Jusna, begitulah nama beliau. Sosok
seorang ibu yang penuh pengorbanan selama hidupnya. Menghadapi tantangan hidup
yang tidak ringan dari masa ke masa. Sekarang di usianya yang lebih delapan
puluh empat tahun ingatan beliau masih normal. Gurat wajah dalam mengalami
dinamika hidup selama ini membekas di wajah beliau yang sudah nampak tua. Lahir
dan dibesarkan di sebuah dusun dengan kesederhanaan. Beliau ditinggal wafat
seorang ayah sebagai tempat bergantung ketika masih berusia 16 tahun, ketika
itu di zaman penjajahan Jepang. Akhirnya beliau tinggal bersama dengan ibu serta tiga orang adik-adiknya.
Kesulitan hidup di masa-masa
penjajahan memang terasa berat tapi mau tidak mau harus dijalani, begitu juga
menghadapi masa kemerdekaan dan kesusahan di masa perang kemerdekaan. Setelah
masa revolusi fisik atau masa agresi militer Belanda Ibu Jusna menikah dengan
seorang prajurit TNI dari dusun tetangga nama beliau Pak Menan. Dan dikaruniai enam
orang anak, anak yang ketiga lahir kembar dua perempuan, sedangkan anak pertama
meninggal pada umur satu tahun lebih. Sebagai isteri seorang prajurit tentu
beliau mengikuti kemana suami bertugas. Banyak suka duka menjadi isteri seorang
prajurit atau tentara. Pernah beliau mengikuti suami bertugas ke Aceh selama
beberapa tahun sampai menjelang peristiwa PRRI. Sehingga salah seorang anak
beliau lahir di Aceh.
Pada masa Pergolakan daerah di
Sumatera Tengah yaitu Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia / PRRI tahun
1957, suami beliau berjuang di hutan belantara sebagai tentara PRRI. Suatu
perjuangan yang berat dimana pemerintah pusat menganggap PRRI itu sebuah
pemberontakan. Pada tahun 1958 adik Ibu Jusna yang bernama Amah wafat dan
meninggalkan dua orang putra yang masih kecil-kecil. Sehingga Ibu Jusna harus
menjaga anak yang masih kecil tersebut. Menjelang akhir riwayat PRRI tahun sekitar
1961 pak Menan yang waktu itu berpangkat Letnan TNI hilang di rimba ketika
berjuang sebagai tentara PRRI menghadapi tentara pusat atau Angkatan Perang
Republik Indonesia / APRI. Keberadaan beliau tidak pernah diketahui sampai
sekarang apakah masih hidup atau sudah meninggal dunia, bahkan beliau dengan
keluarga sudah mencari ke Jambi dan tempat lainnya berdasarkan informasi
seorang dukun atau paranormal. Tapi usaha itu sia-sia karena tidak pernah
menemukan suami tercinta. Ibu Jusna harus menghidupi tujuh orang anak yang
masih kecil-kecil, lima anak kandung beliau dan dua orang anak saudaranya yang
telah meninggal dunia.
Bertahun tahun Ibu Jusna harus tabah
menghadapi cobaan yang dihadapi, tapi untunglah ada sawah peninggalan leluhur
yang dapat dikerjakan, itupun harus dibagi-bagi dengan saudara-saudara sepupu.
Tetapi itu belum mampu mencukupi kebutuhan sehari-hari. Kemudian bersama Ibunya
beliau membuat usaha rumah tangga yaitu kue sapik dari tepung beras dan dijual
ke sebuah kota selama lebih kurang satu jam lebih perjalanan dengan kendaraan
pada waktu itu.
Setelah sekian lama berlalu Ibu Jusna
akhirnya mendapatkan pensiun janda dari pemerintah karena perjuangan suami
sebagai tentara diakui dengan pangkat Sersan Mayor. Alhamdulillah dengan uang pensiun
tersebut dapat menambah kebutuhan sehari-hari pada waktu itu.
Pada tahun 1968 beliau menikah
dengan seorang veteran pejuang nama beliau pak Amin dan secara kebetulan masih
satu kampung dengan pak Menan suami beliau terdahulu dan kebetulan pula
sama-sama seperjuangan di masa revolusi. Pak Amin pada waktu itu sedang bekerja
sebagai anggota DPRD kabupaten dan beristeri serta mempunyai anak tiga orang. Dari
perkawinan tersebut dikaruniai seorang anak laki-laki.
Pada tahun 1970 an ibu Jusna harus
merelakan kepergian empat orang anak, satu laki-laki dan tiga orang perempuan
untuk merantau ke negeri seberang yaitu Malaysia kecuali satu orang perempuan yang
tetap di kampung dan seorang anak laki-laki dengan pak Amin. Yang membawa
merantau adalah etek atau bibi dari ibu Jusna yang telah lama merantau di
Malaysia dan telah menjadi warga negara Malaysia. Ibu beliau Rasidah juga
meninggal dunia pada akhir tahun 70 an. Berturut turut kemudian meninggal pula dua
orang adik laki-laki beliau akhir tahun 80 an.
Saat bahagia dan duka datang silih
berganti begitulah kehidupan, Ibu Jusna pernah datang beberapa kali ke Malaysia
terutama menghadiri pernikahan anak dan para cucu beliau, dimana cucu beliau sekarang
ini berjumlah 18 orang dan cicit sebanyak 15 orang baik yang di rantau maupun
di kampung. Pada tahun 2000 suami beliau pak Amin juga meninggal dunia disusul
beberapa tahun kemudian anak laki-laki yang tertua yang meninggal dunia di
Malaysia.
Disaat usia yang semakin senja Allah
masih memberikan kesehatan sehingga beliau masih sempat berkunjung ke Malaysia untuk
yang kesekian kalinya. Pada kunjungan beliau, mungkin yang terakhir, pada awal
tahun 2011 beliau cukup lama berada di Malaysia kira-kira hampir satu tahun.
Beliau pulang ke kampung pada akhir 2011. Selama lebih kurang sepuluh hari berada
di kampung beliau terjatuh di halaman samping rumah, sehingga mengalami patah
tulang pinggul. Dengan penderitaan selama berbulan-bulan Alhamdulillah beliau
sudah mampu berjalan sedikit menggunakan tongkat berkaki empat.
Ibu Jusna, yang kami anak-anak
beliau memanggil dengan Amak sekarang berada di kampung, kami berjanji akan
merawat amak dengan kemampuan yang ada pada kami meskipun tidaklah seberapa dibandingkan
dengan perjuangan dan pengorbanan amak selama ini yang tidak terhitung. Maafkanlah
kelalaian dan kesalahan kami. Kami berdoa semoga amak diberikan umur yang
berkah dan kekuatan oleh Allah dalam menghadapi sisa hidup ini. Amak... kami
anak-anak dan cucu-cucu mu sangat mencintai Amak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar