Jumat, 21 September 2012

Semilir Angin Senja

Januari 26, 2011

Ketika Papa Bercerita (5)

Diarsipkan di bawah: Kenangan Papa — ritrin @ 1:04 pm and
Menyambung cerita Papa yang beberapa tahun silam dianggap sebagai cerita tabu, maka semakin bersemangat saya untuk tetap menceritakannya kembali. Seorang peneliti yang mana penelitiannya dibukukan oleh penerbit Mizan dimana judul bukunya adalah Mohammad Natsir dalam Sejarah Politik Indonesia. Dia curhat di kata pengantarnya tentang bagaimana stressnya dia sehingga hampir putus asa dengan penelitiannya yang seperti membentur batu cadas itu. Bahan-bahan sangat sulit didapatkan, boleh dibilang langka kemudian hal yang ingin ditelitinyapun tabu untuk diungkapkan sebab dia meneliti di tahun 1993 dan baru sanggup dia selesaikan di tahun 1999. Sungguh perjalanan yang panjang untuk sebuah Tesis. Buah kesulitan demi kesulitan yang dia alami berbuah manis di Desember 2010 yang baru lalu, sebab Mizan menerbitkan penelitiannya ini menjadi sebuah buku yang bisa Kawan peroleh di Toko Buku Gramedia. Kebetulan saya beli di Batam di kota rantauan saya ini.

Mukaddimah saya kali ini panjang lebar sebab dari perkembangan posting-posting yang saya lihat mulai bermunculan di Palanta RN ini. Saya melihat adanya pro dan kontra dari beberapa sisi sudut pandang. Bagi saya pribadi sebagai anak dari seorang pejuang PRRI yang boleh Kawan sebut sebagai pemberontak yang mengobrak-abrik kesatuan bangsa, tetap ingin membongkar semua fakta secara benar dan adil. Fakta-fakta yang ada yang dilakoni sendiri oleh Papa saya, tetap akan saya suarakan. Sekalipun beberapa diantara Tetua Palanta yang sendiri yang benar-benar mengalami namun tetap ingin menyembunyikannya seperti sebuah aib monggo silahkan saja, tanpa mengurangi semua rasa hormat yang saya miliki untuk anda semua.
Tolong jangan biarkan saya terpengaruh dengan rasa ketakutan yang telah lama lapuk itu. Anda mungkin mengalami masa sedih, malu, dan penuh ketakutan dan kengerian itu, tapi bagi kami yang tidak pernah tau bagaimana bila masa bagolak itu sungguh pernah terjadi, sungguh sungguh amat menarik hati untuk kami cungkil lagi dan lagi. Sungguh hati kami ingin merasakan sejuta rasa yang pernah dirasakan di masa itu, untuk kami jadikan kenangan dan pelajaran yang berharga. Mohon maaf yang sebesar-besarnya atas kenakalan ini untuk selalu berusaha menyungkil-nyungkil duri yang telah lama tertanam dalam daging suku Minang tercinta ini.
****
Menjemput cerita yang tercecer karena ingatan yang harus dikeluarkan lagi oleh Papa yang telah mengendap selama kurang lebih setengah abad yang lalu. Mari kita simak bersama.
Sekitar Juli 1961 dua pondok yang didirikan di tengah Rimbo Mansang berjarak 10 meter. Satu pondok untuk Pak Imam dan keluarga dan satunya para pengikut yang terdiri dari :
1. Bukhari Tamam asal Bukittinggi
2. Tk. Suleman yang kemudian bergelar Dt. Tan Kabasaran asal Bukittinggi
3. Masri asal Aia Kidjang Kumpulan
4. Yarnani (Wali nagari Kumpulan)
5. Papa (H. Djasri .S) Asal Sonsang Tilatang Kamang
6. Seorang pemuda Sunda yang lihai mengetik
7. Dt Tumangguang asal Durian Kunik Kumpulan
8. Suud orang Kumpulan yang pintar masak
Sedangkan Pondok yang ditempati Pak Imam bersama Ummi istri beliau dan anak-anaknya Siti Lis, Asnah dan Fauzi.
Namun walaupun letak persembunyian yang jauh di tengah hutan belantara Sumatera itu, Pak Imam selalu saja menerima tamu hampir setiap harinya. Kebanyakan tamu selalu saja membawa buah tangan untuk mereka selain update berita terakhir seputar keadaan masa itu. Inilah bentuk keberpihakan masyarakat di kampung-kampung, meskipun tempat pak Imam selalu dikunjungi selama di Rimbo Mansang itu, akan tetapi kerahasiaan tetap terjaga dengan baik.
Suatu hari masih di bulan Juli 1961 itu, Batalyon 140 ingin bersilaturahmi dengan Kolonel Dahlan Djambek yang bermarkas di Rimbo Mansang tapi berjauhan dengan tempat Pak Imam. Papa ditugasi untuk mempertemukan mereka dengan Pimpinan Batalyon ini. Namun Pak Dahlan tidak mau bertemu di komplek persembunyiannya, sehingga Papa mencari tempat di dekat Aliran Batang Masang yang lebar itu. Seorang kawan Papa yang bernama Suud memasak nasi dan sambalado sebagai lauk untuk acara temu kangen antara Sang Kolonel dengan pasukannya itu yang dikomandani oleh seorang yang berasal dari Aceh. Namanya Pak Malintara, yang mana pasukannya biasa di sebut pasukan PDD (Pasukan Dahlan Djambek). Pertemuan itu berlangsung aman dan penuh keakraban di tengah hutan rimba itu. Karena tempat yang dipilih adalah tempat yang tidak dipersiapkan sebelumnya, maka mereka hanya makan nasi putih dengan lauk cabe (sambalado). Walaupun demikian, mereka melahapnya dengan penuh kenikmatan.
Menurut Papa yang mengawasi pertemuan itu, Pak Dahlan sendiri makan dengan lahapnya. Sebab untuk mencapai tempat tersebut, mereka harus berjalan cukup jauh dan dengan sangat hati-hati supaya tidak bertemu dengan pasukan Combad bentukan Tentara Pusat yang terdiri dari OPR yang sebagian besar adalah para preman. Karena yang dibawa saat itu hanya periuk tempat memasak, maka daun Simantuangpun telah berubah fungsi jadi piringnya. Suasana sungguh sangat nyaman dalam rangkulan buah manis silaturahim.
Selang tidak berapa lama, mereka kembali bersiaga di sepanjang aliran batang Masang itu. Terlihat dari jauh berjalan sekitar 30 orang pasukan Combad. Papa mengenali pemimpinnya adalah Preman Tembok yang bernama Ancok Gandi. Sepertinya dia dan pasukannya itu sangat bernafsu untuk menghabiskan sisa- sisa pejuang PRRI yang tersisa di dalam Rimbo Masang itu. Yang tidak lain adalah Pak Dahlan dan Pak Imam. Papa dan rombongan ketika itu berada di tempat yang memungkin mereka untuk menghabisi 30 orang pasukan Combad itu, tapi datang perintah dari Pak Dahlan untuk membiarkan mereka itu lewat saja. Papa tau bila kawan-kawannya manggaritih ingin menghabisi preman komunis itu, sebab perangai mereka yang sadis ke orang-orang yang mereka curigai sebagai orang PRRI. Dihilangkan atau ditembak dari jarak dekat walaupun yang lawan tidak memegang senjata adalah hal biasa bagi mereka.
To Be continued.
Batam, 26 Januari 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar