Kamis, 13 Desember 2012

DATUK



Sudah tidak asing lagi bahwa di Minangkabau pemimpin adat di suatu kaum dan suku dikenal dengan nama Penghulu atau panghulu, dalam istilah adatnya Ninik Mamak, dengan gelar yang disebut juga dengan Datuk atau Datuak. Tidak sembarangan orang yang dapat menjadi datuk, karena datuk itu adalah gelar yang sakral, disebut dengan pusako yang diwariskan secara turun temurun sejak dahulu kala. Orang yang memikul gelar ini adalah orang pilihan, dia disegani sekaligus menjadi panutan, minimal di di lingkungan kaumnya sendiri atau persukuannya.

Di beberapa daerah gelar datuk ini sudah tinggal nama, karena terbenam atau terandam meskipun fungsinya masih ada. Tapi di beberapa daerah lain atau sebagian besar daerah, gelar ini masih ada dan bahkan dalam jangka waktu tertentu dilaksanakan helat / alek batagak panghulu.

Dahulu menurut cerita orang tua-tua, seorang datuk atau ninik mamak atau panghulu itu sangat dihormati, disegani dan sebagai tempat mengadu bila terjadi masalah, kata-katanya dipegang dan keputusannya diikuti dan dipatuhi, apabila kusut menyelesai dan apabila keruh memperjernih. Seorang datuk di Minangkabau mempunyai wibawa yang tinggi ditengah anak kemenakannya.

Tapi itu dahulu ketika zaman masih tradisional, ketika radio dan koran belum ada, televisi apalagi. Ketika diwaktu malam gelap gulita dan hanya diterangi lampu togok (lampu minyak tanah). Adat istiadat masih kuat terpelihara, pengaruh luar belum ada. Ketika di tanah Minangkabau pengaruh Mamak atas Kemenakan masih terasa. Ketika yang namanya HAM yang didengungkan sekarang ini belum dikenal. Begitu indah dan alangkah bahagianya masyarakat ketika itu.

Sekarang seorang datuk masih kelihatan gagah, memantulkan aura layaknya seorang pemimpin. Tapi itu sudah tidak berapa lagi, karena sebagian besar hanya kelihatan utuh dari segi penampilan tapi sudah mulai lapuk bila dilihat dari dalam. Seorang datuk di zaman sekarang, apabila kita perhatikan hanya berbuat sesuatu apabila dibutuhkan, dia diperlukan oleh sanak saudara dan kemenakan ketika seremonial adat.

Dibalik itu dia tidak dianggap lagi bila tidak dibutuhkan, bahkan ada yang sengaja tidak memerlukan dia karena kaumnya atau kemenakan menganggap bahwa acaranya akan tetap terlaksana tanpa adanya ninik mamak atau datuk dan ini sudah banyak terjadi. Kita tidak akan mencari siapa dan pihak mana yang salah, kita tidak perlu mencari kambing hitam. Karena keadaanlah yang menyebabkan seperti itu, karena zaman lah yang menjadikannya demikian.

Bahkan ada Ninik mamak atau datuk yang tidak tahu menahu dengan anak kemenakan, begitu pula sebaliknya ada kemenakan yang tidak tahu menahu dengan ninik mamak atau datuknya atau pemimpinnya sendiri. Semua itu disebabkan oleh problem yang kompleks, dikarenakan kusut yang tidak terselesaikan, keruh yang tidak terjernihi.

Adat yang berlaku di Minangkabau itu sangat kuat, dia tidak akan dapat dirubah oleh siapapun, dibubut tidak mati diasak tidak layu. Tapi meskipun begitu kita harus percaya dengan hukum alam yang dilukiskan oleh adat itu sendiri, Sekali ombak besar sekali tepian berubah. Yang namanya tepian meskipun terdiri dari batu betapapun kuat dan kerasnya suatu waktu pasti akan ditelan oleh ombak, pasti akan hancur diterjang ombak yang terus menerus.

Begitu juga dengan datuk, orang yang bergelar datuk itu sangat berpengaruh dan sangat didengar apa kata-katanya. Tapi apabila jalan alah diasak urang lalu, cupak alah dialiah urang manggaleh, artinya aturan tidak lagi dipatuhi, orang lebih suka melanggar aturan daripada mematuhi aturan yang ada, apa mau dikata. Tidak masanya lagi berpepatah petitih yang hanya tinggal di atas kertas atau hanya menjadi hafalan belaka, tidak zamannya lagi berpetuah dan bernostalgia apabila kering dengan makna.  Semua itu tidak ada artinya bila tidak dilaksanakan dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari hari. Itu hanya akan menjadi sia-sia bila tidak dijadikan watak dan karakter bagi kita dalam berinteraksi.

Sehingga jangan hendaknya adat yang tidak lekang karena panas dan tidak lapuk oleh hujan itu hanya menjadi slogan kosong belaka. Adat basandi syara’ dan syarak basandi kitabullah hanya menjadi angan-angan yang tidak berharga, jangan hendaknya seperti itu.

Kita tentu tidak mengharapkan aturan adat kita menjadi mandul atau hanya menjadi macan ompong, alih-alih dapat mengubah karakter dan jatidiri anak kemenakan akan disebut  beradat, justru semakin menjauh dari tuntunan adat yang bersendikan syara’. Sebagai contoh kita tidak perlu jauh-jauh melihat rusaknya moral dan etika pergaulan generasi muda, yang justru berada di lingkungan kita sendiri, begitulah seterusnya, karena rasanya kita sudah dapat menyimpulkan sejauh mana kerusakan itu terjadi, bagaimana memperbaikinya, itulah yang perlu ditangani segera secara serius, dengan apa, yaitu dengan kekuasaan.

Dan yang berkuasa itu adalah Ninik mamak atau datuk yang tentu meningkatkan kewibawaan dalam menjalankan kekuasaan / kepemimpinannya dan mesti didukung oleh anak kemenakan. Kalau tidak, maka dia akan mempertanggungjawabkan kepemimpinannya itu baik di dunia maupun di akhirat kelak, begitu pula dengan anak kemenakan bila terus merongrong kepemimpinan tersebut tanpa alasan yang benar maka dia pun akan mempertanggungjawabkan akibatnya. (14/12/2012)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar