Minggu, 09 September 2012

Terorisme dan Jihad

Terorisme adalah serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan membangkitkan perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat. Berbeda dengan perang, aksi terorisme tidak tunduk pada tatacara peperangan seperti waktu pelaksanaan yang selalu tiba-tiba dan target korban jiwa yang acak serta seringkali merupakan warga sipil.

Istilah teroris oleh para ahli kontraterorisme dikatakan merujuk kepada para pelaku yang tidak tergabung dalam angkatan bersenjata yang dikenal atau tidak menuruti peraturan angkatan bersenjata tersebut. Aksi terorisme juga mengandung makna bahwa serang-serangan teroris yang dilakukan tidak berperikemanusiaan dan tidak memiliki justifikasi, dan oleh karena itu para pelakunya ("teroris") layak mendapatkan pembalasan yang kejam.

Akibat makna-makna negatif yang dikandung oleh perkataan "teroris" dan "terorisme", para teroris umumnya menyebut diri mereka sebagai separatis, pejuang pembebasan, pasukan perang salib, militan, mujahidin, dan lain-lain. Tetapi dalam pembenaran dimata terrorism : "Makna sebenarnya dari jihad, mujahidin adalah jauh dari tindakan terorisme yang menyerang penduduk sipil padahal tidak terlibat dalam perang". Padahal Terorisme sendiri sering tampak dengan mengatasnamakan agama.

Banyak pendapat yang mencoba mendefinisikan Terorisme, satu di antaranya adalah pengertian yang tercantum dalam pasal 14 ayat 1 The Prevention of Terrorism (Temporary Provisions) act, 1984, sebagai berikut: “Terrorism means the use of violence for political ends and includes any use of violence for the purpose putting the public or any section of the public in fear[5].” Kegiatan Terorisme mempunyai tujuan untuk membuat orang lain merasa ketakutan sehingga dengan demikian dapat menarik perhatian orang, kelompok atau suatu bangsa. Biasanya perbuatan teror digunakan apabila tidak ada jalan lain yang dapat ditempuh untuk melaksanakan kehendaknya. Terorisme digunakan sebagai senjata psikologis untuk menciptakan suasana panik, tidak menentu serta menciptakan ketidak percayaan masyarakat terhadap kemampuan pemerintah dan memaksa masyarakat atau kelompok tertentu untuk mentaati kehendak pelaku teror[6]. Terorisme tidak ditujukan langsung kepada lawan, akan tetapi perbuatan teror justru dilakukan dimana saja dan terhadap siapa saja. Dan yang lebih utama, maksud yang ingin disampaikan oleh pelaku teror adalah agar perbuatan teror tersebut mendapat perhatian yang khusus atau dapat dikatakan lebih sebagai psy-war.

Sejauh ini belum ada batasan yang baku untuk mendefinisikan apa yang dimaksud dengan Terorisme. Menurut Prof. M. Cherif Bassiouni, ahli Hukum Pidana Internasional, bahwa tidak mudah untuk mengadakan suatu pengertian yang identik yang dapat diterima secara universal sehingga sulit mengadakan pengawasan atas makna Terorisme tersebut. Sedangkan menurut Prof. Brian Jenkins, Phd., Terorisme merupakan pandangan yang subjektif[7], hal mana didasarkan atas siapa yang memberi batasan pada saat dan kondisi tertentu.

Belum tercapainya kesepakatan mengenai apa pengertian terorisme tersebut, tidak menjadikan terorisme dibiarkan lepas dari jangkauan hukum. Usaha memberantas Terorisme tersebut telah dilakukan sejak menjelang pertengahan abad ke-20. Pada tahun 1937 lahir Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Terorisme (Convention for The Prevention and Suppression of Terrorism), dimana Konvensi ini mengartikan terorisme sebagai Crimes against State. Melalui European Convention on The Supression of Terrorism (ECST) tahun 1977 di Eropa, makna Terorisme mengalami suatu pergeseran dan perluasan paradigma, yaitu sebagai suatu perbuatan yang semula dikategorikan sebagai Crimes against State (termasuk pembunuhan dan percobaan pembunuhan Kepala Negara atau anggota keluarganya), menjadi Crimes against Humanity, dimana yang menjadi korban adalah masyarakat sipil[8]. Crimes against Humanity masuk kategori Gross Violation of Human Rights (Pelanggaran HAM Berat) yang dilakukan sebagai bagian yang meluas/sistematik yang diketahui bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, lebih diarahkan pada jiwa-jiwa orang tidak bersalah (Public by innocent), sebagaimana terjadi di Bali[9].

Terorisme sering diidentikkan sebagian orang terutama barat dengan Jihad tapi apakah teroris itu sama dengan jihad?. Sering ada bom bunuh diri yang dilakukan segelintir orang, akhirnya cuma untuk memperburuk nama Islam. Kebanyakan korban jiwa paling cuma si pembom bunuh diri. Sementara yang lain paling banter hanya luka-luka seperti kasus Bom Solo atau Cirebon baru-baru ini. Adakah bom bunuh diri itu sesuai ajaran Islam? Tidak. Akan kita pelajari apa itu jihad menurut Islam.

Jihad artinya perjuangan yang sungguh-sungguh di jalan Allah dengan seluruh kemampuan baik dengan harta, jiwa, lisan, mau pun yang lainnya. Jihad terutama ditujukan untuk membela kaum yang tertindas:
“Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdoa: “Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekah) yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau!.” [An Nisaa' 75]
Jihad merupakan satu kewajiban penting dalam Islam:
Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa mati, sedang ia tidak pernah berjihad dan tidak mempunyai keinginan untuk jihad, ia mati dalam satu cabang kemunafikan.” Muttafaq Alaihi.
Dari Anas bahwa Nabi SAW bersabda: “Berjihadlah melawan kaum musyrikin dengan hartamu, jiwamu dan lidahmu.” Riwayat Ahmad dan Nasa’i. Hadits shahih menurut Hakim.
Mari kita lihat pendapat para Imam Madzhab tentang Jihad:

Madzhab Hanafi
 Menurut mazhab Hanafi, sebagaimana yang dinyatakan dalam kitab Badaa’i’ as-Shanaa’i’, “Secara literal, jihad adalah ungkapan tentang pengerahan seluruh kemampuan… sedangkan menurut pengertian syariat, jihad bermakna pengerahan seluruh kemampuan dan tenaga dalam berperang di jalan Allah, baik dengan jiwa, harta, lisan ataupun yang lain (Al-Kasaani, Op. Cit., juz VII, hal. 97.)

Madzhab Maliki
Adapun definisi jihad menurut mazhab Maaliki, seperti yang termaktub di dalam kitab Munah al-Jaliil, adalah perangnya seorang Muslim melawan orang Kafir yang tidak mempunyai perjanjian, dalam rangka menjunjung tinggi kalimat Allah Swt. atau kehadirannya di sana (yaitu berperang), atau dia memasuki wilayahnya (yaitu, tanah kaum Kafir) untuk berperang. Demikian yang dikatakan oleh Ibn ‘Arafah (uhammad ‘Ilyasy, Munah al-Jaliil, Muhktashar Sayyidi Khaliil, juz III, hal. 135.)

Madzhab as Syaafi’i
Madzhab as-Syaafi’i, sebagaimana yang dinyatakan dalam kitab al-Iqnaa’, mendefinisikan jihad dengan “berperang di jalan Allah”.(Al-Khathiib, Haasyiyah al-Bujayrimi ‘alaa Syarh al-Khathiib, juz IV, hal. 225.) Al-Siraazi juga menegaskan dalam kitab al-Muhadzdzab; sesungguhnya jihad itu adalah perang.

Madzhab Hanbali
Sedangkan madzhab Hanbali, seperti yang dituturkan di dalam kitab al-Mughniy, karya Ibn Qudaamah, menyatakan, bahwa jihad yang dibahas dalam kitaab al-Jihaad tidak memiliki makna lain selain yang berhubungan dengan peperangan, atau berperang melawan kaum Kafir, baik fardlu kifayah maupun fardlu ain, ataupun dalam bentuk sikap berjaga-jaga kaum Mukmin terhadap musuh, menjaga perbatasan dan celah-celah wilayah Islam.

Dalam masalah ini, Ibnu Qudamah berkata: Ribaath (menjaga perbatasan) merupakan pangkal dan cabang jihad. (Ibn Qudaamah, al-Mughniy, juz X, hal. 375.) Beliau juga mengatakan: Jika musuh datang, maka jihad menjadi fardlu ‘ain bagi mereka… jika hal ini memang benar-benar telah ditetapkan, maka mereka tidak boleh meninggalkan (wilayah mereka) kecuali atas seizin pemimpin (mereka). Sebab, urusan peperangan telah diserahkan kepadanya.(Ibid, juz X, hal. 30-38.)
Meski demikian, jika kita pelajari sejarah Islam, maka kita akan tahu bahwa Islam tidak pernah mengajarkan kita membunuh orang-orang kafir selain di medan perang.
Saat pertama Islam datang, ummat Islam ditindas begitu hebat. Sebagai contoh, Bilal dijemur di padang pasir yang panas dengan perut ditindih dengan batu yang besar. Namun ummat Islam saat itu dilarang untuk melawan orang-orang kafir.

Ketika penindasan begitu hebat bahkan Nabi Muhammad akan dibunuh, ummat Islam tidak berperang melawan orang-orang kafir. Namun memilih untuk menghindar dan hijrah ke kota Yatsrib (Madinah yang jaraknya sekitar 500 km dari Mekkah. Mereka tinggalkan seluruh harta bendanya di Mekkah.
Nabi Muhammad bukanlah orang yang gemar membuat permusuhan atau peperangan hanya karena perbedaan agama atau keyakinan. Terhadap kaum Yahudi di Yatsrib, Nabi Muhammad mengadakan perjanjian damai yang dinamakan Piagam Madinah untuk saling melindungi dan berdamai.

“Kecuali orang-orang yang meminta perlindungan kepada sesuatu kaum, yang antara kamu dan kaum itu telah ada perjanjian (damai) atau orang-orang yang datang kepada kamu sedang hati mereka merasa keberatan untuk memerangi kamu dan memerangi kaumnya. Kalau Allah menghendaki, tentu Dia memberi kekuasaan kepada mereka terhadap kamu, lalu pastilah mereka memerangimu. tetapi jika mereka membiarkan kamu, dan tidak memerangi kamu serta mengemukakan perdamaian kepadamu maka Allah tidak memberi jalan bagimu (untuk menawan dan membunuh) mereka. ” [An Nisaa' 90]
Terhadap kaum kafir Mekkah pun Nabi sempat membuat perjanjian damai di Hudaibiyyah yang sayangnya dilanggar oleh orang-orang kafir tersebut.

Jika musuh ingin berdamai, hendaknya kita juga berdamai.
“Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. ” [Al Anfaal 61]
Meski sudah mengungsi ke Madinah, kaum kafir berulang-kali menyerang ummat Islam pada Perang Badar, Perang Uhud, dan Perang Khandaq. Ummat Islam hanya bertahan membela diri saat mereka diserang di sekitar kota Madinah. Begitu musuh kalah dan mundur, ummat Islam membiarkan mereka mundur dengan damai. Sementara tawanan yang ada diperlakukan dengan baik dan dibebaskan setelah mendapat tebusan baik dengan uang, atau pun sekadar mengajar ummat Islam untuk membaca.
Tak pernah ummat Islam membuat ketakutan dengan membunuh orang-orang tak berdosa di kota Mekkah atau di negara-negara orang kafir tersebut sebagaimana yang dilakukan oleh segelintir pembom bunuh diri.
Hadis riwayat Anas bin Malik ra., ia berkata:

Rasulullah saw. pernah bersabda: Permudahlah dan jangan mempersulit dan jadikan suasana yang tenteram jangan menakut-nakuti. (Shahih Muslim No.3264)
Nabi melarang kita menakut-nakuti atau menteror manusia sehingga mereka bukannya cinta, tapi malah takut terhadap Islam. Kesannya Islam jadi malah menyeramkan.
Nabi melarang kita membunuh wanita dan anak-anak:

Hadis riwayat Abdullah bin Umar ra.:
Bahwa seorang wanita didapati terbunuh dalam suatu peperangan yang diikuti Rasulullah saw. lalu beliau mengecam pembunuhan kaum wanita dan anak-anak kecil. (Shahih Muslim No.3279)
Jihad yang dilakukan menurut Islam hanyalah mempersiapkan seluruh kekuatan baik harta, jiwa, senjata, lisan, dan sebagainya untuk berjuang di jalan Allah agar musuh tak bisa semena-mena membantai ummat Islam. Bukan untuk membunuh secara sadis orang-orang kafir karena dalam Islam diajarkan “Laa ikrohaa fid diin”. Tak ada paksaan dalam agama!

لا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لا انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barang siapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” [Al Baqarah 256]

الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ بِغَيْرِ حَقٍّ إِلا أَنْ يَقُولُوا رَبُّنَا اللَّهُ وَلَوْلا دَفْعُ اللَّهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَهُدِّمَتْ صَوَامِعُ وَبِيَعٌ وَصَلَوَاتٌ وَمَسَاجِدُ يُذْكَرُ فِيهَا اسْمُ اللَّهِ كَثِيرًا وَلَيَنْصُرَنَّ اللَّهُ مَنْ يَنْصُرُهُ إِنَّ اللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ

“(yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: “Tuhan kami hanyalah Allah”. Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi dan mesjid-mesjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama) -Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” [Al Hajj 40]

Jadi jika ada orang yang dengan sengaja membom gereja, sinagog, masjid (baik Sunni atau Syi’ah) niscaya mereka tidak beriman dan mengamalkan firman Allah di atas.
Bayangkan jika semua kaum saling balas menghancurkan rumah-rumah ibadah kaum lainnya, bagaimana kita semua bisa beribadah dengan tenang?

“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan). ” [Al Anfaal 60]

Terlepas dari fakta terjadinya perbedaan pengertian mengenai teroris dan juga jihad, kita harus memaknai bahwa antara teroris dengan jihad itu jelas berbeda. Namun kita harus sepakat bahwa kita menolak teroris, karena sebab utama munculnya teroris adalah adanya ketidakadilan, kemungkaran dan kemaksiatan yang terjadi di sekitar kita, keamanan dan ketentraman menjadi barang yang mahal, tidak tegaknya hukum dan sebagainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar