Sabtu, 22 September 2012

Semilir Angin Senja

Januari 28, 2011

KETIKA PAPA BERCERITA 6

Diarsipkan di bawah: Kenangan Papa — ritrin @ 2:37 pm and

Sekitar Juli 1961 pasukan preman Ancok Gandi yang menelusuri hutan belantara di aliran sungai Batang Masang itu sepertinya sangat berambisi untuk menghilangkan sisa-sisa pejuang dan tokoh pimpinan PRRI saat itu. Sebegitu kuatnya keinginan mereka itu, berbanding lurus juga dengan usaha penduduk tempatan untuk menyembunyikan jejak orang-orang yang mereka cari itu. Di kedalaman hutan itu mereka tidak lagi mengkhawatirkan adanya binatang buas dan berbisa yang mungkin saja mencelakai mereka. Orang-orang seperti Ancok Gandi dan rombongannya lebih dikhawatirkan dari semua itu karena kebiadabannya.




Terbayang olehku ketika Papa menceritakan hal ini via telpon menggertakkan giginya saking geram yang lama dia pendam. Sebab Ancok Gandi dan pasukannya itu sudah mereka kunci posisinya dan tinggal dihabiskan saja di kerimbunan hutan di aliran Batang Masang itu. Tapi karenadatang perintah dari Pak Dahlan untuk membiarkan saja mereka melewati aliran Batang Masang disana itu, jadinya pasukan tidak jadi menghabisi mereka yang hanya berjumlah 30 orang dengan posisi sangat terbuka untuk ditembaki. Tapi kemudian di tanggal 25 September 1961 pasukan preman Ancok Gandi inilah yang menemukan dan menghabisi Pak Kolonel Ahmad Dahlan secara membabi buta beserta seorang ajudannya yang masih bersama beliau. Nama ajudannya itu Yus. Di subuh yang naas di kampung Lariang Kenagarian Kumpulan itu. Mereka ditembaki secara membabi buta ketia beristirahat di sebuah rumah di pinggir hutan disana.

Malam ketika hari terakhir dari kehidupan Pak Dahlan itu, orang kampung datang membawakan pisang ke beliau di rumah itu. Beliau sempat bercerita ke mereka, bila besok hari Pak Dahlan ingin pergi ke suatu tempat yang mana tempat itu beliau rahasiakan. Bagaimanapun beliau tidak akan mau menyerah ke pemerintahan Soekarno yang beliau anggap telah menjadi seorang Komunis. Nah saat itulah barangkali menurut Papa peran si Tukang Tunjuak (mata-mata) beraksi. Masa itu tidak akan bisa kita mempercayai orang-orang kampung yang rata-rata mendukung perjuangan mereka. Jika satu saja diantara mereka adalah seorang informan atau Tukang Tunjuk atau sang pengibus, maka habislah rombongan itu bila tidak berinisiatif untuk bergerak ke tempat lain yang belum diketahui orang. Menurut Papa, Pak Dahlan agak meremehkan situasi di saat itu, entah siapalah orangnya itu tapi dialah yang bertanggung jawab atas kematian Pak Dahlan waktu itu atas informasinya. Padahal pimpinan yang lain telah banyak yang menyerah dan diberi amnesty oleh pemerintah.

Subuh itu sebagaimana kesaksian beberapa orang di lokasi kejadian waktu itu, rumah tempat Pak Dahlan menginap itu langsung ditembaki dari luar. Saking membabi butanya tembakan dari luar, Yus sang Ajudan kepingan kepalanya sampai terpelanting ke pohon kelapa yang berada di belakang rumah. Pak Dahlan yang belum mau menyerah itu, mereka tembaki terus sampai-sampai sarung yang sedang dipakai Pak Dahlan penuh lubang tembakan. Namun bekas luka tembakan yang ditemui di tubuh Sang Kolonel hanya satu lubang saja di daerah dadanya. Saat itu Sang Kolonel berpulang memenuhi janjiNya. Innalillah Wainnalillahi Raajiuun

Beberapa hari kemudian setelah Papa selesai proses menyerahnya tanpa harus bersumpah sebab di Lubuk Sikaping tidak terlalu ketat proses menyerah. Hanya bikin surat pernyataan saja dan itu bisa langsung diproses untuk pembuatan KTP (Kartu Tanda Penduduk). Papa pergi jalan ke pasar pagi Simpang Tembok yang berjarak sekitar 8 km dari rumah di Tilatang Kamang. Setiba disana Papa duduk di sebuah kedai kopi. Sebenarnya Papa ingin tau tentang siapa yang membunuh secara sadis Pak Dahlan ketika menginap di Lariang itu. Kebetulan saat itu ada kemenakan beliau yang juga jadi preman di simpang Tembok itu. Kita sebut saja namanya Capuak. Saat itu di kedai itu ada Ancok Gandi ini juga sedang minum kopi. Rumor tentang keberhasilan preman Ancok Gandi ini beredar melesat dari mulut ke mulut pada masa itu.

Terjadi persitegangan antara mereka bertiga saat itu. Si Capuak bilang ke Ancok Gandi kalo Papa adalah orang dalam dari PRRI. Si Ancok Gandi langsung cabut pistolnya yang tersembunyi di balik bajunya langsung diarahkannya ke kepala Papa.

Ang macam-macam Ang den tembak, katanya beringas dan sombong.

Untung saja si Ancok Gandinya masih agak sedikit waras untuk tidak bikin sensasi di tengah pasar pagi Simpang Tembok Bukittinggi saat itu. Dia hanya ingin menunjukkan ke orang-orang yang berada di sekitar sana kalo dia itu Orang Bagak berkuasa karena dapat dukungan Tentara Pusat. Hal itu terbayar penuh setelah tahun bejalan dan Ancok Gandipun sakit-sakitan dan akhirnya meninggal. Selama dia sakit tidak seorangpun yang peduli dengannya dan bahkan sampai akhirnya dia meninggal di Simpang Tembok itu, tidak ada warga yang mau menyelenggarakan jenazahnya sebab dia sudah berkoar kalo dia itu Komunis, hanya ada seorang kemenakannya yang akhirnya menyelenggarakan jenazah Ancok Gandi. Ancok Gandipun lunas di dunia.

Batam, January 28, 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar