Sudah tidak asing lagi bahwa di
Minangkabau pemimpin adat di suatu kaum dan suku dikenal dengan nama Penghulu
atau panghulu, dalam istilah adatnya Ninik Mamak, dengan gelar yang disebut
juga dengan Datuk atau Datuak. Tidak sembarangan orang yang dapat menjadi
datuk, karena datuk itu adalah gelar yang sakral, disebut dengan pusako yang
diwariskan secara turun temurun sejak dahulu kala. Orang yang memikul gelar ini
adalah orang pilihan, dia disegani sekaligus menjadi panutan, minimal di di
lingkungan kaumnya sendiri atau persukuannya.
Di beberapa daerah gelar datuk ini
sudah tinggal nama, karena terbenam atau terandam meskipun fungsinya masih ada.
Tapi di beberapa daerah lain atau sebagian besar daerah, gelar ini masih ada
dan bahkan dalam jangka waktu tertentu dilaksanakan helat / alek batagak
panghulu.
Dahulu menurut cerita orang tua-tua,
seorang datuk atau ninik mamak atau panghulu itu sangat dihormati, disegani dan
sebagai tempat mengadu bila terjadi masalah, kata-katanya dipegang dan
keputusannya diikuti dan dipatuhi, apabila kusut menyelesai dan apabila keruh
memperjernih. Seorang datuk di Minangkabau mempunyai wibawa yang tinggi
ditengah anak kemenakannya.
Tapi itu dahulu ketika zaman masih
tradisional, ketika radio dan koran belum ada, televisi apalagi. Ketika diwaktu
malam gelap gulita dan hanya diterangi lampu togok (lampu minyak tanah). Adat
istiadat masih kuat terpelihara, pengaruh luar belum ada. Ketika di tanah
Minangkabau pengaruh Mamak atas Kemenakan masih terasa. Ketika yang namanya HAM
yang didengungkan sekarang ini belum dikenal. Begitu indah dan alangkah
bahagianya masyarakat ketika itu.
Sekarang seorang datuk masih kelihatan
gagah, memantulkan aura layaknya seorang pemimpin. Tapi itu sudah tidak berapa
lagi, karena sebagian besar hanya kelihatan utuh dari segi penampilan tapi
sudah mulai lapuk bila dilihat dari dalam. Seorang datuk di zaman sekarang,
apabila kita perhatikan hanya berbuat sesuatu apabila dibutuhkan, dia
diperlukan oleh sanak saudara dan kemenakan ketika seremonial adat.
Dibalik itu dia tidak dianggap lagi
bila tidak dibutuhkan, bahkan ada yang sengaja tidak memerlukan dia karena kaumnya
atau kemenakan menganggap bahwa acaranya akan tetap terlaksana tanpa adanya
ninik mamak atau datuk dan ini sudah banyak terjadi. Kita tidak akan mencari
siapa dan pihak mana yang salah, kita tidak perlu mencari kambing hitam. Karena
keadaanlah yang menyebabkan seperti itu, karena zaman lah yang menjadikannya
demikian.
Bahkan ada Ninik mamak atau datuk yang
tidak tahu menahu dengan anak kemenakan, begitu pula sebaliknya ada kemenakan
yang tidak tahu menahu dengan ninik mamak atau datuknya atau pemimpinnya
sendiri. Semua itu disebabkan oleh problem yang kompleks, dikarenakan kusut
yang tidak terselesaikan, keruh yang tidak terjernihi.
Adat yang berlaku di Minangkabau itu
sangat kuat, dia tidak akan dapat dirubah oleh siapapun, dibubut tidak mati
diasak tidak layu. Tapi meskipun begitu kita harus percaya dengan hukum alam
yang dilukiskan oleh adat itu sendiri, Sekali ombak besar sekali tepian
berubah. Yang namanya tepian meskipun terdiri dari batu betapapun kuat dan
kerasnya suatu waktu pasti akan ditelan oleh ombak, pasti akan hancur diterjang
ombak yang terus menerus.
Begitu juga dengan datuk, orang yang
bergelar datuk itu sangat berpengaruh dan sangat didengar apa kata-katanya.
Tapi apabila jalan alah diasak urang lalu, cupak alah dialiah urang manggaleh,
artinya aturan tidak lagi dipatuhi, orang lebih suka melanggar aturan daripada
mematuhi aturan yang ada, apa mau dikata. Tidak masanya lagi berpepatah petitih
yang hanya tinggal di atas kertas atau hanya menjadi hafalan belaka, tidak
zamannya lagi berpetuah dan bernostalgia apabila kering dengan makna. Semua itu tidak ada artinya bila tidak
dilaksanakan dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari hari. Itu hanya akan
menjadi sia-sia bila tidak dijadikan watak dan karakter bagi kita dalam
berinteraksi.
Sehingga jangan hendaknya adat yang
tidak lekang karena panas dan tidak lapuk oleh hujan itu hanya menjadi slogan
kosong belaka. Adat basandi syara’ dan syarak basandi kitabullah hanya menjadi
angan-angan yang tidak berharga, jangan hendaknya seperti itu.
Kita tentu tidak mengharapkan aturan
adat kita menjadi mandul atau hanya menjadi macan ompong, alih-alih dapat
mengubah karakter dan jatidiri anak kemenakan akan disebut beradat, justru semakin menjauh dari tuntunan
adat yang bersendikan syara’. Sebagai contoh kita tidak perlu jauh-jauh melihat
rusaknya moral dan etika pergaulan generasi muda, yang justru berada di
lingkungan kita sendiri, begitulah seterusnya, karena rasanya kita sudah dapat
menyimpulkan sejauh mana kerusakan itu terjadi, bagaimana memperbaikinya,
itulah yang perlu ditangani segera secara serius, dengan apa, yaitu dengan
kekuasaan.
Dan yang berkuasa itu adalah Ninik
mamak atau datuk yang tentu meningkatkan kewibawaan dalam menjalankan kekuasaan
/ kepemimpinannya dan mesti didukung oleh anak kemenakan. Kalau tidak, maka dia
akan mempertanggungjawabkan kepemimpinannya itu baik di dunia maupun di akhirat
kelak, begitu pula dengan anak kemenakan bila terus merongrong kepemimpinan tersebut
tanpa alasan yang benar maka dia pun akan mempertanggungjawabkan akibatnya.
(14/12/2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar