Selasa, 29 Mei 2012

LKAAM dan Walnag Tolak RUU Desa


Anggap Anggota DPR asal Sumbar Mengecewakan
Padang Ekspres • Rabu, 30/05/2012 10:56 WIB • GUSTI AYU GAYATRI • 29 klik

GRAFIS : EKO
Padang, Padek— Lembaga Ke­rapatan Adat Alam Mi­nang­kabau (LKAAM) Sumbar, prak­tisi perguruan tinggi, buda­yawan dan wali nagari se-Sumbar me­no­lak ditetapkannya Ran­cangan Undang Undang Desa menjadi UU Desa dalam waktu dekat ini oleh DPR RI.

Penolakan itu didasari ada­nya kekhawatiran pem­ber­la­kukan UU tersebut akan me­ru­sak tatanan adat di tengah mas­ya­rakat. Hal itu terungkap dalam rapat dengar pendapat antara anggota Pansus  RUU Desa DPR RI dengan tokoh masyarakat, perguruan tinggi, wali nagari  se-Sumbar, DPRD kota/kabu­pa­ten, DPRD Sumbar dan Gubernur Sumbar Irwan Prayitno di au­ditorium Gubernuran, ke­ma­rin ( 29/5).

“Kami tak setuju dengan keberadaan RUU desa ini. Di  Sumbar nagari itu tidak hanya dalam arti pemerintahan saja, tapi  juga dalam arti adat.

RUU Desa memisahkan an­tara pe­merintahan dengan pe­me­rin­ta­han adat. Kalau adat sudah di­pecah belah seperti itu, akan han­curlah semuanya,” ujar ang­go­ta LKAAM Sumbar Akmal Rangkayo Baso.

Selama 1979-1999, Orde Baru sudah melakukan pen­ye­ra­gaman dengan model desa administratif. “Kami juga prihatin UUD 1945 amandemen kedua malah menghilangkan istilah desa,” lanjutnya.

Catatan LKAAM ada 40 pelanggaran hak ulayat yang dilakukan oleh berbagai pihak, tapi saat masyarakat me­nga­dukan nasibnya, pemerintah tak merespons.

Sejarawan UNP Mestika Zed mengatakan, RUU Desa yang digagas DPR RI belum tentu sesuai dengan karak­teristik masyarakat di suatu daerah. Karena itu, dia me­ngi­ngatkan pusat jangan mem­preteli istilah pemerintahan yang ada di setiap daerah. Dia mengatakan sudah puluhan tahun masyarakat trauma dengan kebijakan pemerintah pusat yang terus mempreteli aturan yang ada di masyarakat.

“Saya sangat kecewa dengan ang­­gota DPR RI dari dapil Sum­bar. Harusnya mereka meno­lak ren­cana ini. Bu­kan­nya tak tega di­sodorkan am­prah per­jalanan di­nas untuk pem­ba­h­asan RUU ini. Kami kecewa de­ngan sikap ang­gota DPR RI da­pil Sumbar yang setuju dengan RUU ini,” ujar­nya.

Sedikit  berbeda, bu­da­yawan dan praktisi tradisional, Mus­ra Dah­lizar mengaku tak mem­per­soalkan nama desa itu. Tapi, dia meminta saat perubahan na­ma itu dilakukan tidak berpe­ngaruh terhadap kerapatan adat. Mi­sal­nya di Batipuhbaruh, ada 12  jo­rong. Jika jorong  akan disa­ma­­rata­kan dengan desa, jangan ada pula pembentukan ke­ra­pa­tan adat baru. “Kerapatan na­gari ja­ngan diutak-atik,” te­gasnya.

Ketua Forum Wali Nagari (Forwana) se-Sumbar, Anwar Maksum menyebutkan, dalam draf  RUU Desa, klausul pe­me­rintahan desa dihilangkan. RUU Desa memposisikan ke­pa­la desa sebagai penguasa tunggal di desa. BPD hanya se­bagai lembaga kemas­ya­ra­katan yang berfungsi me­nam­pung dan menyalurkan as­pirasi masyarakat. BPD hanya sekadar memberikan saran, pendapat dan masukan dalam penyusunan regulasi.

“Kondisi ini sangat ber­ba­haya bagi perkembangan  de­mok­rasi  di tingkat desa. Gam­baran RUU ini seakan me­ngem­balikan semangat  UU No 5 Tahun 1979 yang sen­tralistik dan tidak demokratis. Dalam kon­teks ini, RUU Desa meru­pakan langkah mundur terhadap per­kem­bangan de­mok­rasi di ting­kat  pemerintah desa yang telah mem­buat desa selama ini men­jadi dinamis,” ujarnya.

Sehubungan dengan itu, Forwana Sumbar mere­ko­men­da­s­ikan tetap mem­per­tahan­kan pe­merintah desa dan BPD seba­gai  penyelenggara  peme­rintah desa  bersama dengan kepala desa. Forwana Sumbar mengu­sul­kan penambahan dari 96 pa­sal menjadi  99 pasal (Seleng­kap­nya lihat grafis). “Kami berharap usulan kami ini dapat menjadi perhatian bagi pembuat kebijakan,” ujar­nya.

Anggota Pansus  RUU De­sa, Abdul Wahab Dalimunte men­yebutkan, RUU Desa ini dibuat bukan untuk meng­ha­bisi nagari.

“Perlu diketahui, RUU ini bukan usulan kami, tapi usu­lan dari eksekutif (Men­­dagri Ga­mawan Fauzi), nan­ti saya sam­paikan ke Men­dagri bah­wa di daerahnya yang paling ribut  soal RUU Desa itu,” ujarnya.

Ketua Rombongan Tim Pan­sus RUU Desa Budiman Su­jat­miko meyakinkan peserta dis­kusi bahwa RUU Desa ini ba­nyak manfaatnya bagi na­gari. Sebab, RUU Desa akan mem­perkuat  payung hukum ke­beradaan pemerintah teren­dah. “Kami tak punya maksud mem­preteli seperti itu. Ini kan demi kebaikan  bersama juga. Supaya ada payung hukum dari pe­me­rintahan terendah, entah apa pun namanya. Kami tetap me­ng­hormati kebe­ragaman yang ada,” ujarnya. (***)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar