Jumat, 21 September 2012

Semilir Angin Senja

Januari 18, 2011

KETIKA PAPA BERCERITA 4

Diarsipkan di bawah: Kenangan Papa — ritrin @ 10:26 am and
Saya kutipkan tanggapan Buya Masoed Abidin tentang tulisan saya untuk menyegarkan kembali ke tulisan yang sebelumnya :
“Ananda Rina, yang ditulis Rang Gaek atau Pak Natsir itu adalah saran kepada Pemerintah RI pimpinan Soekarno melalui Jendral Abdul Harris Nasution tentang bagaimana menyelesaikan bekas anggota PRRI secara nasional, agar tidak menjadi beban sosial masyarakat Indonesia. Hebatnya beliau (Rang Gaek, panggilan kami terhadap Pak Natsir, sebab ada beberapa panggilan terhadap beliau itu, ada dengan panggilan ‘Pak Imam’ (bagi pencinta Masyumi), Abah (bagi anak anak beliau di Jabar), ‘Pak Natsir’ (umum panggilan kekerabatan), ada ‘Abu Fauzie’ ini panggilan khusus yang hanya diketahui beberapa anak anak beliau tertentu saja, sekali lagi hebatnya beliau tidak menulis bagaimana semestinya pemerintah memperlakukan beliau agar bebas, tetapi beliau menyarankan bagaima seharusnya pemerintah menyelesaikan kemelut PRRI agar tidak menjadi beban sosial masyarakat Indonesia. Yang ditulis Pak Natsir itu banyaknya 42 halaman diketik oleh Pak Buchari Tamam, Mazni Salam dan juga Buya sekali sekali, diketik, dikoreksi, diketik lagi, dikoreksi lagi, berkali-kali sampai pas untuk konsumsi penguasa, tanpa harus mengemis merendah diri, inilah khasnya konsepsi Pak Imam itu. Judulnya adalah “Mengumpulkan Kerikil Kerikil Terpelanting”, yang kelak dimasukkan kedalam Capita Selecta 3 sampai hari ini … Buya juga mengutip kembali tulisan itu di dalam Buku yang sedang Buya ulangi mengeditnya dengan judul “Hidpkan Da’wah Bangun Negeri (HDBN), Taushiyah Da’wah Mohamad natsir”, buku ini sudah diberi pengantar oleh Prof. Madya Siddiq Fadzil dari UKM Malaysia sejak Ramadhan 1330 H yang lalu, sayang masih belum dapat Buya terbitkan sampai hari ini …

Pak Natisr selama di Padang Sidempuan Sept 1961 itu ditempatkan di sebelah rumah Kolonel Bahari Effendi Siregar (Komandan Koren 22 Kawal Samudera), tersimpal maksud tersembunyi dengan halus mengawasi sekaligus membatasi gerak beliau, karena beliau tinggal dalam kompleks Korem itu, walau bebas didatangi siapapun. Disinilah beliau ditemui oleh Mas Hardi dan utusan Jenderah Abdul harris Nasution, dan juga oleh teman teman dari Masyumi dari seluruh tanah air. Begitu bbanyaknya tamu beliau setiap harinya, akhirnya beliau selesai merampungkan pesan untiuk pemerintah RI itu, maka beliau dipindahkan ke Batu Malang dan berakhir di Wisma Keagungan di Jakarta sebelum semua tahanan politik ini dibebaskan 1967, yang beliau mulai dengan mendirikan Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia pada Pebruari 1967 di Masjid Al Munawwarah, Kampung Bali II, Tanah Abang Bukit, Jakarta Pusat itu.
Pelajaran berharga, bagi pejuang tidak ada masa yang disebut berhenti.
Termakasih ananda Rina
Wassalam Buya HMA”
Saya coba bertanya kembali bertanya ke Papa tentang keterangan Buya ini dan diterang beliau sebagai berikut :
Waktu di Gang Kenanga di dalam Rimba Sumatera itu, Papa sering menyaksikan Pak Imam (Buya Moh. Natsir) mendiktekan isi buku Capita Selekta 3 ini ke seorang anak muda yang berkulit putih bersih berasal dari Sunda, tapi Papa lupa nama anak muda tersebut. Naskah yang telah diselesaikan di Rimba itulah yang kemudian kembali di edit oleh Pak Bukhari Tamam, Pak Mazni Salam dan juga oleh BUya sendiri. Kebetulan Papa kenal dengan ketiga editor ini yang semuanya Urang Awak. Papa ketemu Buya ketika Buya ke Rumah Sakit Achmad Muchtar Bukittinggi.
Sebelum ke Padang Sidempuan itu, ketika Pak Imam turun, Beliau ditempatkan di rumah Inyiak Datuak Palimo Kayo di daerah Jambu Aia yang mana rumah itu terbuat dari kayu dan berkandang di bawahnya juga terdapat kolam ikan (tabek).
Saya kutipkan kembali tanggapan dai Buya HMA :
Betul ananda Rina,
Waktu turun dari Lembah Masang (Kab Agam) tu, Pak Natsir ditempatkan di Jambu Aie (rumah Buya Datuak Palimo Kayo), tapi kutiko alah dapek kaba Pak Dahlan Djambek ditembak OPR di Palupuah, mako Pak Natsir dipindahkan ka Padang Sidempuan oleh kawalan Kodam II Bukit Barisan (atas Perintah Pangdam) dengan pengawalan sebagian adalah bekas pasukan PRRI yang dipakaikan kepada mereka pakaian Kodam II Bukit Barisan tu ..
Jadi Pak Natsir bisa diselamatkan keluar dari daerah Sumatera Barat (Kodam III 17 Agustus) itu, kemudian ditempatkan di Padang Sidempuan diterima oleh masyarakat awak nan terkoordinir oleh SKM (Serikat Keluarga Minang).
Sekretaris Pak Natsir adolah pak Buchari Tamam, nan manjadi Sekretaris baliau juo sampai ka Dewan Da’wah didirikan Pebruari 1967.
Baliau nan mairiengkan Pak Natsir sampai ka Padangsidempuan tu.
Sekedar panambah catatan ananda.
Teruslah gali kenangan dari Papa.
Terima kasih kembali untuk Buya HMA yang mau ikut memberi keterangan dalam tulisan saya yang saya yakin penuh dengan kekurangan sebab saya lahir 1977, jauh setelah peristiwa Masa Pergolakan itu telah berakhir. Saya baru mulai banyak bertanya ketika sewaktu SD saya bercerita tentang kepahlawanan President Soekarno yang dibeberkan di Buku pelajaran sebagai tokoh hebat. Namun Papa memberi sedikit keterangan yang membuat saya banyak bertanya dan terungkaplah kalo Papa adalah seorang yang ikut memberontak ketika Pak Soekarno telah condong ke komunis di masa itu. Sehingga menimbulkan beberapa pergolakan di daerah di luar Jakarta.
Kembali ke cerita Papa dimana dia telah ikut menyerah dimana September 1961 adalah masa-masa akhir dari PRRI (Pemerintahanan Revolusioner Republik Indonesia). Waktu itu Pak Imam (panggilan untuk Buya Moh. Natsir pimpinan partai Masyumi) telah bergerak ke arah Bukittinggi melewati Kampung Tantaman Palembayan, dimana disana telah dinanti oleh Tentara Soekarno (sebutan kepada Tentara Pemerintah RI yang sah yang hampir semuanya adalah suku Jawa di bawah pimpinan Letkol. AH Nasution). Sedangkan Papa bersama seorang kawan beliau keluar hutan mengarah ke Lubuk Sikaping melewati Kumpulan. Beliau menyerah kearah yang berbeda dengan rombongan keluarga Pak Imam supaya lebih mempermudah untuk kembali ke kampung halaman.
Sewaktu menyerah di daerah Kumpulan, diharuskan untuk melapor langsung ke Komandan Tentara yang bertugas disana. Waktu itu sang Komandan sedang dicukur rambutnya oleh seorang tukang pangkas. Sayangnya Papa lupa nama Komandan tersebut.
Mau apa kalian? Tanya si komandan.
Kami mau menyerah Pak, jawab Papa.
Tunggu dulu ya, saya mau cukuran dulu, jawab si komandan.
Setelah selesai si komandan menyuruh anak buahnya membuatkan Surat sebagai bukti bila Papa dan kawannya itu telah menyerah.
Pak, kami gak punya ongkos, kampung kami di Bukittinggi, kata Papa minta pengertian si komandan.
Ya sudah, kalian nanti saya tumpangkan ke mobil tentara yang akan ke Bukittinggi, kalian tunggu saja disini, kata si komandan.
Rupanya kembali ke pangkuan ibu pertiwi itu betul-betul dijalankan oleh si komandan sehingga Papa diperlakukan dengan sewajarnya dan tidak disiksa atau dianiaya seperti banyak cerita tentang kekejaman tentara Soekarno ini. Atau barangkali ini hasil dari taktik Papa untuk tidak bergabung dengan rombongan pak Imam ketika menyerah. WallahuAlam.
Setibanya Papa di kampuangnya yaitu desa Kaluang Kenagarian Tilatang Kamang, Papa membuat KTP (Kartu Tanda Penduduk). Karena ketiadaan yang disebabkan oleh perang pemberontakan yang telah berlangung lebih dari 3 tahun itu, maka memutuskan untuk pergi merantau ke Pekanbaru. Kebetulan di Pekanbaru telah duluan merantau adik bungsunya yang biasa saya panggil dengan sebutan Pak Etek (sebutan untuk saudara Ayah yang paling kecil di Minang). Menurut cerita Nenek dahulu, Pak Etek adalah saudara Papa yang paliang marasai sebab dia tidak ada mengecap pendidikan seperti saudara-saudaranya. Dia sudah terbiasa ikut Nenek untuk mencari ikan di sawah-sawah dan menjualnya. Menjual es berkeliling-keliling juga pernah dilakoninya. Sehingga di umurnya masih sangat muda dia telah merantau ke Pekanbaru dan memiliki kehidupan yang lebih layak dibandingkan Papa di masa itu yang benar-benar habis setelah masa perang. Walaupun begitu, pengalaman yang Papa dapatkan selama perang itu, tidak bakalan mau dia tukarkan dengan apapun saking berharganya menurut beliau.
Di Pekanbaru Papa mulai menata hidup barunya di negeri yang telah aman. Dia melamar kerja di Dinas Kesehatan berbekal ijazah yang dia punyai. Syukur Alhamdulillah Papa diterima bekerja di Dinas Kesehatan Propinsi Riau di akhir tahun 1961.
Suatu hari Papa melihat sebuah sepeda usang di dalam gudang Kantor Dinkes Riau itu. Beliau lalu meminta sepeda itu ke atasannya untuk dipakai pergi ke tempat kerja. Ketika diperbolehkan untuk membawa sepeda usang itu, Papa lalu membawanya ke bengkel dekat seberang jalan disana. Papa menyerahkan sepeda usang tersebut untuk dipreteli supaya layak dipakainya ke tukang sepeda di bengkel itu. Ternyata setelah melihat raut muka si tukang sepeda, Papa teringat dengan seseorang yang dulunya adalah Ajudan Kolonel Dahlan Djambek. Nama orang itu adalah Bpk. Adnan Djamaan. Hati Papa luruh melihat kehidupan Bapak itu yang dulunya penuh wibawa sebab dia adalah tangan kanan dari seorang Kolonel yang disegani. Tapi kehidupannya setelah atasannya itu ditembak mati oleh tentara bentukan tentara pusat yang disebut OPR itu sungguh memiriskan hati.
OPR adalah singkatan dari Organisasi Pertahanan Rakyat yang dibentuk oleh Tentara Soekarno (Tantara Pusek) yang direkrut dari rakyat untuk menghadapi PRRI. Tentara mempergunakan OPR ini untuk mengamankan dan mempertahankan kota dan kabupaten yang mereka bebaskan dari PRRI, memungkinkan tentara maju untuk memerdekakan daerah baru. Lebih kurang enam ribu pemuda dalam OPR dibagi jadi dua kelompok yang ditugaskan memelihara keamanan dan fungsi pembangunan serta mengamati dan menahan orang yang dicurigai sebagai pengikut PRRI.
Dari sinilah bermulainya orang-orang yang di kampung dijuluki si Tukang Tunjuk. Mereka seperti hantu pengacau yang sangat arogan. Main tunjuk sesukanya dan berkuasa membuat orang-orang dipenjara bahkan dibunuh atau dihilangkan. Salah satu yang membikin muak orang kampung, mereka selalu bicara dengan Bahasa Indonesia layaknya para tentara yang kebanyakan orang Jawa di masa itu. Hanya saja logat mereka yang membikin orang muntah mendengarkannya. Tambahan lagi mereka bila kurang senang atau ingin memfitnah seseorang tinggal kasi silang rumahnya atau ngarang cerita ke tentara, sehingga orang itu atau keluarga itu akan terseret masuk penjara atau dihilangkan.
Salah seorang keluarga kami yang hilang dimasa ini adalah istri pertama dari kakak Mama yang bergelar Datuak Junjuangan. Istri beliau yang bernama Mariana hilang ketika melapor bersama ayahnya dan anaknya yang masih kecil. Waktu itu Mak Datuak yang ikut menjadi tentara PRRI bertugas di daerah Rimba Palupuh. Sewaktu dia bersama istri dan anaknya yang masih kecil di pinggir hutan itu. Entah hantu pengacau mana yang melaporkan, tiba-tiba mereka disergap tentara. Mak Datuak berhasil kabur ke dalam hutan sedang Etek Mariana dan Abang sepupu yang biasa saya panggil Bang Pen ketika itu masih umur 2 tahun ditangkap oleh mereka. Etek dibawa ke Markas Intelijen Tentara yang terkenal sangat kejam masa itu. Namanya Sesi 1 yang bila sekarang berada di dekat bangunan bioskop Gloria Bukittinggi.
Etek Mariana yang konon kabarnya adalah seorang perempuan tercantik di kampung kami saat itu, diharuskan melapor ke Markas Inteligen Sesi 1 di kantor mereka. Hari yang naas bagi Etek waktu itu ketika melapor sekitar siang. Biasanya setelah sekitar satu jam, Etek telah selesai dan kembali pulang ke kampung. Tapi waktu itu sudah lebih satu jam di dalam kantor itu, beliau yang ditemani ayah kandung beliau yang membawa bang Pen yang masih kecil, tidak juga muncul-muncul. Bapak beliau yang cemas dan takut bertanya ke tentara yang bertugas di PIket Kantor disana. Di jawab mereka Etek sudah sedari tadi keluar dari pintu itu. Padahal Bapak menungguinya di depan pintu itu semenjak Etek masuk kesana. Menurut cerita Papa, Tentara yang bermarkas di kantor itu sangatlah kejam dan tidak perberikemanusiaan. Boleh dibilang bila dicaripun Etek susah untuk menemukannya. Mereka akan bersepakat untuk menutupi akan hal apa yang terjadi dengan diri Etek.
Sampai detik ini keberadaan Etek Mariana tidak pernah diketahui lagi. Beliau hilang di tahun 1960. Tepatnya kapan, Papa kurang begitu ingat.
To be Continued
Batam, 18 January 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar