Oleh: Zulfadli Aminuddin
Akhir-akhir ini kita dikejutkan oleh berita kasus
suap yang menimpa Ketua DPD RI Irman Gusman yang ditangkap oleh KPK dalam OTT
(Operasi Tangkap Tangan) di rumah dinasnya. Bukan bermaksud membela, saya sejak
semula tidak percaya bahwa Irman Gusman benar diduga menerima suap yang katanya
berkaitan dengan Impor Gula sebagaimana pernyataan yang disampaikan KPK.
Hal ini sangat beralasan karena ada indikasi
kejanggalan dan keanehan dalam penegakan hukum yang diperankan khususnya oleh KPK.
Kita sangat setuju bahwa korupsi memang harus diberantas sampai ke akar-akarnya,
dan koruptor yang terbukti bersalah dihukum seberat-beratnya. Tapi sekali lagi
katakanlah ada persoalan krusial pada proses penegakan hukumnya. Sebab bukan
rahasia lagi beberapa kasus sebelumnya justru menunjukkan KPK hanya bernyali
kepada kasus-kasus korupsi skala kecil padahal kasus korupsi yang miliaran
bahkan triliunan rupiah terkesan mengendap begitu saja. Bahkan KPK terkesan
kikuk apabila kasus korupsi membayangi keterlibatan penguasa, inilah yang
selalu ditutup-tutupi selama ini.
Apalagi barang bukti suap hanya sebanyak Rp.100
juta, sehingga mengundang banyak tanda tanya yang spekulatif. Kok hanya seratus
juta, dan beritanya di blow up secara besar-besaran di media massa. Apakah ada alasan
politis dalam kasus ini?, apakah sengaja dibuat suatu jebakan?, katanya dulu
KPK mengatakan bahwa seratus juta itu tidak dapat disebut korupsi tapi yang
korupsi itu diatas satu milyar?. Disamping itu apakah tidak mungkin peristiwa
ini sengaja diskenario untuk membunuh karakter seseorang tokoh yang sedang naik
daun dan sedang menjabat sebagai Ketua DPD RI. Sederet pertanyaan itu kiranya tidak
perlu jawaban karena saya yakin semua sudah maklum.
Namun dari semua itu yang paling menyesakkan dada
dan tidak adanya ketidakadilan adalah upaya pembunuhan karakter seorang Irman
Gusman, padahal dalam hukum walau bagaimanapun keadaan seseorang itu ditangkap
harus dianggap sebagai ”Diduga” atau ”Terduga”, jangan senantiasa kita serta
merta men cap, menuduh dia seorang koruptor dan kalimat sejenisnya, sebelum
adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Bahkan banyak yang ikut-ikutan
latah dengan memblow up di media-media sosial seolah-olah Irman Gusman seorang
yang pasti bersalah, bejat, korup dan bla bla bla... Apakah mereka tidak sadar
apabila kasus semacam ini menimpa kerabat dan keluarga dekat mereka, pasti
mereka diam seribu bahasa.
Saya tidak kenal dan tidak mempunyai hubungan
kerabat dengan Pak Irman Gusman dan tidak punya kepentingan apapun dengan kasus
ini, kalau sama-sama orang minang memang ia, tapi rasanya nurani saya terusik
atas perlakuan yang ditimpakan kepadanya. Bagaimana apabila kasus ini dialami
oleh saudara kandung kita misalnya, apa jadinya bila kita mengabaikan ”asas
praduga tidak bersalah”. Tapi melihat rekam jejak, kredibilitas dan
ketokohannya selama ini kok saya justru tidak yakin Irman Gusman menerima suap
sebagaimana berita OTT tersebut. Sebodoh itukah selaku Ketua Lembaga Tinggi Negara
mempertaruhkan jabatan dalam kasus yang nominalnya untuk ukuran nasional sangat
kecil itu?. Apalagi mempengaruhi kebijakan Bulog dalam hal impor gula?
Sekarang yang harus dipahami adalah bahwa zaman
sekarang serba terbalik, penuh dengan fitnah, kebohongan dan rekayasa. Harus
hati-hati menyikapi suatu berita atau peristiwa. Bisa saja yang baik dianggap
jahat dan yang jahat justru dianggap baik, yang benar dianggap salah dan yang
salah dianggap benar. Dan yang perlu digarisbawahi adalah tidak perlu percaya
sepenuhnya kepada penegakan hukum. Hukum dalam teksnya baik tapi dalam
pelaksanaannya belum tentu baik. Sebab hukum di negara kita bukanlah panglima,
tetapi dia masih tunduk kepada politik busuk dan kekuasaan yang semena-mena. Kiranya
Rechstaat entah kemana hilang
lenyapnya.
Dan satu lagi yang sudah sangat parah bobroknya
adalah hukum tegas dan keras kepada yang lemah tetapi lembek dan loyo kepada
yang kuat ekonominya, apalagi yang kuat itu sedang berkuasa atau dekat dengan
yang berkuasa. Hukum bisa dibeli?, ah sudahlah. Saluang sajalah yang menyampaikan. Nauzubillah min zaalik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar