PENDIRIAN GERAKAN PADERI
Daerah Minangkabau agak kemudian memeluk agama Islam, namun dengan
keyakinan yang teguh. Akan tetapi dalam beberapa hal umpama dalam hukum ibu
(matriarchaat), dalam aturan mamak-kemenakan dan dalam urusan perkawinan orang
Minangkabau masih memakai adat daripada memakai aturan-aturan agama. Terhadap
kepada kelalaian akan aturan agama Islam itulah suatu golongan orang Islam yang
disebut kaum Paderi, bertindak; pada mulanya dengan perkataan namun kemudian dengan kekerasan pula.
Demikianlah mereka membunuh raja-raja Minangkabau dulu dalam suatu pertemuan di
Koto Tangah.
Adapun asal mula berdirinya golongan Paderi itu, ialah ketika tiga orang
haji , yakni Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang setelah kembali dari Mekah
menyebarkan pengajaran-pengajaran kaum Wahabi yang mereka saksikan di Mekah.
Terutama hal-hal yang bertentangan dengan pengajaran agama hendak mereka
berantas, misalnya kegemaran minum tuak, mengisap candu, berjudi, menyabung
ayam, merokok, memotong gigi dan sebagainya. Kaum wanita harus memakai selubung
(kain penutup kepala), sedangkan yang laki-laki harus memelihara dan
memanjangkan janggutnya, namun kepalanya harus dicukur gundul dan kemudian
memakai serban. Pakaian mereka harus putih, maka kaum Paderi (demikian nama
yang diberikan kepada kaum yang didirikan oleh Haji Miskin cs) itu biasa
disebut Orang Putih.
Keinginan kaum Paderi itu masih lanjut, yakni pada hakekatnya mereka ingin
melenyapkan adat dan menggantinya dengan aturan-aturan agama.
Adat yang teguh dipegang di Minangkabau ialah adat matriarchaat (hukum
ibu), dalam mana ditentukan anak perempuan sebagai ahli waris, demikian juga
bila anak perempuan itu kawin, ia tidak meninggalkan keluarganya, tetapi
sebaliknya lakinya itu yang meninggalkan keluarganya untuk menetap pada
keluarga isterinya. Adat lain yang dipegang teguh pula, ialah adat anak
kemanakan : saudara isteri yang laki-laki, yang paling tualah yang mengurus
harta benda dan hal ihwal keluarga sehingga perhubungan dengan kemanakan lebih
erat daripada perhubungan dengan anaknya sendiri. Kemenakannya itu yang
menggantinya pada jabatan-jabatan dalam masyarakat. Kedua adat itulah yang
ingin dilenyapkan oleh kaum Paderi, supaya dapat digantinya dengan peraturan
agama yang sesungguhnya.
PERMULAAN PERANG PADERI
Pada mulanya pembaharuan-pembaharuan itu dijalankan dengan secara damai,
namun kemudian ditempuh pula jalan kekerasan. Maka lambat laun pengikut kaum
Paderi menjadi banyak, mula-mula terutama di daerah Agam. Penganjur pemakaian
kekerasan mula-mula ialah Tuanku nan Renceh (nan Renceh ialah pujian bagi
tikus, karena orang takut kepadanya)
beserta tujuh orang tuanku yang lainnya. Pada tiap-tiap kampung yang
direbut, Tuanku nan Renceh mengangkat seorang tuanku imam (kepala negeri) dan seorang
tuanku khalifah (kepala agama), yang diserahi tugas mengadili perkara. Orang
yang lalai sembahyang dihukum: pertama kalinya didenda 5 suku (uang suku = uang
setengah rupiah) dan kalau terus menerus melalaikan sembahyang dihukum mati.
Demikian juga orang yang menjual tembakau dan merokok didenda 5 suku ; yang
berpakaian tak menurut aturan agama didenda 2 suku dan sebagainya.
Tuanku Imam Bonjol |
Dari daerah Alahan Panjang gerakan Paderi itu dikembangkan oleh Datuk Bandaharo dan seorang santri,
Malim Basa. Keduanya pernah mengikuti Haji Miskin mengadakan tabligh (khutbah
menyampaikan pengajaran Islam kepada umum) berkeliling selama empat bulan dan
setelahnya mereka balik ke Alahan Panjang lagi. Karena di Alahan Panjang banyak
orang anti Paderi maka dibawah pimpinan Malim Basa kaum Paderi mendirikan
kampung Bonjol. Kampung itu diperkuat dan dijadikan pusat pergerakan Paderi
yang diperintah oleh empat orang, sehingga mereka itu disebut Berampat Selo
atau Raja Ampat. Salah seorang dari Raja Ampat itu adalah Malim Basa yang kemudian
menjadi Tuanku Imam Bonjol (Tuanku Imam Malim Besar).
Lambat laun Bonjol makin bertambah penghuninya, karena dari segala fihak
datang orang hendak belajar pada Tuanku Imam. Demikian pula kampung yang
direbut kaum Paderi makin banyak, sehingga memperkuat gerakan kaum Paderi itu.
Seperti telah diuraikan sedikit di atas Raja-raja Minangkabau dibinasakan
kaum Paderi dalam suatu perjamuan di Koto Tangah. Seorang penganjur kaum
Paderi, Tuanku Pasaman (Tuanku Lintau) mengundang raja-raja Minangkabau itu untuk
membicarakan masalah-masalah agama di Koto Tangah. Raja-raja Minangkabau itupun
dengan keluarga dan pengiringnya datanglah ke Koto Tangah itu. Setelah
perjamuan selesai, maka dengan tuduhan bahwa raja-raja Minangkabau itu
melanggar Islam, disergap dan dibunuh semuanya. Hanyalah seorang saja yakni
Tuanku Raja Alam Muning Syah, dapat melarikan diri dengan membawa seorang
cucunya yang masih kecil ke Kuantan.
Kepala-kepala adat yang tidak sudi tunduk kepada kaum Paderi banyak yang
menyingkir pula, diantaranya dua orang bersaudara, yang keduanya bernama Tuanku
Saruaso, pergi ke Padang untuk meminta bantuan kepada Belanda di sana. Adapun
orang Belanda pada waktu itu telah berkuasa lagi di Padang setelah orang
Inggris menarik diri dari Sumatera Tengah. Dalam minta bantuan itu
kepala-kepala adat itu berjanji menyerahkan kedaulatan seluruh Minangkabau
kepada Belanda (10 Februari 1821).
Kini Belanda beroleh kesempatan yang seluas-luasnya untuk memperkuat
kedudukannya di Andalas. Maka Belanda mengirimkan pasukannya ke Semawang dan
beberapa minggu kemudian terjadi pertempuran di Sulit Air dekat Semawang.
Dengan teguhnya kaum Paderi mempertahankan Sulir Air itu dan hanyalah dengan
pengorbanan besar Belanda dapat menduduki kampung itu. Dengan pertempuran itu
mulailah Perang Paderi (1822 – 1837).
JALAN PERANG PADERI SAMPAI
PERJANJIAN PADANG
Tuanku Tambusai |
Tiada lama setelah terjadi pertempuran
di Sulit Air itu kaum Paderi melakukan serangan pembalasan kepada
tentara Belanda di Semawang namun ditangkis.
Kekuatan tentara Belanda ditambah, dan sebagai panglima diangkat seorang
bekas opsir Napoleon I, ialah Letnan Kolonel Raaff. Dengan segera diusahakannya
merebut Tanah Datar dengan maksud terutama menaklukkan Lintau tempat kedudukan
Tuanku Pasaman. Akan tetapi Tuanku Pasaman mendahului menyerang musuh, namun
oleh meriam Belanda dipukul mundur.
Sementara itu kenyataan kepada orang Belanda, bahwa kaum adat tiada
sungguh-sungguh bersekutu dengan mereka, karena sesungguhnya kaum adat itu
hendak memakai tenaga Belanda hanya untuk sementara saja. Oleh karena itu orang
Belanda selalu mencurigai kaum adat itu. Maka Pagaruyung tempat kedudukan
raja-raja Minangkabau dulu diduduki
Belanda, sedangkan kedua saudara Tuanku Saruaso pun ditangkap. Kemudian didirikan
benteng di Batusangkar, dekat Pagaruyung yang dinamai Fort van der Capellen.
Setelah merebut Pagaruyung, Raaff menyerang Lintau, namun kekuatannya tiada
sesuai dengan perlawanan kaum Paderi, sehingga ia kembali ke Pagaruyung lagi,
sambil menantikan bala bantuan baru dari Jawa. Kaum Paderi tiada berdiam diri
pula dan acapkali mengadakan serangan terhadap kedudukan Belanda itu. Begitu
pula tentara Belandaruk melakukan
penaklukan atas beberapa kampung, kendati dengan pengorbanan besar juga.
Dengan bala bantuan baru Raaff melakukan serangan lagi. Maksudnya
menaklukkan daerah Agam dulu, sebelum merebut Lintau. Serangannya pada waktu
itu gagal pula. Ia kembali ke Pagaruyung dan minta bala bantuan lagi. Setelah
bala bantuan baru datang Raaff menyerang kaum Paderi dengan melalui Lembah
Marapalam ; maka disinilah tentara Belanda menerima pukulan hebat dari kaum
Paderi, yang bermati-mati mempertahankan lembah itu.
Jelaslah kepada Raaff, bahwa kekuatan tentera Belanda harus ditambah dan
diperkuat lagi. Untuk keperluan itu Raaff berangkat ke Batavia. Sebelum itu
dengan persetujuan residen Padang ia mengangkat Raja Alam Muning Syah menjadi
bupati Agam dan berkedudukan di Pagaruyung.
Tentara Belanda di Fort de Kock |
Maka sekembali di Padang Raaff mengadakan perhubungan dengan kaum Paderi
Bonjol ; pada tanggal 22 Januari 1824 terdapatlah Perjanjian Masang, dalam mana
kedua pihak akan mengindahkan batasnya masing-masing.
Oleh Belanda perjanjian itu tak diindahkan, karena dua bulan kemudian Raaff
menyuruh menduduki dua buah kampung. Maka dengan sendirinya kaum Paderi tidak
mengakui Perjanjian Masang itu dan membuka serangan-serangan lagi.
Dalam pada itu Raaff yang meninggal dalam bulan April 1824, diganti oleh
kolonel De Stuers, yang harus berdaya upaya menetapkan batas-batas dengan kaum
Pidari, agar tercapai perdamaian lagi, sehingga kehidupan biasa dan perniagaan
kembali sebagai semula. Kedudukan-kedudukan serdadu Belanda dikurangi, namun
pada suatu bukit di Agam, yakni Bukittinggi didirikan benteng Fort de Kock.
Dengan Said Salimu’ldjafrid seorang Arab, sebagai perantara pada tanggal 15
November 1825 diadakanlah Perjanjian Padang antara Belanda dengan wakil-wakil
penganjur Paderi, diantaranya Tuanku nan Renceh dan Tuanku Pasaman. Dalam
Perjanjian Padang itu kedua fihak berjanji tiada akan serang menyerang lagi.
Pada hakekatnya Belanda mengikat perjanjian itu oleh karena kekuatannya
dibutuhkan seluruhnya dalam Perang Diponegoro, yang pecah pada tanggal 20 Juli
1825 itu. Itulah sebabnya Belanda sungguh-sungguh berusaha, supaya buat
sementara jangan terlibat dalam pertikaian antara kaum adat dan kaum Paderi
itu.
DARI 1830 SAMPAI PERDAMAIAN
DALAM 1832
Setelah Perang Diponegoro berakhir Belanda melanjutkan peperangan dengan
kaum Paderi itu.
Penyerangan Belanda ke Naras di daerah Pariaman, dimana pergerakan Paderi
dipimpin oleh Tuanku nan Cerdik tiada berhasil, padahal dibantu dua buah kapal
perang. Serangan yang kedua kali juga tidak berhasil. Kaum Paderi mencoba
menyerang Padang pada awal 1831, namun sebelum sampai dapat dipukul mundur
Belanda.
Kolonel De Stuers yang berhenti pada
1829 diganti oleh Letnan Kolonel Elout, yang datang pada awal bulan Maret 1831
di Padang. Dengan bantuan Mayor Michiels Naras dapat direbut, sehingga Tuanku
nan Cerdik menyingkir ke Bonjol. Seterusnya kampung-kampung kaum Paderi satu
demi satu direbut.
Bala bantuan baru datang pula pada 1832 diantaranya pasukan-pasukan yang
dikepalai Sentot. Maka Lintau pun jatuh dan dengan direbutnya Bukit Kamang
seluruh Agam terletak dibawah kuasa Belanda. Bonjol juga dapat dikuasainya.
Tuanku Imam Bonjol berdamai dengan Belanda sehingga kembalilah ketenteraman di
Minangkabau.
DARI 1833 SAMPAI PENAWANAN
TUANKU IMAM BONJOL
Ilustrasi Penaklukan Bonjol |
Bonjol 1839 |
Ketenteraman itu tiada berlangsung lama, karena tindakan-tindakan Belanda
sendiri (pemungutan cukai pasar, cukai mengadu ayam, pekerjaan rodi dan
sebagainya) dan karena kebangunan perasaan kebangsaan, sehingga timbul
perlawanan kembali ; kini baik kaum Paderi maupun kaum Adat bahu membahu
melawan Belanda (3 Januari 1833).
Suatu pasukan tentara Belanda dibawah Letnan Kolonel Vermeulen Krieger
terkepung di Pisang dan hanyalah dengan susah payah dan pengorbanan besar dapat
meloloska diri dan menyingkir ke Bukit Koriri di Agam. Begitu pula pasukan
pendudukan Belanda di Bonjol dibinasakan semuanya (11 Januari 1833). Di
tempat-tempat lainpun tangsi-tangsi Belanda diserang dan banyak serdadunya
ditewaskan.
Letnan Kolonel Elout maklum, bahwa seluruh Minangkabau telah bersedia
memerangi Belanda. Oleh karena itu diusahakannya memperbaiki hubungan dengan
orang Minangkabau dengan mengganti serdadu Belanda dengan anggota-anggota
lasykar Sentot, karena mereka beragama Islam pula. Akan tetapi kemudian
kenyataan Sentot mengadakan perhubungan
dengan kaum pelawan dan mengadakan komplotan dengan Raja Alam Muning Syah untuk
menumbangkan kuasa Belanda. Oleh karena itu Sentot pun pura-pura disuruh ke
Batavia untuk mengumpulkan lasykar baru untuk menambah lasykarnya. Di Batavia
ia ditawan dan kemudian diasingkan ke Bengkulen dan meninggal disana pada
tanggal 17 April 1855. Raja Alam Muning Syah juga ditawan oleh Elout, demikian
juga pemuka-pemuka lainnya, seperti Tuanku nan Cerdik yang beberapa lamanya
bersekutu dengan Belanda, dan Tuanku Alam dari Koto Tuo yang sangat dipercayai
Elout.
Dalam pada itu selama empat bulan sejak dari awal perang baru ituhanya
berlaku perang kecil-kecil saja.
Di Tambusai yang terletak di daerah Rokan, seorang guru agama Pakih Saleh
mengembangkan pengaruhnya dan menamakan dirinya Tuanku Tambusai. Dengan
pemuka-pemuka lainnya ia memasuki Padang Lawas (Tapanuli) namun dipukul mundur.
Dalam bulan Juni 1833 di Padang tibalah Jenderal Mayor Riesz dengan membawa
tentara yang besar.
Sementara itu Tuanku Tambusai melanjutkan peperangan dengan memasuki
Angkola, demikian pula dimana-mana perlawanan terus berkobar-kobar.
Adapun van den Bosch (yang dijadikan komisaris jenderal, agar lebih besar
kuasanya dalam menyelenggarakan Cultuurstelsel) berhasrat menyelesaikan perang
sebelum ia pulang ke negeri Belanda. Maka ditetapkannya supaya benteng
pertahanan kaum Paderi yakni Bonjol jatuh selambat-lambatnya pada tanggal 16
September 1833. Bonjol itu diserangnya dari tiga jurusan, sedangkan seluruh
kesatuan akan bergerak dekat Matur agar kaum pelawan terpaksa menahan sebagian
tentaranya disana. Serangan terhadap Bonjol ternyata gagal, sehingga kejatuhan
Bonjol masih jauh dari tanggal yang dipastikan itu. Karena itu van den Bosch
berusaha berdamai dengan kaum Paderi Bonjol, tetapi gagal pula. Sampai
pulangnya usaha-usaha van den Bosch sia-sia belaka. Maka sepeninggalnya
pemerintahan dipegang oleh seorang anggota Dewan Hindia van Sevenhoven dan
Jenderal Mayor Riesz, sedangkan komandan angkatan perang ialah Letnan Kolonel
Bauer.
Pada tanggal 25 Oktober 1833 kedua orang komisaris-gubernemen (van
Sevenhoven dan Riesz) itu mengeluarkan maklumat yang dinamakan Pelakat Panjang
oleh orang Minangkabau. Sesungguhnya azas-azas pelakat panjang itu telah lama
disusun oleh van den Bosch sebelum ia balik ke negerinya :
- Anak negeri bebas dari segala pajak yang berat dan sekalian rodi.
- Bea pemasukan dan pengeluaran barang terus dijalankan, begitu pula monopoli garam dan madat dengan beberapa perubahan.
- Pemimpin rakyat akan digaji bulanan dari Rp. 25,- hingga Rp.200,- berdasarkan kedudukan, pengaruh dan kecakapannya.
- Luhak-luhak (distrik-distrik) boleh mengatur urusan rumahtangganya masing-masing, tetapi harus menyediakan sejumlah orang untuk menahan serangan musuh dari dalam atau luar negeri.
- Belanda berhak menengahi perselisihan antara luhak-luhak, kalau tiada kecocokan untuk mencegah perang.
- Belanda berhak memasang jalan-jalan dan mendirikan benteng-benteng.
- Perlawanan terhadap kepada Gubernemen Belanda akan diadili oleh sebuah mahkamah (pengadilan).
- Penanaman tanam-tanaman yang hasilnya besar harganya di Eropah, dan penggalian emas dianjurkan oleh Pemerintah.
Kaum pelawan tidak mengindahkan Pelakat Panjang ini dan terus melakukan
perlawanan. Pada akhir 1833 pertempuran hebat berlaku di daerah Sungai Masang,
Pagaruyung dan Rao Mandahiling.
Dalam tahun berikutnya dibawah pimpinan Bauer Matur direbut, sampai-sampai
Bonjol terancam. Pisang dan Semawang jatuh ke tangan Belanda. Siasat bauer
ialah melakukan pengepungan yang rapat, sehingga tempat yang dikepung tertutup
samasekali, sedangkan siasat Tuanku Imam Bonjol ialah mengobarkan perlawanan di
daerah lainnya, supaya Belanda tiada berdaya mengerahkan seluruh kekuatannya
untuk menyerang Bonjol.
Untuk menaklukkan Bonjol itu tentara Belanda menderita kerugian-kerugian
besar, karena kaum Paderi berkali-kali dapat memukul mundur mereka. Bauer
sendiri kena ranjau dan terpaksa diangkut ke rumah sakit di Bukittinggi.
Demikianlah selama 1834 dan 1835 usaha-usaha Belanda mematahkan perlawanan kaum
Paderi tiada berhasil, malah sebaliknya menderita kerugian-kerugian besar.
Demikian pula usaha-usaha Bauer untuk mengadakan perdamaian terus menerus
gagal, sehingga ia pada bulan Mei 1836 diganti oleh Cleerens. Tentara Belanda
di daerah-daerah Bonjol makin diperkuat oleh Cleerens dan ditempat lain-lain
dilakukannya persediaan menentang perlawanan kalau timbul.
Pada tanggal 4 Desember 1836 Cleerens memerintahkan menyerbu Bonjol. Dengan
diam-diam pasukan pelopor, yakni orang-orang Afrika dan Bugis memasuki Bonjol
pada waktu dinihari melalui lubang-lubang dalam tembok. Akan tetapi kaum Paderi
menyerang dengan tiba-tiba, sehingga orang Afrika dan Bugis terjepit antara
kaum Paderi dan induk tentara Belanda yang mulai menembak pula. Oleh karena itu
orang Afrika dan Bugis menjadi bingung dan lari tunggang langgang keluar lagi.
Berkat kuatnya pertahanan kaum Paderi tentara Belanda terpaksa mundur.
Berhubung ternyata keadaan belum menguntungkan Belanda dalam bulan Januari
1837 gubernur jenderal mengirim jenderal mayor Cochius untuk meninjau keadaan
di Minangkabau dengan kekuasaan melakukan tindakan-tindakan yang dianggap perlu.
Oleh Cochius diputuskan agar daerah-daerah di sebelah utara dan timur laut
Bonjol direbut terlebih dahulu, sehingga dengan demikian Bonjol betul-betul
terkepung.
Jenderal mayor Cleerens yang tak mempunyai keyakinan akan dapat merebut
Bonjol diganti oleh letnan kolonel Michiels.
Cochius |
Setelah Padang Bubu dan Tanjung Bunga ditaklukkan Belanda Cochius memulai
dengan serangan langsung ditujukan atas Bonjol. Untuk maksud itu dibuat sebuah
parit supaya serdadu-serdadu Belanda dapat mendekati tembok Bonjol. Penggalian
parit itu memakan banyak korban, karena uap yang keluar dari dalam tanah itu
menimbulkan penyakit. Usaha lain ialah penaklukan Bukit Terjadi yang terletak
di sebelah timur Bonjol, karena dari bukit itu lebih mudah menembaki Bonjol.
Dengan susah payah Bukit Terjadi direbut Belanda. Maka setelahnya dilakukanlah
serangan umum atas Bonjol pada malam 15/16 Agustus 1837 ; esok harinya pukul
delapan pagi Bonjol jatuh ke tangan Belanda. Sejak itu satu demi satu kampung
yang diperintah Raja Berampat Selo pun menghentikan perlawanan. Seorang
penghulu diutus kepada Tuanku Imam Bonjol yang sempat melarikan diri, dengan
pesan bahwa ia boleh diam di Alahan Panjang sebagai orang preman. Maka pada
tanggal 28 Oktober 1837 Tuanku Imam Bonjol mendapatkan komandan pasukan Belanda
di Palupuh. Kemudian oleh Michiels Tuanku Imam Bonjol dikirim ke Batavia
sebagai tawanan. Dari Batavia ia diasingkan ke Cianjur. Akan tetapi karena di
Cianjur pengaruhnya bertambah besar setahun kemudian ia dipindahkan ke Ambon.
Dua tahun kemudian ia dipindahkan pula ke Minahasa. Disanalah di kampung Lutak
pahlawan itu berpulang kerahmatullah pada 6 hari bulan November 1864.
AKHIR PERLAWANAN TUANKU
TAMBUSAI
Dengan penawanan Tuanku Imam Bonjol Perang Paderi belum berakhir, namun
berlangsung terus di bawa pimpinan Tuanku Tambusai yang bergerak di medan
utara. Michiels memerintahkan kepada komandan tentara di daerah Mandahiling Rao
menyerang Tuanku Tambusai.
Adapun Tuanku Tambusai itu telah beberapa waktu lamanya meluaskan
pengaruhnya di Padang Lawas dan Angkola. Ke daerah Mandahiling juga pernah
Tuanku Tambusai menanamkan kuasa, namun dipukul mundur oleh orang Mandahiling
sendiri dengan bantuan tentara Belanda. Bahkan ke Sipirok dan daerah Toba pun
Tuanku Tambusai pernah melakukan penyerbuan (orang Batak menamakannya Tuanku
Rao).
Dalam bulan November 1837 suatu kesatuan Belanda berangkat dari Mandahiling
ke utara. Orang Sipirok turut membantu tentara Belanda itu. Bersama-sama kedua
lasykar itu menyerang Portibi, sehingga Tuanku Tambusai terpaksa meninggalkan
Padang Lawas dan balik ke Tambusai.
Stuers |
Kemudian diantara Raja Mundang yang
diperkuat Belanda dan Dalu-Dalu
kedudukan Tuanku Tambusai, berlaku pertempuran-pertempuran yang dahsyat. Dengan
bantuan barisan Mandahiling Michiels setelah melakukan perjuangan hebat dapat
merebut Dalu-Dalu pada 28 hari bulan Oktober 1837.
Akan nasib Tuanku Tambusai seterusnya tidak diketahui. Mungkin ia meninggal
di rimba ketika menyembunyikan diri dalam usahanya melarikan diri, mungkin juga
ia menyingkir ke Bila dan seterusnya mengembara dengan serombongan
pengiringnya yang setia.
Maka berakhirlah perjuangan kaum Paderi melawan Belanda. Setelah itu
Belanda melakukan semacam Cultuurstelsel di Padang Hulu, Bengkulu dan Tapanuli
Selatan dengan menyuruh penduduk menanam kopi untuk dijual kepada gubernemen
dengan harga yang rendah. Akan tetapi penduduk tiada kehabisan akal dan
menyelundupkan sebagian kopi itu ke Singapura dengan melalui sungai-sungai
besar di timur. Dari Singapura mereka menyelundupkan garam, kain-kain dan
sebagainya, sehingga keuntungan tak sepadan dengan pengharapan Belanda. Untuk
membasmi penyelundupan itu Belanda berusaha memperbesar kuasanya di sepanjang
Pesisir Sumatera Timur untuk mengontrol sungai-sungai yang merupakan jalan dari
hulu ke selat Malaka. (06/11/2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar