Oleh: Zulfadli
Aminuddin
Sutan Basa menyeka keringat di dahinya seraya duduk dekat
sahabatnya Pak Datuk. ”Bagaimana tawaran saya tempo hari, apa angku setuju?”.
Pak Datuk membuka pembicaraan. Sutan Basa tidak segera menjawab, dia membakar
ujung rokoknya kemudian menghirupnya dalam-dalam. ”Setuju...” jawab Sutan Basa
sambil menoleh ke Pak Datuk dengan tatapan yang aneh. ”Tapi saya berjanji
setelah menyabit padi di tangah rang kapau kira-kira tiga hari lagi”. kata Sutan Basa menambahkan. ”Jadilah
kalau begitu, tapi ingat ! kamu tidak boleh main-main dengan janji mu, karena
berkaitan dengan keselamatanmu sendiri” ujar Pak Datuk serius. ”Saya kasihan
kepadamu, untuk itulah aku menemuimu disini”. Sutan Basa hanya tersenyum sambil
menatap sahabatnya beranjak pergi.
Kedua sahabat itu akhirnya berpisah. Sutan Basa kembali
melakukan pekerjaannya. Dalam hatinya sebenarnya enggan untuk mau begitu saja
”menyerah” kepada tentara Pusat. Tapi dia terpaksa setuju hanya sekedar
menyenangi hati sahabatnya pak datuk. Sementara itu Pak Datuk dalam perjalanan dari tempat Sutan
Basa, ada sesuatu pergolakan dalam pikirannya, dia tahu benar siapa Sutan Basa,
karena bukan Sutan Basa namanya kalau tidak sering ingkar janji. Pak Datuk
khawatir karena keselamatan sahabatnya ini terancam bila dia kembali mengingkari
janjinya. Karena Sutan Basa ini dianggap musuh yang paling dicari oleh tentara
Pusat. Karena sifat setia kawan, untuk itulah pak Datuk berusaha keras agar
Sutan Basa mau ”masuk ke dalam” artinya menyerah kepada tentara pusat, maka
keselamatan jiwanya akan terjamin.
Pak Datuk sudah lama berhubungan dengan tentara pusat atau
APRI, tapi bukan memihak dalam arti kata sebenarnya, karena dia sendiri tetap
menjaga hubungan baik dengan tentara PRRI. Yang ada dalam pikirannya adalah
keamanan dan ketenteraman warga, karena di awal meletusnya pemberontakan PRRI
pak datuk sudah memprediksi bahwa PRRI tidak akan lama bertahan. Ternyata
perkiraan pak datuk benar adanya dan tidak meleset karena terbukti PRRI hampir tidak
mampu lagi bertahan dan sebagian besar tokoh dan para komandan tentara PRRI
sudah menyerah.
Sebuah Jeep militer berhenti dekat pak Datuk ketika
berpapasan di sebuah jalan yang sunyi. Pak datuk menoleh, ternyata yang berada
di atas mobil adalah Camat, camat ini berada di pihak pusat yang langsung
berhadapan dengan PRRI. Dia sudah tidak asing bagi pak datuk, mereka sudah
sangat akrab, meskipun kadang berbeda pendirian. Camat ini juga seorang datuk. ”Bagaimana Tuk, sudah
disampaikan pesan saya sama si Basa?”
Pak Camat tiba-tiba langsung bertanya pada pak Datuk.
”Sudah pak Camat,
tapi...”, ”Tapi apa...” pak Camat memotong pembicaraan. ”Begini..., kemaren
saya sudah menemuinya dan dia berjanji tiga hari lagi”. Camat memandang ke arah
lain sambil mengernyitkan dahinya.” Ah, sudahlah Tuk, anda kan tahu sendiri
siapa dia, dia itu sangat berbahaya” matanya menatap pak datuk dengan tatapan
ribuan makna. Pak Datuk hanya diam, cuma dia berpikir semoga Sutan Basa untuk
kali ini mau mengambil sikap yang tegas demi keselamatannya sendiri. Sebab
tindakan-tindakan Sutan Basa selama ini menurut anggapan pihak pusat telah
meresahkan.
”Oh ya, Tuk, jangan lupa kita ketemu besok di kantor karena
ada yang perlu dibicarakan” kata pak Camat. ”Ya, Insyaallah” sahut pak datuk.
Kemudian dia menjalankan mobilnya dan berlalu dari pak datuk yang masih berdiri
di pinggir jalan itu. Pikiran pak Datuk kembali mengalami pergolakan, ada suatu
isyarat yang masuk ke dalam batinnya yang akan menimpa sahabatnya Sutan Basa
meskipun sahabatnya ini sering menjengkelkannya. Tapi batinnya tidak akan menyimpulkan terlalu
jauh, lamunannya buyar karena ada seseorang yang menyapanya.
Malam itu mata pak datuk tidak mau dipejamkan, ia terus
menerawang, pikirannya berkecamuk. Nun jauh di sana terdapat sebuah rumah,
beberapa orang tentara pusat tampak membawa senjata laras panjang. Mereka
berjalan kaki menuju sebuah rumah yang merupakan rumah Sutan Basa, barangkali
mereka sudah tahu dari intel, bahwa malam itu Sutan Basa sedang berada di
rumahnya, padahal biasanya dia sangat jarang berada di rumah meskipun malam
hari.
Setiba di rumah yang dituju, salah seorang tentara mengetok
pintu beberapa kali, namun tiada jawaban dari dalam rumah. Sutan Basa sudah meyakini
dia akan didatangi tentara pusat, di balik pintu dengan tubuh kekar dia sudah
siap sambil menghunus parang yang biasa untuk menyiangi pematang sawah. Yakin
pintu tidak akan dibuka, salah seorang tentara akhirnya mendobrak pintu rumah
namun dia tidak masuk. Seorang tentara meminta Sutan Basa untuk menyerah, kalau
tidak maka senjata akan bicara.
Sutan Basa berfikir bahwa situasi sangat berbahaya dan tidak
mungkin untuk melawan, lantas dia melemparkan parangnya dan keluar sambil
mengangkat tangan. (Bersambung...)