasnya ditaruh kasur kapuk yang besar sampai dua lampis. Gunanya menghindari serpihan Mortir yang jatuh. Namun bila mortirnya tepat ke dalam lubang, alamat mereka tinggal nama.
Setelah kampung dikuasai Tentara Pusat, banyak orang laki-laki dewasa yang menyingkir ke dalam Rimbo (Rimba) di Bukit Barisan. Rimba itu bernama Rimbo Manduang. Di sana ada pesawangan yang diisi sawah penduduk dan beberapa pondok kecil. Salah satu pondok itu adalah posko darurat Tentara PRRI dimana ada sebuah Gong besar yang terbuat dari kayu yang ada lubangnya, mereka menyebutnya Tontong. Bila dipukul dengan pemukul kayu khusus disitu akan berbunyi gema pukulan yang terdengar sayup sampai ke kampung. Pukulan Tontong dibedakan jadi beberapa kode supaya penerima pesan di kampung paham maksud pemeberitahuan melewati bunyi Tontong yang sayup-sayup sampai itu ke kampung. Orang kampung akan mengirimkan pesan berantai dan beberapa saat kemudian sunyilah kampung. Ada yang bersembunyi di lubang ada yang bergegas masuk hutan. Dusun itu bernama Sonsang, tempat kelahiran Papa dan saudaranya yang mana hanya berjarak seratus meter saja dari terjalan perbukitan Bukit Barisan di tengah-tengah pulau Sumatera.
Sebuah peristiwa tragis yang saya telah dengar dari beberapa orang tua termasuk dari Papa dan Mama adalah terbunuhnya tiga orang laki-laki dewasa yang bendirikan Dangau (Gubuk) di Rimbo Manduang itu. Mereka mengungsi ke Rimba untuk keamanan diri daripada mati sia-sia di kampung, difitnah Tukang Tunjuk atau semacamnya. Laki-laki dewasa bila berada di kampung tanpa ada alasan misalnya sebagai Guru atau tenaga kesehatan akan langsung dicurigai sebagai pasukan PRRI. Salah satunya bernama Mak Siagiar, Mak Idi dan dua temannya. Di dangau tengah rimba itu hari itu mereka sedang memasak nasi di bagian belakang dangau yang berfungsi sebagai dapur darurat. Tungku api dengan kayu bakar yang tersedia melimpah disana. Ketenangan mereka bersembunyi tiba-tiba menjadi porak-poranda diterjang sebuah mortir yang meledak pas di tungku nasi mereka itu.
Empat orang itu semuanya terkena ledakan mortir. Tubuh mereka tercabik-cabik mengeluarkan darah yang menganak sungai. Periuk nasi pecah dan nasi berserakan di sekitar mereka. Ketika orang kampung mendekati dangau itu, terlihat ada satu orang yang masih bernyawa. Beliau adalah Mak Idi tetangga Nenek di kampung Kaluang. Mak Idi langsung dibawa pulang ke kampung ketika bunyi pesawat dan mortir telah berhenti senyap. Tontong dibunyikan kembali dan kondisi kembali aman untuk sementara.
Mama dan Nenek ikut menjemput Mak Idi yang dikabarkan orang terkena mortir. Karena kondisi yang darurat, Mak Idi hanya dibawa dengan sarung yang disangkutkan ke bilah kayu dan didegeng (dipikul) oleh empat orang. Masing-masing memegang ujung bilah kayu itu. Mak Idi yang terluka parah di kepala berayun-ayun dibawa turun dari rimbo Manduang yang berbukit-bukit itu. Sepanjang jalan darah menetes dari luka kepala beliau itu. Bahkan Mama sempat melihat benak beliau dari luka kepala yang terbuka itu. Namun Allah SWT masih sayang pada Mak Idi. Beliau selamat hingga bisa hidup sampai tuanya.Orang kampung selalu mengenang peristiwa bersejarahdi kampung Kaluang itu bila melihat Mak Idi yang selalu berkepala plontos hingga tuanya. Mak Idi mendirikan lapau di samping mesjid Kaluang atas izin Inyiak sebagai Angku Imam disana. Aku sering bermain di lapau Mak Idi yang ketika ku kecil telah kupanggil Inyiak Idi. Aku suka kacang tujin (kacang bawang) yang dibungkus kertas minyak warna-warni dengan bungkus berbentuk segitiga. Nyam nyam nyam..
Sekitar tahun 1959 Papa masih berada di kampung di Sonsang. Sekitar dua ratus meter ke arah pinggiran Bukit Barisan. Ketika itu Papa sudah bergabung dengan tentara PRRI tapi masih berada di kawasan kampung sebab kampung belum diduduki tentara pusat. Suatu hari mendaki bukit Sonsang. Di atas bukit itu ada sejata besar yang digunakan oleh pejuang PRRI untuk menembak tentara pusat yang masuk ke kampung atau membalas serangan dari pesawat-pesawat tempurnya. Sesampainya di atas hanya ada seorang tentara yang menjaga senjata itu.
Kama nan lain?
Bi mancari paisok turun, jawab kawan Papa itu.
Tiba-tiba dari arah Koto Malintang datang satu pesawat tempur tentara pusat, dimana biasanya mereka membombardir kampung dan bukit-bukit disekitaran kampung.
Wak tembaklah, kata Papa ke tentara yang menjaga alat berat yang bernama senjata ASE.
Jadih,
Masuakanlah piluru no tu, tu arahan.
Yo, wak arahan ka muko pesawat tu.
Merekapun sibuk mempersiapkan serangan penyambutan untuk sang pesawat tempur itu. Peluru dimasukkan, sejata diarahkan ke atas siap membidik sasaran.
Mulanya pesawat itu terbang tinggi, lama kelamaan merendah melewati mereka bersiap untuk menghujani kampung itu dengan bombardier. Tepat ketika sasaran telah terkunci, kawan Papa langsung menarik picu tembakan senjata itu. Peluru itu mereka lihat jelas menembus arah depan dari pesawat. Pesawat itu tetap terbang namun menjauh dari kampung dengan meninggalkan asap di udara. Mereka tidak tau apakah pesawat itu akhirnya jatuh atau selamat kala itu. Yang jelas mereka telah berhasil mengusirnya dari kampung.
Sekitar tahun 1971 Papa mendengar sebuah pesawat ditemukan di Bukik dibelakang Danau Singkarak oleh peladang tebu disana. Di dalam pesawat itu ada tulang belulang manusia ditemukan dua orang. Papa langsung pergi ke tempat kawannya yang dulu sama-sama di atas bukit Sonsang itu menembak sebuah pesawat pembom itu. Kawan Papa marah-marah waktu Papa mengingatkan kembali kenangan itu, dan berasumsi bila yang ditemukan itu adalah pesawat yang mereka tembak dulu itu.
OndehSi Djas, nak kaditangkok si Djas bacarito mode tu dinan rami ko, kebetulan mereka ketemu di pasar.
Sia juo nan kamanangkok awak laih goh, kan awak lah diagiah amnesty, salah merekalah manga manggaduah kampuang awak, jawab Papa mantap.
Batam, Feb 17th, 2011

Semilir Angin Senja

Januari 11, 2011

KETIKA PAPA BERCERITA 3

Diarsipkan di bawah: Kenangan Papa — ritrin @ 1:20 pm and
Nama Papa H. Djasri Sjamsuddin yang lahir 03 September 1937 yang kata2 Sjamsuddin diambil dari nama ayah beliau, H. Sjamsuddin seorang tokoh ulama di daerah Tilatang Kamang. Baliau adalah Angku Imam di Musajik di kampung kami di Desa Kaluang Kenagarian Tilatang Kamang Kab. Agam yang mana kini masuk wilayah Kota Bukittinggi. Sahingga banyak yang berkainginan basuamikan beliau sahingga nenek kami berjumlah empat orang. Istri yang tertua adalah Ibu dari Papa yang bernama Kinan. Kalo ditambah ti maka jadi nama yang keren ala jaman sekarang menjadi Kinanti J.


Papa masuk SR (Sekolah Rakyat) di desa Kaluang tamat tahun 1952 salama 6 tahun trus melanjutkan ke SMP swasta Simpang Ampek Pekan Kamis setahun trus berhenti sebab beliau ingin membuat ijazah negeri SR dengan ikut ujian ke Padang Gamuak Tarok Bukittinggi. Setelah lulus dan ijazah didapatkan, dilanjutkan ke SMP 6 Simpang Lambau di depan SMA 1 Gajah Tongga selama 2 tahun trus pindah ke Batusangkar ke SMP 2 Negeri Batusangkar tamat di tahun 1955. Melanjutkan ke SMA Negeri Batusangkar trus pindah ke Bukittinggi. Masuk SMA B Bukittinggi yang tempatnya di SMA 2 Bukittinggi sekarang di seputaran lapangan kantin. Nah ketika di SMA itulah sekitar kelas 2 pecah perang PRRI. Sewaktu itu Papa hanya mendengar tentang kondisi yang bagolak tu dari radio yang pake batere besar sepuluh biji. Jadi untuk sekedar mendengar radio jadi mahal di masa itu.
Sebagaimana para pelajar seusia Papa di masa itu, kebanyakan mereka langsung bergabung menjadi tentara dibawah komando Kolonel Ahmad Husen. Sekitar tahun 1958 dan Papa bergabung dengan Brimob 5149 Padang Panjang yang bermarkas di Kampung Katiagan di lereng Gunung Merapi yang mengarah ke Kota Padang Panjang. Papa masih ingat senjata yang dipegang dia waktu itu adalah Jungle Pop Or US. Mereka bergerilya masuk ke dalam kota Padang Panjang mengincar markas Tentara Soekarno.
Bila terlihat musuh di selisip rumah orang maka akan sama-sama sembunyi, tidak ada perang yang membabi buta. Sepertinya mereka segan menembak dan pihak Tentara Pelajar inipun segan untuk menembak. Sungguh perang yang santun. Jikapun ada terjadi pembantaian atau tembak menembak biasanya musuh tidak terlalu jelas atau balasan serangan yang menyebabakan korban. Bila sama-sama jelas terlihat yang satu dipojok rumah yang satu dan yang lain di pojok rumah satunya lagi, maka akan sama-sama mundur. Kompi Papa waktu itu adalah Brigadir Muchtar Djamal. Berada di Padang Panjang itu mulai dari akhir 1958 sampai 1959.
Tahun 1960 Papa pindah ke Combad Suayan di daerah Suliki Kab. 50 Kota dan bertugas disana selama 4 bulan. Meneruskan tugas ke Aia Kidjang di daerah Kumpulan perbatasan Bukittinggi dan Lubuak Sikaping Pasaman. Ketika bergerak ke daerah Bonjo di Pasaman, Papa bertemu dengan Pak Imam (Buya Moh. Natsir) dimana Papa tergabung dalam Pasukan Khusus yaitu Pasukan Teritorial Bonjol yang berjumlah 10 orang. Waktu itu yang menjadi wali Nagari di daerah tersebu adalah Mamak Angku Yarnani yang berpusat di Koto Kaciak Kumpulan.
Saat inilah Papa bisa bertemu dengan Pak Syafruddin Prawiranegara yang pada saat itu sebagai Presiden RPI (Republic Persatuan Indonesia) perubahan nama dari PRRI. Bertemu di suasana Upacara Bendera. Pak Syafruddin waktu itu tidak begitu faham upacara militer diiringi dan dipandu oleh Kolonel Dahlan Djambek dimana Upacara Bendera itu benar-benar dibuat seperti layaknya Upacara Bendera sebuah Negara yang berdaulat. Sewaktu itu Pak Syafruddin tinggal di Koto Tinggi Suliki. Hampir semua kesatuan hadir di Upacara Bendera Milter saat itu, Papa mengenang.
Pak Imam sewaktu bersembunyi di daerah itu membutuhkan staff untuk keperluan kurir logistic. Entah karena melihat Papa yang bisa dipercaya atau karena track record Papa selama menjadi tentara pelajar dalam kurun waktu perang itu, maka terpilihlah beliau untuk ikut di rombongan Pak Imam di Gang Kenanga di dalam rimba di aliran Batang MAsang itu. Papa mulai bertugas di bulan Januari 1961. Bertugas untuk keluar masuk rimba tanpa sedikitpun meninggalkan jejak sehingga diperlukan ketelitian dalam perjalanan. Sedapat mungkin tidak ada bekas jejak yang ditinggalkan. Bila di sungai harus berjalan di dalamnya sehingga tidak ada jejak yang membekas baik di pinggir sungai atau di batu-batu yg bertebaran di sungai-sungai pedalaman Sumatera itu.
Perjalanan Papa terkadang harus dilakoni sendiri seperti membawa senjata bantuan Amerika. Mengirim surat-surat yang ditulis Pak Imam untuk dikirimkan ke Amerika sebagai Negara yang membantu perjuangan RPI kala itu. Sebab sama-sama tidak setuju dengan komunis. Namun dikala itulah Papa bertemu suka dukanya berjalan sendirian di Rimba Sumatera itu. Yang paling sering melihat dua mata bersinar terang si Inyiak Rimba alias Harimau Sumatera. Pernah juga dari atas pohon yang sangat lurus dan tinggi, turun seperti hendak mengejar seekor Gorila hitam yang sangat besar ke bawah namun tepat tinggal beberapa meter dari tanah, si Gorila telah lenyap tanpa bekas.
Begitu juga dengan nasib mujur bertemu beberapa pohon durian di tengah rimba yang berbuah lebat dan di tanah penuh dengan durian yang berjatuhan karena baru dilanda angin kencang. Beliau pilih yang besar dan bagus dan langsung disantap ditempat, namun hanya sanggup menghabiskan delapan buah yang wangi ranum. Akibatnya dia mabuk durian dan jadi kapok untuk makan durian sampai saya beli durian ketika masa saya bersekolah di Bukittinggi. Dia makan durian sambil bercerita tentang durian yang dia makan sewaktu di rimba Kumpulan di zaman bagolak.
Saya tidak akan menulis banyak tentang Gang Kenanga dimana di tempat ini Buya Moh Natsir bersembunyi bersama keluarga dan rombongannya. Hal ini sudah saya ungkapkan detail di tulisan saya Ketika Papa bercerita bag. 1. Hanya sedikit saya singgung tentang keterangan Papa yang berusaha mengingat-ingat waktu di Gang Kenanga ini antara januari 1961 s/d Sept 1961 Pak Imam menulis naskah buku yang berjudul Capita Selecta 3, dimana saya lihat di sebuah Blog Buya Masoed Abidin, naskah Capita Selecta 3 ini tidak diterbitkan.
Sebab apa alasannya tidak diterbitkan naskah tersebut tidak ada keterangan di blog tersebut.
To Be Continued
Batam, 11-1-11

Semilir Angin Senja

Januari 28, 2011

KETIKA PAPA BERCERITA 6

Diarsipkan di bawah: Kenangan Papa — ritrin @ 2:37 pm and

Sekitar Juli 1961 pasukan preman Ancok Gandi yang menelusuri hutan belantara di aliran sungai Batang Masang itu sepertinya sangat berambisi untuk menghilangkan sisa-sisa pejuang dan tokoh pimpinan PRRI saat itu. Sebegitu kuatnya keinginan mereka itu, berbanding lurus juga dengan usaha penduduk tempatan untuk menyembunyikan jejak orang-orang yang mereka cari itu. Di kedalaman hutan itu mereka tidak lagi mengkhawatirkan adanya binatang buas dan berbisa yang mungkin saja mencelakai mereka. Orang-orang seperti Ancok Gandi dan rombongannya lebih dikhawatirkan dari semua itu karena kebiadabannya.




Terbayang olehku ketika Papa menceritakan hal ini via telpon menggertakkan giginya saking geram yang lama dia pendam. Sebab Ancok Gandi dan pasukannya itu sudah mereka kunci posisinya dan tinggal dihabiskan saja di kerimbunan hutan di aliran Batang Masang itu. Tapi karenadatang perintah dari Pak Dahlan untuk membiarkan saja mereka melewati aliran Batang Masang disana itu, jadinya pasukan tidak jadi menghabisi mereka yang hanya berjumlah 30 orang dengan posisi sangat terbuka untuk ditembaki. Tapi kemudian di tanggal 25 September 1961 pasukan preman Ancok Gandi inilah yang menemukan dan menghabisi Pak Kolonel Ahmad Dahlan secara membabi buta beserta seorang ajudannya yang masih bersama beliau. Nama ajudannya itu Yus. Di subuh yang naas di kampung Lariang Kenagarian Kumpulan itu. Mereka ditembaki secara membabi buta ketia beristirahat di sebuah rumah di pinggir hutan disana.

Malam ketika hari terakhir dari kehidupan Pak Dahlan itu, orang kampung datang membawakan pisang ke beliau di rumah itu. Beliau sempat bercerita ke mereka, bila besok hari Pak Dahlan ingin pergi ke suatu tempat yang mana tempat itu beliau rahasiakan. Bagaimanapun beliau tidak akan mau menyerah ke pemerintahan Soekarno yang beliau anggap telah menjadi seorang Komunis. Nah saat itulah barangkali menurut Papa peran si Tukang Tunjuak (mata-mata) beraksi. Masa itu tidak akan bisa kita mempercayai orang-orang kampung yang rata-rata mendukung perjuangan mereka. Jika satu saja diantara mereka adalah seorang informan atau Tukang Tunjuk atau sang pengibus, maka habislah rombongan itu bila tidak berinisiatif untuk bergerak ke tempat lain yang belum diketahui orang. Menurut Papa, Pak Dahlan agak meremehkan situasi di saat itu, entah siapalah orangnya itu tapi dialah yang bertanggung jawab atas kematian Pak Dahlan waktu itu atas informasinya. Padahal pimpinan yang lain telah banyak yang menyerah dan diberi amnesty oleh pemerintah.

Subuh itu sebagaimana kesaksian beberapa orang di lokasi kejadian waktu itu, rumah tempat Pak Dahlan menginap itu langsung ditembaki dari luar. Saking membabi butanya tembakan dari luar, Yus sang Ajudan kepingan kepalanya sampai terpelanting ke pohon kelapa yang berada di belakang rumah. Pak Dahlan yang belum mau menyerah itu, mereka tembaki terus sampai-sampai sarung yang sedang dipakai Pak Dahlan penuh lubang tembakan. Namun bekas luka tembakan yang ditemui di tubuh Sang Kolonel hanya satu lubang saja di daerah dadanya. Saat itu Sang Kolonel berpulang memenuhi janjiNya. Innalillah Wainnalillahi Raajiuun

Beberapa hari kemudian setelah Papa selesai proses menyerahnya tanpa harus bersumpah sebab di Lubuk Sikaping tidak terlalu ketat proses menyerah. Hanya bikin surat pernyataan saja dan itu bisa langsung diproses untuk pembuatan KTP (Kartu Tanda Penduduk). Papa pergi jalan ke pasar pagi Simpang Tembok yang berjarak sekitar 8 km dari rumah di Tilatang Kamang. Setiba disana Papa duduk di sebuah kedai kopi. Sebenarnya Papa ingin tau tentang siapa yang membunuh secara sadis Pak Dahlan ketika menginap di Lariang itu. Kebetulan saat itu ada kemenakan beliau yang juga jadi preman di simpang Tembok itu. Kita sebut saja namanya Capuak. Saat itu di kedai itu ada Ancok Gandi ini juga sedang minum kopi. Rumor tentang keberhasilan preman Ancok Gandi ini beredar melesat dari mulut ke mulut pada masa itu.

Terjadi persitegangan antara mereka bertiga saat itu. Si Capuak bilang ke Ancok Gandi kalo Papa adalah orang dalam dari PRRI. Si Ancok Gandi langsung cabut pistolnya yang tersembunyi di balik bajunya langsung diarahkannya ke kepala Papa.

Ang macam-macam Ang den tembak, katanya beringas dan sombong.

Untung saja si Ancok Gandinya masih agak sedikit waras untuk tidak bikin sensasi di tengah pasar pagi Simpang Tembok Bukittinggi saat itu. Dia hanya ingin menunjukkan ke orang-orang yang berada di sekitar sana kalo dia itu Orang Bagak berkuasa karena dapat dukungan Tentara Pusat. Hal itu terbayar penuh setelah tahun bejalan dan Ancok Gandipun sakit-sakitan dan akhirnya meninggal. Selama dia sakit tidak seorangpun yang peduli dengannya dan bahkan sampai akhirnya dia meninggal di Simpang Tembok itu, tidak ada warga yang mau menyelenggarakan jenazahnya sebab dia sudah berkoar kalo dia itu Komunis, hanya ada seorang kemenakannya yang akhirnya menyelenggarakan jenazah Ancok Gandi. Ancok Gandipun lunas di dunia.

Batam, January 28, 2011

Jumat, 21 September 2012

Semilir Angin Senja

Januari 18, 2011

KETIKA PAPA BERCERITA 4

Diarsipkan di bawah: Kenangan Papa — ritrin @ 10:26 am and
Saya kutipkan tanggapan Buya Masoed Abidin tentang tulisan saya untuk menyegarkan kembali ke tulisan yang sebelumnya :
“Ananda Rina, yang ditulis Rang Gaek atau Pak Natsir itu adalah saran kepada Pemerintah RI pimpinan Soekarno melalui Jendral Abdul Harris Nasution tentang bagaimana menyelesaikan bekas anggota PRRI secara nasional, agar tidak menjadi beban sosial masyarakat Indonesia. Hebatnya beliau (Rang Gaek, panggilan kami terhadap Pak Natsir, sebab ada beberapa panggilan terhadap beliau itu, ada dengan panggilan ‘Pak Imam’ (bagi pencinta Masyumi), Abah (bagi anak anak beliau di Jabar), ‘Pak Natsir’ (umum panggilan kekerabatan), ada ‘Abu Fauzie’ ini panggilan khusus yang hanya diketahui beberapa anak anak beliau tertentu saja, sekali lagi hebatnya beliau tidak menulis bagaimana semestinya pemerintah memperlakukan beliau agar bebas, tetapi beliau menyarankan bagaima seharusnya pemerintah menyelesaikan kemelut PRRI agar tidak menjadi beban sosial masyarakat Indonesia. Yang ditulis Pak Natsir itu banyaknya 42 halaman diketik oleh Pak Buchari Tamam, Mazni Salam dan juga Buya sekali sekali, diketik, dikoreksi, diketik lagi, dikoreksi lagi, berkali-kali sampai pas untuk konsumsi penguasa, tanpa harus mengemis merendah diri, inilah khasnya konsepsi Pak Imam itu. Judulnya adalah “Mengumpulkan Kerikil Kerikil Terpelanting”, yang kelak dimasukkan kedalam Capita Selecta 3 sampai hari ini … Buya juga mengutip kembali tulisan itu di dalam Buku yang sedang Buya ulangi mengeditnya dengan judul “Hidpkan Da’wah Bangun Negeri (HDBN), Taushiyah Da’wah Mohamad natsir”, buku ini sudah diberi pengantar oleh Prof. Madya Siddiq Fadzil dari UKM Malaysia sejak Ramadhan 1330 H yang lalu, sayang masih belum dapat Buya terbitkan sampai hari ini …

Pak Natisr selama di Padang Sidempuan Sept 1961 itu ditempatkan di sebelah rumah Kolonel Bahari Effendi Siregar (Komandan Koren 22 Kawal Samudera), tersimpal maksud tersembunyi dengan halus mengawasi sekaligus membatasi gerak beliau, karena beliau tinggal dalam kompleks Korem itu, walau bebas didatangi siapapun. Disinilah beliau ditemui oleh Mas Hardi dan utusan Jenderah Abdul harris Nasution, dan juga oleh teman teman dari Masyumi dari seluruh tanah air. Begitu bbanyaknya tamu beliau setiap harinya, akhirnya beliau selesai merampungkan pesan untiuk pemerintah RI itu, maka beliau dipindahkan ke Batu Malang dan berakhir di Wisma Keagungan di Jakarta sebelum semua tahanan politik ini dibebaskan 1967, yang beliau mulai dengan mendirikan Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia pada Pebruari 1967 di Masjid Al Munawwarah, Kampung Bali II, Tanah Abang Bukit, Jakarta Pusat itu.
Pelajaran berharga, bagi pejuang tidak ada masa yang disebut berhenti.
Termakasih ananda Rina
Wassalam Buya HMA”
Saya coba bertanya kembali bertanya ke Papa tentang keterangan Buya ini dan diterang beliau sebagai berikut :
Waktu di Gang Kenanga di dalam Rimba Sumatera itu, Papa sering menyaksikan Pak Imam (Buya Moh. Natsir) mendiktekan isi buku Capita Selekta 3 ini ke seorang anak muda yang berkulit putih bersih berasal dari Sunda, tapi Papa lupa nama anak muda tersebut. Naskah yang telah diselesaikan di Rimba itulah yang kemudian kembali di edit oleh Pak Bukhari Tamam, Pak Mazni Salam dan juga oleh BUya sendiri. Kebetulan Papa kenal dengan ketiga editor ini yang semuanya Urang Awak. Papa ketemu Buya ketika Buya ke Rumah Sakit Achmad Muchtar Bukittinggi.
Sebelum ke Padang Sidempuan itu, ketika Pak Imam turun, Beliau ditempatkan di rumah Inyiak Datuak Palimo Kayo di daerah Jambu Aia yang mana rumah itu terbuat dari kayu dan berkandang di bawahnya juga terdapat kolam ikan (tabek).
Saya kutipkan kembali tanggapan dai Buya HMA :
Betul ananda Rina,
Waktu turun dari Lembah Masang (Kab Agam) tu, Pak Natsir ditempatkan di Jambu Aie (rumah Buya Datuak Palimo Kayo), tapi kutiko alah dapek kaba Pak Dahlan Djambek ditembak OPR di Palupuah, mako Pak Natsir dipindahkan ka Padang Sidempuan oleh kawalan Kodam II Bukit Barisan (atas Perintah Pangdam) dengan pengawalan sebagian adalah bekas pasukan PRRI yang dipakaikan kepada mereka pakaian Kodam II Bukit Barisan tu ..
Jadi Pak Natsir bisa diselamatkan keluar dari daerah Sumatera Barat (Kodam III 17 Agustus) itu, kemudian ditempatkan di Padang Sidempuan diterima oleh masyarakat awak nan terkoordinir oleh SKM (Serikat Keluarga Minang).
Sekretaris Pak Natsir adolah pak Buchari Tamam, nan manjadi Sekretaris baliau juo sampai ka Dewan Da’wah didirikan Pebruari 1967.
Baliau nan mairiengkan Pak Natsir sampai ka Padangsidempuan tu.
Sekedar panambah catatan ananda.
Teruslah gali kenangan dari Papa.
Terima kasih kembali untuk Buya HMA yang mau ikut memberi keterangan dalam tulisan saya yang saya yakin penuh dengan kekurangan sebab saya lahir 1977, jauh setelah peristiwa Masa Pergolakan itu telah berakhir. Saya baru mulai banyak bertanya ketika sewaktu SD saya bercerita tentang kepahlawanan President Soekarno yang dibeberkan di Buku pelajaran sebagai tokoh hebat. Namun Papa memberi sedikit keterangan yang membuat saya banyak bertanya dan terungkaplah kalo Papa adalah seorang yang ikut memberontak ketika Pak Soekarno telah condong ke komunis di masa itu. Sehingga menimbulkan beberapa pergolakan di daerah di luar Jakarta.
Kembali ke cerita Papa dimana dia telah ikut menyerah dimana September 1961 adalah masa-masa akhir dari PRRI (Pemerintahanan Revolusioner Republik Indonesia). Waktu itu Pak Imam (panggilan untuk Buya Moh. Natsir pimpinan partai Masyumi) telah bergerak ke arah Bukittinggi melewati Kampung Tantaman Palembayan, dimana disana telah dinanti oleh Tentara Soekarno (sebutan kepada Tentara Pemerintah RI yang sah yang hampir semuanya adalah suku Jawa di bawah pimpinan Letkol. AH Nasution). Sedangkan Papa bersama seorang kawan beliau keluar hutan mengarah ke Lubuk Sikaping melewati Kumpulan. Beliau menyerah kearah yang berbeda dengan rombongan keluarga Pak Imam supaya lebih mempermudah untuk kembali ke kampung halaman.
Sewaktu menyerah di daerah Kumpulan, diharuskan untuk melapor langsung ke Komandan Tentara yang bertugas disana. Waktu itu sang Komandan sedang dicukur rambutnya oleh seorang tukang pangkas. Sayangnya Papa lupa nama Komandan tersebut.
Mau apa kalian? Tanya si komandan.
Kami mau menyerah Pak, jawab Papa.
Tunggu dulu ya, saya mau cukuran dulu, jawab si komandan.
Setelah selesai si komandan menyuruh anak buahnya membuatkan Surat sebagai bukti bila Papa dan kawannya itu telah menyerah.
Pak, kami gak punya ongkos, kampung kami di Bukittinggi, kata Papa minta pengertian si komandan.
Ya sudah, kalian nanti saya tumpangkan ke mobil tentara yang akan ke Bukittinggi, kalian tunggu saja disini, kata si komandan.
Rupanya kembali ke pangkuan ibu pertiwi itu betul-betul dijalankan oleh si komandan sehingga Papa diperlakukan dengan sewajarnya dan tidak disiksa atau dianiaya seperti banyak cerita tentang kekejaman tentara Soekarno ini. Atau barangkali ini hasil dari taktik Papa untuk tidak bergabung dengan rombongan pak Imam ketika menyerah. WallahuAlam.
Setibanya Papa di kampuangnya yaitu desa Kaluang Kenagarian Tilatang Kamang, Papa membuat KTP (Kartu Tanda Penduduk). Karena ketiadaan yang disebabkan oleh perang pemberontakan yang telah berlangung lebih dari 3 tahun itu, maka memutuskan untuk pergi merantau ke Pekanbaru. Kebetulan di Pekanbaru telah duluan merantau adik bungsunya yang biasa saya panggil dengan sebutan Pak Etek (sebutan untuk saudara Ayah yang paling kecil di Minang). Menurut cerita Nenek dahulu, Pak Etek adalah saudara Papa yang paliang marasai sebab dia tidak ada mengecap pendidikan seperti saudara-saudaranya. Dia sudah terbiasa ikut Nenek untuk mencari ikan di sawah-sawah dan menjualnya. Menjual es berkeliling-keliling juga pernah dilakoninya. Sehingga di umurnya masih sangat muda dia telah merantau ke Pekanbaru dan memiliki kehidupan yang lebih layak dibandingkan Papa di masa itu yang benar-benar habis setelah masa perang. Walaupun begitu, pengalaman yang Papa dapatkan selama perang itu, tidak bakalan mau dia tukarkan dengan apapun saking berharganya menurut beliau.
Di Pekanbaru Papa mulai menata hidup barunya di negeri yang telah aman. Dia melamar kerja di Dinas Kesehatan berbekal ijazah yang dia punyai. Syukur Alhamdulillah Papa diterima bekerja di Dinas Kesehatan Propinsi Riau di akhir tahun 1961.
Suatu hari Papa melihat sebuah sepeda usang di dalam gudang Kantor Dinkes Riau itu. Beliau lalu meminta sepeda itu ke atasannya untuk dipakai pergi ke tempat kerja. Ketika diperbolehkan untuk membawa sepeda usang itu, Papa lalu membawanya ke bengkel dekat seberang jalan disana. Papa menyerahkan sepeda usang tersebut untuk dipreteli supaya layak dipakainya ke tukang sepeda di bengkel itu. Ternyata setelah melihat raut muka si tukang sepeda, Papa teringat dengan seseorang yang dulunya adalah Ajudan Kolonel Dahlan Djambek. Nama orang itu adalah Bpk. Adnan Djamaan. Hati Papa luruh melihat kehidupan Bapak itu yang dulunya penuh wibawa sebab dia adalah tangan kanan dari seorang Kolonel yang disegani. Tapi kehidupannya setelah atasannya itu ditembak mati oleh tentara bentukan tentara pusat yang disebut OPR itu sungguh memiriskan hati.
OPR adalah singkatan dari Organisasi Pertahanan Rakyat yang dibentuk oleh Tentara Soekarno (Tantara Pusek) yang direkrut dari rakyat untuk menghadapi PRRI. Tentara mempergunakan OPR ini untuk mengamankan dan mempertahankan kota dan kabupaten yang mereka bebaskan dari PRRI, memungkinkan tentara maju untuk memerdekakan daerah baru. Lebih kurang enam ribu pemuda dalam OPR dibagi jadi dua kelompok yang ditugaskan memelihara keamanan dan fungsi pembangunan serta mengamati dan menahan orang yang dicurigai sebagai pengikut PRRI.
Dari sinilah bermulainya orang-orang yang di kampung dijuluki si Tukang Tunjuk. Mereka seperti hantu pengacau yang sangat arogan. Main tunjuk sesukanya dan berkuasa membuat orang-orang dipenjara bahkan dibunuh atau dihilangkan. Salah satu yang membikin muak orang kampung, mereka selalu bicara dengan Bahasa Indonesia layaknya para tentara yang kebanyakan orang Jawa di masa itu. Hanya saja logat mereka yang membikin orang muntah mendengarkannya. Tambahan lagi mereka bila kurang senang atau ingin memfitnah seseorang tinggal kasi silang rumahnya atau ngarang cerita ke tentara, sehingga orang itu atau keluarga itu akan terseret masuk penjara atau dihilangkan.
Salah seorang keluarga kami yang hilang dimasa ini adalah istri pertama dari kakak Mama yang bergelar Datuak Junjuangan. Istri beliau yang bernama Mariana hilang ketika melapor bersama ayahnya dan anaknya yang masih kecil. Waktu itu Mak Datuak yang ikut menjadi tentara PRRI bertugas di daerah Rimba Palupuh. Sewaktu dia bersama istri dan anaknya yang masih kecil di pinggir hutan itu. Entah hantu pengacau mana yang melaporkan, tiba-tiba mereka disergap tentara. Mak Datuak berhasil kabur ke dalam hutan sedang Etek Mariana dan Abang sepupu yang biasa saya panggil Bang Pen ketika itu masih umur 2 tahun ditangkap oleh mereka. Etek dibawa ke Markas Intelijen Tentara yang terkenal sangat kejam masa itu. Namanya Sesi 1 yang bila sekarang berada di dekat bangunan bioskop Gloria Bukittinggi.
Etek Mariana yang konon kabarnya adalah seorang perempuan tercantik di kampung kami saat itu, diharuskan melapor ke Markas Inteligen Sesi 1 di kantor mereka. Hari yang naas bagi Etek waktu itu ketika melapor sekitar siang. Biasanya setelah sekitar satu jam, Etek telah selesai dan kembali pulang ke kampung. Tapi waktu itu sudah lebih satu jam di dalam kantor itu, beliau yang ditemani ayah kandung beliau yang membawa bang Pen yang masih kecil, tidak juga muncul-muncul. Bapak beliau yang cemas dan takut bertanya ke tentara yang bertugas di PIket Kantor disana. Di jawab mereka Etek sudah sedari tadi keluar dari pintu itu. Padahal Bapak menungguinya di depan pintu itu semenjak Etek masuk kesana. Menurut cerita Papa, Tentara yang bermarkas di kantor itu sangatlah kejam dan tidak perberikemanusiaan. Boleh dibilang bila dicaripun Etek susah untuk menemukannya. Mereka akan bersepakat untuk menutupi akan hal apa yang terjadi dengan diri Etek.
Sampai detik ini keberadaan Etek Mariana tidak pernah diketahui lagi. Beliau hilang di tahun 1960. Tepatnya kapan, Papa kurang begitu ingat.
To be Continued
Batam, 18 January 2011

Semilir Angin Senja

Maret 4, 2011

KETIKA PAPA BERCERITA (10)

Diarsipkan di bawah: Kenangan Papa — ritrin @ 7:56 pm and
Awal tahun 1960 Papa yang tengah berjaga sebagai Tentara Teritorial untuk Kecamatan Bonjol Pasaman. Regu Papa ada 10 orang dengan 1 komandan regu. Hampir kesemuanya adalah orang Kumpulan Pasaman. Komandan regu Papa bernama Letnan Rasyid. Dimana daerah pengawasan mereka adalah Kumpulan, Alaham Mati, Ladang Panjang, Binjai, Simpang dan sekitarnya. Masa itu tengah dipersiapkan Proklamasi RPI singkatan dari Republik Persatuan Indonesia. Para tokoh PRRI mengadakan hubungan diplomasi dengan beberapa daerah yang juga bergolak menentang rezim Soekarno yang dinilai Diktator kala itu. RPI dibentuk untuk meneruskan perjuangan dalam bentuk Negara Federasi. Ikut bergabung di dalam RPI itu : PRRI, Permesta, DI Aceh, dan DI Sulawesi Selatan.

Ketika tengah berada di sekitar Batang Kumpulan di seberang Rajang di sebuah kedai kopi di tepi kampung. Lewatlah seregu tentara dari pecahan Batalyon 140 dari Suliki. Komandan regu itu rupanya adalah kawan Papa ketika sekolah di SMA Batusangkar. Nama beliau Roslim. Karena telah lama tidak bertemu, Papa mengajak mereka untuk istirahat dulu di kedai kopi itu. Papa beri orang kedai uang untuk keperluan memasak. Mereka dengan senang hati membelikan beras dan telur. Masakan kampung sederhana itu cukup membuat seregu pasukan itu makan dengan lahapnya sambil riuh bercerita. Walaupun dalam kondisi tetap siaga karena sewaktu-waktu adanya Tukang Tunjuak.
Setelah mereka selesai makan bersama itu, regu tersebut bergabung dengan kompinya dan mulai bergerak menuju Pasaman Barat. Sambil berpamitan, mereka minta didoakan supaya selamat dalam tugas ke Pasaman Barat. Papa menduga misi kali ini khusus untuk persiapan Proklamasi RPI di Bonjol yang dia ketahui kemudian hari di tanggal 8 Februari 1960.
Sekompi pasukan ini terus bergerak di Pasaman Barat sampai masuk daerah Kinali. Tepatnya di Durian Kinali dikuasai oleh tentara APRI dari Divisi Diponegoro yang semuanya berasal dari Jawa Tengah. Pasukan dari Batalyon 140 sekitaran sekompi datang mengendap-ngendap di keheningan malam menjelang subuh di rimbunan hutan Pasaman itu. Mereka mulai mendekati tempat kedudukan pasukan Divisi Diponegoro tersebut. Keberadaan mereka diketahui dan terjadilah kontak senjata di tengah subuh kelam itu.
Pasukan Divisi Diponegoro yang dalam kondisi tidak siap, banyak yang berlarian tanpa pakaian. Sebagian besar pasukan itu masih tidur pulas di subuh itu sehingga tidak siap menerima serangan dari pasukan PRRI. Banyak yang berlarian tak tentu arah sampai ada yang memanjat pohon kelapa. Markas mereka tinggalkan begitu saja sehingga barang-barang bawaan mereka dengan mudah dirampas oleh pasukan PRRI dari Batalyon 140 kala itu.
Tanggal 8 Februari 1960, sesuai kesepakatan yang diumumkan secara rahasia, Proklamasi RPI dimulai dengan Upacara Bendera yang dilanjutkan dengan Parade Militer. Semua berlangsung dengan hikmat dan penuh semangat. Hadir kala itu, Presiden RPI Syafruddin Prawiranegara yang sekaligus merangkap Perdana Meteri. Beliau bertindak sebagai pemimpin uapacara didampingi oleh Kolonel Dahlan Djambek. Barisan pasukan militer yang mengikuti Upacara bendera itu terlihat gagah dengan baju baru yang masih ada tulisan Divisi Diponegoronya.

Semilir Angin Senja

Januari 26, 2011

Ketika Papa Bercerita (5)

Diarsipkan di bawah: Kenangan Papa — ritrin @ 1:04 pm and
Menyambung cerita Papa yang beberapa tahun silam dianggap sebagai cerita tabu, maka semakin bersemangat saya untuk tetap menceritakannya kembali. Seorang peneliti yang mana penelitiannya dibukukan oleh penerbit Mizan dimana judul bukunya adalah Mohammad Natsir dalam Sejarah Politik Indonesia. Dia curhat di kata pengantarnya tentang bagaimana stressnya dia sehingga hampir putus asa dengan penelitiannya yang seperti membentur batu cadas itu. Bahan-bahan sangat sulit didapatkan, boleh dibilang langka kemudian hal yang ingin ditelitinyapun tabu untuk diungkapkan sebab dia meneliti di tahun 1993 dan baru sanggup dia selesaikan di tahun 1999. Sungguh perjalanan yang panjang untuk sebuah Tesis. Buah kesulitan demi kesulitan yang dia alami berbuah manis di Desember 2010 yang baru lalu, sebab Mizan menerbitkan penelitiannya ini menjadi sebuah buku yang bisa Kawan peroleh di Toko Buku Gramedia. Kebetulan saya beli di Batam di kota rantauan saya ini.

Mukaddimah saya kali ini panjang lebar sebab dari perkembangan posting-posting yang saya lihat mulai bermunculan di Palanta RN ini. Saya melihat adanya pro dan kontra dari beberapa sisi sudut pandang. Bagi saya pribadi sebagai anak dari seorang pejuang PRRI yang boleh Kawan sebut sebagai pemberontak yang mengobrak-abrik kesatuan bangsa, tetap ingin membongkar semua fakta secara benar dan adil. Fakta-fakta yang ada yang dilakoni sendiri oleh Papa saya, tetap akan saya suarakan. Sekalipun beberapa diantara Tetua Palanta yang sendiri yang benar-benar mengalami namun tetap ingin menyembunyikannya seperti sebuah aib monggo silahkan saja, tanpa mengurangi semua rasa hormat yang saya miliki untuk anda semua.
Tolong jangan biarkan saya terpengaruh dengan rasa ketakutan yang telah lama lapuk itu. Anda mungkin mengalami masa sedih, malu, dan penuh ketakutan dan kengerian itu, tapi bagi kami yang tidak pernah tau bagaimana bila masa bagolak itu sungguh pernah terjadi, sungguh sungguh amat menarik hati untuk kami cungkil lagi dan lagi. Sungguh hati kami ingin merasakan sejuta rasa yang pernah dirasakan di masa itu, untuk kami jadikan kenangan dan pelajaran yang berharga. Mohon maaf yang sebesar-besarnya atas kenakalan ini untuk selalu berusaha menyungkil-nyungkil duri yang telah lama tertanam dalam daging suku Minang tercinta ini.
****
Menjemput cerita yang tercecer karena ingatan yang harus dikeluarkan lagi oleh Papa yang telah mengendap selama kurang lebih setengah abad yang lalu. Mari kita simak bersama.
Sekitar Juli 1961 dua pondok yang didirikan di tengah Rimbo Mansang berjarak 10 meter. Satu pondok untuk Pak Imam dan keluarga dan satunya para pengikut yang terdiri dari :
1. Bukhari Tamam asal Bukittinggi
2. Tk. Suleman yang kemudian bergelar Dt. Tan Kabasaran asal Bukittinggi
3. Masri asal Aia Kidjang Kumpulan
4. Yarnani (Wali nagari Kumpulan)
5. Papa (H. Djasri .S) Asal Sonsang Tilatang Kamang
6. Seorang pemuda Sunda yang lihai mengetik
7. Dt Tumangguang asal Durian Kunik Kumpulan
8. Suud orang Kumpulan yang pintar masak
Sedangkan Pondok yang ditempati Pak Imam bersama Ummi istri beliau dan anak-anaknya Siti Lis, Asnah dan Fauzi.
Namun walaupun letak persembunyian yang jauh di tengah hutan belantara Sumatera itu, Pak Imam selalu saja menerima tamu hampir setiap harinya. Kebanyakan tamu selalu saja membawa buah tangan untuk mereka selain update berita terakhir seputar keadaan masa itu. Inilah bentuk keberpihakan masyarakat di kampung-kampung, meskipun tempat pak Imam selalu dikunjungi selama di Rimbo Mansang itu, akan tetapi kerahasiaan tetap terjaga dengan baik.
Suatu hari masih di bulan Juli 1961 itu, Batalyon 140 ingin bersilaturahmi dengan Kolonel Dahlan Djambek yang bermarkas di Rimbo Mansang tapi berjauhan dengan tempat Pak Imam. Papa ditugasi untuk mempertemukan mereka dengan Pimpinan Batalyon ini. Namun Pak Dahlan tidak mau bertemu di komplek persembunyiannya, sehingga Papa mencari tempat di dekat Aliran Batang Masang yang lebar itu. Seorang kawan Papa yang bernama Suud memasak nasi dan sambalado sebagai lauk untuk acara temu kangen antara Sang Kolonel dengan pasukannya itu yang dikomandani oleh seorang yang berasal dari Aceh. Namanya Pak Malintara, yang mana pasukannya biasa di sebut pasukan PDD (Pasukan Dahlan Djambek). Pertemuan itu berlangsung aman dan penuh keakraban di tengah hutan rimba itu. Karena tempat yang dipilih adalah tempat yang tidak dipersiapkan sebelumnya, maka mereka hanya makan nasi putih dengan lauk cabe (sambalado). Walaupun demikian, mereka melahapnya dengan penuh kenikmatan.
Menurut Papa yang mengawasi pertemuan itu, Pak Dahlan sendiri makan dengan lahapnya. Sebab untuk mencapai tempat tersebut, mereka harus berjalan cukup jauh dan dengan sangat hati-hati supaya tidak bertemu dengan pasukan Combad bentukan Tentara Pusat yang terdiri dari OPR yang sebagian besar adalah para preman. Karena yang dibawa saat itu hanya periuk tempat memasak, maka daun Simantuangpun telah berubah fungsi jadi piringnya. Suasana sungguh sangat nyaman dalam rangkulan buah manis silaturahim.
Selang tidak berapa lama, mereka kembali bersiaga di sepanjang aliran batang Masang itu. Terlihat dari jauh berjalan sekitar 30 orang pasukan Combad. Papa mengenali pemimpinnya adalah Preman Tembok yang bernama Ancok Gandi. Sepertinya dia dan pasukannya itu sangat bernafsu untuk menghabiskan sisa- sisa pejuang PRRI yang tersisa di dalam Rimbo Masang itu. Yang tidak lain adalah Pak Dahlan dan Pak Imam. Papa dan rombongan ketika itu berada di tempat yang memungkin mereka untuk menghabisi 30 orang pasukan Combad itu, tapi datang perintah dari Pak Dahlan untuk membiarkan mereka itu lewat saja. Papa tau bila kawan-kawannya manggaritih ingin menghabisi preman komunis itu, sebab perangai mereka yang sadis ke orang-orang yang mereka curigai sebagai orang PRRI. Dihilangkan atau ditembak dari jarak dekat walaupun yang lawan tidak memegang senjata adalah hal biasa bagi mereka.
To Be continued.
Batam, 26 Januari 2011

Hitler Ngamuk Soal Nazarudin - #parodiNazarudin

bukittinggi (sumatera barat) tempo dulu 4

Rabu, 19 September 2012

Mendesain Jadwal Pemilu (kada)

Oleh: Zulfadli, SH

Mendesain Jadwal Pemilu, demikian judul tulisan pada Kolom Saldi Isra di koran Singgalang pada hari ini Kamis 20 September 2012. Dalam tulisannya Prof. Dr. Saldi Isra, MPA yang merupakan Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas ini menanggapi keinginan kuat dari pemerintah untuk menjadikan pemilukada dilaksanakan secara serentak di seluruh Indonesia.

Secara umum ada ketertarikan terhadap tulisan senior saya ini sehubungan rencana pemerintah tersebut, tentu dengan berbagai pertimbangan hukum maupun sosio kulturalnya. Pada bahagian akhir tulisan Prof. Saldi pada prinsipnya setuju pemilukada serentak namun beliau mengatakan bahwa persetujuannya tersebut lebih pada sebuah tawaran yang harus dilakukan sebelum sampai pada kata final kembali kepada pemilihan dengan sistem perwakilan. Lebih lanjut Prof. Saldi mengatakan : "Karena sejak awal menolak kembali ke pemilihan oleh DPRD, saya menawarkan pemilukada serentak sebagai solusi untuk menjawab sejumlah masalah yang ada. Tawaran ini tak berhenti pada penyelenggaraan serentak saja, disampaikan pula diikuti dengan penegakan hukum khusus politik uang dan juga kemungkinan menghapus posisi wakil kepala daerah".

Saya sependapat dari apa yang disampaikan oleh Prof. Saldi Isra ini, karena sebetulnya ini respon dari seorang ahli yang patut ditindaklanjuti oleh pengambil kebijakan, dalam hal ini adalah pemerintah. Meskipun sejalan dengan keinginan pemerintah tapi beliau juga menekankan pelaksanaan pemilukada serentak dengan memilih basis provinsi dan bukan serentak secara nasional.

Namun disamping itu saya menggarisbawahi pernyataan di atas yaitu kemungkinan pemilihan dengan sistem perwakilan untuk kepala-kepala daerah. Tentu untuk sampai kepada hal tersebut harus melalui pertimbangan baik buruk dan melalui kajian, tapi kalau menurut hemat saya sudah ada rencana yang mengarah ke sana dan ini bukan tidak mungkin akan terealisasi di masa yang akan datang. Dan khusus mengenai wakil kepala daerah menurut saya sudah selayaknya dihapuskan karena apa, karena posisi ini sangat rentan terjadinya persoalan misalnya konflik kepentingan dengan kepala daerah disamping memakan anggaran yang sangat besar. Sehingga posisi wakil kepala daerah ini  layak untuk dihapuskan atau minimal diganti dengan pejabat karir yang tidak dipilih melalui mekanisme pemilihan langsung.

Kembali kepada rencana pemilukada yang akan dilaksanakan secara serentak, apakah serentak secara nasional atau berbasis provinsi sebagaimana pendapat Prof. Saldi Isra yang menekankan untuk memilih desain baru pemilukada dibandingkan merealisasikan gagasan pemilihan kepala daerah terutama gubernur ke DPRD, bagi saya hal ini cukup relevan dan saya juga setuju bahwa tidak cukup kuat alasan bahwa banyaknya masalah pemilukada selama ini dengan serta merta menyerahkan kedaulatan rakyat kepada sekelompok orang di dewan perwakilan rakyat daerah. Tapi hal ini boleh saja diwujudkan apabila kita dapat menyelesaikan setiap permasalahan yang ada dan memastikan tidak terjadinya konflik kepentingan antara rakyat dengan pemerintah.