Imam Bonjol, Pemimpin Utama Perang Paderi
TIB dituduh melanggar HAM karena pasukan Paderi menginvasi Tanah Batak (1816-1833) yang menewaskan “jutaan” orang di daerah itu (http://www.petitiononline.com/bonjol/petition.html).
Kekejaman Paderi disorot dengan diterbitkannya buku MO Parlindungan, Pongkinangolngolan Sinamabela Gelar Tuanku Rao: Teror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak, 1816-1833 (2006) (Edisi pertama terbit 1964, yang telah dikritisi Hamka, 1974), kemudian menyusul karya Basyral Hamidy Harahap, Greget Tuanku Rao (2007). Kedua penulisnya, kebetulan dari Tanah Batak, menceritakan penderitaan nenek moyangnya dan orang Batak umumnya selama serangan tentara Paderi 1816-1833 di daerah Mandailing, Bakkara, dan sekitarnya (Tempo, Oktober 2007). Mitos kepahlawanan Munculnya koreksi terhadap wacana sejarah Indonesia belakangan ini mencuatkan kritisisme terhadap konsep pahlawan nasional. Kaum intelektual dan akademis, khususnya sejarawan, adalah pihak yang paling bertanggung jawab jika evaluasi wacana historis itu hanya mengakibatkan munculnya friksi di tingkat dasar yang berpotensi memecah belah bangsa ini.
Ujung pena kaum akademis harus tajam, tetapi teks-teks hasil torehannya seyogianya tidak mengandung “hawa panas”. Itu sebabnya dalam tradisi akademis, kata-kata bernuansa subyektif dalam teks ilmiah harus disingkirkan si penulis. Setiap generasi berhak menafsirkan sejarah (bangsa)-nya sendiri. Namun, generasi baru bangsa ini—yang hidup dalam imaji globalisme—harus menyadari, negara-bangsa apa pun di dunia memerlukan mitos-mitos pengukuhan. Mitos pengukuhan itu tidak buruk. Ia adalah unsur penting yang di-ada-kan sebagai “perekat” bangsa. Sosok pahlawan nasional, seperti Pangeran Diponegoro, Sultan Hasanuddin, Sisingamangaraja XII, juga TIB, dan lainnya adalah bagian dari mitos pengukuhan bangsa Indonesia.
Jeffrey Hadler dalam “An History of Violence and Secular State in Indonesia: Tuanku Imam Bondjol and Uses of History” (diterbitkan dalam Journal of Asian Studies, 2008) menunjukkan, kepahlawanan TIB telah dibentuk sejak awal kemerdekaan hingga zaman Orde Baru, setidaknya terkait tiga kepentingan. Pertama, menciptakan mitos tokoh hero yang gigih melawan Belanda sebagai bagian wacana historis pemersatu bangsa. Kedua, mengeliminasi wacana radikalisme Islam dalam upaya menciptakan negara-bangsa yang toleran terhadap keragaman agama dan budaya. Ketiga, “merangkul” kembali etnis Minang ke haribaan Indonesia yang telah mendapat stigma negatif dalam pandangan pusat akibat peristiwa PRRI.
Kita tak yakin, sudah adakah biji zarah keindonesiaan di zaman perjuangan TIB dan tokoh lokal lain yang hidup sezaman dengannya, yang kini dikenal sebagai pahlawan nasional. Kita juga tahu pada zaman itu perbudakan adalah bagian sistem sosial dan beberapa kerajaan tradisional Nusantara melakukan ekspansi teritorial dengan menyerang beberapa kerajaan tetangga. Para pemimpin lokal berperang melawan Belanda karena didorong semangat kedaerahan, bahkan mungkin dilatarbelakangi keinginan untuk mempertahankan hegemoni sebagai penguasa yang mendapat saingan akibat kedatangan bangsa Barat. Namun, mereka akhirnya menjadi pahlawan nasional karena bangsa memerlukan mitos pemersatu.
Bukan manusia sempurna Tak dapat dimungkiri, Perang Paderi meninggalkan kenangan heroik sekaligus traumatis dalam memori bangsa. Selama sekitar 20 tahun pertama perang itu (1803-1821) praktis yang berbunuhan adalah sesama orang Minangkabau dan Mandailing atau Batak umumnya. Campur tangan Belanda dalam perang itu ditandai dengan penyerangan Simawang dan Sulit Air oleh pasukan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema awal April 1821 atas perintah Residen James du Puy di Padang. Kompeni melibatkan diri dalam perang itu karena “diundang” kaum Adat. Pada 21 Februari 1821 mereka resmi menyerahkan wilayah darek (pedalaman Minangkabau) kepada Kompeni dalam perjanjian yang diteken di Padang, sebagai kompensasi kepada Belanda yang bersedia membantu melawan kaum Paderi. Ikut “mengundang” sisa keluarga Dinasti Pagaruyung di bawah pimpinan Sultan Muningsyah yang selamat dari pembunuhan oleh pasukan Paderi yang dipimpin Tuanku Pasaman di Koto Tangah, dekat Batu Sangkar, pada 1815 (bukan 1803 seperti disebut Parlindungan, 2007:136-41).
Namun, sejak awal 1833 perang berubah menjadi perang antara kaum Adat dan kaum Agama melawan Belanda. Memorie Tuanku Imam Bonjol (MTIB)— transliterasinya oleh Sjafnir Aboe Nain (Padang: PPIM, 2004), sebuah sumber pribumi yang penting tentang Perang Paderi yang cenderung diabaikan sejarawan selama ini—mencatat, bagaimana kedua pihak bahu-membahu melawan Belanda. Pihak-pihak yang semula bertentangan akhirnya bersatu melawan Belanda. Di ujung penyesalan muncul kesadaran, mengundang Belanda dalam konflik justru menyengsarakan masyarakat Minangkabau sendiri. Dalam MTIB, terefleksi rasa penyesalan TIB atas tindakan kaum Paderi atas sesama orang Minang dan Mandailing.
TIB sadar, perjuangannya sudah melenceng dari ajaran agama. “Adapun hukum Kitabullah banyaklah yang terlampau dek oleh kita. Bagaimana pikiran kita?” (Adapun banyak hukum Kitabullah yang sudah terlangkahi oleh kita. Bagaimana pikiran kalian?), tulis TIB dalam MTIB (hal 39). Penyesalan dan perjuangan heroik TIB bersama pengikutnya melawan Belanda yang mengepung Bonjol dari segala jurusan selama sekitar enam bulan (16 Maret-17 Agustus 1837)—seperti rinci dilaporkan De Salis dalam Het einde Padri Oorlog: Het beleg en de vermeestering van Bondjol 1834-1837: Een bronnenpublicatie [Akhir Perang Paderi: Pengepungan dan Perampasan Bonjol 1834-1837; Sebuah Publikasi Sumber] (2004): 59-183—mungkin dapat dijadikan pertimbangan untuk memberi maaf bagi kesalahan dan kekhilafan yang telah diperbuat TIB. Kini bangsa inilah yang harus menentukan, apakah TIB akan tetap ditempatkan atau diturunkan dari “tandu kepahlawanan nasional” yang telah “diarak” oleh generasi terdahulu bangsa ini dalam kolektif memori mereka.
(Kompas 10/11/2007 Oleh Suryadi, Dosen dan Peneliti pada Opleiding Talen en Culturen van Zuidoost-Aziƫ en Oceaniƫ, Universiteit Leiden, Belanda)
Agus Salim, Berbuat sesuai dengan perkataannya
Ketika lahir, orang tuanya memberi nama Masyhudul Haq. Namun, kemudian masyarakat luas lebih mengenalnya sebagai Haji Agus Salim. Ia adalah pahlawan nasional pemegang tiga tanda jasa anumerta: Bintang Mahaputera Tingkat I (1960), Satyalencana Peringatan Perjuangan Kemerdekaan (1961), dan Pahlawan Kemerdekaan Nasional (1961).
Masyhudul Haq alias Agus Salim lahir pada 8 Oktober 1884 di Kota Gedang (Koto Gadang), Sumatera Barat. Ia merupakan putra kelima dari 15 bersaudara anak Sutan Muhammad Salim.
Ayahnya ini selama 50 tahun menjabat sebagai Jaksa Kepala di Padang.
Dengan begitu, Masyhudul Haq berasal dari keluarga terpelajar, sebuah status sosial yang memudahkannya menempuh pendidikan di sekolah Belanda. Saat itu, yang bisa bisa menempuh pendidikan di sekolah Belanda adalah anak-anak keturunan Eropa, sedangkan dari pribumi hanyalah anak-anak keturunan bangsawan dan pegawai tinggi.
Jenjang pendidikan pertama yang dilalui Masyhudul Haq adalah ELS (Europesche Lagere School) di desanya. Ia tamat dari sekolah ini pada 1898. Setelah itu ia melanjutkan pendidikannya ke HBS (Hoegere Burger School) di Jakarta. Di sinilah kemudian muncul panggilan Agus Salim menggantikan nama Masyhudul Haq.
Ceritanya, ketika Masyhudul Haq tiba di Jakarta ia mondok di rumah keluarga Belanda, keluarga orang tua Prof TH Kock. Di rumah ini ia diasuh oleh seorang perempuan pelayan yang berasal dari Jawa.Menurut kebiasaan di Jawa, seorang pelayan memanggil anak lelaki tuannya denga sebutan ‘Gus’, yang berarti putera yang bagus. Lama kelamaan, ‘Gus’ ini menjadi panggilan Masyhudul Haq dengan tambahan huruf a di depannya. Maka jadilah nama ‘Agus’. Nama ini kemudian digabungkan dengan nama ayahnya menjadi ‘Agus Salim’. Sejak itu nama Masyhudul Haq ia tinggalkan, dan masyarakat kemudian lebih mengenalnya sebagai Agus Salim, sampai kini.
Lantaran kecerdasannya, Agus Salim dapat menyelesaikan pelajarannya di HBS (setingkat SMP-SMU) hanya lima tahun — dari yang seharusnya enam tahun. Setelah tamat HBS pada 1903, ia bermaksud meneruskan sekolahnya ke Eropa, namun gagal karena pemerintah kolonial Belanda sangat mempersulit jalan bagi anak-anak bumiputera yang ingin belajar ke sana. Kegagalan serupa juga dialaminya ketika guru-gurunya berusaha agar ia dapat meneruskan pelajarannya pada School tot Opleiding van Inlansche (STOVIA) dengan memperoleh beasiswa.
Kegagalan itulah yang tampaknya menyuburkan benih-benih kebencian Agus Salim terhadap pemerintah kolonial Belanda dan sekaligus menjadikannya otodidak. Ia hanya tamat sekolah setingkat SMA. Belum jelas apakah pengalaman hidupnya ini yang menyebabkan Agus Salim tidak menyekolahkan kedelapan anaknya di sekolah-sekolah formal tapi mendidiknya sendiri.
Setelah mencoba bekerja di berbagai tempat, pada 1906 Agus Salim mendapat tawaran bekerja sebagai dragoman (ahli penerjemah) di konsulat Belanda di Jeddah. Pada mulanya ia enggan menerima tawaran itu. Namun, atas saran ibunya, tawaran itu akhirnya ia terima, apalagi ia melihat peluang yang sangat terbuka untuk menimba pengetahuan Islam di negara itu sambil bekerja.
Selama berada di Jeddah, Agus Salim sempat belajar agama dan bahasa Arab kepada para ulama yang mukim di Mekah, termasuk kepada saudara sepupunya, Sheikh Ahmad Khatib yang telah bermukim di Tanah Haram itu. Lima tahun ia berada di Arab Saudi. Pada 1911 ia pulang ke Indonesia, dengan membawa pengetahuan diplomasi yang tinggi serta menguasai tidak kurang tujuh bahasa asing — Arab, Belanda, Inggris, Jerman, Prancis, Turki, dan Jepang.
Setelah pulang dari Jeddah itulah, boleh dikata, perjuangan Agus Salim menentang penjajahan Belanda dimulai. Berbagai pekerjaan dan jabatan juga ia jalani — baik di organisasi politik maupun di pemerintahan. Antara lain, ia pernah memimpin surat kabar Neraca dan Ketua PSII (Partai Serikat Islam Indonesia).
Pada masa penjajahan Jepang ia menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Setelah kemerdekaan, Agus Salim bergabung dalam Partai Masyumi (1945). Selanjutnya ia menjadi Menteri Muda Luar Negeri (Kabinet Syahrir II dan III/1946-1947) dan Menteri Luar Negeri (Kabinet Amir Syarifuddin dan Kabinet Hatta/1947-1949).
Yang menarik dari Haji Agus Salim adalah perhatian yang besar pada keluarganya — isteri dan anak-anaknya, sesibuk apapun dia. Ini terlihat misalnya bagaimana ia mendidik sendiri seluruh anak-anaknya. Bahkan isterinya pun ia wajibkan mengikuti pelajaran yang ia berikan di rumah.Agus Salim menikah pada 1912, dengan gadis sedesanya, Zaitun Nahar. Dari perkawinan ini mereka dikaruniai delapan anak. Mereka adalah Theodora Atia, Yusuf Taufik, Violet Hanisah, Maria Zenibiyang, Ahmad Syauket (meninggal dunia pada masa revolusi), Islam Basari, Siti Asiah, dan Mansur Abdurrahman Sidik.
Saat penganten baru, Agus Salim berpesan kepada isterinya agar banyak membaca dan berzikir. Sebab, katanya, setelah mereka mempunyai anak kemudian hari kemungkinan tidak akan disekolahkan formal. Anak-anak kelak akan dididik sendiri.Apa yang telah diucapkannya kepada isterinya itu ternyata kemudian benar-benar ia laksanakan. Seluruh anaknya tidak ia sekolahkan. Mereka dididiknya sendiri. Tujuannya, menurut Agus Salim, adalah agar anak-anaknya tidak terpengaruh oleh pikiran dan kebudayaan kaum penjajah. Selain itu, ia ingin membentuk sikap dan kepribadian anak-anaknya sesuai dengan keinginannya.
Pelajaran yang ia berikan kepada anak-anaknya antara lain tulis-baca, bahasa, budi pekerti, dan pelajaran agama. Ia juga mendidik mereka agar bersifat kritis dan korektif. Sebab itu Agus Salim tak permah marah bila anak-anaknya membantah pendapatnya. Ia pun mengajak mereka berdiskusi, berargumentasi, agar pikiran mereka tidak membeku dan tidak bersikap nrimo saja.
Mohamad Roem, dalam buku Bunga Rampai dari Sejarah, menulis:Waktu kami pertama kali datang di Gang Tanah Tinggi (rumah Agus Salim — Red), kami baru melihat Syauket (anak kelima Agus Salim) yang keluar untuk digaruk gegernya oleh ayahnya. Kemudian datang adiknya yang membawa Syauket masuk lagi. Waktu kami meneruskan perkenalan di Gang Lontar Satu tahun 1927, kita sudah maju dua tahun. Kami sudah heran, Syauket yang umurnya baru empat tahun sudah bicara (bahasa) Belanda yang baik. Dapat menerangkan bahwa badannya gatal dan minta digaruk-garuk oleh ayahnya. Dalam pada itu kami mengetahui Haji Agus Salim bercakap-cakap bahasa Belanda dengan anak-anaknya sejak mereka dilahirkan.
Perhatian Agus Salim kepada anak-anak dan isterinya juga ia berikan ketika berada jauh dari rumahnya. Ketika berada di luar negeri misalnya, ia selalu menulis surat kepada mereka. Sebagai contoh, ketika sibuk berdiplomasi agar kemerdekaan RI diakui oleh Mesir pada 1947, ia masih sempat menulis surat kepada isteri dan anak bungsunya. Surat tersebut ia titipkan kepada AR Baswedan, salah seorang anggota delegasi RI yang pulang lebih dulu. Berikut ini kutipan surat kepada isterinya:
Maace sayang! Surat pendek ini hendak saya tumpangkan kepada Abdurrachman Baswedan, yang besok pagi terbang pulang ke Indonesia…Sangat sibuk kami bekerja di sini, terutama oleh banyaknya kunjung-mengunjung dan menghadiri perjamuan. Kalau hari sudah malam, badan lesu ataupun pikiran bimbang, karena awak bekerja di negeri orang, kabar dari rumah hampir tidak ada. Awak hidup senang, serba cukup, di rumah entah bagaimana hidup anak dan isteri. Rindu hati tak dapat dikatakan… (17 Juni 1947).
Lalu kepada anak bungsunya, Mansur Abdurrahman Sidik, yang pada 1947 berusia delapan tahun, Agus Salim juga menulis surat kerinduannya:Ananda Mansur Sidik! Papa sayang betul dan rindu sama Mansur Sidik, kangen mau pulang. Mansur Sidik musti mendoa biar lekas kita bisa berkumpul pula. Peluk cium papa — A Salim. (17 Juni 1947)
.Menurut Mohamad Roem (yang terkenal namanya lewat perjanjian Roem-Rojen), kehidupan Agus Salim sangat sederhana, termasuk tempat tinggalnya. Agus Salim, katanya, kira-kira enam bulan sekali mengubah letak meja kursi, lemari sampai tempat tidur rumahnya. Kadang-kadang kamar makan ditukarnya dengan kamar tidur. Haji A Salim berpendapat bahwa dengan berbuat demikian ia merasa mengubah lingkungan, yang manusia sewaktu-waktu perlukan tanpa pindah tempat atau rumah atau pergi istirahat di lain kota atau negeri.
Kebiasaan itu Haji A Salim tinggalkan sesudah ia tidak kuat lagi untuk melaksanakannya. Sebab meskipun anak-anak membantunya, ia sendiri ikut serta sepenuhnya.
Agus Salim telah lama meninggalkan kita, namun perbuatan yang sesuai dengan perkatannya akan selalu menjadi teladan generasi-generasi setelahnya. Ia wafat 20 hari setelah ulang tahunnya yang ke-70 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan pada 1954. ikhwanul kiram,
Sumber :Republika
Taufiq Ismail, Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia
Karya-karyanya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, Inggris, Jepang, Jerman, dan Perancis. Buku kumpulan puisinya yang telah diterbitkan, antara lain: Manifestasi (1963; bersama Goenawan Mohamad, Hartojo Andangjaya, et.al.), Benteng (1966; mengantarnya memperoleh Hadiah Seni 1970), Tirani (1966), Puisi-puisi Sepi (1971), Kota, Pelabuhan, Ladang, Angin, dan Langit (1971), Buku Tamu Museum Perjuangan (1972), Sajak Ladang Jagung (1973), Puisi-puisi Langit (1990), Tirani dan Benteng (1993), dan Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia (1999).
Selain itu, bersama Ali Audah dan Goenawan Mohamad, Taufiq menerjemahkan karya penting Muhammad Iqbal, Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam. Sedangkan bersama D.S. Moeljanto, salah seorang seorang penanda tangan Manifes Kebudayaan, menyunting Prahara Budaya (1994).
Taufiq sudah bercita-cita jadi sastrawan sejak masih SMA di Pekalongan, Jawa Tengah. Kala itu, dia sudah mulai menulis sajak yang dimuat di majalah Mimbar Indonesia dan Kisah. Dia memang dibesarkan di lingkungan keluarga yang suka membaca, sehingga dia sejak kecil sudah suka membaca.
Kegemaran membacanya makin terpuaskan, ketika Taufiq menjadi penjaga perpustakaan Pelajar Islam Indonesia Pekalongan. Sambil menjaga perpustakaan, dia pun leluasa melahap karya Chairil Anwar, Pramoedya Ananta Toer, sampai William Saroyan dan Karl May. Dia tidak hanya membaca buku sastra tetapi juga sejarah, politik, dan agama.
Kesukaan membacanya, tanpa disadari membuatnya menjadi mudah dan suka menulis. Ketertarikannya pada sastra semakin tumbuh tatkala dia sekolah di SMA Whitefish Bay di Milwaukee, Wisconsin, AS. Dia mendapat kesempatan sekolah di situ, berkat beasiswa program pertukaran pelajar American Field Service International Scholarship. Di sana dia mengenal karya Robert Frost, Edgar Allan Poe, Walt Whitman. Dia sangat menyukai novel Hemingway The Old Man and The Sea.Namun setelah lulus SMA, Taufiq menggumuli profesi lain untuk mengamankan urusan dapur, seraya dia terus mengasah kemampuannya di bidang sastra. Dia juga kuliah di Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan Universitas Indonesia di Bogor, lulus 1963. Semula dia berobsesi menjadi pengusaha peternakan untuk menafkahi karir kepenyairannya, namun dengan bekerja di PT Unilever Indonesia, dia bisa memenuhi kebutuhan itu.
Taufiq menikah dengan Esiyati tahun 1971. Mereka dikaruniai satu anak, yang diberinya nama: Abraham Ismail. Dia sangat bangga dengan dukungan isterinya dalam perjalanan karir. Esiyati sangat memahami profesi, cita-cita seorang sastrawan, emosi sastrawan, bagaimana impuls-impuls seorang sastrawan.
Taufiq bersama sejumlah sastrawan lain, berobsesi memasyarakatkan sastra ke sekolah-sekolah melalui program “Siswa Bertanya, Sastrawan Menjawab”. Kegiatan ini disponsori Yayasan Indonesia dan Ford Foundation. Taufiq sudah menerbitkan sejumlah buku kumpulan puisi, di antaranya: Manifestasi (1963; bersama Goenawan Mohamad, Hartojo Andangjaya, et.al.); Benteng (1966; mengantarnya memperoleh Hadiah Seni 1970); Tirani (1966); Puisi-puisi Sepi (1971); Kota, Pelabuhan, Ladang, Angin, dan Langit (1971); Buku Tamu Museum Perjuangan (1972); Sajak Ladang Jagung (1973); Puisi-puisi Langit (1990); Tirani dan Benteng (1993); dan Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia (1999).
Dia pun sudah menerima penghargaan: – American Field Service International Scholarship untuk mengikuti Whitefish Bay High School di Milwaukee, Amerika Serikat (1956-57); – Anugerah Seni Pemerintah RI pada 1970; dan – SEA Write Award (1997) ?e-ti/tsl (dari berbagai sumber, di antaranya pusat data dan analisa tempo)
==============================
Karya Taufiq
Takut 66, Takut 98 12 MEI 1998
Empat syuhada berangkat pada suatu
malam, gerimis air mata
tertahan di hari keesokan, telinga kami
lekapkan ke tanah kuburan
dan simaklah itu sedu sedan
Mereka anak muda pengembara tiada
sendiri, mengukir reformasi
karena jemu deformasi, dengarkan saban
hari langkah sahabat-
sahabatmu beribu menderu-deru,
Kartu mahasiswa telah disimpan dan tas kuliah turun dari bahu
Mestinya kalian jadi insinyur dan ekonom
abad duapuluh satu
Tapi malaikat telah mencatat indeks prestasi
kalian tertinggi di Trisakti bahkan di seluruh negeri, karena
kalian berani mengukir
alfabet pertama dari kata reformasi-damai
dengan darah
arteri sendiri,
Merah putih yang setengah tiang ini, merunduk
di bawah garang
matahari tak mampu mengibarkan diri
karena angin lama
bersembunyi,
Tapi peluru logam telah kami patahkan
dalam doa bersama, dan kalian
pahlawan bersih dari dendam, karena jalan
masih jauh
dan kita perlukan peta dari Tuhan
Republika,
16 Agustus 1998
Sajak-sajak Reformasi Indonesia Taufik Ismail
TAKUT 66, TAKUT 98Oleh :Taufiq Ismail
Mahasiswa takut pada dosen
Dosen takut pada dekan
Dekan takut pada rektor
Rektor takut pada menteri
Menteri takut pada presiden
Presiden takut pada mahasiswa
1998
Republika Online edisi : 07 Juni 1998 1999
Nama:Taufiq Ismail
Lahir:Bukittinggi, Sumatera Barat, 25 Juni 1935
Agama:Islam
Isteri:Esiyati Ismail (Ati)
Anak:Abraham Ismail
Ayah:KH Abdul Gaffar Ismail (almarhum)
Ibu:Timur M Nur
Pendidikan:
- Sekolah Rakyat di Semarang
- SMP di Bukittinggi, Sumatera Barat
- SMA di Pekalongan, Jawa Tengah
- SMA Whitefish Bay di Milwaukee, Wisconsin, AS
- Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan UI, Bogor, 1963
Karir:
- Penyair
- Pendiri majalah sastra Horison (1966)
- Pendiri Dewan Kesenian Jakarta (1968)
- Redaktur Senior Horison dan kolumnis (1966-sekarang)
- Wakil General Manager Taman Ismail Marzuki (1973)
- Ketua Lembaga Pendidikan dan Kesenian Jakarta (1973-1977)
- Penyair, penerjemah (1978-sekarang)
Kegiatan Lain:
- Dosen Institut Pertanian Bogor (1962-1965)
- Dosen Fakultas Psikologi UI (1967)
- Sekretaris DPH-DKI (1970-1971)
- Manager Hubungan Luar PT Unilever Indonesia (1978)
- Ketua Umum Lembaga Kesenian Alam Minangkabau (1985)
Karya:
- Buku kumpulan puisinya yang telah diterbitkan: Manifestasi (1963; bersama Goenawan Mohamad, Hartojo Andangjaya, et.al.)
- Benteng (1966; mengantarnya memperoleh Hadiah Seni 1970)
- Tirani (1966)
- Puisi-puisi Sepi (1971)
- Kota, Pelabuhan, Ladang, Angin, dan Langit (1971)
- Buku Tamu Museum Perjuangan (1972)
- Sajak Ladang Jagung (1973)
- Puisi-puisi Langit (1990)
- Tirani dan Benteng (1993)
- Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia (1999)
Penghargaan:
- American Field Service International Scholarship untuk mengikuti Whitefish Bay High School di Milwaukee, Amerika Serikat (1956-57)
- Anugerah Seni Pemerintah RI pada 1970
- SEA Write Award (1997)
Alamat Rumah:
Jalan Utan Kayu Raya No. 66 E, Jakarta Timur 13120 Telepon (021)8504959, 881190
Alamat Kantor:
Jalan Bumi Putera 23, Jakarta Timur
Buya HAMKA,dikukuhkan menjadi Pahlawan Nasional
Selain Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah, Syafruddin Prawiranegara (asal Minang kelahiran Banten ) yang berjuang di Sumatera Barat, juga dikukuhkan jadi Pahlawan Nasional. Ada pun lima nama penerima gelar Pahlawan Nasional yang penyerahan dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada ahli waris di Istana Negara, Selasa (8/11) itu, adalah KH. Idham Chalid (Kalsel),. Ki Sarmidi Mangunsakoro (Yogyakarta)I Gusti Ketut Pudja (Bali) Sri Susuhunan Paku Buwono X (Jateng) dan Ignatius Joseph Kasimo Hendrowahyoni (Yogyakarta)
Nama HAMKA sudah sangat mendunia. Tetapi, tahukah siapa sesungguhnya buya? HAMKA adalah seorang ulama, aktivis politik, sastrawan, politikus, filsuf, dan aktivis Muhammadiyah Indonesia yang amat terkenal di alam Nusantara. Lahir 17 Februari 1908 ( 13 Muharram 1362 H ) di kampung Molek, Maninjau, Kecamatan Tanjuangraya, Agam, Sumatera Barat.
Lelaki yang bernama asli Abdul Malik ini, merupakan putra Syeikh Abdul Karim bin Amrullah atau Haji Rasul, dari keluarga ulama dan seorang pelopor gerakan pembaruan/modernis dalam Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau sekembalinya dari Makkah pada tahun 1906. Putra Hamka adalah H. Rusydi HAMKA dan anak angkatnya Yusuf Hamka, keturunan China yang masuk Islam.
Buya, seperti dikutip dari ceais site di multiply, dibesarkan dalam tradisi Minangkabau. Masa kecil, dipenuhi gejolak bathin karena saat itu terjadi pertentangan yang keras antara kaum adat dan kaum muda tentang pelaksanaan ajaran Islam. Banyak hal-hal yang tidak dibenarkan dalam Islam, tapi dipraktikkan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.
Dr Hj. Abd Malik bin Sheikh Abd Karim bin Sheikh Muhammad Amrullah, hanya sampai kelas dua di Sekolah Dasar Maninjau. Ketika usia 10 tahun, ayahnya telah mendirikan Sumatera Thawalib di Padangpanjang, yang kemudian membuat Hamka mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab. Buya juga pernah mengikuti pengajaran agama di surau dan masjid yang diberikan ulama terkenal seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, R.M. Surjopranoto dan Ki Bagus Hadikusumo.
Sejak muda, HAMKA dikenal sebagai seorang pengelana. Bahkan ayahnya, memberi gelar Si Bujang Jauh. Pada usia 16 tahun ia merantau ke Jawa untuk menimba ilmu tentang gerakan Islam modern kepada HOS Tjokroaminoto, Ki Bagus Hadikusumo, RM Soerjopranoto, dan KH Fakhrudin. Saat itu, HAMKA mengikuti berbagai diskusi dan training pergerakan Islam di Abdi Dharmo Pakualaman, Yogyakarta.
Buya guru agama pada tahun 1927 di Perkebunan Tebingtinggi, Medan. Kemudian, tahun 1929 mengajar di Padangpanjang, kemudian sebagai dosen di Universitas Islam, Jakarta dan Universitas Muhammadiyah, Padangpanjang dari tahun 1957- 1958. Hamka juga pernah menjadi rektor Perguruan Tinggi Islam, Jakarta dan Profesor Universitas Mustopo, Jakarta.
Sejak perjanjian Roem-Royen 1949, ia pindah ke Jakarta dan memulai kariernya sebagai pegawai di Departemen Agama pada masa KH Abdul Wahid Hasyim. Waktu itu HAMKA sering memberikan kuliah d i berbagai perguruan tinggi Islam di Tanah Air.
Dari tahun 1951 hingga tahun 1960, menjabat sebagai Pegawai Tinggi Agama oleh Menteri Agama Indonesia. Pada 26 Juli 1977 Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti Ali, melantik HAMKA sebagai Ketua Umum Majlis Ulama Indonesia tetapi beliau kemudian meletakkan jabatan itu pada tahun 1981 karena nasihatnya tidak dipedulikan pemerintah Indonesia.
Aktif di Organisasi dan Politik
HAMKA aktif dalam gerakan Islam melalui organisasi Muhammadiyah. Mengikuti pendirian Muhammadiyah mulai tahun 1925 untuk melawan khurafat, bid’ah, tarekat dan kebatinan sesat di Padang panjang. Mulai tahun 1928 beliau mengetuai cabang Muhammadiyah di Padang Panjang.
Tahun 1929, HAMKA mendirikan pusat latihan pendakwah Muhammadiyah dan dua tahun kemudian beliau menjadi konsul Muhammadiyah di Makassar. Kemudian beliau terpilih menjadi ketua Majlis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat oleh Konferensi Muhammadiyah, menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto pada tahun 1946. Tahun 1953, HAMKA dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Kegiatan politik Hamka bermula tahun 1925, ketika menjadi anggota partai politik Sarekat Islam. Pada 1945, buya membantu menentang usaha kembalinya penjajah Belanda ke Indonesia melalui pidato dan menyertai kegiatan gerilya di dalam hutan di Medan. Pada tahun 1947, diangkat menjadi ketua Barisan Pertahanan Nasional, Indonesia.
Tahun 1955, masuk Konstituante melalui partai Masyumi dan menjadi pemidato utama dalam Pilihan Raya Umum. Pada masa inilah pemikiran Hamka sering bergesekan dengan mainstream politik ketika itu. Misalnya, ketika partai-partai beraliran nasionalis dan komunis menghendaki Pancasila sebagai dasar negara.
Dalam pidatonya di konstituante, HAMKA menyarankan agar dalam sila pertama Pancasila dimasukkan kalimat tentang kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknyan sesuai yang termaktub dalam Piagam Jakarta. Namun, pemikiran HAMKA ditentang keras oleh sebagian besar anggota Konstituante, termasuk Presiden Sukarno. Perjalanan politiknya bisa dikatakan berakhir ketika Konstituante dibubarkan melalui Dekrit Presiden Soekarno pada 1959. Masyumi kemudian diharamkan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1960. Meski begitu, HAMKA tidak pernah menaruh dendam terhadap Sukarno. Ketika Sukarno wafat, justru HAMKA yang menjadi imam salatnya. Banyak suara-suara dari rekan sejawat yang mempertanyakan sikap HAMKA. "Ada yang mengatakan Sukarno itu komunis, sehingga tak perlu disalatkan, namun HAMKA tidak peduli. Bagi HAMKA, apa yang dilakukannya atas dasar hubungan persahabatan. Apalagi, di mata HAMKA, Sukarno adalah seorang muslim.
Dari tahun 1964 hingga tahun 1966, HAMKA dipenjarakan oleh Presiden Soekarno karena dituduh pro-Malaysia. Semasa dipenjarakan, beliau mulai menulis Tafsir al-Azhar yang merupakan karya ilmiah terbesarnya. Setelah keluar dari penjara, HAMKA diangkat sebagai anggota Badan Musyawarah Kebajikan Nasional, Indonesia, anggota Majelis Perjalanan Haji Indonesia dan anggota Lembaga Kebudayaan Nasional Indonesia.
Pada tahun 1978, HAMKA lagi-lagi berbeda pandangan dengan pemerintah. Pemicunya adalah keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef untuk mencabut ketentuan libur selama puasa Ramadan, yang sebelumnya sudah menjadi kebiasaan.
Idealisme HAMKA kembali diuji ketika tahun 1980 Menteri Agama Alamsyah Ratuprawiranegara meminta MUI mencabut fatwa yang melarang perayaan Natal bersama. Sebagai Ketua MUI, HAMKA langsung menolak keinginan itu. Sikap keras HAMKA kemudian ditanggapi Alamsyah dengan rencana pengunduran diri dari jabatannya. Mendengar niat itu, HAMKA lantas meminta Alamsyah untuk mengurungkannya. Pada saat itu pula HAMKA memutuskan mundur sebagai Ketua MUI.
Aktifitas Sastra HAMKA
Selain aktif dalam soal keagamaan dan politik, HAMKA merupakan seorang wartawan, penulis, editor dan penerbit. Sejak tahun 1920-an, HAMKA menjadi wartawan beberapa buah akhbar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, beliau menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, beliau menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makasar. HAMKA juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat dan Gema Islam.
Dr Hj. Abd Malik bin Sheikh Abd Karim bin Sheikh Muhammad Amrullah juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti novel dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya ialah Tafsir al-Azhar (5 jilid).
Pada 1950, ia mendapat kesempatan untuk melawat ke berbagai negara daratan Arab. Sepulang dari lawatan itu, HAMKA menulis beberapa roman. Antara lain Mandi Cahaya di Tanah Suci, Di Lembah Sungai Nil, dan Di Tepi Sungai Dajlah. Sebelum menyelesaikan roman-roman di atas, ia telah membuat roman yang lainnya, seperti Di Bawah Lindungan Ka’bah, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Merantau ke Deli, dan Di Dalam Lembah Kehidupan merupakan roman yang mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks sastera di Malaysia dan Singapura
Kegiatan Keagamaan
Setelah peristiwa 1965 dan berdirinya pemerintahan Orde Baru, HAMKA secara total berperan sebagai ulama. Ia meninggalkan dunia politik dan sastra. Tulisan-tulisannya di Panji Masyarakat sudah merefleksikannya sebagai seorang ulama, dan ini bisa dibaca pada rubrik Dari Hati Ke Hati yang sangat bagus penuturannya. Keulamaan HAMKA lebih menonjol lagi ketika dia menjadi ketua MUI pertama tahun 1975.
HAMKA dikenal sebagai seorang moderat. Tidak pernah beliau mengeluarkan kata-kata keras, apalagi kasar dalam komunikasinya. Beliau lebih suka memilih menulis roman atau cerpen dalam menyampaikan pesan-pesan moral Islam.
Ada yang sangat menarik dari Buya HAMKA, yaitu keteguhannya memegang prinsip yang diyakini. Inilah yang membuat semua orang menyeganinya. Sikap independennya itu sungguh bukan hal yang baru bagi HAMKA. Pada zamam pemerintah Soekarno, HAMKA berani mengeluarkan fatwa haram menikah lagi bagi Presiden Soekarno. Otomatis fatwa itu membuat sang Presiden berang ’kebakaran jenggot’.
Tidak hanya berhenti di situ saja, HAMKA juga terus-terusan mengkritik kedekatan pemerintah dengan PKI waktu itu. Maka, wajar saja kalau akhirnya dia dijebloskan ke penjara oleh Soekarno. Bahkan majalah yang dibentuknya ''Panji Masyarat'' pernah dibredel Soekarno karena menerbitkan tulisan Bung Hatta yang berjudul ''Demokrasi Kita'' yang terkenal itu. Tulisan itu berisi kritikan tajam terhadap konsep Demokrasi Terpimpin yang dijalankan Bung Karno.
Ketika tidak lagi disibukkan dengan urusan-urusan politik, hari-hari HAMKA lebih banyak diisi dengan kuliah subuh di Masjid Al-Azhar, Jakarta Selatan.
Pada 24 Juli 1981 HAMKA telah pulang ke rahmatullah. Jasa dan pengaruhnya masih terasa sehingga kini dalam memartabatkan agama Islam. Beliau bukan sahaja diterima sebagai seorang tokoh ulama dan sastrawan di negara kelahirannya, bahkan jasanya di seantero Nusantara, ter masuk Malaysia dan Singapura, turut dihargai.
Atas jasa dan karya-karyanya, HAMKA telah menerima anugerah penghargaan, yaitu Doctor Honoris Causa dari Universitas al-Azhar Cairo (tahun 1958), Doctor Honoris Causa dari Universitas Kebangsaan Malaysia (tahun 1958), dan Gelar Datuk Indono dan Pengeran Wiroguno dari pemerintah Indonesia
Pandangan sastrawan, HAMKA yang juga dikenal sebagai Tuanku Syekh Mudo Abuya Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah Datuk Indomo tentang kepenulisan. Buya HAMKA menyatakan ada empat syarat untuk menjadi pengarang. Pertama, memiliki daya khayal atau imajinasi; kedua, memiliki kekuatan ingatan; ketiga, memiliki kekuatan hapalan; dan keempat, memiliki kesanggupan mencurahkan tiga hal tersebut menjadi sebuah tulisan.
Kitab Tafsir Al-Azhar merupakan karya gemilang Buya HAMKA. Tafsir Al-Quran 30 juz itu salah satu dari 118 lebih karya yang dihasilkan Buya HAMKA semasa hidupnya. Tafsir tersebut dimulainya tahun 1960.
HAMKA meninggalkan karya tulis segudang. Tulisan-tulisannya meliputi banyak bidang kajian: politik (Pidato Pembelaan Peristiwa Tiga Maret, Urat Tunggang Pancasila), sejarah (Sejarah Ummat Islam, Sejarah Islam di Sumatera), budaya (Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi), akhlak (Kesepaduan Iman & Amal Salih ), dan ilmu-ilmu keislaman (Tashawwuf Modern).
Sumber: MarawaNews.Com/Sutan/berbagai sumber
Syekh Muhammad Jamil Jambek (Pembaru dari Minang) |
Written by Yusuf Assidiq | |
Thursday, 07 October 2004 | |
Ulama pelopor pembaruan Islam dari Sumatra Barat awal abad 20 ini
dikenal juga sebagai ahli ilmu falak terkemuka. Nama Syekh Muhammad
Jamil Jambek lebih dikenal dengan sebutan Syekh Muhammad Jambek,
dilahirkan dari keluarga bangsawan. Dia juga merupakan keturunan
penghulu. Ayahnya bernama Saleh Datuk Maleka, seorang kepala nagari
Kurai, sedangkan ibunya berasal dari Sunda. Masa kecilnya tidak banyak diketahui. Namun, yang jelas Syekh Muhammad Jambek mendapatkan pendidikan dasarnya di Sekolah Rendah yang khusus mempersiapkan pelajar untuk masuk ke sekolah guru. Kemudian, dia dibawa ke Mekkah oleh ayahnya pada usia 22 tahun, untuk menimba ilmu. Ketika itu dia berguru kepada Syekh Ahmad Khatib Minangkabau. Semula Syekh Muhammad Jambek tertarik untuk mempelajari ilmu sihir, tapi dia disadarkan dan diinsyafkan oleh gurunya. Selama belajar di tanah suci, banyak ilmu agama yang dia dapatkan. Antara lain yang dipelajari secara intensif adalah tentang ilmu tarekat serta memasuki suluk di Jabal abu Qubais. Dengan pendalaman tersebut Syekh Muhammad Jambek menjadi seorang ahli tarekat dan bahkan memperoleh ijazah dari tarekat Naqsabandiyyah-Khalidiyah. Namun, dari semua ilmu yang pernah didalami yang pada akhirnya membuatnya terkenal adalah tentang ilmu falak. Keahliannya di bidang ilmu falak mendapat pengakuan luas di Mekkah. Oleh sebab itu, ketika masih berada di tanah suci, Syekh Muhammad Jambek pun mengajarkan ilmunya itu kepada para penuntut ilmu dari Minangkabau yang belajar di Mekkah. Seperti, Ibrahim Musa Parabek (pendiri perguruan Tawalib Parabek) serta Syekh Abbas Abdullah (pendiri perguruan Tawalib Padangpanjang). Pada tahun 1903, dia kembali ke tanah air. Ia pun memilih mengamalkan ilmunya secara langsung kepada masyarakat; mengajarkan ilmu tentang ketauhidan dan mengaji. Di antara murid-muridnya terdapat beberapa guru tarekat. Lantaran itulah Syekh Muhammad Jambek dihormati sebagai Syekh Tarekat. Setelah beberapa lama, Syekh Muhammad Jambek berpikir melakukan kegiatan alternatif. Hatinya memang lebih condong untuk memberikan pengetahuannya, walaupun tidak melalui lembaga atau organisasi. Dia begitu tertarik pada usaha meningkatkan keimanan seseorang. Hingga kemudian dia mendirikan dua buah surau. Yakni, Surau Tengah Sawah dan Surau Kamang keduanya dikenal sebagai Surau Inyik Jambek. Kiprahnya mampu memberikan warna baru di bidang kegiatan keagamaan di Sumatra Barat. Mengutip Ensiklopedi Islam, Syekh Muhammad Jambek juga dikenal sebagai ulama yang pertama kali memperkenalkan cara bertablig di muka umum. Barzanji (rawi) atau marhaban (puji-pujian) yang biasanya dibacakan di surau-surau saat peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, digantinya dengan tablig yang menceritakan riwayat lahir Nabi Muhammad dalam bahasa Melayu. Demikian halnya dengan kebiasaan membaca riwayat isra mi'raj Nabi Muhammad dari kitab berbahasa Arab. Dia menggantinya dengan tablig yang menceritakan peristiwa tersebut dalam bahasa Melayu, sehingga dimengerti oleh seluruh lapisan masyarakat. Termasuk juga tradisi membaca kitab, digantinya dengan membahas masalah kehidupan sehari-hari. Menurutnya, semua itu dilakukan karena agama diperuntukkan bagi siapa saja yang dapat memahaminya. Ia pun dikenal sebagai ulama yang lebih bergiat di aktivitas tablig dan ceramah. Seiring perjalanan waktu, sikap dan pandangannya terhadap tarekat mulai berubah. Syekh Muhammad Jambek kini tidak lagi tertarik pada tarekat. Pada awal tahun 1905, ketika diadakan pertemuan ulama guna membahas keabsahan tarekat yang berlangsung di Bukit Surungan, Padangpanjang, Syekh Muhammad berada di pihak yang menentang tarekat. Dia "berhadapan" dengan Syekh Bayang dan Haji Abbas yang membela tarekat. Kemudian dia menulis buku mengenai kritik terhadap tarekat berjudul Penerangan Tentang Asal Usul Thariqatu al-Naksyabandiyyah dan Segala yang Berhubungan dengan Dia, terdiri atas dua jilid. Salah satu penjelasan dalam buku itu, yakni tarekat Naksyabandiyyah diciptakan oleh orang dari Persia dan India. Syekh Muhammad Jambek menyebut orang-orang dari kedua negeri itu penuh takhayul dan khurafat yang makin lama makin jauh dari ajaran Islam. Buku lain yang ditulisnya berjudul Memahami Tasawuf dan Tarekat dimaksudkan sebagai upaya mewujudkan pembaruan pemikiran Islam. Akan tetapi secara umum dia bersikap tidak ingin bermusuhan dengan adat istiadat Minangkabau. Tahun 1929, Syekh Muhammad Jambek mendirikan organisasi bernama Persatuan Kebangsaan Minangkabau dengan tujuan untuk memelihara, menghargai, dan mencintai adat istiadat setempat. Di samping juga untuk memelihara dan mengusahakan agar Islam terhindar dari bahaya yang dapat merusaknya. Selain itu, dia juga turut menghadiri kongres pertama Majelis Tinggi Kerapatan Adat Alam Minangkabau tahun 1939. Yang tak kalah pentingnya dalam perjalanan dakwahnya, pada masa pendudukan Jepang, Syekh Muhammad Jambek mendirikan Majelis Islam Tinggi (MIT) berpusat di Bukittinggi yusuf assidiq Sumber Republika Jumat 8 Agustus 2003 |
Syekh Ahmad Khatib al Minangkabawy
Oleh : Buya Mas’oed Abidin Syeikh Ahmad Khatib al-Minankabawi – Imam dan khatib Masjid al-Haram Mekah -, Pelopor Gerakan Pembaruan di Minangkabau dan Tanah jawi (Nusantara)
Salah seorang pelopor gerakan pembaruan di Minangkabau yang menyebarkan pikiran-pikirannya dari Mekah pada awal abad ke-20 adalah Syekh Ahmad Khatib EL Minangkabawy (1855).[1]
Syekh Ahmad Khatib adalah turunan dari seorang hakim gerakan Padri yang sangat anti penjajahan Belanda. Ia
dilahirkan di Bukittinggi (lahir Isnin, 6 Zulhijjah 1276 H/26 Jun 1860 M, wafat 9 Jamadilawal 1334 H/13 Mac 1916 M) dalam catatan lainnya beliau dilahirkan pada tahun 1855 oleh ibu bernama Limbak Urai, yang adalah saudara dari Muhammad Shaleh Datuk Bagindo, Laras, Kepala Nagari Ampek Angkek yang berasal dari Koto Tuo Balaigurah, Kecamatan Ampek Angkek Candung. Ayahnya adalah Abdullatief Khatib Nagari, saudara dari Datuk Rangkayo Mangkuto, Laras, Kepala Nagari Kotogadang, Kecamatan IV Koto, di seberang ngarai Bukittinggi.
Baik dari pihak ibu ataupun pihak ayahnya, Ahmad Khatib adalah anak terpandang, dari kalangan keluarga yang mempunyai latar belakang agama dan adat yang kuat, anak dan kemenakan dari dua orang tuanku Laras dari Ampek dan Ampek Angkek. Ditenggarai, bahwa ayah dan ibu Ahmad Khatib dipertemukan dalam pernikahan berbeda nagari ini, karena sama-sama memiliki kedudukan yang tinggi dalam adat, dari keluarga tuanku laras, dan latar belakang pejuang Paderi, dari keluarga Pakih Saghir dan Tuanku nan Tuo.
Sejak kecilnya Ahmad Khatib mendapat pendidikan pada sekolah rendah yang didirikan Belanda di kota kelahirannya. Ia meninggalkan kampung halamannya pergi ke Mekah pada tahun 1871 dibawa oleh ayahnya. Setelah berada di Mekah barulah beliau mendapat pendidikan agama yang mendalam daripada ulama Mekah terutama Sayid Bakri Syatha, Sayid Ahmad bin Zaini Dahlan, Syeikh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah al-Makki dan lain-lain. Sampai dia menamatkan pendidikan, dan menikah pada 1879 dengan seorang putri Mekah Siti Khadijah, anak dari Syekh Shaleh al-Kurdi, maka Syekh Ahmad Khatib mulai mengajar dikediamannya di Mekah tidak pernah kembali ke daerah asalnya.
Syekh Ahmad Khatib, mencapai derajat kedudukan yang tertinggi dalam mengajarkan agama sebagai imam dari Mazhab Syafei di Masjidil Haram, di Mekah. Syeikh Ahmad Khatib al-Minankabawi – Imam dan khatib Masjid al-Haram Mekah. Sebagai imam dari Mazhab Syafe’i, ia tidak melarang murid-muridnya untuk mempelajari tulisan Muhammad Abduh, seorang pembaru dalam pemikiran Islam di Mesir.
Dalam penelitian yang dilakukan, didapati Syeikh Ahmad Khatib al-Minankabawy adalah seorang ulama yang paling banyak melakukan polemik dalam pelbagai bidang. Sebagai catatan ringkas di antaranya ialah polemik dengan golongan pemegang adat Minangkabau, terutama tentang hukum pusaka.
Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawy menyanggah beberapa pendapat Barat tentang kedudukan bumi, bulan dan matahari, serta peredaran planet-planet lainnya yang beliau anggap bertentangan dengan pemikiran sains ulama-ulama Islam yang arif dalam bidang itu.
Sehubungan ini, Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawy sangat menentang ajaran Kristian terutama tentang `triniti’. Dalam permasalahan mendirikan masjid untuk solat Jumaat, Syeikh Ahmad Khatib al-Minankabawy berkontroversi dengan Sayid Utsman (Mufti Betawi) dan beberapa ulama yang berasal dari Palembang dan ulama-ulama Betawi lainnya.
Syekh Ahmad Khatib sangat terkenal dalam menolak dua macam kebiasaan di Minangkabau, yakni peraturan-peraturan adat tentang warisan dan tarekat Naqsyahbandiyah yang dipraktekkan pada masa itu. Kedua masalah itu terus menerus dibahasnya, diluruskan dan yang tidak sejalan dengan syari’at Islam ditentangnya.
Pemahaman dan pendalaman dari Syekh Ahmad Khatib el Minangkabawy ini, kemudian dilanjutkan oleh gerakan pembaruan di Minangkabau, melalui tabligh, diskusi, dan muzakarah ulama dan zu’ama, penerbitan brosur dan surat-kabar pergerakan, pendirian sekolah-sekolah seperti madrasah-madrasah Sumatera Thawalib, dan Diniyah Puteri, sampai ke nagari-nagari di Minangkabau, sehingga menjadi pelopor pergerakan merebut kemerdekaan Republik Indonesia.
Dalam beberapa karya Ahmad Khatib menunjukkan bahwa barang siapa masih mematuhi lembaga-lembaga “kafir”, adalah kafir dan akan masuk neraka. Kemudian, semua harta benda yang diperoleh menurut hukum waris kepada kemenakan, menurut pendapat Ahmad Khatib harus dianggap sebagai harta rampasan.
Di antara guru agama banyak juga yang tidak dapat menyetujui pendirian Ahmad Khatib, yang dianggap tidak kenal damai. Walaupun pikiran-pikiran itu mendapat tantangan dari kaum adat, maupun muridnya yang tidak menyetujui pemikiran demikian, namun perbedaan pendapat ini telah melahirkan hasrat untuk lebih berkembang, menghidupkan kembali kesadaran untuk pengenalan kembali diri sendiri, yaitu kesadaran untuk meninggalkan keterbelakangan.
Pemikiran-pemikiran yang disampaikan Ahmad Khatib memicu pembaruan pemikiran Islam di Minangkabau. Di pihak lain perlawanan yang berarti terhadap pemikiran Ahmad Khatib datang dari kalangan Islam tradisi yang adakalanya disebut kaum tua. Kecamannya mengenai tarekat, telah dijawab oleh Syekh Muhamamad Saat bin Tanta’ dari Mungkar dan Syekh Khatib Ali di Padang jang menerbitkan beberapa tulisan tentang itu. Kecamannya dalam harta warisan, menumbuhkan kesadaran banyak orang Minangkabau memahami, bahwa tidak dapat disesuaikan hukum waris matrilineal dengan hukum agama.
Polemik yang paling hebat dan kesan yang berkesinambungan ialah pandangannya tentang Thariqat Naqsyabandiyah. Syeikh Ahmad Khatib al-Minankabawy telah disanggah oleh ramai ulama Minangkabau sendiri terutama oleh seorang ulama besar, sahabatnya. Beliau ialah Syeikh Muhammad Sa’ad Mungka yang berasal dari Mungkar Tua, Minangkabau.
Sehubungan dengan sanggahannya terhadap thariqat Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau menyanggah pula teori `Martabat Tujuh’ yang berasal daripada Syeikh Muhammad bin Fadhlullah al-Burhanfuri.
Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau adalah seorang yang berpendirian keras dan radikal, sungguhpun beliau menguasai banyak bidang ilmu, namun beliau masih tetap berpegang (taklid) pada Mazhab Syafie dalam fikah dan penganut Ahli Sunnah wal Jamaah mengikut Mazhab Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur al-Maturidi dalam akidah.
Sebagai contoh, dalam pertikaian dua orang muridnya yang berbeda pendapat. Yang seorang berpihak kepada `Kaum Tua’, beliau ialah Syeikh Hasan Ma’sum (1301 H/1884 M-1355 H/1974 M) yang berasal dari Deli, Sumatera Utara. Dan seorang lagi berpihak kepada `Kaum Muda’, beliau ialah Haji Abdul Karim Amrullah (ayah kepada Prof. Dr. Hamka
).
Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau berpihak kepada Syeikh Hasan Ma’sum (Kaum Tua). Bahkan dalam satu kenyataannya Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau menolak sumber asal pegangan Haji Abdul Karim Amrullah (Kaum Muda) yang menurut beliau telah terpengaruh dengan pemikiran Ibnu Taimiyah (661 H/1263 M – 728 H/1328 M), yang ditolak oleh golongan yang berpegang dengan mazhab.
Menyanggah Aliran Thariqat
Sungguhpun Syeikh Ahmad Khathib Minangkabau sangat terkenal menyanggah thariqat, namun dalam penelitian saya didapati bahawa yang beliau sanggah ialah beberapa perkara yang terdapat dalam Thariqat Naqsyabandiyah al-Khalidiyah. Belum ditemui sanggahannya terhadap thariqat yang lain seumpama Thariqat Syathariyah, Thariqat Qadiriyah, Thariqat Ahmadiyah dan lainnya.
Mengenai Thariqat Naqsyabandiyah al-Khalidiyah, catatan sejarah yang diperoleh ternyata Syeikh Ahmad Khathib Minangkabau yang mendahului pertikaian. Mengenainya dimulai sepucuk surat yang menanyakan kepadanya, Syeikh Ahmad Khathib Minangkabau pun menulis:
“Maka adalah pada tahun 1324 daripada hijrah Nabi kita alaihis shalatu was salam datang kepada yang faqir Ahmad Khathib bin Abdul Lathif, Imam Syafie di Mekah, satu masalah dari negeri Jawi menyatakan beberapa ehwal yang terpakai pada Thariqat Naqsyabandiyah pada masa kita ini. Adakah baginya asal pada syariat Nabi kita ? Atau tiada ? Kerana telah bersalah-salahan orang kita Jawi padanya. Maka hamba lihat, menjawab soal ini ialah terlampau masyaqqah atas hamba, kerana pekerjaan itu telah menjadi pakaian pada negeri hamba hingga menyangka mereka itu akan bahawasanya segala itu thariqat Nabi kita. Dan orang yang mungkir akan dia ialah memungkiri akan agama Islam. Padahal sangka itu adalah tersalah, tiada muthabaqah dengan waqi’…”
Syeikh Ahmad Khathib Minangkabau menuangkan sanggahan terhadap thariqat. Beliau menulis dalam kitab yang berjudul Izhharu Zaghlil Kazibin fi Tasyabbuhihim bish Shadiqin yang selesai ditulis pada malam Ahad, 4 Rabiulakhir 1324 H/1906 M.
Kitab tersebut telah mengundang kemarahan seluruh penganut Thariqat Naqsyabandiyah al-Khalidiyah dan penganut-penganut tasawuf daripada pelbagai thariqat yang lainnya. Akibatnya, Syeikh Muhammad Sa’ad Mungka menanggapi karangan tersebut dengan mengarang sebuah kitab berjudul Irghamu Unufi Muta’annitin fi Inkarihim Rabithatil Washilin yang beliau selesaikan pada akhir bulan Muharam tahun 1325 H/1907 M.
Kemunculan kitab Syeikh Ahmad Khathib Minangkabau berjudul Izhharu Zaghlil Kazibin itu hanya beberapa bulan saja mendahului kitab Mir-atul A-’ajib karya Syeikh Ahmad al-Fathani menjawab pertanyaan Sultan Kelantan, iaitu sama-sama dikarang dalam tahun 1324 H/1906 M.
Syeikh Muhammad Sa’ad bin Tanta’ Mungka itu tidak membantah karya gurunya Syeikh Ahmad al-Fathani, tetapi secara serius karya Syeikh Ahmad Khathib Minangkabau dipandang sangat perlu ditanggapi dan beliau membantah dengan hujah-hujah berdasarkan al-Quran, hadis dan pandangan para ulama shufiyah.
Dengan terbitnya kitab Irghamu Unufi Muti’annitin oleh Syeikh Muhammad Sa’ad Mungka itu, Syeikh Ahmad Khathib Minangkabau menyerang lagi dengan kitabnya yang berjudul Al-Ayatul Baiyinat lil Munshifin fi Izalati Khurafati Ba’dhil Muta’ashshibin.
Kitab ini disanggah pula oleh Syeikh Muhammad Sa’ad Mungka dengan karyanya berjudul Tanbihul `Awam `ala Taqrirati Ba’dhil Anam. Sesudah karya ini tidak terdapat sanggahan Syeikh Ahmad Khathib Minangkabau.
Dari peristiwa ini, kita mendapat pelajaran besar bahwa para ulama ‘tanah jawi’ di kawasan Nusantara dan tanah Semenanjung Malaysia, juga ulama Minangkabau, telah terbiasa dengan polemik pemikiran, namun polemik selalu di dalam kawasan intelektual yang melahirkan buku buku dan tulisan yang berharga, tidak semata bertengkar atau bersitegang urat leher.
Karya Besar Ahmad Khatib al Minangkabawy
Karya Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau yang telah ditemui hanya 17 judul. Ada yang ditulis dengan bahasa Arab dan ada juga dengan bahasa Melayu. Kerana kekurangan ruangan, yang dapat disenaraikan dalam artikel ini hanya lapan judul iaitu:
1. Al-Jauharun Naqiyah fil A’mali Jaibiyah (bahasa Arab), diselesaikan pada hari Isnin, 28 Zulhijjah 1303 H. Kandungannya membicarakan ilmu miqat. Dicetak oleh Mathba’ah al- Maimuniyah, Mesir, Rejab 1309 H.
2. Hasyiyatun Nafahat `ala Syarhil Waraqat (bahasa Arab), diselesaikan pada hari Khamis, 20 Ramadan 1306 H. Kandungannya mengenai ilmu ushul fiqh. Dicetak oleh Mathba’ah Darul Kutub al-’Arabiyah al-Kubra, Mesir, 1332 H.
3. Raudhatul Hussab fi A’mali `Ilmil Hisab (bahasa Arab), diselesaikan peringkat pertama hari pada Ahad, 19 Zulkaedah 1307 H di Mekah. Kandungannya mengupas dengan mendalam perkara matematik. Dicetak oleh Mathba’ah al-Maimuniyah, Mesir, Zulkaedah 1310 H.
4. Ad-Da’il Masmu’ fir Raddi `ala man Yuritsul Ikhwah wa Auladil Akhawat ma’a Wujudil Ushl wal Furu’ (bahasa Melayu). Diselesaikan pada 14 Muharam 1309 H. di Mekah. Kandungannya mengenai pembahagian pusaka menurut agama Islam dan membantah pusaka menurut ajaran adat Minangkabau. Dicetak oleh Mathba’ah al-Maimuniyah, Mesir, Zulkaedah 1311 H. Bahagian tepi dicetak karya beliau berjudul Al-Manhajul Masyru’ Tarjamah Kitab Ad-Da’il Masmu’ (bahasa Melayu).
5. `Alamul Hussab fi `Ilmil Hisab (bahasa Melayu), diselesaikan pada 6 Jamadilakhir 1310 H. di Mekah. Kandungannya mengupas dengan mendalam perkara matematik. Dicetak oleh Mathba’ah al-’Amirah al-Miriyah, Mekah, akhir Zulkaedah 1313 H. Bahagian tepi dicetak karya beliau berjudul An-Nukhbatun Nahiyah Tarjamah Khulashatil Jawahirin Naqiyah fil A’malil Jabiyah (bahasa Melayu), selesai mengarang pada malam Sabtu, 6 Jamadilakhir 1313 H.
6. Al-Manhajul Masyru’ Tarjamah Kitab Ad-Da’il Masmu’ (bahasa Melayu), diselesaikan pada hari Khamis, 26 Jamadilawal 1311 H. di Mekah. Kandungannya mengenai pembahagian pusaka menurut agama Islam dan membantah pusaka menurut ajaran adat Minangkabau. Dicetak oleh Mathba’ah al-Maimuniyah, Mesir, Zulkaedah 1311 H. Bahagian tepi dicetak karya beliau berjudul Ad-Da’il Masmu’ fir Raddi `ala man Yuritsul Ikhwah wa Auladil Akhawat ma’a Wujudil Ushul wal Furu’.
7. Dhau-us Siraj (bahasa Melayu), diselesaikan pada malam 27 Rabiulakhir 1312 H. di Mekah. Kandungannya membicarakan Isra dan Mikraj. Dicetak oleh Mathba’ah al-Miriyah al-Kainah, Mekah, 1325 H.
8. Shulhul Jama’atain bi Jawazi Ta’addudil Jum’atain (bahasa Arab), diselesaikan pada malam Selasa, 15 Rejab 1312 H. di Mekah. Kandungannya membicarakan Jumaat, merupakan sanggahan sebuah karya Habib `Utsman Betawi. Cetakan pertama oleh Mathba’ah al-Miriyah al-Kainah, Mekah, 1312 H.
Hanya delapan judul yang dapat dimuat dalam artikel ini, judul-judul yang lain dapat dirujuk dalam buku Katalog Besar Persuratan Melayu.
Syekh Ahmad Khatib al Minangkabawy menyebarkan pikiran-pikirannya dari Mekah melalui tulisan-tulisannya di majalah atau buku-buku agama Islam, dan melalui murid-murid yang belajar kepadanya. Dengan cara itu, beliau memelihara hubungan dengan daerah asalnya Minangkabau, melalui murid-muridnya yang menunaikan ibadah haji ke Mekah, dan yang belajar padanya. Mereka inilah kemudian menjadi guru di daerah asalnya masing-masing.
PERANAN ulama yang berasal dari dunia Melayu di Masjid al-Haram Mekah sudah berjalan begitu lama dan bersambung daripada satu generasi ke generasi berikutnya. Sebagai contoh ulama dunia Melayu yang pernah menjadi imam dan khatib dalam Mazhab Syafie di Masjid al-Haram Mekah yang dapat diketahui ada tiga orang, iaitu Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani.
Lebih kurang seratus tahun kemudian ialah Syeikh Ahmad Khatib al-Minankabawy (lahir Isnin, 6 Zulhijjah 1276 H/26 Jun 1860 M, wafat 9 Jamadilawal 1334 H/13 Mac 1916 M) dan Syeikh Abdul Hamid Muhammad Ali Kudus (lahir 1277 H/1860 M, riwayat lain dinyatakan lahir 1280 H/1863 M, wafat 1334 H/1915 M). Ketiga-tiga ulama yang tersebut sangat terkenal dalam pelbagai bidang yang mereka tekuni.
Ulama zuama bekas murid Ahmad Khatib, mulai mengetengahkan pemikiran, manakala Islam bermaksud tetap memuaskan pengikutnya, maka harus terjadi suatu pembaruan. Setiap periode dalam sejarah peradaban manusia, melahirkan pembaruan pemikiran agama yang bertujuan memperbaiki pola penghidupan umatnya. Cita-cita itu ditemukan kembali dalam agama. Cara berpikir seorang beragama Islam bertolak dari anggapan keyakinan, bahwa Islam itu tidak mungkin memusuhi kebudayaan. Dengan kemajuan cara berpikir orang berusaha menemukan kembali cita-citanya dalam Islam.
Timbul pertanyaan, apakah di dalam Islam ada unsur yang menyangkut kepada cita-cita persamaan, kebangsaan, hasrat untuk maju dan rasionalisme. Keunggulan dari Syekh Ahmad Khatib dalam memberikan pelajaran kepada muridnya, selalu menghindari sikap taqlid.
Salah seorang dari muridnya, yakni H.Abdullah Ahmad, yang kemudian menjadi salah seorang di antara para ulama dan zuama, pemimpin kaum pembaru di Minangkabau, pendiri Sumatera Thawalib, yang berawal dari pengajian di Masjid Zuama, Jembatan Besi, Padangpanjang, dan kemudian mendirikan pula Persatuan Guru Agama Islam (PGAI), di Jati, Padang, telah mengembangkan ajaran gurunya melalui pendidikan dan pencerahan tradisi ilmu dan mendorong pula para muridnya untuk mempergunakan akal yang sesungguhnya adalah kurnia Allah. Jika kepercayaan hanya tumbuh semata-mata karena penerimaan atas wibawa guru semata, maka kepercayaan itu tidak ada harganya, dan itulah yang membuka pintu taqlid. Peperangan melawan penjajahan asing tidak semata-mata dengan menggunakan senjata, bedil dan kelewang, tetapi pencerdasan anak kemenakan dengan memberikan senjata tradisi ilmu.
Murid-muridnya kemudian menjadi penggerak pembaruan pemikiran Islam di Minangkabau, seperti Syekh Muhammad Djamil Djambek (1860 – 1947)[2], Haji Abdul Karim Amarullah (1879-1945) [3], dan Haji Abdullah Ahmad (1878 – 1933)[4].
Seorang pembaru lainnya adalah Syekh Taher Djalaluddin (1869-1956), pada masa mudanya dipanggil Muhammad Taher bin Syekh Muhamad, lahir di Ampek Angkek, Bukittinggi, tahun 1869, anak dari Syekh Cangking, cucu dari Faqih Saghir yang bergelar Syekh Djalaluddin Ahmad Tuanku Sami’, pelopor kembali ke ajaran syariat bersama Tuanku Nan Tuo.
Syekh Taher Djalaluddin adalah saudara sepupu dari Ahmad Khatib Al Minangkabawy, karena ibunya adik beradik. Syekh Taher Djalaluddin, berangkat ke Mekah 1880, dan menuntut ilmu selama 15 tahun, kemudian meneruskan ke Al Azhar, di Mesir (1895-1898), dan kembali ke Mekah mengajar sampai tahun 1900. Beliau sangat ahli di bidang ilmu falak, dan tempat berguru Syekh Muhammad Djamil Djambek.
Mulai tahun 1900 itu, Syekh Taher Djalaluddin menetap di Malaya, pernah diangkat menjadi Mufti Kerajaan Perak. Eratnya hubungan Syekh Taher Djalaluddin dengan perguruan tinggi Al-Azhar di Kairo, dia tambahkan al-Azhari di belakang namanya.
Syekh Taher Djalaluddin merupakan seorang tertua sebagai pelopor dari ajaran Ahmad Khatib di Minangkabau dan tanah Melayu. Bahkan ia juga dianggap sebagai guru oleh kalangan pembaru di Minangkabau.
Pengaruh Syekh Taher Djalaluddin tersebar pada murid-muridnya melalui majalah Al-Imam dan melalui sekolah yang didirikannya di Singapura bersama Raja Ali Haji bin Ahmad pada tahun 1908. Sekolah ini bernama Al-Iqbal al-Islamiyah, yang menjadi model Sekolah Adabiyah yang didirikan oleh Haji Abdullah Ahmad di Padang pada tahun 1908. Majalah Bulanan Al-Imam memuat artikel tentang pengetahuan popular, komentar kejadian penting di dunia, terutama dunia Islam, dan masalah-masalah agama, bahkan mendorong umat Islam betapa pentingnya memiliki sebuah Negara yang merdeka dan tidak dijajah. Majalah ini mendorong agar umat Islam mencapai kemajuan dan berkompetisi dengan dunia barat. Al-Iman sering mengutip pendapat dari Mohammad Abduh yang dikemukakan majalah Al-Mannar di Mesir. Majalah ini memakai bahasa Melayu dengan tulisan Arab Melayu atau tulisan Jawi, dan disebarkan di Indonesia meliputi tanah Jawa (Betawi, Jakarta, Cianjur, Semarang, dan Surabaya), Kalimantan (di Pontianak dan Sambas), Sulawesi (di Makassar). Di Padang, Haji Abdullah Ahmad mencontoh bentuk dan moto Al-Iman pada majalah yang diterbitkannya di Padang bernama Al-Munir. Banyak masalah yang dibicarakan pada Al-Iman mendapat tempat pada Al-Munir.
Syekh Taher baru dapat pulang ke Minangkabau pada tahun 1923 dan tahun 1927, namun ketika itu dia ditangkap dan ditahan oleh Pemerintah Belanda selama enam bulan, dituduh memfitnah dan menentang penjajahan melalui artikel-artikelnya di dalam majalah Al Iman itu. Setelah bebas Syekh Taher meninggalkan kampung halamannya dan tidak pernah kembali lagi ke daerah asalnya. Syekh Taher Djalaluddin meninggal dunia pada tahun 1956 di Kuala Kangsar, Perak, Malaya.
Gerakan pembaruaan di awal abad ini dapat disebut sebagai gerakan pembaruan para ulama zuama, yang sesungguhnya telah diwarisi sambung bersambung dalam rantai sejarah yang berkelanjutan semenjak dari dua gerakan Paderi sebelumnya. Dapat pula dinyatakan bahwa gerakan pembaruan ulama zuama di awal abad 20 di Minangkabau menjadi mata rantai dari gerakan Paderi periode ketiga.
Gerakan Paderi periode pertama, di awal abad kedelapan belas, dimulai pulangnya tiga serangkai ulama Minang (1802), terdiri dari Haji Miskin di Pandai Sikek, Luhak Agam, Haji Abdur Rahman, di Piobang, Luhak Limopuluah, dan Haji Muhammad Arief, di Sumanik, Luhak nan Tuo, Tanah Datar, yang juga dikenal bergelar Tuanku Lintau, berawal dengan penyadaran semangat beragama Islam di dalam kehidupan beradat di Minangkabau.
Gerakan Paderi perode kedua dilanjutkan oleh Tuanku nan Tuo, Tuanku nan Renceh, Tuanku Kubu Sanang, Tuanku Koto Ambalau, Tuanku di Lubuk Aur, Tuanku di Ladang Laweh dan Tuanku Imam Bonjol yang berujung dengan perlawaanan terhadap penjajahan Belanda (1821-1837), dan lahirnya piagam Marapalam yang menyepakati adaik basandi syarak, syarak basandi Kitabullah di ranah Minangkabau.
Gerakan Kembali ke Syariat yang dilaksanakan di bawah bimbingan Tuanku Nan Tuo, yang kemudian berlanjut kepada Gerakan Padri di bawah pimpinan Tuanku Nan Renceh, yang kemudian sambung bersambung di bawah pimpinan Tuanku Imam Bonjol, sesungguhnya tidak menentang hukum waris berdasarkan garis ibu. Malahan, gerakan pembaharuan yang dilaksanakan oleh mereka, sejak Tuanku nan Tuo, Tuanku nan Renceh, dan Tuanku Imam Bonjol, lebih menguatkan harta pusaka, yang dimaksud adalah pusaka tinggi itu, dimanfaatkan untuk kesejahteraan kaum, dan oleh karena itu, harta pusaka dimaksud diturunkan kepada kemenakan, dan ditempatkan pada pengawasan garis perempuan.
Namun mengenai harta pencaharian, kedua gerakan itu sependapat harus diwariskan kepada anak. Tuanku Imam Bonjol, sadar bahwa setelah utusan anak kemenakannya mempelajari hukum Islam ke tanah Mekah, menyatakan pembagian tugas yang nyata antara adat dan syarak atau agama. Bahwa masalah adat dikembalikan kepada Basa dan Penghulu, sedangkan masalah agama diserahkan kepada Tuanku atau malin. Inilah doktrin ajaran adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah.
Gerakan pembaruan ulama zuama di awal abad ke 20 di ranah Minangkabau ini, berawal dengan kepulangan para penuntut ilmu dari Makkah el Mukarramah, yang umumnya adalah murid dari Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawiy, telah ikut memberikan sumbangan bagi pencerahan pemahaman dan pengamalan syari’at Islam, dan mendorong bagi munculnya perdebatan-perdebatan umum yang diikuti para ulama, kaum terpelajar, dan ahli-ahli adat, dan ikut pula membukakan kesempatan bagi lahirnya berbagai jenis perkumpulan yang bertujuan memperdalam ilmu agama dan adat istiadat, serta mendorong tumbuhnya pendidikan Islam, madrasah-madrasah samapai ke nagari-nagari, dan berdiri pula berjenis organisasi pergerakan, seperti Tarbiyah Islamiyah, Adabiyyah, Muhammadiyah, dan meluas sampai ke semenanjung Malaya, dibawa oleh Syekh Taher Jalaluddin yang lebih banyak melaksanakan dakwahnya di tanah semenjanjung Malaysia itu.
Tak kurang penting timbulnya pergolakan-pergolakan kecil di beberapa tempat, biasanya membayangkan dinamika masyarakat adat dan agama di dalam membangun masyarakat di Minangkabau yang sedang mengalami perubahan, menumbuhkan keinginan baru untuk melakukan proses pemeriksaan kembali terhadap nilai-nilai kultur yang dipunyai.
Ketika arah pembangunan dan perobahan sosial sedang terjadi, menuju suasana merebut kemerdekaan dan menjelang proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, setelah berakhirnya penindasan panjang 350 tahun dijajah Belanda, dan beralihnya kekuasaan kepada Dai Nippon, maka merebut kemerdekaan menjadi wajib.
Fatwa para ulama dan zuama ikut membentuk dinamika sejarah dan pemikiran Islam di ranah Minangkabau bergerak cepat, sejak empat puluh tahun sebelumnya juga telah digerakkan oleh para ulama zuama dengan basis ilmu pengetahuan agama dan adat istiadat, serta bahasan-bahasan perkembangan politik di Mesir dan Turki masa itu, ikut mendorong kepada pencarian model yang sesuai dengan yang haq, dan menuntut sikap beragama yang rasional, serta menumbuh kembangkan semangat kemerdekaan dalam berbangsa dan bernegara.
Pembaruan Islam di Minangkabau bukan semata terbatas pada kegiatan serta pemikiran saja, tetapi menemukan kembali ajaran atau prinsip dasar Islam yang berlaku abadi yang dapat mengatasi ruang dan waktu. Sementara itu usaha-usaha pembaruan yang praktis, baik dalam bentuk sekolah dan madrasah-madrasah atau pun kerajinan desa, mulai bermunculan.
Kaum pembaru pemikiran Islam berusaha mengembalikan ajaran dasar agama Islam dengan menghilangkan segala macam tambahan yang datang kemudian dalam din, agama, dan dengan melepaskan penganut Islam dari jumud, kebekuan dalam masalah dunia.
Mereka berusaha memecahkan tembok tambahan dan jumud itu, agar dapat menemu kembali isi dan inti ajaran Islam yang sesungguhnya, yang menurut keyakinannya menjadi cahaya yang dapat menyinari alam ini. Kaum pembaru berkeyakinan bahwa bab al-ijtihad, masih tetap terbuka; mereka menolak taqlid. Ijtihad membawa kaum pembaru untuk lebih memperhatikan pendapat. Keinginan untuk keluar dari situasi yang dianggap tidak sesuai dengan gagasan-gagasan yang ideal menghadapkan Minangkabau pada pilihan-pilihan yang kadang-kadang saling bertentangan.
Model barat mungkin baik, tetapi dapat berarti ancaman pada dasar-dasar agama dan adat. Perubahan yang sesuai dengan ajaran Islam yang ortodoks, memang merupakan pemecahan. Tetapi bagaimana pula dengan lembaga adat yang telah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat Minangkabau? Dan, apa pula contoh yang bisa diikuti? Tetapi parameter adat sangat terbatas dan bias menutup jalan ke dunia maju dan mungkin pula menghadapkan diri pada masalah dosa dan tidak berdosa, soal batil dan haq.
Catatan Kaki
[1] Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942,Jakarta, LP3ES, 1980, hal.38
[2] Syekh Djamil Djambek dilahirkan di Bukittinggi pada tahun 1860 , anak dari Muhammad Saleh Datuk Maleka, Kepala Nagari Kurai. Ibunya berasal dari Betawi. Syekh Djamil Djambek meninggal tahun 1947 di Bukittinggi.
[3] Haji Rasul lahir di Sungai Batang, Maninjau, tahun 1879, anak seorang ulama Syekh Muhammad Amarullah gelar Tuanku Kisai. Pada 1894, pergi ke Mekah, belajar selama 7 tahun. Sekembali dari Mekah, diberi gelar Tuanku Syekh Nan Mudo. Kemudian kembali bermukim di Mekah sampai tahun 1906, memberi pelajaran di Mekah, di antara murid-muridnya termasuk Ibrahim Musa dari Parabek, yang menjadi seorang pendukung terpenting dari pembaruan pemikiran Islam di Minangkabau. Haji Rasul meninggal di jakarta 2 Juni 1945
[4] Haji Abdullah Ahmad lahir di Padang Panjang pada tahun 1878, anak dari Haji Ahmad, seorang ulama dan pedagang. Ibunya berasal dari Bengkulu, masih trah dari pengikut pejuang Sentot Ali Basyah.
Syeikh Sulaiman Arrasuli Inyiak Canduang
Syeikh Sulaiman ar-Rasuli al-Minangkabawi, lahir di Candung, sekitar 10 km. sebelah timur Bukittinggi, Sumatra Barat, 1287 H./1871 M., wafat pada 29 Jumadil Awal 1390 H./1 Agustus 1970 M. Ia adalah seorang tokoh ulama dari golongan Kaum Tua yang gigih mempertahankan madzhab Syafi’i. Tak jarang pula, Beliau dipanggil dengan sebutan “Inyik Candung”. Sulaiman merupakan anak pertama (sulung) dari 2 orang bersaudara. Saudara beliau bernama Lajumin Habib. Ayah beliau ulama besar Minangkabau di masa itu, yaitu Angku Mudo Muhammad Rasul dan ibu beliau bernama Siti Buliah. Beliau adalah tokoh ulama dan pejuang kelahiran 10 Desember 1871 M, bertepatan dengan 1297 H. Tempat kelahiran beliau di daerah Pakan Kamih, Canduang, lebih kurang 11 Km dari Bukittinggi arah ke PayakumbuhSyeikh Sulaiman ar-Rasuli, yang lebih dikenal oleh para muridnya dengan nama Maulana Syeikh Sulaiman, sejak kecil memperoleh pendidikan awal, terutama dalam bidang pelajaran agama, dari ayahnya. Sebelum meneruskan studinya ke Mekah, Sulaiman ar-Rasuli pernah belajar kepada Syeikh Yahya al-Khalidi Magak, Bukittinggi, Sumatera Barat. Pada masa itu Masyarakat Minang masih menggunakan sistem pengajian surau dalam bentuk halaqah sebagai sarana transfer pengetahuan keagamaan.
Syekh Sulaiman ar-Rasuliy di Masa Kecil
Syeikh Sulaiman ar-Rasuli, yang lebih dikenal oleh para muridnya dengan nama Maulana Syeikh Sulaiman, sejak kecil memperoleh pendidikan awal, terutama dalam bidang pelajaran agama, dari ayahnya. Sebelum meneruskan studinya ke Mekah, Sulaiman ar-Rasuli pernah belajar kepada Syeikh Yahya al-Khalidi Magak, Bukittinggi, Sumatera Barat. Pada masa itu Masyarakat Minang masih menggunakan sistem pengajian surau dalam bentuk halaqah sebagai sarana transfer pengetahuan keagamaan.
Telah memiliki karakter leadership (kepemimpinan) dan konstruktor (jiwa pembangun). Bersahabat, bermasyarakat dengan sesama masyarakat yang semasa dengannya. Tegas, sopan, dan memiliki moral yang tinggi dan luhur .
Syekh Sulaiman ar-Rasuli di Masa Pendidikan
Pendidikan Dasar Agama Islam dengan belajar membaca al-Qur’an dengan Maulana Syekh Abdurrahman al-Khalidi (Kakek Syekh ‘Arifin) pada tahun 1881 M/ 1307 H di Batu Hampar, Payakumbuh.
Pendidikan Ilmu alat dalam menela’ah al-Qur’an, yaitu ilmu nahwu dan ilmu sharaf kepada Syekh Abdushshamad al-Samiak (Tuanku Sami’) di Biaro tahun 1883-1884 M/ 1309-1310 H. Belajar ilmu fiqh dan pemahaman ilmu faraid dengan Tuanku Kolok (Kakek dari orang tua perempuan Prof. Dr. Mahmud Yunus) di Sungayang pada tahun 1885-1886 M/ 1310-1311 H.Kembali belajar dengan Tuanku Sami’ yang baru kembali dari Makkah pada tahun 1886 M/ 1311 H.
Pada tahun yang sama, merupakan awal perkenalannya dengan Yang Mulia Angku Haji Abbas Khadi Landrat Ford de Cock yang pada tahun 1926 membantu proses pembangunan MTI Candung. Selama tujuh tahun, Syeikh Sulaiman ar-Rasuli belajar di Halaban dengan Syeikh Abdullah Halaban pada tahun 1890-1896 M/ 1315-1321 H, untuk mendalami berbagai disiplin ilmu, yaitu:
Ilmu-ilmu tata bahasa Arab (Ilmu Nahwu, Sharaf, Mantiq, Balaghah, Ushul Fiqh), Fiqh, Tafsir, Tashauf, dan Tauhid
Pada masa ini, beliau telah menjabat sebagai guru tuo (tutor) yang mewakili sang Syeikh pada saat-saat tertentu. Pada tahun 1896 M/ 1321 H akhir, beliau kembali ke tanah kelahirannya dengan membawa beberapa orang murid-murid dengan mengajarkan ilmu-ilmu yang telah dipelajari dengan ulama-ulama besar yang telah menimba ilmu pengetahuan di kota suci Makkah. Tahun 1903-1907 M/ 1328-1332 H), beliau berangkat untuk menunaikan rukun Islam yang kelima
Pernikahan; Ibadah Haji; dan Pengembaraan untuk Mencari dan Mendalami Ilmu Agama Islam (1903-1907 M/ 1328-1332 H)
1 tahun sebelum keberangkatannya ke Makkah, ia telah dijemput jadi menantu sehingga waktu keberangkatannya, meninggalkan istri dengan seorang anak perempuan, yaitu Ruqayyah. Perjalanan Hajinya di bimbing oleh H. Abdurrahman Padang Gantiang dengan melalui jalur laut di Penang.
Pendidikannya di Makkah al-Mukarramah
Mendalami ilmu-ilmu yang telah dipelajarinya sewaktu di Indonesia dengan para ulama yang disebutkan di atas.
Guru-gurunya adalah:
1. Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi
2. Syeikh Mukhtar Azharad al-Shufy
3. Syeikh Said Ahmad Syatha al-Maky
4. Syeikh Utsman al-Sirwaqy
5. Syeikh Muhammad Sa’id Mufty al-Syafi’i
6. Tokoh-tokoh Ulama yang semasa belajar dengannya di Makkah
7. Syeikh Abdullah Karim Amarullah
8. Syeikh Muhammad Jamil Jambek
9. Syeikh Muhammad Jamil Jaho
10. Syeikh Abbas Abdullah Ladang Laweh
11. dll
Kembali ke Kampung Halaman
Permintaan Ibunya, mengharuskannya kembali ke Indonesia. Mendirikan “Surau Baru” sebagai wadah pengembangan ilmu pengetahuan yang diperolehnya selama pengembaraannya.
Berawalnya masa perjuangan dari segala aspek kehidupan masyarakat, sehingga mulailah ia hidup di dalam berbagai fenomena sosial.
Syeikh Sulaiman ar-Rasuli di Tinjau dari Aspek Pendidikan
Mendirikan Surau Baru, Pakan Kamih, pada tahun 1908 dengan menggunakan sistem halaqah sampai tahun 1927. Mendirikan lembaga pendidikan klasikal di Canduang pada tahun 1928, dan masih eksis sampai sekarang melalui lembaga pendidikan Madrasah Tarbiyah Islamiyah Candung
Pendidikan Perspektif Syekh Sulaiman ar-Rasuli
Pendidikan adalah suatu proses memanusiakan manusia. Pendidikan sepanjang hayat (long life education). Pendidikan merupakan alat untuk memperoleh keridhaan Allah swt, sehingga materi pendidikan lebih menitik beratkan pada pengkajian agama Islam yang bersumber dari kitab klasik
Karakter Madrasah Tarbiyah Islamiyah dibangun oleh Syeikh Sulaiman ar-Rasuli
1. Menganut Faham Ahlussunnah wal Jama’ah (dalam kajian Akidah)
2. Menganut Mazhab Syafi’i (dalam kajian Fiqh)
3. Mempertahankan pola Halaqah dalam pendalaman kitab kuning disamping pola klasikal dalam PBM secara umum
4. Memberdayakan Tradisi Mudzakarah (Mempunyai Kebiasaan Kritis, Dialogis, Berfikir Moderat)
Syeikh Sulaiman ar-Rasuli sebagai Tokoh Sosial Keagamaan dan Kemasyarakatan
Tokoh adat Minangkabau yang merekonstruksi dan menetapkan bunyi pepatah:
“Syara’ mangato, adat mamakai; Minangkabau batubuah adat, bajiwa syara’; Pangulu-pangulu salaku juru batu, dan alim ulama salaku kamudi; Adat basandi syara’, Syara’ basandi Kitabullah”
(Bukittinggi, 4-6 Mei 1952; Kongres Ulama, Niniak mamak, dan Cadiak pandai)
Belum diketahui berapa banyak karya tulis yang dibuat oleh Syekh Sulaiman Arrasuli, namun yang baru diketahui ada 9, antara lain :
1. Dau’u as-Siraj al-Isra wal Mi’raj (Kisah Isra’ Mi’raj Rasulullah)
2. Samarat Al-Ihsan fi waldah sayyid al-Ihsan (Cerita tentang nabi-nabi)
3. Daw’u Al Qulub fi Qissah Yusuf wa Ya’qub (Kisah nabi Yusuf dan Ya’qub)
4. Risalah Al-Aqwal al-Wasitah fi az-Zikri wa ar-Rabitah (Tasawuf)
5. Al-Qaul al-Bayan fi Tafsir Al-Quran (Ilmu Tafsir)
6. Al Jawahir al-Kalamiyah (Usuluddin)
7. Sabil as-Salamah fi Wirdi Sayyid al-Ummah (Kumpulan doa-doa)
8. Kisah Muhammad Arif
9. Perdamaian Agama dan Adat
Penulis buku tentang kajian adat alam Minangkabau, yaitu:
1. Pedoman Hidup di Minangkabau
2. Asal dan Pendirian Pangulu
3. Pertalian Adat dan Syara’
4. Pedoman Pangulu
Buku-buku ini berisikan tentang tatanan sosial kemasyarakatan Minangkabau
Beberapa penghargaan yang diterima beliau, antara lain :
1. Bintang Perak Wilhelmina dari Kerajaan Belanda pada tahun 1931
2. Bintang Sakura dari Kerajaan Jepang pada tahun 1943
3. Perintis Kemerdekaan dari pemerintah Republik Indonesia (RI) pada tahun 1966
4. Penghargaan dari NU pada 3 Februari 2008 sebagai salah seorang dari 4 Pemikir Islam di Indonesia, dalam rangka Milad NU ke 82 yang dihadiri oleh Wakil Presiden RI
Kiprahnya Ditinjau dari Aspek Sosial Politik
Ketua Sidang Konstituante pertama pada Pemilu tahun 1955 di Bandung.
1. Penggagas berdirinya Mahkamah Syari’ah dan sekaligus terpilih sebagai KETUA di wilayah Sumatera Tengah. (1947)
2. Pencetus berdirinya Majelis Tinggi Islam Minangkabau (1944 )
3. Pendiri Ittihad al-Ulama (1921-1928 )
4. Pendiri Persatuan Tarbiyah Islamiyah (1928 )
Dinamika Pemikirannya dalam bidang ilmu akidah
1. Mengonsep tatanan akidah yang benar bagi seluruh elemen masyarakat dengan menulis buku “al-Aqwalu al-Mardhiyah” perspektif “ahl al-sunnah wa al-jama’ah”
2. Membantah kerancuan yang dituduhkan oleh H. Jalal al-Din (salah seorang tokoh yang berpengaruh) tentang kesesatan thariqat al-Naqsabandiyah dengan menulis buku “Tabligh al-amanah”
KH.Sirajuddin Abbas
25 04 2012 KH.Sirajuddin Abbas lahir di kampung Bengkawas, Kabupaten Agam, Bukit tinggi, Sumatra barat, pada tanggal 20 Mei 1905. Sebagai anak laki-laki sulung Syekh Abbas bin Abdi Wahab bin Abdul Hakim Ladang lawas, seorang qadhi, ibu beliau bernama Ramalat binti Jai Bengkawas. Beliau dibesarkan dalam lingkungan agama yang taat. Pada mulanya beliau belajar Al quran pada ibu hingga berusia 13 tahun. Setelah itu beliau belajar kitab-kitab arab pada ayah beliau selama tiga tahun. Selama enam tahun berikutnya, beliau belajar kepada para ulama di Bukittinggi dan sekitarnya. Seperti syekh Husen Pekan Senayan Kabupaten Agam, Tuanku Imran limbukan Payakumbuh limapuluh kota, Syekh H.Qasem Simabur Batu Sangkar Tanah Datar, Syekh Muhammad Zein di Simabua, Batu Sangkar, Syekh H.Abdul Malik di Gobah, ladang Laweh. Tahun 1927 beliau belajar di tanah suci. Disana beliau berguru kepada beberapa ulama di Masjidil haram seperti :1. Syekh Muhammad Said Yamani (mufti Mazhab Syafii) mempelajari ilmu fiqh dalam mazhab Syafii dari kitab Al Mahally
2. Syekh Husen Al Hanafi (mufti mazhab Hanafi) mempelajari ilmu hadis dari kitab Shahih Bukhary.
3. Syekh Ali Al maliki (mufti mazhab maliki) mempelajari ilmu usul fiqh dari kitab Al furuq
4. Syekh Umar hamdan, darinya beliau mempelajari kitab Al Muwatha` karangan Imam Malik.
Beliau tinggal disana sampai tahun 1933. Tahun 1930 beliau diangkat menjadi staf sekretariat pada konsultan Nedherland di Arab Saudi. Pengetahuan agamanya yang sangat luas dan penguasaannya terhadap bahasa arab yang fasih mengantarkannya kejenjang nasional dan internasional di ranah politik perjuangan bangsa Indonesia. Sekembali dari Makkah tahun 1933 beliau mengambil dan menerima macam-macam ilmu pengetahuan agama dari syekh Sulaiman Ar rasuli Canduang Bukittinggi. Selain itu beliau juga belajar bahasa inggris kepada seorang guru yang berasal dari Tapanuli yaitu Ali Basya. Tiga tahun pertama di kampung ia dikenal sebagai muballigh muda yang potensial sehingga menarik minat para ulama senior yang bergabung dalam persatuan Tarbiyah Indonesia, organisasi keagamaan satu satunya yang ada di Bukitinggi.
Ketika berlangsung kongres ketiga organisasi tersebut di Bukit tinggi tahun 1936 tak ayal lagi beliau pun terpilih sebagai ketua umum Tarbiyah. Ternyata pilihan itu tidak salah, ditangan beliau Tarbiyah kian berkembang. Dan yang lebih penting mulai merambah bidang politik. Tahun 1940 Tarbiyah mulai mengajukan usul kepada pemerintah colonial agar Indonesia bisa berparlemen. Usul tersebut diajukan melalui komisi Visman yang dibuka pemerintah kolonial untuk menjaring suara-suara kalangan bawah.
Sepak terjang beliau mulai didengar oleh Bung karno. Pada saat ia ditahan oleh pemerintah Kolonial di Bengkulu dan dipersiapkan untuk dibuang ke Australia (1942). Namun entah mengapa, kapal yang digunakan untuk membawa Bung Karno terbakar. Bung Karno memanfaatkan sistuasi tersebut untuk melarikan diri hingga sampai ke Muko-muko. Dari Muko-muko ia melarikan diri ke Bukit tinggi dengan menggunakan sepeda motor yang diberikan seorang penduduk yang simpati padanya. Di Bukit tinggi ia segera menemui KH.Sirajuddin Abbas. Tentu saja KH.Sirajuddin kaget, tidak menduga akan kedatangan tokoh yang namanya sedang meroket ditengah tengah masyarakat kala itu. Bung Karno berpesan pada KH Sirajuddin Abbas agar Tarbiyah lebih berhati-hati karena Jepang akan menjajah Indonesia.” Jepang lebih berbahaya dari pada Belanda. ” 12.000 personel Lasmi
Proklamasi kemerdekaan Indonesia tahun 1945 yang dibacakan Bung Karno segera sampai ketelinga KH.Sirajuddin lewat radiao bawah tanah. Segera saja ia menyebarkan berita tersebut lewat selebaran setensilan hingga ke Pekanbaru.” Indonesia sudah merdeka, kita sudah berdaulat. Mari kita berjuang mempertahankan kemerdekaan sampai titik darah penghabisan.” Tulisnya dalam selebaran itu. Pada saat wakil presiden Mohd.Hatta mengeluarkan Maklumat No.X/1945 pada bulan November, yang isinya mendorong agar rakyat bergabung dalam partai politik dan dianjurkan membentuk partai politik demi tegaknya demokrasi. Hal ini mendorong KH.Sirajuddin untuk membuat partai yang berbasis Tarbiyah. Maka ia sebagai ketua Tarbiyah segera meminta izin kepada para pendiri dan sesepuh untuk mewujudkan niat beliau tersebut. Gayung bersambut, mereka setuju. Dengan catatan jangan meninggalkan tugas pokok yaitu pendidikan, dakwah, kegiatan social keagamaan dan keummatan.
Maka pada bulan Desember tahun 1945 ketika berlangsung kongres Tarbiyah keempat di Bungkit tinggi, diputuskan bahwa Persatuan Tarbiyah Islamiyah membuat satu partai dengan nama Partai Islam Tarbiyah Islamiyah disingkat PI Perti dan mengangkat KH.Sirajuddin sebagai ketua umumnya. Sejak itulah kiprah beliau dibidang politik kian terbuka lebar. Badan Legislatif pun memberinya tempat. Mulai dari DPRD,DPR RIS, DPRS, dan DPR GR.
Hal ini memaksa beliau hijrah ke Jakarta pada tahun 1950. Di Bukit tinggi beliau meninggalkan Lasykar Muslimin dan Muslimat Indonesia (Lasmi) yang digagasnya pada tahun 1948 guna memobilisir kekutan rakyat Sumatra barat untuk mempertahankan kesatuan Negara Republik Indonesia. Bahkan peresmianya dilakukan oleh Muhd.Nasir, seorang tokoh nasional yang berasal dari Sumatra barat yang kala itu menjabat sebagai mentri penerangan. Maka pada ketika Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) dibentuk oleh Syafruddin Prawiranegara di Padang lantaran presiden dan wakil presiden telah ditangkap, Perti pun ikut mendukung dengan mengerahkan kekuatan Lasmi yang beranggotakan 12.000 personel, untuk mengamankan dan melindungi kegiatan PDRI yang harus mobile karena kejaran Belanda. Ketika Komite Nasional Indonesia Pusat dibentuk, maka beliau pun tercatat sebagai salah satu anggotanya.
Isu palestina
Tahun 1951 tersebar isu bahwa kaum Zionis yahudi mengusir raykyat Palestina dari negerinya. KH.Sirajuddin Abbas sebagi anggota mengangkat isu tersebut kepermukaan, karena sejauh itu pemerintah tidak mengeluarkan statemen atau komentar apapun. “Partai Islam Perti mendukung perjuangan rakyat palestina”. Orasinya di depan sidang parlemen. “rakyat Indonesia dan pemerintah Indonesia sebaiknya juga mendukung perjuangan rakyat palestina”. Esoknya, hal itu menjadi berita utama di Koran Koran ibukota.
Seminggu kemudian para ulama mendatangi beliau dan menyatakan simpatinya kepada Partai Islam Perti, sehingga partai yang belum lama hijrah keibukota ini menjadi dikenal oleh masyarakat luas. Sekian lama hidup di tanah Arab memberi wawasan tentang palestina dan perjuangan rakyatnya dari ancaman kaum yahudi. Maka begitu terbetik berita pengusiran penduduk palestina oleh kaum yahudi, beliau memanfaatkan moment tersebut untuk membuka mata bangsa Indonesia terhadap perjuangan rakyat palestina. Sejak pidato itu ia mendapat simpati dari kalangan para ulama dan media selalu menyediakan halamannya untuk menampung berita tentang Palestina.
Berkahnya, PI Perti berkembang pesat di pulau jawa. Sehingga pada pemilu tahun 1955 PI Perti menduduki tempat kedelapan dari seluruh partai yang ikut pemilu.
Sebelumnya, pada tahun 1954 KH.sirajuddin diangkat menjadi mentri kesejahteraan rakyat kabinet Ali sastroamijojo I. Beliaulah yang menyampaikan gagasan kepada presiden Soekarno untuk menggelar Organisasi setiakawan rakyat Asia Afrika (OSRA). Bung Karno yang ketika itu sedang bersemangat dengan ide-ide menjungkalkan imperialisme dan kolonialisme menyambut baik ide tersebut dan memberikan fasilitas. Sebagai pemakarsa beliau ditugasi untuk menghubungi dan mencari dukungan Negara-negara di Afrika. Pada kesempatan inilah beliau berkenalan dengan Anwar sadat yang pada saat itu menjabat sebagai ketua organisasi buruh Mesir. Maka pada bulan September tahun 1954 diadakanlah Konferensi OSRAA di Bandung dan terpilih sebagai ketua umum utusan dari Mesir.
Pada tahun 1958 beliau kembali meraih peluang emas. Kala itu, karena kehadiran Pemerintah revosional republic Indonesia (PRRI) yang dideklarasikan oleh Ahmad Husen di Padang. Menyadari bahwa PRRI menempatkan dirinya bersebrangan dengan pemerintah maka beliaupun menegaskan kepada presiden bahwa PI perti tidak setuju dengan PRRI. Ketika Ahmad Yani ditunjuk untuk menumpas PRRI ia meminta nasehat Kh.Sirajuddin agar sesampainya di Padang supaya menemui Buya Sulaiman Ar Rasuli, ulama yang sangat dihormati masyarakat Sumatra barat.
Berbekal saran dari ulama senior tersebut Ahmad Yani berhasil melaksanakan tugasnya. Tahun 1959 tersiar berita bahwa belanda mengirim kapal induk karel Doorman keindonesia untuk membantu mempertahankan Irian barat. untuk bisa mencapai Indonesia dalam waktu singkat kapal itu harus melewati terusan suez di Mesir. Untuk mengantisipasi hal itu Presiden Sukarno mengutus KH Sirajuddin Abbas ke Mesir untuk membicarakan hal itu dengan presiden Gamal Abdul Naser agar melarang Belanda melewati terusan Suez. Setibanya di Mesir beliau langsung menemui kawan lamanya Anwar sadat yang menjadi pemimpin organisasi buruh. Namun Anwar Sadat tidak dapat memberikan jalan. Namun ian mempersilahkan KH Sirajuddin untuk membicarakannya dengan Presiden Gamal Abdul Naser, untuk menemui sang kepala Negara Annwar dapat mengusahakannya. Namun ternyata presiden Gamal Abdul Naser juga tidak dapat memberikan solusi. Masalahnya,kata presiden, terusan Suez berada dalam zone internasional. Yang bisa melarang kapal asing untuyk melewati terusan tersebut hanyalah para buruh di Suez yang bermarkas di Port Said. Dengan nada pesimis KH Sirajuddin mengutarakan hal tersebut kepada Anwar Sadat.
Ternyata Anwar justru melihat celah yang sangat baik dengan ide presidennya itu. Ia mendukung saran tersebut dan ikut menbantu merealisasikannya. Singkat cerita KH.Sirajuddin dapat bertemu dengan pemimpin organisasi buruh pelabuhan dan terusan itu dan dapat menyampaikan tugas yang beliau emban. Dihadapan buruh Terusan Suez beliau berpidato meminta dukungan agar mereka melarang lewatnya kapal induk Kareel Doorman yang akan berlayar menuju Indonesia melalui terusan tersebut. ‘’Indonesia sedang berjuang mengembalikan Irian Barat dari tangan penjajah belanda “ kata KH.Sirajuddin deang bahasa arab nyang fasih. “apalagi Karel Doorman bisa sampai ke Indonesia dalam waktu singkat, perjuangan bangsa Indonesia menjadi berat. “Sebagai Negara yang bersahabat, apalagi Mesir merupakan Negara yang pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia, bantuan yang diharapakan kali ini akan bermakna positif bagi perjuangan bangsa Indonesia”. Demikian orasi kiai asal Bukit Tinggi itu dengan semangat tinggi. Ternyata sambutan mereka sangat positif, maka Karel Doorman pun dilarang melewati terusan tersebut.
Dengan adanya sikap kaum buruh terusan suez itu, Presiden Gamal Abdul Naser tanpa berpikir panjang lagi segera memberikan dukungan.
Tahun penuh fitnah.
Semakin tinggi satu pohon semakin kencang angina yang menerpanya. Ibarat itulah yang tepat untuk menggambarkan kondisi KH.Sirajuddin Abbas pada sekitar tahun 1965. Ketika dewan revolusi yang memotori kudeta G 30 S, memperkenalkan diri melalui corong RRI, nama KH.Sirajuddin tercantum sebagai anggota. Padahal kala itu beliau sedang berobat dirumah sakit Soci, ditepi laut Hitam yang masuk dalam wilayah Uni Sovyet. Kehadiran beliau di negri tersebut adalah atas bantuan Anwar Sadat. Kala itu persahabatan Mesir dengan Uni Sovyet sedang erat-eratnya, begitu pula dengan Indonesia. Alhasil beliaupun dicap sebagi PKI. Bantahan yang dikeluarkan oleh Gerakan Mahasiswa Islam Indonesia (Germahi) yang merupakan organisasi sayap mahasiswa PERTI, bahwa KH.Sirajuddin Abbas tidak tahu menahu tentang hal tersebut nyaris tidak berfaedah, karena tertelan oleh hiruk piruk Nasakom yang sedang dikibarkan oleh Bung Karno. Fitnah berikutnya adalah adanya “Dokumen Cianjur” yang menyebutkan bahwa bila terjadi clash antara ABRI dengan PKI maka seluruh jajaran PERTI harus membantu PKI. Akibatnya KH.Sirajuddin diciduk dan ditahan di markas Kodam V Jaya selama 40 hari. Tidak hanya itu juga ditemukan seribu setel pakaian loreng dan uang sekian puluh juta rupiah dirumah Sofyan siraj (anak sulung KH.Sirajuddin) di Jln.Dempo, Matraman. Sama seperti yang ditemukan di rumah D.N Aidit, ketua umum PKI. Penemuan ini dianggap sebagai petunjuk adanya kerjasama antara KH.Sirajuddin dengan Aidit. Meski kemudian dapat dibuktiakn bahwa dokumen Cianjur itu palsu dan nama baik KH.Sirajuddin direhabilitasi oleh pemerintah yang ditandatangani oleh Amir Mahmud (Laksuda Jaya), kurang begitu berpengaruh, karena koran-koran tidak ada yang bersedia memuatnya. Tudingan miring itu melekat pada beliau hingga ketika buku beliau yang berjudul I`tiqad Ahlussunnah wal jama`ah terbit muncul komentar “ ini orang PKI kok menulis buku agama”. Dalam kasus Dokumen Cianjur, dua orang pengurus PERTI cabang Cianjur Zainuddin dan Yaqub juga kena getahnya. Kepada interrogator Laksusda setempat kedua bersikukuh bahwa dokumen itu palsu dan bersedia ditembak untuk mempertahankan pendiriannya. Mereka minta agar sebelum dieksekusi mereka diizinkan mengumandangkan azan dan tembakan itu tepat dilepaskan ketika sampai pada kalimat “Hayya `alal falah”. Namun ketika azan selesai mereka berdua mersakan suasana yang hening dan sunyi. Beberapa detik kemudian ketika mereka memberanikan diri mereka membuka penutup mata, ternyata para penembvak itu telah pingsan, SubhanALLAH Mereka kemudian melarikan diri kearah Cianjur dan ketika sampai dikantor PERTI, hal itu mereka utarakan kepada KH.Sirajuddin. “ Masya ALLAh, semoga Allah memberkahi kalian berdua”, Komentar KH.Sirajuddin. Tahun 1965 merupakan batas kiprah beliau memimpin PERI. Atas saran anak – anak muda PERTI, Buya Siraj, begitu beliau akrab dipanggil, lebih mencurahkan perhatian beliau dalam penulisan-penulisan buku agama. Anak-anak muda Perti yang merasa kuarang memahami soal Ahlussunnah waljamaah meminta beliau untu menulis sebuah buku yang bias menjadi pegangan bagi mereka. KH. Sirajuddin Abbas yang kala itu sudah berumur 60 tahun memenuhi permintaan itu. Dua tahun kemudian terbitlah buku I`tiqad Ahlussunnah wal jama`ah dan sejarah Keagungan Mazhab Imam Syafii. Untuk modal menerbitkan buku tersebut beliau rela menjual rumahnya di Jln.Dempo, dan pindah ke Jln.Tebet Barat kecil. Ternyata buklu tersebut laris manis. Departemen agama pun memesan untuk keperluan IAIN. Walau demikian sebagian besar justru beliau bagikan secara gratis. NU menjadikan buku itu senbagi pedoman. Beberapa tahun kemudian terbitlah buku 40 masalah agama sebanyak 4 jilid besar. Untuk kali ini beliau pun rela menjual rumahnya untuk modal penerbitan buku tersebut. Retakhir beliau menempati rumah di Jln.Melati Utara (kini Tebet Barat). Buya Siraj wafat tanggal 23 ramadhan 1400 H atau 5 agustus 1980 setelah beberapa hari dirawat di RS Cipto Mangunkusumo lantaran serangan jantung. Saat pemakaman tampak perhatian warga Tarbiyah begitu besar. Jasad beliau dimakamkan dipemakman Tanah Kusir Jakarta Selatan Hadir pula wakil presiden Adam Malik. Beliau meninggalkan seorang istri dan dua anak Sofyan (almarhum) dan Fuadi. Selain sebagi kutua umum Tarbiyah beliau juga merupakan pendiri organisasi politi “Liga Muslim Indonesia” bersama sama KH.Wahid Hasyem (wakil dari NU), Abikusno Cokrosuyono (wakil dari PSII). Beliau banyak meninggalkan tulisan diantaranya: 1. I`tiqad Ahlussunnah wal jamaah. Sebuah buku yang berisi tentang faham Ahlussunnah dan beberapa firqah-firqah lainnya. 2. 40 Masalah Agama Sebuah buku yang terdiri dari empat jilid menjelaskan 40 macam masalah agama yang sedang berkembang dewasa itu. Dalam buku ini beliau juga menerangkan tentang gerakan modernisasi agama oleh orang-orang yang ingin memperbarui Islam dengan paham mereka. Beberapa tokoh yang beliau masukkan kedalam golongan ini antara lain Ibnu Taymiyah, Muhammad Abduh, Muhammad bin Abdul Wahab (pendiri wahaby), Mirza Ghulam Ahmad, Mustafa kemal At Taruk dan juga presiden RI pertama Soekarno. 3. Kumpulan soal-jawab keaagamaan (sebuah buku berisi jawaban-jawaban dari beberapa pertanyaan seputar agama) 4. Thabaqatusy Syafi`iyah (Ulama Syafii dan kitabnya dari abad kea bad) 5. kitab fiqh ringkas 6. Sorotan atas terjemahan Al Quran oleh HB.Jassin 7. Sirajur Munir (Fiqh 2 jilid) 8. Bidayatul Balaghah (Bayan) 9. Khulasah Tarikh Islam 10. Ilmul Insya` 1jilid 11. Sirajul bayan fi Fahrasatil Ayatil Al quran 12. Ilmun Nafs 1 jilid Tulisan beliau no 7-12 adalah karangan beliau dalam bahasa arab. Ditulis oleh Mursyid A.Rahman Aly Langsa dikutip dari majalah Al kisah No.19/tahunVI/8-21 september 2008 dan sumber lainnya.
ANWAR ST. SAIDI : Putra Minang penggagas Bank Nasional
11 04 2011 Orang Minang memang sudah lama menjadi pedagang. Tapi sistem berdagang mereka masih bersifat tradisional: mereka menyimpan uang dan emas dalam peti atau karung yang disembunyikan di tempat yang aman di kedai atau di rumah. Mereka amat jarang berurusan dengan bank dan asuransi. Akibatnya, jika terjadi kebakaran, misalnya, uang dan harta benda mereka habis tandas dilalap “sigulambai”, seperti dicatat dalamKitab Sjair Pasar Kampoeng Djawa Padang terbakar pada 5 Juli 1904 oleh Mohamad Thahar galar Radja Mangkoeta (Padang: De Volharding, 1906): Habis segala barang dagangan /oeang dan emas beriboe etongan / Tidak berapa dapat pertoeloengan / menjadi<h>aboe sampai bilangan (hal.2). Sampai kemudian di tahun 1930-an muncul gagasan dari seorang putra Minang untuk mendirikan bank guna memajukan usaha perdagangan dan perekonomian urang awak. Dialah Anwar St. Saidi.Lahir di Sungai Puar tanggal 19 April 1910, pendidikan formal Anwar St. Saidi tidaklah tinggi benar: setelah tamat sekolah dasar 5 tahun (Goevernement 2de klas) di Payakumbuh, Anwar, sebagaimana biasanya pemuda-pemuda Sungai Puar, terjun ke dalam usaha dagang dan kerajinan. Ia berdagang kain di kota Bukittinggi.
Usaha dagang Anwar beroleh kemajuan. Pada tahun 1920-an ia ulang-alik ke Jawa mengurus bisnisnya. Angin nasionalisme yang sedang berhembus kencang pada waktu itu juga membakar jiwa pemuda Anwar. Pada masa itu semangat nasionalisme bisa menghinggapi jiwa kaum muda yang berpikiran maju, baik mereka yang berpendidikan akademis maupun yang bergerak di jalur swasta, misalnya perdagangan, seperti yang ditunjukkan oleh pemuda Awar.
Sambil mengurus bisnisnya ke Jawa, Anwar berhubungan dengan Dr. Soetomo yang pada tahun 1929 mendirikan Maskapai Dagang Indonesia dan Bank Nasional Indonesia di Surabaya. Tujuannya untuk memajukan perekonomian rakyat yang tertindas di bawah penjajahan Belanda. Pemuda Anwar belajar kepada Dr. Soetomo mengenai seluk-beluk dunia perbankan, dan ia ingin mengaplikasikannya di kampung halamannya sendiri di Sumatra Barat. Untuk mewujudkan cita-citanya itu, anwar lalu menghubungi para saudagar anggota H.S.I. (Himpunan Saudagar Indonesia) di Bukittinggi. Kepada mereka Anwar mengutarakan maksudnya untuk mendirikan bank, mengikut model yang dibuat oleh Dr. Soetomo di Jawa.
H.S.I. menyetujui ide Anwar itu. Lalu dibentuklah Panitia Sementara (Voorlopig Committee) yang terdiri dari 10 orang, yaitu H. Mohd. Jatim, M. Dt. Mangulak Basa, H. Sjamsuddin, H. Mohd. Thaher, H.M.S. Sulaiman, Djamin Tk. Mudo, H. Sjarkawi Chalidi, Rasjid St. Tumanggung, Malin Sulaiman, dan Anwar sendiri yang berusia paling muda. Tugas panitia itu mempersiapkan dan membentuk bank yang dicita-citakan itu.
Anwar mengusulkan agar semua anggota Voorlopig Committee langsung menjadi pendiri (oprichter) bank itu, dengan menyetor modal masing-masing sebanyak Rp.5000,- sehingga terkumpul modal sebanyak Rp. 50.000,- uang masa itu.
Rupanya anggota Panitia yang lain tidak menyanggupi. Namun, Anwar tetap pada pendiriannya: sebanyak itulah minimal modal awal untuk mendirikan sebuah bank. Jumlah itu pun sebenarnya masih kecil, jauh lebih kecil dari jumlah modal milik bank-bank bangsa asing ketika itu yang punya modal ratusan ribu dan jutaan rupiah. Dalam salah satu rapat Panitia malah terlihat kecurigaan generasi tua terhadap generasi muda.
Akhirnya dicapai suatu konsensus: diusulkan buat sementara mendirikanAbuan Saudagar, menjelang didapat modal sebanyak yang dibutuhkan. Anwar setuju, paling tidak sebagai langkah awal menuju pendirian bank yang dicita-citakannya. Abuan Saudagar segera terbentuk, sekalian dengan pengurusnya: 5 orang dari kalangan Panitia 10, termasuk Anwar yang menjadi sekretaris, sedangkan seorang komisaris bukan berasal dari pendiri, yaitu Buyung St. Burhaman.
Bank yang dicita-citakan Anwar akhirnya terbentuk juga, yang diberi namaBank Nasional, seperti nama bank yang dibentuk Dr. Soetomo di Jawa. Bank Nasional milik urang awak itu resmi berdiri tanggal 27 Desember 1930 diBukittinggi, yang direstui oleh Dr. Soetomo dan juga oleh Bung Hatta. Ketika beliau kembali dari pembuangan di Bandaneira, Bung Hatta bersedia mendidik tiga kader Bank Nasional, yaitu Munir, Bachtul Nazar, dan Damanoeri.
Tahun 1930-an Anwar berkali-kali diangkat menjadi direktur Bank Nasional yang dirintisnya itu. Tahun 1938 ia memprakarsai berdirinya empat perusahaan yaitu, P.T. Inkorba, P.T. Bumi Putera, P.T. Andalas, dan P.T. Fort de Kock. Dalam usaha memajukan perekonomian nasional, Anwar didampingi oleh Chatib Sulaiman, Mr. Nasrun, dll.
Anwar juga mendirikan sekolah Taman Siswa di Bukittinggi. Gedungnya diberi nama Balairung Nasional (letaknya di komplek S.A.A. dulu), yang diresmikan oleh pantolan gerakan nasional, M. Yamin.
Bank Nasional dan bisnis Anwar beroleh kemajuan. Tetapi pilitik mengalami instabilitas lagi menyusul meletusnya Perang Dunia ke-2. Jepang menyerbu Indonesia, termasuk Bukittinggi. Mereka menangkapi para pemimpin pergerakan nasional, termasuk Anwar St. Saidi. Namun kemudian Anwar dibebaskan atas bantuan Bung Karno yang kebetulan waktu itu berada di Sumatra Barat.
Di zaman perang itu kegiatan Bank Nasional terus berlanjut. Karena ancaman inflasi di zaman Jepang, modal Bank Nasional coba diselamatkan dengan menjadikannya emas dan benda tetap (bangunan, tanah, dll). Pilihan itu ternyata tepat; inflasi melambung dan banyak bank swasta gulung tikar.
Anwar bersikap anti Jepang. Ketika teman-temannya, seperti M. Sjafei dan Khatib Sulaiman, mendirikan Gyugun (Laskar Rakyat) yang membantu Jepang, Anwar menolak untuk ikut. Tetapi setelah Gyugun diubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) setelah proklamasi, Anwar dan Bank Nasional aktif memberikan dukungan moral dan keuangan. Selepas Jepang pergi, Anwar duduk sebagai Eksekutif Komite Nasional Indonesia (KNI) Sumatra Barat, mendampingi Dr. Djamil dan Mr. St. Mohd. Rasjid.
Pada masa revolusi fisik Anwar terjun ke dalam bisnis percetakan: ia mendirikan Percetakan Nusantara. Percetakan ini antara lain menerbitkan buku-buku Tan Malaka, bekerja sama dengan Bagian Penerangan Divisi Banteng.
Anwar juga pernah diculik oleh sekelompok Pembanteras Anti Kemerdekaan Indonesia (PAKI), tapi kemudian dibebaskan oleh TNI atas perintah Kolonel Ismail Lengah. Penculikan itu dilakukan atas hasutan Buya Saalah St. Mangkuto, yang kemudian diadili karena kesalahaannya itu. Waktu itu terjadi perselisihan tajam di antara kelompok-kelompok laskar pejuang republik di Sumatra Barat, yang puncaknya dikenal sebagai Peristiwa 3 Maret (lihat: Audrey R. Kahin, “Some Preliminary Observations on West Sumatra during the Revolution”, Indonesia 18 [October 1974]: 77-117 [pada hal.95-8]). Namun, kemudian laskar-laskar pejuang bersatu lagi menghadapi Agresi Militer Belanda I. Anwar dan Buya Saalah St. Mangkuto malah bahu-membahu melawan Belanda yang hendak menjajah Indonesia kembali.
Setelah Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia, Anwar kembali membenahi Bank Nasional, dibantu oleh Dt. Pamuncak. Tahun 1951 bank itu sudah berperasi kembali, dan menunjukkan perkembangan: neraca bank itu per Desember 1957 mencatat angka sebanyak kurang lebih Rp. 66 juta. Badan-badan usaha yang dikelola Bank Nasional juga dibenahinya: N.V. Inkorba dijadikan perusahaan induk yang membawahi N.V. Candi Minang dan N.V. Nusantara.
Anwar juga membangun Hotel Minang di Bukittinggi dan di tepian Danau Maninjau. Walaupun punya banyak uang ia tidak membeli tanah rakyat di tepian Danau Maninjau itu, tapi tetap menyewanya, agar ekonomi rakyat tetap hidup (Sastri Sunarti, email 10-07-2006). Kemudian ia membenahi Percetakan Nusantara dengan menyertakan saham-saham bumiputera. Percetakan ini kemudian menjadi yang terbesar di Sumatra Tengah.
Instabilitas politik kembali terjadi di Sumatra Barat menyusul peristiwa PRRI, yang berdampak kepada bisnis Anwar dan Bank Nasional. Jika instabilitas politik terjadi, Anwar biasanya ‘meloncat’ ke bidang politik. Tahun 1960 Anwar ditunjuk menjadi angota DEPERNAS (Dewan Perancang Nasional) sebagai tenaga ahli. Karena keahliannya di bidang ekonomi, Anwar kemudian diangkat pula menjadi anggota MPRS. Namun, naluri bisnisnya tetap hidup: tahun 1964 ia terjun ke bisnis tekstil, antara lain dengan mengaktifkan kembali pabrik tenun TPA (Tenun Padang Asli) yang sudah lama ditutup.
Pada akhir 1990-an, di zaman Gubernur Hasan Basri Durin, aset Bank Nasional yang dirintisnya diambil alih oleh Grup Bakri, namanya berubah menjadi Bank Nusa Bakri Group. Di salah satu situs internet urang awak saya baca sebuah surat pembaca: inilah salah satu ‘dosa’ Hasan Basri Durin, yaitu merestui pengambilalihan Bank Nasional oleh Grup Bakrie.
Gelombang ekonomi dan politik telah menarik sebagian besar hidup Anwar St. Saidi. Sumbangsihnya terhadap Indonesia, Sumatra Barat khususnya, cukup besar, baik di bidang ekonomi maupun politik (lihat: Audrey R. Kahin, “Repression and Regroupment: Religious and Nationalist Organizations in West Sumatra in the 1930s”, Indonesia 38 [October 1984]: 39-54).
Anwar St. Saidi adalah pengusaha yang rendah hati: di ulang tahunnya ke-60 tahun 1970 di kartu undangan ditulisnya: “tak usah membawa karangan bunga”. Beliau meninggal di Padang bulan Juni 1976. Penulisan biografi singkat beliau ini, dan juga fotonya ini, sebagian besar merujuk kepada tulisan Aziz Thaib dkk., yaitu Buku Peringatan 40 Tahun P.T. Bank Nasional(Bukittinggi: P.T. Bank Nasional, 1970:349-51). Anwar St. Saidi dan Bank Nasional yang dirintisnya adalah bagian dari jejak sejarah Minang yang harus dicatat dalam Ensiklopedi Minangkabau.
Chairil Anwar : “Di Karet Sampai Juga Deru Angin”
Ditulis Ulang Oleh : Muhammad Ilham
“Si
Binatang Jalang” Chairil Anwar adalah legenda sastra dan ilham terbaik
bagi sebagian besar pecinta sastra. Namun siapa sangka, penyair yang
memelopori pembebasan bahasa Indonesia dari tatanan lama ini adalah
juga seorang pengembara batin yang menghabiskan usianya hanya untuk
puisi? Berikut ini tulisan tentang Chairi Anwar, yang sebagian besar
bahannya dicuplik dari buku Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan,
karya Arief Budiman, ditambah beberapa referensi lain serta sejumlah
wawancara. Arief Budiman memulainya dari kenangan Asrul Sani. “Di Jalan
Juanda (Jakarta) dulu ada dua toko buku, yang sekarang jadi kantor
Astra. Namanya toko buku Kolf dan van Dorp. Koleksinya luar biasa
banyak. Saya dan Chairil suka mencuri buku di situ,” begitu Asrul Sani
pernah bercerita. “Suatu kali kami melihat buku Friedrich Nietzsche,
Also Sprach Zarathustra. `Wah, itu buku mutlak harus dibaca,’ kata
Chairil pada saya. `Kau perhatikan orang itu, aku mau mengantongi
Nietzsche ini.’ Chairil memakai celana komprang dengan dua saku lebar,
cukup besar untuk menelan buku itu.” Buku-buku filsafat, termasuk buku
Nietzsche tadi, diletakkan di antara buku-buku agama. Kebetulan buku
Nietzsche ukuran dan warna sampulnya yang hitam persis betul dengan
kitab Injil. “Sementara Chairil mengantongi buku, saya memperhatikan
pelayan toko,” kata Asrul. “Hati saya deg-degan setengah mati. Setelah
buku berpindah tempat, kami lantas keluar dari toko dengan tenang. Tapi
sampai di luar tiba-tiba Chairil terkejut, `Kok ini? Wah, salah ambil
aku!’ sambil tangannya terus membolak-balik buku. Rupanya Chairil salah
mengambil Injil. Kami kecewa sekali.”
Chairil Anwar memang seorang “penggila” buku, yang dengan rakus melahap karya-karya W.H. Auden, Steinbeck, Ernest Hemingway, Andre Gide, Marie Rilke, Nitsche, H. Marsman, Edgar du Peroon, J. Slauerhoff, dan banyak lagi. Tapi dia adalah penggila buku yang urakan, selalu kekurangan uang, tidak punya pekerjaan tetap, suka keluyuran, jorok, penyakitan, dan tingkah lakunya menjengkelkan. Alhasil, lengkaplah “ciri-ciri” seniman pada dirinya. Namun, dia juga contoh yang baik tentang totalitas berkesenian dalam dunia sastra Indonesia. Jika Sanusi Pane, Amir Hamzah, Rustam Effendi, dan M. Yamin hanya menjadikan kegiatan menulis puisi sebagai kegiatan sampingan, di samping tugas keseharian mereka sebagai redaktur sebuah surat kabar, politikus, atau lainnya, ia semata-mata hidup untuk puisi dan dari puisi. Nama Chairil mulai dikenal di kalangan seniman pada tahun 1943. H.B. Jassin punya cerita. “Suatu hari di tahun 1943,” tuturnya. “Chairil datang ke redaksi Pandji Pustaka; seorang muda kurus pucat tidak terurus kelihatannya. Matanya merah, agak liar, tetapi selalu seperti berpikir. Gerak-geriknya lambat seperti orang tak peduli. Ia datang membawa sajak-sajaknya untuk dimuat di majalah Pandji Pustaka. Tapi didapatnya keterangan bahwa sajak-sajaknya tidak mungkin dimuat. Kata pemimpin majalah itu, `Susunan Dunia Baru‘ (sajak Chairil) tidak ada harganya. Sajak-sajak individualis lebih baik dimasukkan saja dalam simpanan prive (privacy) sang pengarang. Kiasan-kiasannya terlalu mem-Barat.” Sejak itu sang penyair sering terlihat di kantor Pusat Kebudayaan (Keimin Bunka Shidoso), yang didirikan Jepang tahun 1943 di Jakarta, dan diketuai sastrawan Armijn Pane. Di kalangan seniman waktu itu, ia mulai sering disebut-sebut sebagai penyair muda yang memperkenalkan gagasan-gagasan baru di sekitar puisi. Gaya bersajak dan elan vital dalam puisi-puisinya yang bercorak individualistis dan mem-Barat membedakannya dengan kecenderungan puisi-puisi yang dilahirkan generasi sebelumnya (baca: Poedjangga Baroe).
Chairil Anwar memang seorang “penggila” buku, yang dengan rakus melahap karya-karya W.H. Auden, Steinbeck, Ernest Hemingway, Andre Gide, Marie Rilke, Nitsche, H. Marsman, Edgar du Peroon, J. Slauerhoff, dan banyak lagi. Tapi dia adalah penggila buku yang urakan, selalu kekurangan uang, tidak punya pekerjaan tetap, suka keluyuran, jorok, penyakitan, dan tingkah lakunya menjengkelkan. Alhasil, lengkaplah “ciri-ciri” seniman pada dirinya. Namun, dia juga contoh yang baik tentang totalitas berkesenian dalam dunia sastra Indonesia. Jika Sanusi Pane, Amir Hamzah, Rustam Effendi, dan M. Yamin hanya menjadikan kegiatan menulis puisi sebagai kegiatan sampingan, di samping tugas keseharian mereka sebagai redaktur sebuah surat kabar, politikus, atau lainnya, ia semata-mata hidup untuk puisi dan dari puisi. Nama Chairil mulai dikenal di kalangan seniman pada tahun 1943. H.B. Jassin punya cerita. “Suatu hari di tahun 1943,” tuturnya. “Chairil datang ke redaksi Pandji Pustaka; seorang muda kurus pucat tidak terurus kelihatannya. Matanya merah, agak liar, tetapi selalu seperti berpikir. Gerak-geriknya lambat seperti orang tak peduli. Ia datang membawa sajak-sajaknya untuk dimuat di majalah Pandji Pustaka. Tapi didapatnya keterangan bahwa sajak-sajaknya tidak mungkin dimuat. Kata pemimpin majalah itu, `Susunan Dunia Baru‘ (sajak Chairil) tidak ada harganya. Sajak-sajak individualis lebih baik dimasukkan saja dalam simpanan prive (privacy) sang pengarang. Kiasan-kiasannya terlalu mem-Barat.” Sejak itu sang penyair sering terlihat di kantor Pusat Kebudayaan (Keimin Bunka Shidoso), yang didirikan Jepang tahun 1943 di Jakarta, dan diketuai sastrawan Armijn Pane. Di kalangan seniman waktu itu, ia mulai sering disebut-sebut sebagai penyair muda yang memperkenalkan gagasan-gagasan baru di sekitar puisi. Gaya bersajak dan elan vital dalam puisi-puisinya yang bercorak individualistis dan mem-Barat membedakannya dengan kecenderungan puisi-puisi yang dilahirkan generasi sebelumnya (baca: Poedjangga Baroe).
Bukan
secara kebetulan agaknya jika sajak-sajak Chairil memiliki nuansa
individualistis yang kental. Pergumulan total Chairil dengan kesenian
agaknya telah menuntun sang penyair terjerembab dalam sebuah ritus
pencarian filosofis. Semacam tertuntun pada sebuah kredo bahwa di dalam
kesenian, berfilsafat menjadi keniscayaan yang menusuk. Terutama karena
berkesenian mengharuskan sang seniman berhadapan dengan
problem-problem tentang ketuhanan, kebebasan, dan apa saja. Salah
Kaprah. Buat kita sekarang, sosok Chairil sudah lekat dengan citra
kepenyairan Indonesia. Sejumlah larik puisi dari penyair kita ini telah
menjadi semacam pepatah atau kata-kata mutiara yang hidup di kalangan
masyarakat: “Aku ini binatang jalang”, “Hidup hanya menunda kekalahan”,
“Aku mau hidup seribu tahun lagi”, dan masih banyak lagi. Atau
bertanyalah pada siswa SLTP dan SLTA siapa penyair kondang Indonesia,
niscaya mereka akan menyebut namanya, lengkap dengan beberapa judul
syairnya. Tapi mungkin tidak banyak yang tahu, ada yang salah dalam
persepsi kita mengenai tokoh yang satu ini. Ada yang salah kaprah.
Sebagai ilustrasi, sajak “Aku” lebih sering dipahami banyak orang
sebagai sajak pemberontakan terhadap penjajahan. Padahal tidak. Kata
Asrul Sani, sajak itu sebenarnya tidak lebih dari “teriakan putus asa
dan rasa getir”, termasuk penolakan terhadap sesuatu yang sangat
berarti dalam hidupnya, yaitu ayahnya.
Sajak “Diponegoro” juga sering dikira sajak perjuangan.
Padahal, seperti pernah diulas Arief Budiman, sajak itu adalah cerminan
dari ekspresi kekaguman Chairil pada semangat hidup Pangeran
Diponegoro, di saat jiwanya amat diresahkan dengan kematian dan
absurditas. Ia menulis puisi pertamanya, “Nisan“, pada Oktober
1942, ketika ia berusia 20 tahun, ketika teknik persajakan belum
dikuasainya benar. Para pengamat sastra menganggap sajak ini sebagai
sajak tertuanya. Padahal, menurut H.B. Jassin, sebelum “Nisan” Chairil
sudah lebih dulu membuat sajak-sajak corak Pujangga Baru, tapi karena
tidak memuaskannya lalu dia buang. /Bukan kematian benar menusuk
kalbu/Keridhaanmu menerima segala tiba/Tak kutahu setinggi itu di atas
debu/Dan duka maha tuan tak bertahta.
Sajak “Nisan” ini, yang didedikasikan untuk neneknya yang
baru meninggal, merupakan renungan Chairil tentang kematian, yang di
matanya teramat misterius, namun tak terhindarkan oleh siapa pun.
Renungannya ini lalu menghantarkan ia pada pertanyan eksistensial:
“Bila manusia mati, lantas apa gunanya segala usaha yang dilakukan
dalam hidup ini?” Pertanyaan filosofis itu terus mengejarnya, sementara
kehidupan sendiri tidak pernah memberinya jawaban yang memuaskan. Maka
bukan hal yang aneh, di saat batin kemanusiaannya begitu merindukan
semangat menghadapi hidup yang absurd dengan gagah berani, tiba-tiba
Chairil mendapati sosok legendaris Pangeran Diponegoro sebagai
perwujudan yang konkret dari kegairahannya mempertahankan hidup. Inilah
agaknya yang lalu mengilhaminya menulis sajak “Diponegoro“,
pada Februari 1943. Meski sama-sama berbicara tentang kematian,
sajak-sajak yang ditulis Chairil menjelang akhir hayatnya lebih sublim
dan intens. Di samping teknik persajakan telah dikuasainya benar
sehingga sajak-sajaknya terasa jernih, penghayatannya terhadap
kehidupan (dan kematian) yang menjadi subjek puisi-puisinya juga telah
mencapai klimaks kematangan sebagai seorang penyair.
Sajak pertama yang ditulis Chairil pada 1949 (tahun kematiannya) adalah “Chairil Muda, Mirat Muda“, dengan tambahan judul kecil “Di Pegunungan 1943“.
Sajak ini merupakan kenangan Chairil terhadap saat-saat yang paling
membahagiakan dalam hidupnya–sebuah perasaan yang wajar timbul pada
orang-orang yang menyongsong kematian. Di akhir sajak tersebut ia
sempat menulis kata mati. Namun berbeda dengan sajak-sajaknya yang
ditulis pada 1942, di mana kematian dipersoalkan dengan keterlibatan dan
perhatian yang penuh, di sajak ini kematian diucapkannya dengan cara
yang ringan saja. Agaknya kematian bukan lagi sesuatu yang menjadi objek
obsesinya, melainkan sebagai kenyataan yang sederhana, sama
sederhananya dengan udara di muka bumi. Dalam sajaknya “Yang Terampas dan yang Putus“,
juga ditulis pada 1949, Chairil malah secara jelas menulis kesiapannya
untuk menghadapi kematian. Ia tiba-tiba menyadari bahwa impuls-impuls
kehidupan tidak pernah sepenuhnya diam. Demikian pula dalam sajak “Derai-Derai Cemara“,
yang ia tulis sesudahnya. Dalam sajak yang ia tulis setelah percakapan
yang panjang dengan dua sahabatnya, Rivai Apin dan Asrul Sani, Chairil
kembali menegaskan bahwa kehidupan adalah sebingkai misteri yang tidak
bisa kita temui artinya, tapi pada saat yang sama kita memiliki impuls
untuk mempertahankannya. Kita hidup, menurut Chairil, untuk sesuatu
yang tidak kita ketahui maknanya. Dan barangkali satu-satunya alasan
untuk terus hidup adalah karena kita sedang mencari maknanya. Namun
misteri tetaplah sebuah misteri, ia tidak pernah akan bisa terpecahkan.
Karenanya mencari makna kehidupan adalah sesuatu yang sia-sia, meski
harus terus dilakukan. Maka bagi Chairil, “hidup hanya menunda kekalahan/ada yang tetap tidak diucapkan/sebelum pada akhirnya kita menyerah“.
Chairil memiliki simpati yang sangat besar terhadap upaya meraih
kemerdekaan manusia, termasuk perjuangan bangsa Indonesia untuk
melepaskan diri dari penjajahan. Pada 1948, sebagai bukti perhatiannya
pada situasi sosial-politik waktu itu, ia menulis sajak “Krawang-Bekasi“, yang disadurnya dari sajak “The Young Dead Soldiers“, karya Archibald MacLeish. /Kenang, kenanglah kami/Teruskan, jiwa kami/Menjaga Bung Karno/menjaga Bung Hatta/menjaga Bung Syahrir. Pada tahun yang sama, ia menulis sajak “Persetujuan dengan Bung Karno“, yang merefleksikan dukungannya pada Bung Karno untuk terus mempertahankan proklamasi 17 Agustus 1945.
Belakangan, sajak Chairil yang berjudul “Aku” dan “Diponegoro”
juga banyak dipahami orang sebagai sajak perjuangan. Padahal,
sajak-sajak ini adalah jenis sajak individu, yang sama sekali tidak ada
hubungannya dengan perjuangan kemerdekaan karena ditulis pada 1943.
Namun dalam sajak “Aku” misalnya, di mana Chairil mengintroduksi dirinya sebagai “Aku binatang jalang“,
ia bisa menjelmakan kata hati rakyat Indonesia yang ingin bebas. Dalam
analisis Agus R. Sardjono, penyair terkemuka Bandung, sajak-sajak
seperti “Krawang-Bekasi“, “Persetujuan dengan Bung Karno“, “Aku“, dan “Diponegoro”
inilah yang justru di kemudian hari membuat Chairil Anwar menjadi
legenda dalam dunia kepenyairan Indonesia.Hal itu dimungkinkan karena
sajak-sajak ini bersifat sastra mimbar, untuk menyebut jenis
sajak-sajak yang bersifat sosiologis (yang berpretensi untuk menjawab
atau menanggapi fakta-fakta sosial), dan biasanya dibaca dengan suara
keras atau menyeru-nyeru, serta dengan tangan terkepal.Masih menurut
Agus, nama Chairil mungkin tidak akan begitu populer seperti sekarang
bila dia hanya menciptakan sajak yang berjenis sastra kamar,
sajak-sajak yang kontemplatif dan personal. Betapapun tingginya mutu
sajak “Derai-Derai Cemara“, “Senja di Pelabuhan Kecil“, atau “Yang terampas dan yang Putus”
secara kesusastraan, namun sajak-sajak demikian sama sekali tidak
memiliki peluang untuk diapresiasi secara massal. Namun, dengan segala
ketidaksempurnaannya, keberhasilan terbesar Chairil bagi dunia
persajakan Indonesia khususnya, dan bahasa Indonesia pada umumnya,
adalah kepeloporannya untuk membebaskan bahasa Indonesia dari
aturan-aturan lama (ejaan van Ophusyen) yang waktu itu cukup mengekang,
menjadi bahasa yang membuka kemungkinan-kemungkinan sebagai alat
pernyataan yang sempurna.Kebebasan bahasa itu teramat penting. Terbukti
Malasyia, negara yang menggunakan bahasa Melayu, yang serumpun dengan
bahasa Indonesia (tapi tidak pernah memiliki penyair sekaliber Chairil)
dalam hal bahasa jauh tertinggal dari bangsa kita. Kebebasan bahasa itu
adalah prestasi besar bangsa Indonesia. Dengan itu kita dapat
mengutarakan apa saja langsung dari lubuk hati kita. Dan, seperti
diamini banyak sastrawan kita, berkah itu adalah warisan Chairil Anwar,
penyair terbesar yang pernah kita miliki.
Chairil Anwar tampaknya memang ditakdirkan untuk menjadi penyair
yang disalahpahami. Tapi ia terbilang beruntung karena ia disalahpahami
ke arah yang positif. Begitupun dalam hal religiusitas. Tidak sedikit
orang yang menjulukinya penyair religius. Ini, antara lain, gara-gara
sajak “Doa”, yang memang amat religius. Tak jarang, dalam peringatan
hari-hari besar agama Islam (juga Kristen), sajak tersebut dibaca dan
memperoleh apresiasi yang luas. Benarkah ia penyair religius? Menurut
penuturan Ida Rosihan Anwar (istri wartawan kawakan Rosihan Anwar yang
sangat dekat dengan Chairil) dalam kesehariannya Chairil tidak pernah
memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan urusan agama. Ia tidak
pernah tampak salat, berpuasa di bulan Ramadan, atau bahkan ikut
bergembira pada Idul Fitri. Jadi, ia bukan muslim yang baik. Namun,
kalau kita mengacu pada kriteria filosof Paul Tillich tentang siapa
yang disebut religius, (yaitu mereka yang secara serius mencoba
mengerti hidup ini secara lebih jauh dari batas-batas yang lahiriah
saja), Chairil termasuk kelompok ini.
Konklusi ini semata-mata bersandar pada penyerahan total Chairil
untuk menjawab pertanyaan “apa tujuan hidup saya”, dalam sepanjang masa
hidupnya. Dan karena agama bagi banyak orang di dunia ini dianggap
sebagai jawaban pertanyaan “apa tujuan hidup saya?”, Chairil tidak
luput membicarakan agama dalam beberapa sajaknya. Sajak “Di Masjid“,
yang ditulisnya pada 29 Mei 1943, adalah sajak pertama mengenai hal
ini. Dalam sajaknya ini ia menegaskan sikapnya yang tidak mau terikat
apa pun juga, serta bersedia menerima segala bentuk penderitaan sebagai
akibat pilihannya. Dia menolak untuk menyerah kepada agama, meskipun
dia mengakui juga, agama mempunyai daya tarik yang sangat kuat sehingga
sulit untuk melawannya: “Kuseru saja Dia/sehingga datang
juga/Kamipun bermuka-muka/seterusnya ia bernyala-nyala dalam
dada/Segala daya memadamkannya/Ini ruang/gelanggang kami
berperang/Binasa membinasa/satu menista lain gila”. Sajaknya yang kedua tentang agama ditulis lima bulan kemudian, berjudul “Isa“.
Dalam sajak ini, selain terpesona, Chairil juga tersindir dengan
pengorbanan dan penderitaan yang dialami Nabi Isa untuk menyelamatkan
umat manusia. Ia merasa “minder” lantaran sikap hidupnya yang hanya
memikirkan kemerdekaan diri sendiri, dan tidak peduli pada orang lain.
Ia seperti dihadapkan pada pertanyaan, “Apakah sebuah pengorbanan ada
artinya?” Pertanyaan itu terus mengganggu hingga keesokan harinya dia
menyerah dan menulis sajak “Doa” sebagai ekspresi penyerahdiriannya kepada Tuhan. Ia berseru: Tuhanku/Dalam
termangu/Aku masih menyebut nama-Mu/Biar susah sungguh/mengingat Kau
penuh seluruh/caya-Mu panas suci/tinggal kerdip lilin di malam
sunyi/Tuhanku/aku hilang bentuk/remuk/ Tuhanku/aku mengembara di negeri
asing/Tuhanku/di pintu-Mu mengetuk/ aku tidak bisa berpaling.
Dalam sajak ini Chairil memang tidak menjelaskan apa alasan ia
“menyerah”, namun yang pasti ia merasa hilang bentuk dan remuk ketika
dia berjalan tanpa Tuhan. Apakah dengan sajak ini Chairil telah
“menemukan kembali” Tuhan? Jawaban sementara: “ya”. Agaknya bila
Chairil tiba pada suatu titik kehidupan di mana dia mengambil suatu
sikap secara lebih utuh, maka perasaan tenang datang meneduhinya. Pada
Februari 1947, dalam suasana yang sudah berbeda, Chairil kembali
menulis sajak tentang agama, yang berjudul “Sorga“. Di sini,
dengan semangat eksistensialismenya yang kental, ia menggugat surga
beserta gambarannya yang dijanjikan agama. Selanjutnya Chairil lebih
memilih menolak agama karena agama memintanya untuk mengorbankan apa
yang nyata sekarang, untuk digantikan sesuatu pada masa datang yang
baginya belum pasti. Maka bisa dipastikan, sesudah sikapnya ini Chairil
kembali menemukan dirinya kesepian. Namun, perasaan itu tampaknya sudah
dia harapkan dan dia hadapi dengan tenang. Ia kembali memilih menjadi
pengembara selama hidupnya.Meskipun, konon menurut kesaksian H.B.
Jassin, menjelang mengembuskan nafasnya yang terakhir, Chairil ternyata
tetap tidak lupa menyebut nama Tuhan.Di sela-sela panas badannya yang
tinggi sebelum kematiannya, ia mengucap, Tuhanku, Tuhanku….
Teman dekat Chairil Anwar semasa kecil,
Sjamsulridwan, pernah menulis di majalah Mimbar Indonesia, edisi
Maret-April 1966. Katanya, salah satu sikap Chairil yang menonjol sejak
kecil adalah sifatnya yang pantang kalah. “Keinginan, hasrat untuk
mendapatkan itulah yang menyebabkan jiwanya selalu meluap-luap
menyala-nyala, dan boleh dikatakan tidak pernah diam.” Chairil
dilahirkan di Medan, Sumatera Utara, pada 22 Juli 1922. Ayahnya,
Toeloes, berasal dari Payakumbuh (Sumatera Barat). Dia menjadi
Pamongpraja di Medan, dan pada zaman revolusi sempat menjadi bupati
Indragiri, Karesidenan Riau. Sedang ibunya, Saleha, berasal dari Koto
Gadang (Sumatera Barat) dan masih mempunyai pertalian keluarga dengan
ayah Sutan Syahrir (tokoh PSI). Menurut Sjamsulridwan, meski cukup
terpandang dan disegani masyarakat sekitarnya, kehidupan kedua orangtua
Chairil senantiasa ribut. Mereka sama-sama galak, sama-sama keras hati,
dan sama-sama tidak mau mengalah. Hanya dalam satu hal mereka sama:
dua-duanya sangat memanjakan Chairil. Segala keinginannya: mainan-mainan
terbaru dan terbaik. Mereka pun selalu membenarkan sikap Chairil.
Kalau ia berkelahi, ayahnya senantiasa membela. Bahkan kalau perlu ikut
berkelahi. Di luar rumah, Chairil tumbuh menjadi pemuda yang lincah
dan penuh percaya diri. Di samping karena kedudukan ayahnya, otak yang
tajam dan cerdas serta sifatnya yang terbuka, tidak mengenal takut atau
malu-malu, membuat ia dikenal dan menjadi kesayangan banyak pihak,
baik di kalangan guru maupun di antara teman-temannya. Di kalangan
gadis-gadis, Chairil juga disukai karena wajahnya yang tampan dan
menyerupai orang indo.
Demikianlah, semua orang seolah memanjakannya. Keuangannya tidak
pernah kurang. Sepedanya termasuk golongan yang paling baik, di zaman
ketika mempunyai sepeda saja merupakan suatu kebanggaan. Dan ada sisi
baik yang bisa dicatat dari gaya pergaulan Chairil, yaitu sikapnya
tidak pernah sombong. Meskipun dia angkuh dan selalu merasa hebat, dia
selalu mudah sekali berkenalan dengan siapa saja, tanpa pernah
membedakan status sosial, status ekonomi, dan intelektualitas. Masa
kanak-kanak hingga masa remaja Chairil dihabiskan di Medan. Di HIS
(setingkat SD) saja ia sudah menampakkan bakatnya sebagai siswa yang
cerdas dan berbakat menulis. Lalu ia melanjutkan sekolahnya di MULO
(Meer Uitgebreid Lager Onderwijs, setingkat SMP).
Ketika usia Chairil menginjak 19 tahun, dan duduk di kelas dua,
ayahnya kawin lagi dan bercerai dengan ibunya. Karena mulai membenci
ayahnya dan menginginkan kehidupan yang lain, ia memilih hijrah ke
Batavia (Jakarta), dan meneruskan pendidikannya di sana. Tak lama
kemudian ibunya menyusul ke Jakarta. Perang Dunia II dan masuknya Jepang
telah membuat keadaan jadi tidak menentu. Chairil pun terbelit masalah
keuangan setelah tidak mendapat kiriman dari ayahnya. Akhirnya ia
putus sekolah. Saat putus sekolah itu Chairil mengisi hidupnya dengan
menggelandang ke sana-ke mari, dan membaca buku sebanyak-banyaknya.
Sebagai orang yang menguasai tiga bahasa (Inggris, Belanda, dan Jerman),
ia tidak mendapat halangan apa pun untuk bisa membaca dan memahami
semua karya sastra asing yang ia jumpai. Penguasaan bahasa asing yang
baik inilah yang banyak menolong Chairil sehingga banyak buku yang belum
dibaca seniman lain, ia sudah tahu isinya. Ia pun banyak menyadur dan
menerjemahkan karya-karya sastra dunia itu ke bahasa Indonesia dengan
baik. Masih soal membaca, menurut Sjamsulridwan, ketika masih di MULO,
Chairil telah bergaul dengan anak-anak HBS (setingkat SMA) tanpa rendah
diri. “Semua buku mereka aku baca,” kata Chairil suatu hari. Di sini
yang dimaksud Chairil adalah buku-buku mengenai pelajaran abstrak,
seperti sastra, sejarah, ekonomi, dan lain-lain. Dan ucapan itu
semata-mata untuk menunjukkan bahwa ia tidak pernah kurang dari mereka
(anak-anak HBS).
Selama di Jakarta, Chairil juga mengembangkan pengetahuannya dengan
meminjam buku dari pamannya, Sutan Sjahrir. Menurut H.B. Jassin, kalu
sudah membaca buku, maka buku itu akan dibacanya dari malam sampai
menjelang pagi. Meskipun menganut pola kehidupan yang bohemian, Chairil
akhirnya sempat juga berkeluarga. Ia menikah dengan Hapsah Wiraredja
pada 6 Agustus 1946. Sayangnya rumah tangga mereka tidak bertahan lama.
Akhir 1948 mereka bercerai, dan putri tunggal mereka, Evawani Alissa,
dibesarkan Hapsah. Tanggal 28 April 1949, setelah sempat diopname
selama lima hari di CBZ (sekarang RSCM) karena penyakit TBC yang
dideritanya, Chairil mengembuskan nafas terakhir. Ia meninggalkan
warisan karya yang tidak begitu banyak, yaitu 70 puisi asli, 4 puisi
saduran, 10 puisi terjemahan, 6 prosa asli, dan 4 prosa terjemahan.
Kepada Evawani, putrinya yang masih berumur satu tahun, Chairil bahkan
hanya mewariskan sebuah radio kecil, berbentuk kotak warna hitam,
bermerek Philips. Dan seperti memenuhi pesan profetik dalam salah satu
bait puisinya: “di karet, di karet sampai juga/deru angin“, Chairil dimakamkan di Pemakaman Karet pada hari berikutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar