Sabtu, 22 September 2012

Semilir Angin Senja


Februari 17, 2011

KETIKA PAPA BERCERITA (9)

Diarsipkan di bawah: Kenangan Papa — ritrin @ 9:54 pm and

Ketika RRI dibombardir oleh tentara pusat tahun 1958, Papa tengah belajar di SMA B Bukittinggi kelas tiga. Sekarang SMA itu bernama SMA 2 Bukittinggi. Sepupu dia yang bernama Nuraena tengah pula belajar di SMPI di Jirek Bukittinggi kelas 1 yang kelak menjadi pendamping hidup Papa. Papa langsung teringat akan sepupunya itu lalu menyinggahinya untuk dibawa serta pulang ke kampung di Desa Kalung Tilatang Kamang sekitar 8 km dari pusat kota Bukittinggi. Sekolah SMPI bersebelahan dengan Sekolah PGA yang terletak di Dokabu Jirek. Ketika saya tanya apakah saat itu mereka telah baintaian mereka sama-sama mengelak. Rasain no penasaran kan..???. Simpan dulu ya penasarannya..


Selama masa pergolakan itu Mama tidak diizinkan Inyiak (Paman) beliau untuk melanjutkan kembali sekolah di SMPI Jirek. Banyak kisah mengerikan yang sampai ke telinga para orangtua masa itu yang tidak berani melepaskan anak gadisnya pergi jauh dari pengawasan mereka. Inyiak menyekolahkan Mama ke Pekan Kamis, sekolah keterampilan putri yang mengajarkan segala macam tentang keterampilan untuk gadis remaja kala itu. Termasuk memasak dan menjahit pakaian. Mama berkawan dengan seorang istri Camat yang bergelar Datuak Rangkayo Basa. Irma nama istri beliau. Banyak kegiatan yang mereka lakukan. Mulai dari memasak bila ada kunjungan Orang pusat untuk Camat sampai menari pasambahan dan gelombang untuk acara penyambutan. Sehingga Mama lumayan aman di masa itu sebab kedekatannya dengan Camat Koto Malintang Pekan Kamis Tilatang Kamang itu.
Pak Camat waktu itu berpihak kepada Tentara Pusat dan dia jugalah yang membentuk sebuah pasukan khusus untuk penyergapan yang bernama Pasukan Combad (baca : kombed). Pasukan yang sangat dihindari oleh pasukan PRRI yang bergerilya sebab pasukan ini diambil dari orang kampung yang dilatih khusus dengan persenjataan lengkap. Bahkan menurut Papa, pasukan ini lebih ditakuti penduduk masa itu dari pada OPR.
Irma istri Pak Camat dulunya adalah orang biasa di kampung. Sewaktu masa perang dengan Belanda, Pak Camat ikut berperang. Waktu itu pertempuran pecah di dekat pasar Pekan Kamis. Pak Camat sewaktu menggerakkan pasukan untuk menyerang Pak Camat berdiri memberi komando, saat itulah dia kena tembakan di bagian pahanya. Irma waktu itu bertugas sebagai Anggota Palang Merah. Dia melihat Pak Camat tertembak langsung mendekati beliau dan menyeretnya ke tempat yang aman. Pak Camat berhasil sembuh berkat Allah SWT melalui pertolongan pertama dari Irma. Hubungan mereka kemudian berlanjut hingga Pak Camat akhirnya mempersunting Irma, si gadis penolongnya itu ketika telah sembuh.
Pamanku ada dua orang yang ikut keluar dari pihak Mama, sedangkan dari pihak Papa adiknya. Menurut Mama, Nenekku (Alm) adalah seorang yang pemberani. Dia selalu tegar dan menyemangati putra-putranya. Ikut keluar artinya memerangi kelaliman. Pimpinan di daerah kita sudah memutuskan untuk berjuang maka tetaplah berjuang. Nenek ikut membantu dengan dapur umum ketika tentara pusat belum masuk ke Kaluang.
Kampung-kampung penuh dengan lubang mortir yang ditembakkan dari arah Pasa (Bukittinggi kota). Lubang-lubang besar sebesar kubangan kerbau dengan kedalaman kira-kira tiga meter yang melubangi apapun di kapung itu dimana tetap ada hingga awal tahun 1980an. Selain mortir yang ditembakkan juga ada serangan udara dari pesawat-pesawat tempur. Di atas Bukit Kaluang sebuah bukit di desa itu selalu ada yang bersiaga, memberitahukan ke penduduk ataupun tentara PRRI yang berada di kampung bila terlihat iring-ringan tentara pusat berjalan menuju arah kampung itu. Bila tanda diberikan, biasanya Mama dan Nenek langsung bersembunyi di bawah kolong rumah yang sudah dibikin Inyiak (Kakek) lubang persembunyian. Di atasnya ditaruh kasur kapuk yang besar sampai dua lampis. Gunanya menghindari serpihan Mortir yang jatuh. Namun bila mortirnya tepat ke dalam lubang, alamat mereka tinggal nama.
Setelah kampung dikuasai Tentara Pusat, banyak orang laki-laki dewasa yang menyingkir ke dalam Rimbo (Rimba) di Bukit Barisan. Rimba itu bernama Rimbo Manduang. Di sana ada pesawangan yang diisi sawah penduduk dan beberapa pondok kecil. Salah satu pondok itu adalah posko darurat Tentara PRRI dimana ada sebuah Gong besar yang terbuat dari kayu yang ada lubangnya, mereka menyebutnya Tontong. Bila dipukul dengan pemukul kayu khusus disitu akan berbunyi gema pukulan yang terdengar sayup sampai ke kampung. Pukulan Tontong dibedakan jadi beberapa kode supaya penerima pesan di kampung paham maksud pemeberitahuan melewati bunyi Tontong yang sayup-sayup sampai itu ke kampung. Orang kampung akan mengirimkan pesan berantai dan beberapa saat kemudian sunyilah kampung. Ada yang bersembunyi di lubang ada yang bergegas masuk hutan. Dusun itu bernama Sonsang, tempat kelahiran Papa dan saudaranya yang mana hanya berjarak seratus meter saja dari terjalan perbukitan Bukit Barisan di tengah-tengah pulau Sumatera.
Sebuah peristiwa tragis yang saya telah dengar dari beberapa orang tua termasuk dari Papa dan Mama adalah terbunuhnya tiga orang laki-laki dewasa yang bendirikan Dangau (Gubuk) di Rimbo Manduang itu. Mereka mengungsi ke Rimba untuk keamanan diri daripada mati sia-sia di kampung, difitnah Tukang Tunjuk atau semacamnya. Laki-laki dewasa bila berada di kampung tanpa ada alasan misalnya sebagai Guru atau tenaga kesehatan akan langsung dicurigai sebagai pasukan PRRI. Salah satunya bernama Mak Siagiar, Mak Idi dan dua temannya. Di dangau tengah rimba itu hari itu mereka sedang memasak nasi di bagian belakang dangau yang berfungsi sebagai dapur darurat. Tungku api dengan kayu bakar yang tersedia melimpah disana. Ketenangan mereka bersembunyi tiba-tiba menjadi porak-poranda diterjang sebuah mortir yang meledak pas di tungku nasi mereka itu.
Empat orang itu semuanya terkena ledakan mortir. Tubuh mereka tercabik-cabik mengeluarkan darah yang menganak sungai. Periuk nasi pecah dan nasi berserakan di sekitar mereka. Ketika orang kampung mendekati dangau itu, terlihat ada satu orang yang masih bernyawa. Beliau adalah Mak Idi tetangga Nenek di kampung Kaluang. Mak Idi langsung dibawa pulang ke kampung ketika bunyi pesawat dan mortir telah berhenti senyap. Tontong dibunyikan kembali dan kondisi kembali aman untuk sementara.
Mama dan Nenek ikut menjemput Mak Idi yang dikabarkan orang terkena mortir. Karena kondisi yang darurat, Mak Idi hanya dibawa dengan sarung yang disangkutkan ke bilah kayu dan didegeng (dipikul) oleh empat orang. Masing-masing memegang ujung bilah kayu itu. Mak Idi yang terluka parah di kepala berayun-ayun dibawa turun dari rimbo Manduang yang berbukit-bukit itu. Sepanjang jalan darah menetes dari luka kepala beliau itu. Bahkan Mama sempat melihat benak beliau dari luka kepala yang terbuka itu. Namun Allah SWT masih sayang pada Mak Idi. Beliau selamat hingga bisa hidup sampai tuanya.Orang kampung selalu mengenang peristiwa bersejarahdi kampung Kaluang itu bila melihat Mak Idi yang selalu berkepala plontos hingga tuanya. Mak Idi mendirikan lapau di samping mesjid Kaluang atas izin Inyiak sebagai Angku Imam disana. Aku sering bermain di lapau Mak Idi yang ketika ku kecil telah kupanggil Inyiak Idi. Aku suka kacang tujin (kacang bawang) yang dibungkus kertas minyak warna-warni dengan bungkus berbentuk segitiga. Nyam nyam nyam..
Sekitar tahun 1959 Papa masih berada di kampung di Sonsang. Sekitar dua ratus meter ke arah pinggiran Bukit Barisan. Ketika itu Papa sudah bergabung dengan tentara PRRI tapi masih berada di kawasan kampung sebab kampung belum diduduki tentara pusat. Suatu hari mendaki bukit Sonsang. Di atas bukit itu ada sejata besar yang digunakan oleh pejuang PRRI untuk menembak tentara pusat yang masuk ke kampung atau membalas serangan dari pesawat-pesawat tempurnya. Sesampainya di atas hanya ada seorang tentara yang menjaga senjata itu.
Kama nan lain?
Bi mancari paisok turun, jawab kawan Papa itu.
Tiba-tiba dari arah Koto Malintang datang satu pesawat tempur tentara pusat, dimana biasanya mereka membombardir kampung dan bukit-bukit disekitaran kampung.
Wak tembaklah, kata Papa ke tentara yang menjaga alat berat yang bernama senjata ASE.
Jadih,
Masuakanlah piluru no tu, tu arahan.
Yo, wak arahan ka muko pesawat tu.
Merekapun sibuk mempersiapkan serangan penyambutan untuk sang pesawat tempur itu. Peluru dimasukkan, sejata diarahkan ke atas siap membidik sasaran.
Mulanya pesawat itu terbang tinggi, lama kelamaan merendah melewati mereka bersiap untuk menghujani kampung itu dengan bombardier. Tepat ketika sasaran telah terkunci, kawan Papa langsung menarik picu tembakan senjata itu. Peluru itu mereka lihat jelas menembus arah depan dari pesawat. Pesawat itu tetap terbang namun menjauh dari kampung dengan meninggalkan asap di udara. Mereka tidak tau apakah pesawat itu akhirnya jatuh atau selamat kala itu. Yang jelas mereka telah berhasil mengusirnya dari kampung.
Sekitar tahun 1971 Papa mendengar sebuah pesawat ditemukan di Bukik dibelakang Danau Singkarak oleh peladang tebu disana. Di dalam pesawat itu ada tulang belulang manusia ditemukan dua orang. Papa langsung pergi ke tempat kawannya yang dulu sama-sama di atas bukit Sonsang itu menembak sebuah pesawat pembom itu. Kawan Papa marah-marah waktu Papa mengingatkan kembali kenangan itu, dan berasumsi bila yang ditemukan itu adalah pesawat yang mereka tembak dulu itu.
OndehSi Djas, nak kaditangkok si Djas bacarito mode tu dinan rami ko, kebetulan mereka ketemu di pasar.
Sia juo nan kamanangkok awak laih goh, kan awak lah diagiah amnesty, salah merekalah manga manggaduah kampuang awak, jawab Papa mantap.
Batam, Feb 17th, 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar