Selasa, 28 Mei 2013

PERGOLAKAN DITENGAH PERGOLAKAN




Oleh: Zulfadli Aminuddin



Sutan Basa menyeka keringat di dahinya seraya duduk dekat sahabatnya Pak Datuk. ”Bagaimana tawaran saya tempo hari, apa angku setuju?”. Pak Datuk membuka pembicaraan. Sutan Basa tidak segera menjawab, dia membakar ujung rokoknya kemudian menghirupnya dalam-dalam. ”Setuju...” jawab Sutan Basa sambil menoleh ke Pak Datuk dengan tatapan yang aneh. ”Tapi saya berjanji setelah menyabit padi di tangah rang kapau kira-kira tiga hari lagi”. kata Sutan Basa menambahkan. ”Jadilah kalau begitu, tapi ingat ! kamu tidak boleh main-main dengan janji mu, karena berkaitan dengan keselamatanmu sendiri” ujar Pak Datuk serius. ”Saya kasihan kepadamu, untuk itulah aku menemuimu disini”. Sutan Basa hanya tersenyum sambil menatap sahabatnya beranjak pergi.

Kedua sahabat itu akhirnya berpisah. Sutan Basa kembali melakukan pekerjaannya. Dalam hatinya sebenarnya enggan untuk mau begitu saja ”menyerah” kepada tentara Pusat. Tapi dia terpaksa setuju hanya sekedar menyenangi hati sahabatnya pak datuk. Sementara itu Pak  Datuk dalam perjalanan dari tempat Sutan Basa, ada sesuatu pergolakan dalam pikirannya, dia tahu benar siapa Sutan Basa, karena bukan Sutan Basa namanya kalau tidak sering ingkar janji. Pak Datuk khawatir karena keselamatan sahabatnya ini terancam bila dia kembali mengingkari janjinya. Karena Sutan Basa ini dianggap musuh yang paling dicari oleh tentara Pusat. Karena sifat setia kawan, untuk itulah pak Datuk berusaha keras agar Sutan Basa mau ”masuk ke dalam” artinya menyerah kepada tentara pusat, maka keselamatan jiwanya akan terjamin.

Pak Datuk sudah lama berhubungan dengan tentara pusat atau APRI, tapi bukan memihak dalam arti kata sebenarnya, karena dia sendiri tetap menjaga hubungan baik dengan tentara PRRI. Yang ada dalam pikirannya adalah keamanan dan ketenteraman warga, karena di awal meletusnya pemberontakan PRRI pak datuk sudah memprediksi bahwa PRRI tidak akan lama bertahan. Ternyata perkiraan pak datuk benar adanya dan tidak meleset karena terbukti PRRI hampir tidak mampu lagi bertahan dan sebagian besar tokoh dan para komandan tentara PRRI sudah menyerah.

Sebuah Jeep militer berhenti dekat pak Datuk ketika berpapasan di sebuah jalan yang sunyi. Pak datuk menoleh, ternyata yang berada di atas mobil adalah Camat, camat ini berada di pihak pusat yang langsung berhadapan dengan PRRI. Dia sudah tidak asing bagi pak datuk, mereka sudah sangat akrab, meskipun kadang berbeda pendirian. Camat ini  juga seorang datuk. ”Bagaimana Tuk, sudah disampaikan pesan saya sama si Basa?”
Pak Camat tiba-tiba langsung bertanya pada pak Datuk.

 ”Sudah pak Camat, tapi...”, ”Tapi apa...” pak Camat memotong pembicaraan. ”Begini..., kemaren saya sudah menemuinya dan dia berjanji tiga hari lagi”. Camat memandang ke arah lain sambil mengernyitkan dahinya.” Ah, sudahlah Tuk, anda kan tahu sendiri siapa dia, dia itu sangat berbahaya” matanya menatap pak datuk dengan tatapan ribuan makna. Pak Datuk hanya diam, cuma dia berpikir semoga Sutan Basa untuk kali ini mau mengambil sikap yang tegas demi keselamatannya sendiri. Sebab tindakan-tindakan Sutan Basa selama ini menurut anggapan pihak pusat telah meresahkan.

”Oh ya, Tuk, jangan lupa kita ketemu besok di kantor karena ada yang perlu dibicarakan” kata pak Camat. ”Ya, Insyaallah” sahut pak datuk. Kemudian dia menjalankan mobilnya dan berlalu dari pak datuk yang masih berdiri di pinggir jalan itu. Pikiran pak Datuk kembali mengalami pergolakan, ada suatu isyarat yang masuk ke dalam batinnya yang akan menimpa sahabatnya Sutan Basa meskipun sahabatnya ini sering menjengkelkannya.  Tapi batinnya tidak akan menyimpulkan terlalu jauh, lamunannya buyar karena ada seseorang yang menyapanya.

Malam itu mata pak datuk tidak mau dipejamkan, ia terus menerawang, pikirannya berkecamuk. Nun jauh di sana terdapat sebuah rumah, beberapa orang tentara pusat tampak membawa senjata laras panjang. Mereka berjalan kaki menuju sebuah rumah yang merupakan rumah Sutan Basa, barangkali mereka sudah tahu dari intel, bahwa malam itu Sutan Basa sedang berada di rumahnya, padahal biasanya dia sangat jarang berada di rumah meskipun malam hari.

Setiba di rumah yang dituju, salah seorang tentara mengetok pintu beberapa kali, namun tiada jawaban dari dalam rumah. Sutan Basa sudah meyakini dia akan didatangi tentara pusat, di balik pintu dengan tubuh kekar dia sudah siap sambil menghunus parang yang biasa untuk menyiangi pematang sawah. Yakin pintu tidak akan dibuka, salah seorang tentara akhirnya mendobrak pintu rumah namun dia tidak masuk. Seorang tentara meminta Sutan Basa untuk menyerah, kalau tidak maka senjata akan bicara.

Sutan Basa berfikir bahwa situasi sangat berbahaya dan tidak mungkin untuk melawan, lantas dia melemparkan parangnya dan keluar sambil mengangkat tangan. (Bersambung...)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar