Minggu, 07 Agustus 2016

H. KOERATOEL‘AIN SUTAN ASALI, BERJUANG, BERDAGANG DAN BERPOLITIK



Oleh: Zulfadli Aminuddin
Haji Koeratoel’ain gelar Sutan Asali adalah salah satu Anak Nagari Kapau, putra asli Kapau yang lahir sekitar tahun 1924 di Kampung Parak Maru Kenagarian Kapau. Beliau satu diantara beberapa putra Kapau yang mempunyai peranan penting pada masa perjuangan dan pembangunan.
Penulis berusaha menampilkan sekilas perjuangan beliau yang dapat menginspirasi generasi muda Kapau pada saat ini. Berikut adalah hasil dari wawancara penulis dengan Bapak H. Koeratoel’ain St Asali yang ditulis kembali pada bulan Mei tahun 2012. Dimana saat itu beliau sangat antusias menceritakan sejarah perjuangannya di masa muda, selamat membaca:
Setelah kemerdekaan Koeratoel’ain waktu itu memutuskan tidak bekerja untuk negara artinya tidak menjadi pegawai. Sebab Negara ini menurutnya dibuat bukan untuk dibebani tapi untuk dimakmurkan. Kemudian dia pergi ke Jakarta dan disanalah dia menamatkan bon A dan bon B, dan kebetulan disana dia juga bertemu dengan bapak Sulaiman, beliau itu orang Koto Panalok yang waktu itu menjadi pegawai tinggi di PDK atau Departemen Pendidikan. Maka Koeratoel’ain masuk di PDK, disamping itu dia juga tetap kuliah disana.
Jadi begitulah bapak Sulaiman tersebut yang memasukkan Koeratoel’ain kerja di PDK, sehingga bapak Sulaiman pula lah yang membiayai kuliahnya. Disana ketika kuliah tersebut waktu sore dia juga banyak berdagang dengan Belanda, karena dia juga pandai bahasa Belanda. Jadi waktu itu orang-orang Belanda setiap hari sabtu sore mereka berjualan perlengkapan-perlengkapan tentara. Seperti misalnya sapu tangan, sepatu, rokok, maka dibelilah itu oleh Koeratoel’ain kemudian dijual kembali ke toko-toko.
Jadi disana boleh dikatakan Koeratoel’ain lebih tentram karena ada penghasilan yang didapat dari PDK tersebut. Dan di PDK itu juga dia bekerja di bagian kesejahteraan membagi barang untuk karyawan. Akhirnya setelah dihitung-hitungnya penghasilan sebagai pegawai menengah di PDK dibandingkan ketika berjualan sore itu ternyata lebih bagus dia berjualan tersebut. Sehingga menambah kuat fikirannya untuk tidak jadi pegawai. Jadi ketika dia pulang kampung langsung membuka toko buku.
Padahal sewaktu akan pergi dulu Said Rasjad sebagai bupati waktu itu sudah menawarkan kepadanya, katanya, “Asali, apa pangkat yang anda suka”, “kenapa begitu”, kata Koeratoel’ain. “Saya kan jadi bupati sekarang jadi apa pangkat yang anda suka”, kata Said Rasjad.
Koeratoel’ain mengatakan kepada Said Rasjad bahwa dia tidak mau jadi pegawai, “saya akan mencari sendiri”, katanya. “Kenapa begitu”, timpal Said Rasjad, “ya kan negara ini kita bangun untuk kesejahteraan dan kita kan tidak mesti bergantung kepada negara”, kata Koeratoel’ain. “O ya kalau begitu teruskanlah”, kata Said Rasjad. Jadi begitulah setelah pulang dari Jakarta dia langsung aktif di tengah masyarakat. Buka toko buku pada bulan November 1950 dan diberi nama Pustaka Pahlawan, persis ketika hari pahlawan tanggal 10 November. Dan modalnya bersama ada yang dari Bupati Said Rasjad bahkan dari aktivis PKI sekalipun yaitu Janizar seorang camat waktu itu.
Sewaktu membuka toko buku itu, karena Koeratoel’ain orang partai maka dia aktif juga di partai yaitu PSII. Di nagari dia juga aktif sebagai ketua DPR nagari Kapau, sewaktu Inyiak Adjo (Dewan Dt Marajo) jadi Wali Nagari. Kalau dalam pemerintahan sehari-hari dia jadi wakil Wali Nagari. Tapi meskipun demikian yang mengkoordinir segala urusan nagari dan urusan luar adalah Koeratoel’ain sebagai wakil wali nagari. Termasuk waktu itu di pemerintahan nagari Angku Kari Bagindo, Aminuddin sebagai ketua BPNK dan komandan PMT dan termasuk juga M Noer Amin yang waktu itu masih sekolah, jadi dia bisa masuk ke kota membawa barang-barang yang diperlukan. Karena seperti kertas waktu itu agak susah. Jadi kalau dia ke kota tidak dicurigai oleh Belanda. Yang lain ya sembunyi sembunyi sajalah.
Kantor Wali Nagari Kapau waktu itu di Pandam Bingkah dekat Surau Sirah (Koto Panjang Hilir), ada gudang kecil di tepi sawah. Pada suatu kali pernah Belanda masuk, pegawai kantor menyangka kedatangan pasukan Belanda itu datang dari Tanjung Alam, rupanya yang sekali ini dia masuk ke Pasar Kapau bukan dari sana. Karena Belanda sudah memperkirakan tempat berkumpul para pejuang. Jadi dia sergap. Yang menjaga pasar Kapau adalah seorang pemuda namanya Zainuddin dari Parak Maru. Ketika itu dia lari ke sawah. Maka dia ditembak oleh Belanda. Jadi rupanya kedatangan pasukan Belanda ini dari Padang Cantiang terus ke tanah Rang Kapau menuju ke pasar Kapau. Koeratoel’ain dan yang lainnya di kantor nagari hampir kepergok oleh Belanda, tapi ada yang lari ke sawah. Ada pula yang bersembunyi di lumbung padi dan sebagainya. Jadi ketika itulah Nampak olehnya Zainuddin ini lari kemudian ditembaknya sehingga tewas seketika. Koeratoel’ain sendiri sembunyi di dalam rumpun padi Alhamdulillah tidak tampak oleh Belanda padahal jaraknya hanya sepuluh meter.
Ketika itu banyak juga orang yang mengungsi dari Padang. Salah satu keluarga yaitu keluarga Azhar Muhammad (Sari Anggrek) dari Padang, tinggal di Pandam Basasak di rumah Dt Gadang Basa. Jadi waktu itulah dasar mulanya Koeratoel’ain, Azhar Muhammad dan Dt Gadang Basa membuka toko buku. Jadi peperangan di Kapau hanya pada agresi Belanda yang kedua. Kalau agresi pertama belum sampai ke Bukittinggi hanya sampai Tapakis yaitu di Lubuk Alung Padang. Karena pada waktu itu Belanda membonceng dengan sekutu yang dinamakan NICA. Pada waktu itu kota Padang diperintah oleh Bagindo Aziz Chan sebagai walikota. Bagindo Aziz Chan ini kader PSII, Koeratoel’ain dan kawan-kawan bertemu dengannya sekali sepekan di kantor PSII di dekat stasiun. Jadi Bagindo Aziz Chan ini sekali seminggu pulang ke Padang Panjang karena isterinya asal Jakarta dan tinggal di Padang Panjang. Ketika akan pulang ke Padang Panjang itu setiba di Alai, karena sebagai walikota waktu itu maka diajak oleh Tentara Belanda yang katanya mau melihat ekstrimis sebentar. Karena percaya saja maka ikutlah dia dengan Belanda, rupanya Belanda telah bersiap untuk membunuhnya, ketika sedang berjalan itu kepalanya dipukul oleh Belanda sehingga tewas ditempat, jadi dia tidak ditembak. Koeratoel’ain ikut memandikannya maka terlihat olehnya kepala Bagindo Aziz Chan sudah lunak bekas pukulan.
Bagindo Aziz Chan dan juga Said Rasjad, keduanya ini juga kader PSII. Said Rasjad ini juga kemudian dikenal sebagai dosen Bahasa Belanda, tapi yang menarik adalah pendidikannya dia sekolah di sekolah Katolik tapi meskipun demikian keyakinan agamanya sangat kuat dan keyakinan itu terimbas dari keyakinan yang digambarkan Bagindo Aziz Chan karena Bagindo Aziz Chan ini murid langsung dari Haji Agus Salim. Dia sekolah kedokteran di Surabaya dan bertemu dengan Haji Agus Salim, jadi karena tertarik dengan perjuangan Haji Agus Salim maka dia berhenti sekolah dan bergerak dalam politik di PSII.
Setelah perjuangan kemerdekaan  banyak orang menjadi veteran tapi Koeratoel’ain tidak mau jadi veteran, waktu itu Mr M Yamin pernah ditawari orang jadi veteran. Katanya saya tidak veteran karena veteran itu bekas, karena saya mau berjuang terus. Terinspirasi itulah dia tidak mau mendaftar jadi veteran. Baru mendaftar jadi veteran lama setelah itu. Disuruh oleh anak “mendaftar sajalah pak, kami kan perlu juga sejarah”, katanya. Jadi  waktu itu tahun 1986 Koeratoel’ain akhirnya mendaftar jadi veteran. Berapa jarak bedanya sejak tahun 1950.
Pada awal kemerdekaan di Kapau waktu itu pemuda-pemuda dilatih untuk berjuang menghadapi Belanda, pelatihnya yaitu Aminuddin (Angku Dotor) bekas Heiho, ketua BPNK dan komandan PMT dan Bermawi salah seorang tentara republik waktu itu. Senjata dibeli sendiri, Koeratoel’ain sendiri ada punya pistol yang diberikan pamannya Haji Nawi karena pamannya ini tidak perlu senjata. Ada juga senjata yang direbut dari Jepang yaitu ketika peristiwa di Durian yaitu di dekat Balingka. Karena disana ada pabrik kertas, maka disanalah Jepang bertahan. Jepang tidak mau menyerahkan senjata dan orang meminta senjata dengan menyerang tempat itu. Akhirnya dia serahkan juga senjata sebagian. Sebab bagi tentara Jepang yang kalah itu dia harus mempertahankan senjata untuk diserahkan ke tentara sekutu yang menang, itulah sebabnya dia takut menyerahkan ke orang Indonesia. Sedangkan banyak juga senjata yang dibeli ke Singapura.
Perang fisik dengan Belanda itu terjadinya sewaktu agresi Belanda yang kedua. Agresi pertama sejak awal kemerdekaan kita telah membentuk pemerintahan di Padang. Disana baru terjadi perang sampai tahun 1947. Kita mundur ke belakang, terjadi gencatan senjata yang batasnya di Tabing dimana disana batas perjanjian Linggarjati. Sesudah Bagindo Aziz Chan walikota Padang terbunuh, maka ketika itulah wilayah kekuasaan Belanda sampai ke Tapakis Lubuk Alung. Kalau di Kapau pada waktu itu sampai tahun 1947 baru terjadi penampungan pengungsi dari Padang. Karena memang pengungsi banyak dari Padang. Karena Padang Area tersebut sudah dikuasai Belanda sehingga semua orang Republik lari keluar dan sebagian sampai di Kapau.
Pada saat itu tahun 1947 Koeratoel’ain pernah mengantarkan perbekalan, dikumpulkan semua bahan-bahan makanan seperti beras, ubi kayu dan sebagainya dan diantarkan ke Padang melalui jalan Sitinjau Laut. Memang ketika itu harus berani dan Koeratoel’ain ikut mengiringi truk yang membawa barang sebab ketika itu Belanda bisa saja membom posisi pejuang yang tidak punya senjata untuk melawannya. Koeratoel’ain dan kawan-kawan bermalam ketika itu di Lubuk Paraku, dan mereka lah yang mengantar perbekalan pertama dari Kapau ketika itu.
Yang terjadi ketika Belanda menyerbu tahun 1948, mereka berusaha agar supaya Belanda tidak merebak ke daerah-daerah mengejar para pejuang. Yaitu dengan cara merusak atau sabotase, seperti misalnya jalan-jalan dipotong kemudian dialiri air sehingga Belanda tidak dapat melaluinya. Bila Belanda datang maka pejuang lari. Ketika Belanda menyerbu Cubadak, maka mereka lari ke Kamang. Dekat batas Kapau dengan Tilatang yaitu Kayu Gagak, disana ada kedai. Kedai itu dibakar oleh Belanda termasuk ada orang yang ikut terpanggang di dalamnya.
Itulah permulaan perang pada agresi kedua tersebut. Kegiatan Koeratoel’ain dan kawan-kawan terutama menyiapkan perbekalan, ketika nanti malam pejuang akan bergerilya misalnya. Maka diberitahulah oleh pemerintah nagari berapa keperluannya. Bergiliran menuju kampung-kampung. Itulah yang dikerjakan oleh PKK dengan menyiapkan nasi bungkus. Jadi setiap ada kegiatan perjuangan maka selalu ada tugas untuk menyiapkan perbekalan seperti nasi bungkus, bukan hanya Kapau tapi setiap daerah kebagian tugas seperti itu. Misalnya Gadut dan Tilatang, tapi orang lebih senang bila pasukan gerilya itu di Kapau. Karena orang Kapau terkenal pandai masak.
Kantor ketika itu di Padang Cantiang, dan di kantor itu banyak stafnya bahkan ada yang PKI, Lenggang Rasiak atau Lenggang Security namanya. Dialah yang mengumpulkan perbekalan. Tapi pada waktu itu batas-batas ideologi hilang karena kita menghadapi Belanda jadi kita bersatu menghadapi satu musuh bersama yaitu Belanda. Staf-staf nagari waktu itu banyak misalnya Guru Pak Gaya (Abdul Wahab Intan Batuah) padahal dia guru waktu itu. Saaduddin Efendi kakak dari Firdaus Efendi staf kantor Bupati, guru Syair, dan banyak lagi guru-guru lainnya jadi staf semuanya di kantor nagari, tapi tugas-tugasnya tidak ada karena suasana perang.
Sesudah perang sebagai rasa syukur, maka pergilah Koeratoel’ain dan kawan-kawan ke pasar Bukittinggi, kemudian berfoto bersama di studio foto. Membawa tustel atau kamera waktu itu tidak ada. Radio saja tidak ada waktu itu di Kapau. Ada satu radio Kapau pada masa awal kemerdekaan, radio itu dibawa dari Malaysia oleh Rasjidin Kari Bagindo. Karena sebagai Wali Nagari pertama setelah kemerdekaan dia berangkat ke Malaysia minta bantuan, maka terbawalah satu radio pulang yang dinamakan Radio Rimbo. Radio ini sangat berat, baterainya saja 40 buah. Itulah yang didengar sore dan malam hari.
Pada waktu agresi Belanda tahun 1948 maka Koeratoel’ain yang menyerahkan radio ini ke Kamang, dimana waktu itu disana tempatnya jawatan penerangan Kabupaten. Mereka sangat gembira karena yang akan dijadikan berita front tentu berita dari radio ini.
Ketika kali yang kedua Belanda masuk ke Kapau, Koeratoel’ain dan kawan-kawan berkantor di Parak Bingkah, dia masuk ke dalam sawah yang hanya berjarak 10 meter dari posisi tentara Belanda. Tapi untunglah Belanda tidak melihat. Kemudian kali ketiga dia mau ke Kamang hendak bertemu dengan kawan-kawan di sana, dalam perjalanan ke sana sampai di Magek kebetulan Belanda masuk ke pasar Magek. Tidak tahu kemana mau lari, akhirnya bersembunyi saja lagi di bawah kolong sebuah kedai yang kebetulan sedang tutup. Rupanya Belanda sampai ke kedai. Hanya jarak dua meter dari Koeratoel’ain dan kawan-kawan yang bersembunyi, nampak sepatu serdadu Belanda. Semua yang bersembunyi menahan nafas, ada yang batuk maka dibisikkan jangan batuk, tapi untunglah Belanda tidak tahu. Koeratoel’ain punya satu pistol dan sebuah granat. Jadi tahulah dia bahwa di sana harus menghadapi keberanian. Kemudian dia serahkan granat itu kepada pejuang di Kamang.
Kemudian Koeratoel’ain dengan Slamat yang sekretaris nagari pergi ke Kamang di Batu Baraguang namanya, tempat markas Letkol Dahlan Djambek. Di perjalanan ada bukit namanya Gunuang Aru, setiba di sana nampaklah pesawat capung terbang melayap. Capung itu memberi kode sebenarnya, dimana daerah yang akan ditembaki atau di bom. Ketika itu bersembunyilah mereka disana dekat tebing. Pesawat itu kemudian membom persis sekitar 50 meter dari markas Dahlan Djambek.
Pada zaman perjuangan tahun 1947 Koeratoel’ain dan kawan-kawan sempat membuat ampangan bandar/sungai atau bendungan dekat Induring tepatnya di banda bawah. Itu mereka buat karena ada semen peninggalan Jepang di pasar bawah. Jadi setelah Jepang kalah semen terbengkalai maka mereka ambil untuk membuat ampangan tadi. Waktu itu ketuanya Inyik Adjo dan Koeratoel’ain bendahara. Setelah selesai ampangan tadi mereka undanglah pak Hatta ketika beliau berada di Sumbar. Datanglah pak Hatta melihat ampangan di sana.
Wakil ketua BPNK waktu itu adalah Basir orang Induring, setelah perang kemerdekaan dia menetap di Pakanbaru. Anggota BPNK itu adalah seluruh pemuda yang ada di kapau. Tetapi yang aktif sekitar 70 orang, ada pula bagiannya yaitu yang dinamakan Pasukan Mobil Teras (PMT), inilah pasukan tempurnya. Pasukan ini mempunyai senjata seadanya. Hanya beberapa orang yang punya pistol misalnya Koeratoel’ain, Aminuddin komandan PMT dan Dewan St Basa. Dan senjata itu tidak boleh dinampakkan karena tentara sendiri bisa saja merampas senjata itu, karena tentara itu sebetulnya banyak yang tidak punya senjata. Umumnya tentara biasanya kebanyakan punya senjata bambu runcing.
Pasukan PMT adalah pemuda daerah setempat karena setiap nagari ada pasukan tersebut. Sebagian bekas tentara Jepang bergerak di kampungnya masing-masing.  Koeratoel’ain pada tahun 1947 sudah tentara juga tapi menjadi BP (Badan Penyelidik), pernah bertugas di Baso, di Koto Gadang dan Koto Tuo. Kemudian dia berhenti jadi tentara enam bulan menjelang agresi Belanda. Maka berhenti ada sejarahnya, dia ditugasi menjaga barang selundupan yang masuk dari Singapura di Baso. Umumnya adalah rokok, barang-barang ini ditangkap kemudian dijual untuk perjuangan. Koeratoel’ain tahu benar berapa barang yang diselundupkan tersebut di Baso. Dilaporkanlah kepada komandan, dimana waktu itu kantor mereka di benteng. Rupanya rokoknya komandan itu, ini korupsi rupanya pikir Koeratoel’ain, sehingga dia berhenti jadi tentara.
Yang memasukkan Koeratoel’ain jadi tentara adalah Nawawi St Pangeran dia orang Tilatang punya isteri di Luak Tunggang. Jadi, karena kemurnian perjuangan tersebut telah ternodai maka dia berhenti karena Koeratoel’ain merasa tidak ada lagi arti tugas baginya.
Koeratoel’ain mengaji atau belajar agama dengan mamak/paman nya yang bergelar Malin Sutan, bapak dari Dt Tanah Basa. Setelah itu karena kurang enak belajar dengan mamak sendiri dia kemudian belajar di Bukareh. Yang mengajar murid mamak dia juga Kari Arjani namanya, itu tahun 1947. Setelah itu dia pindah mengaji ke Sarojo Bukittinggi, yang mengajar disana adalah pak Labai Darwis, beliau juga mengajar di Sumatera Tawalib Parabek. Beliaulah yang menjadi otak pelaksana pendidikan di sana tahun 1942 sampai awal 1945. Yang pokok benar pelajaran waktu itu adalah nahu sharaf. Baginya belajar bahasa arab cukup mudah karena dia sudah mengalami belajar Bahasa Belanda. Dalam masa tiga tahun Koeratoel’ain sudah bisa  membaca huruf arab gundul atau kitab kuning. Tahun 45 itu dia sudah mulai belajar jadi khatib di Mandiangin sambil mengajar juga di Cingkaring.
Kemudian pelajaran agama ditambah setelah Koeratoel’ain bergabung di PSII, belajar diantaranya dengan Haji Agus Salim. Dan itu dia buktikan ketika mengikuti Konferensi Asia Afrika di Bandung, dia mewakili tokoh Islam dari Sumbar meninjau konferensi AA tersebut. Tambahan pelajaran kemudian  setelah kemerdekaan dia kuliah di Muallimin yang pindah dari Padang Panjang ke Bukittinggi. Gurunya orang Yugoslavia, namanya Mustafa Ramadhan, dia tidak bisa bahasa Indonesia. Jadi dia mengajar tafsir dengan bahasa arab. Koeratoel’ain bisa menangkap pelajaran setelah tiga bulan belajar dengannya.
Dan satu kesyukuran Koeratoel’ain adalah dia masuk suatu partai yang militan yaitu PSII yang merupakan induk dari partai-partai yang ada selama ini, karena telah berdiri sebelum adanya partai-partai lain. Disanalah dia banyak belajar dengan tokoh-tokoh yang berpengalaman di zaman Belanda seperti Arudji Kartawinata Ketua DPR, Anwar Tjokroaminoto staf Panglima Sudirman, Haji Agus Salim tokoh jenius Indonesia yang ahli menguasai  sembilan buah bahasa.
Koeratoel’ain pernah jadi anggota DPRD kabupaten Agam tahun 1964, kemudian anggota DPRD Tk I  tahun 1966 yang merangkap sebagai anggota MPRS yang mengangkat presiden tahun 1967. Dia disamping berdagang juga aktif di politik. Sejak kemerdekaan tahun 1945-1946 Koeratoel’ain mulai memimpin cabang PSII, kemudian menjadi Bendahara PSII Sumbar. Setelah PRRI  karena tokoh-tokoh PSII tidak boleh bergerak lagi, maka dia tampil memimpin partai dan menduduki level-level sampai tingkat nasional. Dan dalam memimpin itu dia bukan untuk menonjolkan diri karena tidak ada orang yang bisa tampil lagi. Dengan pimpinan pusat lainnya dia akrab seperti saudara. Sebutannya tetap saudara, saudara Tjokro, saudara Arudji dan lain-lain. Dan disanalah membuat Koeratoel’ain banyak belajar. Dan dengan banyak belajar itu akibatnya dalam kegiatan kemasyarakatan antara lain di Bank Nasional dia jadi komisaris selama lima tahun. Selama itu dia tetap belajar dan membaca. Sampai sekarang dia tetap membaca, pertama sekali pagi-pagi Quran dengan pemahamannya sekali, kemudian membaca majalah dan surat kabar dua sehari, daerah dan pusat. Dan buku-buku, sebagian sudah diberikannya ke perpustakaan.
Dengan membaca maka pergaulan dengan level-level yang tinggi jadi mudah sehingga misalnya dia juga jadi pendiri di Yarsi Sumbar, padahal banyak tokoh-tokoh waktu itu yang sarjana S2 dan S3. Dengan membaca itulah dan juga banyak bergaul dengan tokoh-tokoh nasional sehingga pemikiran jadi berkembang. Begitu juga dengan STIE Haji Agus Salim dan Koeratoel’ain jadi pengawas di sana.
Ketika masuk partai dan sudah mampu menjadi anggota maka disana diwajibkan bersumpah setia atau baiat. Kalau dipikirkan memang berat tapi setelah dijalani ternyata tidaklah berat. Itulah yang mendorongnya ketika berdagang buku, maka uangnya banyak yang habis untuk partai. Misalnya  acara-acara partai kongres dan sebagainya, pernah suatu kali diinapkan peserta di hotel Jogja kiranya tidak cukup biayanya maka dia yang membayar sehingga habis uangnya bahkan sampai berutang ke bank. Tapi ada saja jalan keluarnya setelah itu tersebab niat untuk kepentingan agama sehingga, jika kamu menolong agama Allah maka Allah pun akan menolongmu, kata Allah. Said Rasjad pernah datang ke kedai, “St Asali berdagang atau tidak”, katanya, “kenapa begitu”, “ya uang dihabiskan untuk partai bagaimana ceritanya itu”. “Tapi itu kan kewajiban”, kata saya.
Tentang berdirinya Yarsi dimana Koeratoel’ain juga salah seorang pendirinya, diawali dengan sejarah yang cukup panjang. Dimana setelah berakhirnya PRRI,  para tokohnya yang sebagian adalah dari PSSI mempunyai suatu gagasan pendirian rumah sakit Islam. Meskipun  pemerintah  menganggap pemberontak tapi ini harus dipisahkan, karena ini adalah niat baik dari M Natsir waktu itu. Karena ketika itu di Bukittinggi ada rumah sakit baptis yaitu Kristen, dimana Kristen itu akan dikembangkan di sini. Dia, Kristen ini mempunyai fikiran jika Sumatra Barat telah dimasuki itu berarti seluruh Indonesia bisa dimasuki, karena militansi Islam itu terletak di Sumatera Barat. Jadi begitulah, nawaitu yang ingin mengkristenkan ini harus dibendung dengan pendidikan pula.
Ketika itu banyak orang berceloteh, bercerita bahwa akan berdiri rumah sakit Kristen dan kita akan dikristenkan dan seterusnya dengan mengungkap kejengkelan yang diumbarkan. Pak Natsir datang, “tidak begitu”, katanya. “Kalau orang menghidupkan lampu maka terang lampunya, tidak dipadamkan lampunya orang itu tapi buat pula oleh kita”. Begitulah dilakukan cara dakwah dengan perbuatan. Karena itu niatnya, maka mereka partai-partai Islam yang ada di DPR mengusahakan berdirinya yayasan, yaitu Yayasan Rumah Sakit Islam atau Yarsi tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar