Rabu, 14 Maret 2012

Krisis Kepemimpinan di Nagari Kapau ?

Oleh : Zulfadli, SH


          Judul di atas saya kira akan menimbulkan pertanyaan pula bagi kita semua apakah benar telah terjadi krisis kepemimpinan di nagari Kapau ? Apakah hanya toh sekedar pertanyaan atau mungkin wacana tanpa memerlukan jawaban ?. Saya sebenarnya agak sungkan menyelesaikan tulisan ini, sebab konsepnya sudah saya buat lebih kurang tujuh tahun yang lalu tapi saya biarkan begitu saja, kemudian konsep tersebut saya temukan kembali ternyata nuansanya masih relevan hingga sekarang bahkan sangat relevan. “Krisis Kepemimpinan Di Nagari Kapau?” sebuah judul yang memerlukan jawaban kita semua yang masih mencintai nagari tempat kita dilahirkan dan dibesarkan, bagaimana kepemimpinan adat dan agama sangat kita perlukan di nagari kita dalam menghadapi arus globalisasi.

Saya yakin dan percaya setelah membaca tulisan ini, sebanyak kita maka mungkin sebanyak itu pula tanggapan dan reaksi dalam memahaminya, barangkali ada yang merasa tidak senang, tidak ambil peduli dan sebagainya. Tapi itu tidak menjadi masalah bagi saya apabila ada yang merasa tersinggung karena apa yang saya ungkapkan ini bagi saya sudah benar dan sesuai dengan kenyataan yang ada. Sebab dalam alam demokrasi setiap perbedaan pendapat adalah biasa dan bahkan dihargai, karena demokrasi itu sendiri adalah ciri orang Minangkabau dimanapun mereka berada.

Sewaktu beliau Aminuddin Dt.Bagindo Basa (Inyiak Indo) Almarhum – yang kebetulan adalah orang tua saya - masih hidup ketika itu pada awal tahun 2000 dimana sedang panas-panasnya pro dan kontra PP No. 84 Tahun 1999 Tentang Perluasan Kota Bukittinggi, pernah saya tanyakan kepada beliau seandainya nagari Kapau jadi masuk kota (masuk wilayah perluasan kota). Terlepas dari pro kontra tersebut maka dengan tegas beliau menjawab: “Mana mungkin (Kapau) masuk kota apabila kepemimpinan (Adat) di nagari saja masih bermasalah. Itu pekerjaan besar, jangankan mengurus nagari, diri mereka sendiri belum terurus sebagaimana mestinya”.

          Apabila difikirkan secara jernih apa yang beliau katakan sangat relevan pada saat itu, bahkan pada saat sekarang, dimana di tubuh Ninik Mamak nan VI Suku Nagari Kapau sendiri masih dilanda persoalan interen – katakanlah begitu - yaitu antara Ninik Mamak Pucuak yang Berlima versus Ninik Mamak Pucuak Guci Pili VI Induak di dalam menakhodai KAN (Kerapatan Adat Nagari). Sekiranya kita membahas substansi atau dasar konflik tersebut kiranya tidak layak untuk dimuat di dalam tulisan ini.

Dalam hal ini Inyiak Indo begitu kerasnya dalam berprinsip, beliau menolak keputusan KAN pada tahun 1999 dimana terbukti dalam surat KAN yang meminta wakil Ninik Mamak VI Suku pengganti Dt.Tandi Langik yang pusakonya dinilai “runtuh”. Apa jawaban Inyiak Indo mewakili Guci Pili VI Induak, barangkali diluar dugaan sementara orang karena ternyata beliau menolak wakil melainkan tetap mengutus Dt.Tandi Langik langsung sebagai wakil Guci Pili VI Induak, karena pusako Dt. Tandi Langik tidak sumbiang dan tidak sakah apalagi runtuh, dengan alasan-alasan yang masuk akal. Diantara alasan beliau yang pertama adalah Perihal meruntuh pusako sudah dihapus sejak tahun 1955 yang terkenal dengan Sumpah Satia, kecuali kesalahannya sendiri yang melanggar Undang-undang 20 maka runtuh dengan sendirinya. Alasan beliau yang kedua Adanya perbedaan pendapat adalah biasa dalam suatu rapat/pertemuan. Dan alasan beliau yang ketiga Apabila mencari suatu keadilan harus ada dakwa dan jawab, saksi dan bainat/bukti kemudian diputuskan oleh seorang hakim yang adil.

Disini kita bisa memetik hikmah kenapa Inyiak Indo begitu tegas, mungkin ada sesuatu yang salah maka disinilah perlunya introspeksi. Kita semua mengakui bahwa pengalaman beliau yang sarat sekali tentang adat istiadat selama puluhan tahun, hampir tidak ada persoalan adat dan sosial di nagari Kapau yang tidak mampu beliau selesaikan. Bahkan saya berani mengatakan beliaulah salah satu kamus berjalan tentang adat di nagari Kapau di zamannya tapi kenapa banyak yang tidak mau bertanya, apakah semua sudah pintar tentang adat dan kemasyarakatan sehingga sudah tidak ada yang perlu ditanyakan lagi ?.

Saya tidak kultus individu dalam hal ini, bukan pula terlalu subjektif dalam menganalisa, tapi ini adalah kenyataan yang tidak mungkin terbantahkan, sebab figur tokoh berpengaruh seperti beliau sangat jarang dan sekarang ini boleh dikatakan sudah tidak ada lagi, ini yang harus kita akui. Ibarat pelita yang terang dalam nagari sekarang sudah padam, apakah masih ada pelita-pelita lain yang akan muncul. Saya ingin bertanya kepada sidang pembaca yang budiman, apakah masih ada tokoh-tokoh pemimpin semacam Sabar Dt.Rajo Labiah, Hamzah Dt.Batuah, Dewan Dt.Maradjo, Rasyidin Kari Bagindo, Haji Sjarbaini, Abdul Wahab Intan Batuah dan lain-lain yang tidak mungkin disebutkan satu persatu yang bisa dijadikan panutan dan contoh yang patut ditauladani ?.

 Toh jangan pula kita kesampingkan prinsip-prinsip pokok adat yang berlaku di Minangkabau baik adat Koto Piliang maupun Bodi Chaniago yaitu musyawarah. Tanpa adanya tokoh berpengaruh, masih ada jalan bagi kita memecahkan masalah yaitu dengan jalan musyawarah, ini bukan berarti beliau (Inyiak Indo) tidak mementingkan musyawarah tapi pengakuan pihak pihak yang bermasalah terhadap kemampuan dan wibawa beliaulah yang dapat mengarah kepada penyelesaian suatu permasalahan.   

          Saya sebagai salah seorang anak nagari Kapau juga tidak habis berfikir kenapa persoalan demi persoalan ibarat awan hitam yang menggelayuti langit diatas bumi Kapau belum juga berakhir ? Tidak usah diurai persoalan apa tapi yang sangat mengganggu fikiran saya adalah persoalan Niniak Mamak VI Suku nagari Kapau, seolah-olah seorang yang pandai saya mencoba menganalisa dari pangkal sampai ke dan ujung dari awal sampai akhirnya, tapi saya belum berhasil menemukan jawabannya. Tapi saya tidak puas sampai di sini, saya akui pengalaman saya baru satampuak pinang, kok umua baru satahun jaguang tapi sedari dulu saya sudah berusaha menimba pengalaman dari orang tua-tua, maka saya mencoba terus. Kiranya saya bisa menemukan benang merah dan benang putih persoalan, minimal bisa menyentuh hati fihak yang punya hati sekeras baja bisa menjadi lembut seperti kapas namun berani tampil menegakkan mana yang benar, dimana orang tersebut bertindak ibarat menarik rambut dari dalam tepung tidak seperti managakkan banang basah.

Cobalah dahulu kita bicara mengenai kelarasan yang dianut di nagari Kapau, kita semua tahu kelarasan kita di Kapau adalah Koto Piliang. Prinsip musyawarah di sini adalah mufakat, intinya adalah bulek aie dek pambuluah - bulek kato dek mupakat, artinya secara populer kurang lebih adalah aklamasi. Dimana apabila ada seorang yang tidak setuju maka belum boleh diambil suatu keputusan. Maka timbul pertanyaan, Apakah boleh diambil suara terbanyak ( dengan pemungutan suara ) jawabnya adalah Tidak Boleh. Sebab jalan penyelesaiannya sudah digariskan dalam adat, apabila sulit mencapai kata mufakat maka harus dilakukan dengan jalan batupang barasah – sarantak babandiang dan bajanjang naiak batanggo turun. Kita tidak menafikan memang di dalam praktek sehari-hari adat koto piliang tidak murni lagi dilaksanakan.

 Kembali kita kepada prinsip musyawarah dan mufakat, apakah hal ini sudah dilaksanakan sejak terbentuknya KAN pada tahun 1983 ?. Kita semua faham bahwa setiap masalah, persoalan, konflik dan segala macam problematika adat di nagari tentu hendaknya diselesaikan dengan jalan musyawarah. Nah, di nagari Kapau yang kita cintai ini sudahkah ada usaha penyelesaian perkara dengan jalan musyawarah di tingkat nagari sejak tahun 1983 ? jawabnya marilah kita kembalikan kepada hati nurani kita masing-masing secara objektif, saya mengajak kita bersama marilah secara jujur mengakui, sebab sekecil apapun persoalan yang ada kita tidak boleh menutup mata apalagi berusaha menutup-nutupinya. Jadi dalam arti kata kita harus menyelesaikan setiap masalah dengan jalan musyawarah sebagai jalan yang terbaik.

Kita semua tahu bahwa terbentuknya suatu nagari harus ada komponen yang merupakan syarat sahnya suatu nagari, yaitu babalai bamusajik, bapandam bapakuburan, batapian tampek mandi, bakorong bakampuang dan seterusnya. Kemudian manusia yang menghuninya dibagi atas empat, yaitu niniak mamak, alim ulama, cadiak pandai / termasuk pemuda dan bundo kanduang, yang terkenal dengan nama urang ampek jinih. Meskipun dalam penyelenggaraan nagari ditopang oleh Tali Tigo Sapilin, yaitu Niniak Mamak, Alim Ulama, Cadiak Pandai, namun dalam mengambil suatu keputusan maka keterlibatan nan Ampek Jinih mutlak diperlukan.

Melihat kondisi nagari kita sekarang dan beberapa tahun belakangan secara jujur saya sungguh sedih, terutama melihat krisis kepercayaan terhadap para pemimpin yang bermula dari segelintir yang berbuat tidak semestinya, akibatnya adalah karena nila setitik rusak susu sebelanga. Para pemimpin hanya dihargai apabila dibutuhkan, dihormati apabila diperlukan, akan tetapi jauh dari panutan serta tauladan. Kebersamaan, kekompakan dan solidaritas semakin pudar. Sebagian pemimpin khususnya pemimpin adat hanya berharga dalam acara-acara ceremonial belaka, diluar itu mereka kehilangan wibawa dan kharismanya.

Kita tidak usah menutup mata seperti yang dikemukakan diatas bahwa persoalan demi persoalan kian menggelayuti nagari yang kita cintai ini. Meskipun tidak ada gejolak ataupun pertentangan yang berarti. Tapi apakah dapat dianggap persoalan itu disebabkan oleh para pemimpin kita ?. jawabnya boleh ya dan boleh tidak. Sebenarnya kehidupan kepemimpinan adat di nagari kita boleh dikatakan telah terjadi stagnasi. Sebab orang banyak menilai tanpa adanya kepemimpinan itupun, keadaan masih akan berjalan  seperti apa adanya sehingga pimpinan hanya formalitas dan symbol belaka. Atau masyarakat lebih cenderung bersikap masa bodoh asalkan tidak merugikan dirinya sendiri.

Maka tidaklah berlebihan kiranya bila prinsip musyawarah benar-benar harus dikedepankan. Karena apa, semenjak KAN terbentuk saya menyaksikan belum pernah ada suatu musyawarah nagari yang benar benar melibatkan unsur nan Ampek Jinih. Apalagi dalam hal ini tidak jelas perbedaan antara KAN dan Ninik Mamak Nan VI Suku dalam struktur dan pengambilan keputusan. Padahal kita tahu bahwa KAN adalah produk pemerintah yang tertuang dalam Perda No.13 Tahun 1983 yang di dalamnya bukan hanya ninik mamak. Sedangkan Ninik Mamak VI Suku Nagari Kapau adalah produk Anak Nagari Kapau sendiri sejak asal mula berdirinya Nagari Kapau tempat berkumpulnya Ninik Mamak Pucuak yang 6 (enam) orang mewakili 6 suku yakni; Jambak Gadang - Dt.Bandaro, Guci Pili - Dt.Tandi Langik, Melayu - Dt.Mangkudun, Tanjung Pisang Simabua - Dt.Panduko Basa, Koto - Dt.Palimo dan Jambak Kaciak - Dt.Indo Marajo. Ke enam yang disebutkan itu disebut Ninik Mamak Pucuak yang memimpin suku masing-masing, dibawahnya adalah Ninik Mamak Nan Barinduak, dan terakhir dinamakan Ninik Mamak Saparuik/sapayuang yang langsung memimpin anak kemenakan.

Dalam mengadili anak kemenakan yang bersalah, atau mamak kepala kaum, mamak kepala waris  bahkan ninik mamak sendiri yang bersalah, terlepas dalam struktur mana dia berada maka ada filosofi adat yang mesti kita ikuti, Apobilo kusuik kapalo mako jangkie nan maisai, maksudnya; Bila pemimpin adat /ninik mamak yang diduga bersalah maka diselesaikan oleh musyawarah bersama ninik mamak di kampung / nagari atau urang ampek jinih atau suatu badan yang dipilih yang akan menjadi hakim. Apobilo kusuik bulu mako paruah nan manyalasaikan, artinya; Bila anak kemenakan / bukan ninik mamak yang diduga bersalah maka Ninik Mamak nan saparuik menyelesaikan, dengan cara bajanjang naik batanggo turun terus ke ninik mamak nan barinduak dan terakhir ke ninik mamak nagari atau Ninik Mamak VI Suku, sebagai hakim terakhir yang akan memutuskan perkara. Dan hendaklah orang yang diduga bersalah atau terdakwa dihadirkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum, terdakwa berhak membela diri atau mendapat pembelaan dan kesalahan terdakwa harus dibuktikan dengan bukti (bainat) yang nyata dan harus dihadirkan para saksi yang menyaksikan secara langsung kejadian perkara. Begitulah prinsip umum lembaga peradilan dan kemanapun kita pergi, persyaratan itu mutlak diperlukan supaya semua kita mendapat keadilan yang sebenarnya.

Jadi sekali lagi bagi pemimpin dan calon pemimpin di tengah-tengah masyarakat jika akan melahirkan suatu keputusan penting di nagari, alangkah baiknya bila sungguh-sungguh melibatkan masyarakat banyak sebab keputusan bukan milik seseorang/golongan tapi milik semua masyarakat. Dan apalagi menyatakan seseorang bersalah atau tidaknya marilah kita selesaikan menurut hukum adat yang sebenarnya manimbang samo barek, maukua samo panjang yaitu seorang Hakim yang adil sesudah melalui dakwa dan jawab serta adanya saksi dan bainat, tidak ada lagi pihak yang dirugikan secara tidak adil. Bukankah adanya Mubes Kapau tahun 1991 dan tahun 2003 merupakan sesuatu yang sangat berarti ?. Menjawab pertanyaan ini, bagi saya mubes tersebut tidak mempunyai arti sama sekali, hanya barangkali sekedar ajang silaturrahim belaka antara perantau dengan warga kampung terlebih lagi sangat dipaksakan terhadap hal-hal yang spesifik. Sehingga Follow Up atau tindak lanjutnya tidak ada atau boleh juga dikatakan dalam istilah minyak habih samba ndak lamak.

Indak ado kusuik nan indak salasai, indak ado karuah nan indak janiah, demikianlah filosofi adat di Minangkabau tapi hanya bisa terlaksana apabila kita memenuhi syarat-syarat tertentu dimana syarat itu dapat kita peroleh di lingkungan kita sendiri. Mari kita simak falsafah adat berikut ini :

Mancaliak contoh ka nan sudah, maliek tuah ka nan manang
Maa adiaknyo nan marangkak, maa kakaknyo nan bauban
Kusuik kapalo jangkie maisai, kusuik bulu paruah nan manyalasaikan
Batupang barasah, Sarantak babandiang

Ka lauik riak maampeh, ka pulau baguo batu
Kok Mangauik yo sabana kameh , kok mancancang yo sabana putuih

Pincalang anak rang Tiku, mandayuang sambie manungkuik
Basilang kayu dalam tungku, baitu api mangkonyo iduik

Urang Makah mambao taraju, urang Baghdad mambao talua, dimakan bulan puaso
Rumah nan basandi batu, adat nan basandi alua, itulah nan ka ganti rajo

Kamanakan barajo ka mamak, mamak barajo ka pangulu, pangulu barajo ka mupakat,
Mupakat barajo ka nan bana, bana badiri sandirinyo

Tentu tidak mungkin pula kita mengurai benang yang kusut sementara pikiran dan lingkungan kita masih kusut pula ?. Marilah kita berdoa kehadhirat ALLAH SWT semoga kita dapat bebas dari krisis multi dimensi terutama memulihkan kepercayaan kepada para pimpinan lembaga yang ada di lingkungan kita masing masing. Amin. Mudah mudahan kusut yang kita alami ini bukan kusut sarang tampuo yang hanya api yang bisa menyelesaikan.

Kapau, 16 Januari 2006
Zulfadli, SH

Tidak ada komentar:

Posting Komentar