Senin, 31 Maret 2014

"PKS Ora Beres"

Jumat, 28 Maret 2014


Ibnu Syakir

Saya akui sudah banyak akademisi yang menjadikan PKS sebagai objek penelitian ilmiah. Apakah itu untuk skripsi, thesis atau mungkin desertasi. Namun izinkan saya menguliti partai yang berlaga di pemilu 2014 bernomor 3 ini.

Sejak SMP saya lebih memilih majalah-majalah politik semisal Gatra, Tempo, Ummat dll sebagai bahan bacaan daripada majalah lainnya. Sesekali saya membeli majalah musik, pada waktu itu yang paling terkenal adalah HAI.

Dari “petualangan” saya mengamati partai politik di Indonesia sejak belum memiliki hak pilih, saya menyimpulkan PKS satu-satunya partai yang ora beres. Apa itu ora beres?

Obah

Obah adalah bahasa Jawa yang artinya “Bergerak”. PKS memang menjadi salah satu partai yang memiliki kader yang terus bergerak. Bahkan umur “obahnya” lebih tua dari partai itu sendiri. Dan yang unik, bergeraknya PKS tidak saja menjelang masa pemilu, namun kader-kadernya terus obah memberi kontribusi kepada masyarakat kala pesta demokrasi masih jauh.

Siapa yang mau obah, maka akan sehat jiwa dan raganya, begitu nasehat orang tua. Dokter pun mengatakan hal yang serupa. Jadi dapat disimpulkan PKS adalah partai yang paling sehat di Indonesia. Partai yang sehat layak menjadi pilihan rakyat.

RAsional

Di setiap momen pemilu, hampir menyertakan kisah pilu soal ketidak-warasan calon anggota dewan untuk menjemput kursi yang diimpikan. Ada yang mandi di laut, ada yang bertapa di gua, kuburan keramat dan pohon besar.

Dari beberapa orang yang tergolong sesat pikirnya itu tidak ada satu calon anggota dewan PKS yang melaksanakannya.

Di PKS rasionalitas harus dijunjung tinggi. Sehingga kerja-kerja untuk menjemput amanah ummat dilakukan dengan cara yang logis dan terstruktur. Jika dirasa sudah maksimal maka tinggal menyerahkan saja kepada Allah sebagai pemilik “cerita” kehidupan. Dan orang-orang rasional tentu sangat layak memimpin Indonesia.

BEda

Harus diakui, PKS adalah satu-satunya partai yang berbeda. Beda soal militansi kadernya. Beda cara kampanyenya. Beda kualitas kader-kadernya. Beda .. beda … akkkhhhh banyak sekali bedanya.

Namun, keunikan PKS ada yang membuat orang dengki dengan segala aktivitasnya. Saya yakin [padahal] di hati mereka mengakui kebaikan PKS, namun lisan mereka terasa berat untuk mengakui keunikan “si putih” ini. Dan tangannya seolah berat untuk menuliskan “pengakuan” hati mereka terhadap si nomor 3 ini.

Aneh memang. Dan sampai hari ini saya masih gagal memahaminya, apa karena over cinta mereka, atau karena ada sesuatu yang menyumpal mulut mereka. Padahal partai yang melekat pada dirinya perbedaaan positif sangat layak untuk menjadi pilihan rakyat bukan?

REligiuS

Ada partai yang menjadikan slogan dirinya sebagai partai “Nasionalis Religius”. Sedang PKS, tidak pernah mencantumkan kalimat religious dalam slogannya. Namun, di berbagai survey, rakyat menunjuk PKS sebagai partai yang kadernya lebih “alim”.

Jika mencari pasangan, kriteria agama menjadi kunci keberhasilan. Maka tidak lah salah bila memilih partai dan calon anggota dewannya dari partai yang memang terbukti religius bukan? Lebih tenang kata orang-orang. Selamat memilih PKS.

Jumat Barakah, 28 Maret 2014

(kompasiana)

Kebenaran Mulai Terkuak

Jumat, 28 Maret 2014










Moh Rozaq Asyhari
S3 Fakultas Hukum UI

Beberapa waktu yang lalu, setelah vonis Dedy Kusdinar (kasus Hambalang -red) saya memposting sebuah grafis yang saya buat untuk menyandingkan dua perkara, yaitu kasus LHI dan DK, seperti ini :


Berbagai tanggapan muncul, diantaranya menyatakan bahwa “sudahlah LHI sudah divonis janganlah dibela membabi buta”. Sebenarnya yang ingin saya sampaikan dalam grafis tersebut adalah konsistensi penerapan hukum, baik pada proses penyidikan, penuntutan maupun peradilan. Dalam logika saya, jenis dan berat pidana yang dilakukan seharusnya linier dengan tuntutan yang dibuat serta vonis yang dijatuhkan. Soal putusan hakim “it’s fine” kita hormati proses hukumnya sebagai suatu bentuk kepastian hukum, namun isi tuntutan dan putusan merupakan manifestasi dari keadilan hukum.

Terlepas dari persoalan tersebut, beberapa fakta persidangan semakin meneguhkan adanya kebenaran yang mulai terkuak. Berikut adalah fakta persidangan yang saya dapati, silahkan dicermati :

1. Fathanah menjual nama Mentan dan LHI

Hal ini terungkap saat persidangan Elizabet Liman, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta Selatan, Selasa (25/3/2014). Fathanah yang memberikan keterangan dibawah sumpah menyampaikan :

“Saya minta duit saya Ibu Elda itu. Saya menjual nama ustatd Luthfi. Akhirnya dikasih Rp1 miliar. Saya terus datang ke Indoguna ambil duit. Tapi bukan sama Ibu Elda (ambilnya), sama Pak Juard dan Arya dan satu lagi saya enggak tahu,“

Menurut Fathanah, uang Rp1,3 miliar itu digunakan untuk membayar biaya interior rumah sebesar Rp550 juta dan cicilan mobil sebesar Rp250 juta :

“Jadi uang itu untuk saya. Untuk saya pribadi. Ibu (Maria) kan banyak duitnya mungkin pak. Jadi saya meminta uang itu menjual nama ustad Luthfi. Itu tidak pernah ada perintah ustad. Berarti itu kan untuk saya pribadi,”

Silahkan dinilai sendiri, saya kira semua sudah dengan lugas bisa memahami arti kalimat tersebut.

Silahkan baca beritanya di sini.

2. Perkara Penipuan

Dengan pengakuan tersebut, sebenarnya perkara ini hanyalah satu sisi, yaitu hubungan antara AF dengan Maria Elizabet Liman. Dimana Fathanah sebenarnya menipu Maria Elizabet dengan mencatut nama LHI dan Mentan. Dengan kata lain, LHI dan Mentan adalah juga korban, dimana namanya dicatut oleh AF.

Mendengar pernyataan itu, Maria menuding Fathanah sebagai penipu. Lantaran telah meminta uang dengan menjual nama Luthfi. “Berarti anda penipu dong?” kata Maria sambil menunjuk Fathanah. “Ya minta maaf saja, ya bu ya,” kata Fathanah sambil mengangkat tangannya.

Oleh karenanya, delik sempurnanya perkara ini adalah 378 KUHP yaitu perkara penipuan. Silahkan dicermati, bila ada yang punya analisa berbeda, sumonggo :)

3. Fatanah Terbukti Memiliki Hutang Ke LHI

Menurut keterangan LHI dalam persidangan serupa yang diberikan dibawah sumpah Fathanah berhutang kepadanya sebesar Rp 2,9 miliar. Dari jumlah tersebut, Fathanah baru bisa membayar Rp 1 miliar. masih menyimpan surat perjanjian pembayaran hutang Fathanah. Menurut Lutfhi uang Rp 1 miliar itu dibayar Fathanah dengan mencicil.

Mendengar pernyataan Lutfhi, Fathanah yang saat itu duduk di sampingnya tampak menahan tawanya. Dia mengakui berhutang dengan Luthfi. Namun, sisa hutang tersebut baru akan dilunasi setelah masa tahanannya dipenjara selama 14 tahun berakhir. “Iya saya masih ada hutang. Nanti 14 tahun lagi saya bayar,” ucap Fathanah.

Dengan demikian terbukti secara meyakinkan bahwa bila ada aliran dana dari AF ke LHI adalah bagian dari pembayaran hutang tersebut. Bahkan tagihan LHI di AF masih ada 2,9 Milyar yang belum terbayarkan.

Silahkan simak beritanya

(sumber: kompasiana)