Rabu, 21 Maret 2012

Merealisasikan Kepemimpinan Yang Diidamkan

Oleh : Zulfadli, SH

Seseorang warganegara di republik hutan belantara (meminjam istilah Udho Hendra) sudah seharusnya merealisasikan kesalehan individual dan kesalehan sosial dalam kehidupannya disamping ketaatannya kepada Tuhan yg merupakan wujud ketaatan tsb. Dia tidak boleh menganggap berbangsa dan bernegara itu terlepas dari kepentingannya sebagai hamba Allah, dia tidak boleh menganggap politik itu politik dan agama itu agama sbg urusan pribadi dgn Tuhan, dahulu terkenal dengan Islam yes partai Islam no, slogan ini sudah usang dan harus dibuang jauh2, sekarang kita telah melihat kualitas/kuantitas keagamaan masyarakat sudah meningkat tapi kualitas/kuantitas kejahatan dan kemungkaran juga bertambah sehingga muncul permasalahan sosial, ini adalah PR pemerintah. Sudah tiga kali orde kepemimpinan di negara kita yang ( tidak perlu disebutkan) telah gagal membentuk anak-anak bangsa yang dibanggakan, yang diperoleh hanya keberhasilan semu yang sifatnya sesaat, karena pemimpin yang berkuasa dilahirkan dari rahim sekularisme, kapitalisme, sosialisme, dan liberalisme yg sering dibungkus seolah-olah agamis dan adalah fakta yang tidak dapat ditutup-tutupi karena rezim-rezim tersebut akhirnya jatuh secara buruk karena dosa-dosa yang dilakukan mereka. 

Bahwa latar belakang seseorang, dalam hal ini pemuka agama atau seseorang yg religiusitasnya tak dipertanyakan lagi, tidak perlu dipersoalkan apabila dia berpolitik, karena agama tidak hanya mengatur pribadi/makhluk (Hamba Allah) dengan Sang Khalik, tapi juga mengatur hubungan sesama manusia dengan pemimpinnya, disini hendaklah terjadi keseimbangan, apabila dia jadi pemimpin, ketika dia taat kepada Tuhan sesuai aturan-Nya, maka otomatis dia akan menjalankan kekuasaannya dengan tidak melanggar aturan Tuhan itu sendiri dan juga aturan manusia demi kemaslahatan bersama.

Memang selalu terjadi perbedaan pendapat apakah seorang ulama, dai, mubaligh pantas berpolitik praktis atau tidak, tp dalam sejarah kepemimpinan di negara-negara/kerajaan Islam hal ini sudah lazim dan tidak pula menjadi tabu, kenapa? karena dalam agama tidak pernah diatur dan sudah menjadi kebiasaan pula sifat keulamaan terdapat dalam diri seorang pemimpin negara. misalnya di Iran, kenapa seorang pemimpin agama di sana menjadi pemimpin tertinggi di negaranya, karena dia mampu menjadi panutan rakyatnya, tidak soal latar belakang pendidikan dan keahliannya. Seorang Umar bin Abdul Aziz, Salahuddin al Ayyubi, Muhammad al Fatih, Muawiyah dll, mereka disamping pemimpin negara juga seorang ulama, jadi tidak perlu dikotomi, sesuatu harus diserahkan kepada yg ahlinya memang betul tapi yang lebih penting bagaimana pemimpin itu jadi panutan bukan sebaliknya, keahlian seseorang bisa multidimensi tidak hanya satu atau dua dan ini harus sejalan dengan kemampuan dan integritas pribadinya.

Seorang sahabat pernah meminta jabatan kepada Nabi SAW, tapi beliau tidak mau memberikan jabatan tersebut karena beliau tahu bahwa sahabat tersebut tidak akan mampu mengemban amanah, meskipun mampu sekalipun karena sahabat beliau tersebut meminta maka beliau tidak memberikan jabatan yang diminta, hal ini ada hikmahnya apabila seseorang minta jabatan (berambisi terhadap suatu jabatan) maka Allah tidak akan menolong dia dalam jabatan tersebut melainkan dia sendiri yang menolong dirinya sendiri.


Kita hidup di negara demokrasi seperti Indonesia maka aturan positifnya tentu harus kita ikuti sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip keadilan, namun dalam hal ini alangkah lebih baik mekanisme di partai politik mencontoh seperti kisah diatas, semua kader tidak mengajukan diri tapi diajukan pengurus atau masyarakat atau tokoh masyarakat di daerahnya karena amanah dan ketokohannya, bukan karena isi dompetnya. Bagaimanapun seorang kader tersebut harus siap, kalaupun tidak toh tidak mengapa karena harus dihormati juga yang bersangkutan itu utk memilih, tapi apabila setiap kader telah diamanahkan maka dia harus siap menerimanya, tibo di mato indak dipiciangkan, tibo di paruik indak dikampih an, karena hanya bila telah memenuhi syarat pada dirinya yaitu siddiq-benar, amanah-dipercayai, fathanah-berilmu dan tabligh-menyampaikan, tapi bila dengan segala cara maka ini yang tidak boleh karena bisa mengarah ke politik uang yang jelas tidak dibenarkan.

Ada cerita menarik pada zaman khalifah Umar bin Khattab, meskipun tidak diajarkan secara  tekstual dalam agama namun Amirul Mu'minin Umar bin Khattab RA mengajarkan sistim Syuro yg sekarang diadopsi oleh partai-partai Islam. Setelah beliau ditikam dan sebelum ajal menjemput, dikumpulkanlah para sahabat utama yang akan menggantikan beliau nantinya, tapi beliau tdk mengizinkan putranya sendiri Abdullah untuk ikut serta, sehingga kemudian diadakan musyawarah dan terpilihlah Usman bin Affan sebagai khalifah. Meskipun pada saat itu belum dikenal pemilihan langsung oleh rakyat seperti sekarang tapi prinsip musyawarah dalam menentukan sesuatu sudah tidak asing bagi kita sekarang, apa yang baik di zaman dahulu tidak salah kita terapkan sekarang, lain dahulu lain sekarang seperti yang dikatakan pak Zulkifli Zul, memang betul, zamannya sudah beda tapi nilai dan semangatnya tetap sama.
(diambil dari status dan komentar saya dalam Grup Facebook : GERAKAN PEMILIH CERDAS )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar