Oleh: Zulfadli Aminuddin
Kapasitas seorang pemimpin sebenarnya sudah terlihat semenjak dia mulai memproklamirkan diri berjuang melawan ketidak adilan atau setidaknya dia melahirkan gagasan-gagasan yang dapat diterima orang-orang disekitarnya. Tidak ada pemimpin itu yang muncul secara kebetulan, tidak ada yang muncul tiba-tiba atau secara instan. Tapi melalui proses yang panjang, penuh dengan suka duka, serta dipenuhi onak dan duri.
Biasanya pemimpin itu menjadi besar dan terkenal berkat orang-orang yang ada disekitarnya, berkat organisasi dimana dia berada di dalamnya. Dia muncul kepermukaan dan terlihat oleh khalayak ramai karena kharisma dan kewibawaannya dan yang amat penting adalah kemampuannya mempengaruhi massa.
Kita dapat mencontohkan seorang Soekarno, dia muncul di saat yang tepat, disaat rakyat haus akan kepemimpinan yang diidamkan. Ketika beliau hadir sebagai pemimpin dalam keadaan sangat sulit dan beliau mampu menampilkan diri sebagai sosok yang diimpikan seluruh rakyat. Dan ini menjadi kenyataan meskipun sebenarnya beliau juga seorang pemimpin politik.
Sekarang ini kita sulit menemukan sosok pemimpin sebagaimana halnya Soekarno. Banyak yang menjadi pemimpin tapi baru sebatas pemimpin parpol, pemimpin ormas dan organisasi lainnya. Belum ada pemimpin yang diterima seluruh rakyat yang dapat menyatukan hati setiap orang yang ada di republik ini. Kita tidak bisa menyalahkan pemimpin tersebut, karena mungkin zamannya belum mengizinkan untuk itu.
Bahkan ada pemimpin yang meroket namanya karena satu hal, berkat propaganda media massa yang kita tidak tahu maksud dan tujuannya dibalik itu atau apakah mungkin sebatas pencitraan. Padahal belum tentu predikat yang disandangkan kepadanya telah sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Tentu kita tidak bisa menyamakan zaman sekarang dengan zaman ketika awal kemerdekaan atau sebelumnya. Sekarang ini zaman sudah serba terbalik, yang benar bisa menjadi salah dan yang salah dapat menjadi benar, atau bisa menjadi abu-abu. Yang kelihatannya bagus belum tentu seperti itu, demikian pula sebaliknya.
Setelah reformasi, keadaan negara Indonesia boleh dikatakan berubah seratus delapan puluh derajat. Ibarat kran air maka kran tersebut dibuka full, sehingga tatanan yang selama ini agak ketat dibuka seluas-luasnya bahkan nyaris tanpa batas. Nah, setiap orang berlomba-lomba ingin menjadi pemimpin, sehingga muncul puluhan partai yang nyaris seperti pemilu tahun 1955. Tapi hasil dari pemilu menampilkan beberapa partai saja yang berhasil masuk ke parlemen. Sampai kepada pemilu kemaren 9 April menampilkan 10 partai saja yang lulus parliamentary treshold.
Sebagian besar partai pada pemilu sebelumnya dimana ketua umumnya yang menjabat di pemerintahan tidak mau melepaskan jabatannya di partai. Meskipun tidak ada aturannya tapi secara etika ini jelas tidak elok dan tidak mendidik. Karena di negara lain berkembang adagium bahwa apabila sudah menjabat di pemerintahan maka jabatan di partai berakhir. Hal ini merupakan pendidikan politik yang baik supaya tidak terjadi konflik kepentingan, karena jabatan di pemerintahan apakah jadi presiden atau menteri atau pejabat tinggi lainnya, maka dia telah menjadi pemimpin seluruh rakyat bukan lagi merangkap sebagai pemimpin partai.
Tapi apa yang terjadi, pesan ini ternyata dianggap angin lalu oleh sebagian besar petinggi partai karena seolah mereka tidak peduli dan memang tidak mau peduli. Tercatat hanya Partai Keadilan Sejahtera yang konsisten, ketika pemimpinnya dipercaya sebagai menteri atau pejabat lainnya maka secara otomatis dia mengundurkan diri dari jabatannya di partai.
Menurut analisa saya bahwa ini hanya komitmen setengah hati dari pemimpin karena ketika dia terpilih jadi pemimpin tapi dibalik itu dia tidak bersedia meninggalkan rangkap jabatan. Apa yang dapat kita harapkan apabila kita mendapatkan seorang pemimpin setengah hati, bisa jadi dia akan bekerja tidak sepenuh hati tapi sudah berbagi dengan jabatannya yang lain. Semoga saja para wakil rakyat yang terpilih mau membuka mata hati mereka dalam membuat aturan yang tegas, apakah mereka mau mengharamkan rangkap jabatan atau tidak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar