Penodaan Agama Kasus Syiah dan Ilusi Ukhuwah
Senin, 10 Desember 2012
Oleh: Kholili Hasib
KETIKA sukses menggulingkan Syah Reza Pahlevi pada
tahun 1979, Ayatullah Khomeini membangun citra diri dan Iran di mata
dunia Internasional dan Islam secara khusus. Vali Nasr -- cendekiawan
muda keturunan Iran -- mengatakan, ambisi Khomeini bukan sekedar
menjadikan dirinya pemimpin tertinggi Iran, atau pempimpin kaum Syiah di
dunia, tapi juga memimpikan semua elemen dunia mengakuinya sebagai
pemimpin tertinggi.
Wajar ia merancang strategi-strategi politis untuk diterapkan kepada
umat Sunni seluruh dunia. Ketika berdiri di dalam orang Sunni, Khomeini
memberikan kesan netral. Ia menciptakan citra diri sebagai seorang
pahlawan yang melawan hegemoni Barat. Wacana taqrib (pendekatan) dengan
Ahlus Sunnah digaungkan. Namun persoalannya, ia menggunakan dengan cara
yang salah. Tangannya berupaya menggandeng Sunni, tapi mulut tidak
berhenti menista pembesar-pembesar sahabat. Sebuah upaya yang ilusif.
Ayatullah Khomeini, dan kaum Syiah Imamiyah, menciptakan wacana
politik belah bambu antara sahabat dan Ahlul Bait. Di satu sisi Ahlul
Bait dijunjung tinggi sampai pada taraf tidak wajar, sementara para
sahabat direndahkan, serendah-rendahnya. Pada sisi lain juga menciptakan
wacana bahwa terjadi sengketa politik antara sahabat dan Ahlul Bait.
Khomeini menjatuhkan kredibilitas Abu Bakar, Umar bin Khattab dan
Ustman bin Affan dengan beragam tuduhan palsu. Dalam Kasyfu al-Asrar,
Khomeini menuduh mereka melanggar perintah Allah swt, “Sesungguhnya Abu
Bakar dan Umar (Syaikhoni) melanggar al-Qur’an, bermain-main hukum
Tuhan, menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang haram, keduanya
dzalim terhadap Fatimah binti Rasulillah saw” (hal. 126).
Khalifah kedua, Umar bin Khattab, r.a, dituduh meragukan kenabian
Nabi Muhammad saw, dan dan menentang firman al-Qur’an. Usman bin Affan,
Khalifah ketiga, bersama sejumlah besar sahabat dianggap pernah
melarikan diri dari perang Uhud. Ketakutan diserang kaum kafir Qurasy.
Para sahabat dalam beberapa persoalan dituduh tidak taat bahkan
menentang perintah Rasulullah saw (Kasyfu al-Asrar, hal. 135).
Kedua Khalifah, Abu Bakar dan Umar, dipandang sebagai orang munafik.
Ia mengatakan, “Keislaman syaihoni (Abu Bakar dan Umar), hanyalah
bersifat lahiriah saja, bukan timbul dari hatinya. Mereka hanya
mengharapkan kekuasaan dan pemerintahan belaka”.
Khomeini menyimpulkan bahwa para sahabat, termasuk
pembesar-pembesarnya adalah orang bodoh, dungu dan penentang syariat. Ia
mengatakan, “Dan sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang bodoh,
dungu, berdosa, tidak pantas menduduki posisi pemimpin” (Kasyfu al-Asrar, hal. 127).
Ustman dituduh tidak segan merevisi al-Qur’an apabila terdapat
ayat-ayat yang bertentangan dengan tujuan politis yang hendak dicapai.
Ustman adalah penjahat, seperti jahatnya Muawiyah dan Yazid yang
membunuh Husein bin Ali.
Sementara itu, sengketa antara Ali bin Abi Thalib beserta
keturunannya dengan para sahabat sesungguhnya tidak pernah terjadi.
Banyak keturunannya yang bernama Abu Bakar dan Umar. Anak Husein bin Ali
juga ada yang bernama Abu Bakar dan Umar. Husein bin Ali pernah
mengatakan bahwa mencintai Abu Bakar dan Umar bukan semata-mata sunnah,
tetapi wajib hukumnya.
Ali bin Abi Thalib pernah berkata: “Saya sudah lihat sendiri
sahabat-sahabat Rasulullah saw. Tidak seorangpun dari kalian yang dapat
menyamai mereka. Mereka siang hari banyak berdiri ruku’ dan sujud
(menyembah Allah swt), silih berganti, tampak kegesitan di dahi dan
wajah-wajah mereka, seolah-olah mereka berpijak di atas bara bila mereka
ingat akan hari pembalasan (akhirat) di antara kedua mata mereka tampak
bekas sujud mereka yang lama, bila mereka ingat akan Allah, berlinang
air mata mereka sampai membasahi baju mereka, mereka condong bagaikan
condongnya pohon dihembus angin lembut karena takut siksa Allah, serta
mengharapkan pahala atau ganjaran dari Allah”.
Keturunan Ali, Ja’far al-Shadiq, memulyakan para sahabat. Ia pernah
mengatakan: “Abu Bakar adalah kakekku. Jika aku tidak mengangkat Abu
Bakar dan Umar sebagai pemimpin dan tidak berlepas dari musuh keduanya,
maka kelak di hari kiamat aku tidak mendapatkan syafaat Nabi Muhammad
saw”.
Ja’far al-Shadiq memiliki silsilah yang bersambung kepada Nabi
Muhammad saw dan Abu Bakar al-Shiddiq. Dari garis ayahnya, beliau
merupakan keturunan Rasulullah saw, sedangkan dari garis ibunya, beliau
keturunan Abu Bakar al-Shiddiq. Ibu beliau adalah Farwah binti al-Qasim
bin Muhammad bin Abu Bakar al-Shiddiq.
Jadi isu sengketa tidak ada sama sekali dalam sejarah sahabat dan Ahlul Bait beserta keturunannya.
Dengan semikian, seruan ukhuwah dari Khomeini adalah ilusi, tidak
akan pernah terjadi. Sebab, buku-buku Khomeini yang memuat penodaan para
sahabat masih menjadi rujukan Syiah sekarang. Kitab mereka dibaca Syiah
Indonesia. Menjadi buku bacaan wajib bagi kader Syiah.
Syiah selalu membuat persoalan umat. Di Suriah, rakyat yang mayoritas
Sunni dibantai oleh rezin Bashar al-Asad yang berpaham Syiah
Nusairiyah. Di Yaman, beberapa waktu lalu, Syiah yang mayoritas
menyerang sebuah pesantren dengan senjata api. Mengakibatkan sejumlah
korban meninggal dunia.
Pada Perang Salib, seorang pejabat Dinasti Fatimiyah (berpaham Syiah
Ismailiyah) pernah bersekongkol dengan raja Salib untuk menghadang
pasukan Nuruddin Zanki. Sehingga mengakibatkan kegagalan Zanki
membebaskan Halab (Aleppo) serta mengakibatkan ribuan pasukan muslim
meninggal.
Di Indonesia, sudah beberapa kali, ditemukan penodaan sahabat nabi
yang berujung bentrok. Seperti di Sampang, Jember, Pasuran dan
Bondowoso.
MUI Jawa Timur pernah mengingatkan bahwa jika Syiah bangkit, NKRI
terancam. Peringatan ini masuk akal. Sebab, doktrin Syiah mengharuskan
ketaatan kepada imamah secara mutlak. Dan penegakan imamah adalah wajib
dalam pemerintahan. Kaum Syiah Indonesia lebih taat kepada Iran daripada
pemerintahan NKRI. Tahun 1979, Khomeini menyerukan, agar seluruh kader
Syiah di dunia Islam mengadakan revolusi, seperti revolusi di Iran.
Karena itu, kampanye ukhuwah Sunnah-Syiah selama ini adalah ilusi.
Yang tujuan besarnya tidak lain adalah syiahisasi. Harusnya, penodaan
terhadap sahabat ini dimeja hijaukan. Di Indonesia telah memiliki hukum
bagi penoda agama yaitu PNPS tahun 1965. Bukti-bukti juga tidak dapat
ditutup-tutupi. Jika, menodai presiden saja kena pasal subversif, maka
harusnya penoda kesucian agama juga dapat diseret ke pengadilan. Demi
menjaga ketentraman NKRI.*
Penulis adalah alumnus Pascasarjana ISID, Peneliti InPAS Surabaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar