Minggu, 25 November 2012

Nasi Kapau Bertahan dengan Rasa




Senin, 26 November 2012 03:21
“Duduaklah pak, buk, a sambano pak, buk,”sapa seorang pelayan dengan ramah kepada sepasang suami istri yang memasuki rumah makan nasi kapau Uni Lis di Pasar Atas Bukittinggi Sabtu (24/11) siang.
”Jo tunjanglah, tu tambunsu ciek” jawab bapak itu sembari mengamati deretan baskom berisi aneka sambal dan gulai pada etalase bertingkat.
Lalu dengan sigap, menggunakan sanduak bertangkai panjang si pelayan menyiapkan pesanan pengunjung. Sepasang suami istri itupun makan dengan lahapnya, tak lama berselang mereka meminta tambah, “tambuah duo, agiah kuah cancang stek” pesan mereka.
Memang pengunjung yang ma­kan di rumah makan nasi kapau jarang yang tidak batambuah karena rasa masakannya enak dan merangsang selera makan.
Cita rasa nasi kapau yang enak itu bukan saja sesuai bagi selera orang awak Minang, tetapi juga oleh selera orang dari berbagai etnis di tanah air dan negara jiran.
“Orang dari luar, termasuk para pejabat tinggi dari Jakarta kalau ke Bukittinggi sering mampir ke sini, mereka kalau makan juga batambuah” kata Uni Lis pengu­saha rumah makan itu.
“Bagi kami orang Kapau yang berjualan nasi, mempertahankan rasa masakan sesuai dengan as­linya merupakan kewajiban dan prio­ritas, disamping mem­perta­han­kan ciri khas penyajian” ulas Uni Lis yang mengaku telah berjua­lan nasi kapau bersama orang tuanya sejak awal tahun1970 di Bukittinggi.
Kala itu, sebelum Pasar Atas terbakar penjual nasi kapau di Kota Bukittinggi baru 7 orang, mereka berjualan di Pasar Lereng. Kemu­dian seiring dengan perkembangan kota jumlah penjual nasi kapau terus bertambah, kini jumlahnya telah mencapai puluhan orang, tersebar di berbagai tempat dalam Kota Jam Gadang itu, namun pusat “kerajaan” nasi kapau tetap di Pasar Lereng. Sementara  pada kota-kota lain di tanah air bahkan di Malaysia dan Brunei penjual nasi kapau  juga semakin banyak.
Masakan khas nasi kapau yang digemari banyak orang itu antara lain, gulai tunjang, pangek ikan, dendeng, tambunsu atau usus sapi yang di dalamnya diberi telor campur tahu, cancang, gajeboh, tidak ketinggalan gulai cubadak,kacang panjang, rabuang, kamumu, lobak serta kalio jariang.
Kuah gulai masakan kapau sedikit encer dan kurang santan, rendah kolesterol, selalu menggu­nakan bumbu kunyit dan cabe, sehingga warnanya kuning ke merah-merahan.
Kuah gulai merupakan salah satu ciri khas penyajian nasi kapau.  Biarpun pengungjung meme­san nasi dengan dendeng yang kering, nasi tetap dikuahi.
Disebutkan Uni Lis, pasar utama nasi kapau adalah pasar yang ada di kota Bukittinggi. Pada awalnya nasi kapau dijual di Los Lambuang depan Jam Gadang, kemudian  pada ruangan terbuka di Pasar Lereang.
Di Pasar Lereang itu orang kapau berjualan nasi di bawah payung besar yang memiliki tempat duduk sederhana, rak atau etalase bertingkat tempat baskom berisi aneka macam sambal dan gulai, sanduak panjang dan yang ber­jualan semuanya ibuk-ibuk. Kondisi demikian merupakan “trade mark-nya” nasi kapau.
Digunakannya rak bertingkat tempat memajang aneka samba bertujuan untuk menghemat rua­ngan yang sempit disamping untuk memudahkan pengunjung memilih samba yang disukainya, sedangkan sanduak bertangkai panjang ber­fung­si memudahkan pelayan me­ngam­bil sambal pesanan pegun­jung.
Tetapi kini payuang besar terbuat dari kayu dan atap kertas dibungkus plastik itu tidak ada lagi di Bukittinggi, penjual nasi  kapau berjualan sudah pada ruangan tertutup berupa los yang dibangun pemerintah kota seperti yang di Pasar Lereang, bahkan ada yang telah memiliki rumah makan sendiri berukuran besar seperti halnya rumah makan lain, hanya saja untuk membedakan di rumah makan itu ditulis “nasi kapau”.
Ciri pelayanan nasi kapau yang masih bertahan walaupun tempat­nya pada ruangan megah adalah, pelayannya selalu perempuan dan menyapa dengan ramah serta menanyai pengunjung terlebih dahulu megenai makanan yang akan dipesan, bukan pengunjung yang memesan makanan terlebih dahulu seperti halnya pada rumah makan biasa.
Cobalah masuk ke rumah ma­kan nasi kapau, barusan di pintu masuk Anda akan disapa pela­yannya dengan sapaan dalam logat khas rang Agam, “duduaklah pak, ibuk, uda, uni, a sambano pak, ibuk, uda, uni”.
Cuma yang menjadi masalah, kini banyak juga rumah makan atau warung nasi kapau palsu, dimana sipenjual maupun masakanya bukan dari kapau, dan standar masakannya berbeda dengan masa­kan kapau. Sedangkan di rumah makan itu dipajang juga tulisan “rumah makan nasi kapau”. Ken­dati demikian orang kapau tidak dapat berbuat apa-apa karena masakan kapau yang berciri khas itu belum dihakpatenkan.
Kapau salah satu nagari dari  3 nagari yang ada di kecamatan Tilatang Kamang Agam, terletak di sebelah utara pinggiran kota Bukittinggi, berpenduduk sekitar 3 ribu jiwa dengan mata pencarian utama bertani dan ibu-ibunya memiliki kepandaian memasak aneka jenis samba dan gulai. (Kasra Scorpi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar