Februari 17, 2011
KETIKA PAPA BERCERITA (9)
Ketika RRI
dibombardir oleh tentara pusat tahun 1958, Papa tengah belajar di SMA B
Bukittinggi kelas tiga. Sekarang SMA itu bernama SMA 2 Bukittinggi.
Sepupu dia yang bernama Nuraena tengah pula belajar di SMPI di Jirek
Bukittinggi kelas 1 yang kelak menjadi pendamping hidup Papa. Papa
langsung teringat akan sepupunya itu lalu menyinggahinya untuk dibawa
serta pulang ke kampung di Desa Kalung Tilatang Kamang sekitar 8 km dari
pusat kota Bukittinggi. Sekolah SMPI bersebelahan dengan Sekolah PGA
yang terletak di Dokabu Jirek. Ketika saya tanya apakah saat itu mereka
telah baintaian mereka sama-sama mengelak. Rasain no penasaran kan..???.
Simpan dulu ya penasarannya..
Selama masa
pergolakan itu Mama tidak diizinkan Inyiak (Paman) beliau untuk
melanjutkan kembali sekolah di SMPI Jirek. Banyak kisah mengerikan yang
sampai ke telinga para orangtua masa itu yang tidak berani melepaskan
anak gadisnya pergi jauh dari pengawasan mereka. Inyiak menyekolahkan
Mama ke Pekan Kamis, sekolah keterampilan putri yang mengajarkan segala
macam tentang keterampilan untuk gadis remaja kala itu. Termasuk memasak
dan menjahit pakaian. Mama berkawan dengan seorang istri Camat yang
bergelar Datuak Rangkayo Basa. Irma nama istri beliau. Banyak kegiatan
yang mereka lakukan. Mulai dari memasak bila ada kunjungan Orang pusat
untuk Camat sampai menari pasambahan dan gelombang untuk acara
penyambutan. Sehingga Mama lumayan aman di masa itu sebab kedekatannya
dengan Camat Koto Malintang Pekan Kamis Tilatang Kamang itu.
Pak Camat waktu
itu berpihak kepada Tentara Pusat dan dia jugalah yang membentuk sebuah
pasukan khusus untuk penyergapan yang bernama Pasukan Combad (baca :
kombed). Pasukan yang sangat dihindari oleh pasukan PRRI yang bergerilya
sebab pasukan ini diambil dari orang kampung yang dilatih khusus dengan
persenjataan lengkap. Bahkan menurut Papa, pasukan ini lebih ditakuti
penduduk masa itu dari pada OPR.
Irma istri Pak
Camat dulunya adalah orang biasa di kampung. Sewaktu masa perang dengan
Belanda, Pak Camat ikut berperang. Waktu itu pertempuran pecah di dekat
pasar Pekan Kamis. Pak Camat sewaktu menggerakkan pasukan untuk
menyerang Pak Camat berdiri memberi komando, saat itulah dia kena
tembakan di bagian pahanya. Irma waktu itu bertugas sebagai Anggota
Palang Merah. Dia melihat Pak Camat tertembak langsung mendekati beliau
dan menyeretnya ke tempat yang aman. Pak Camat berhasil sembuh berkat
Allah SWT melalui pertolongan pertama dari Irma. Hubungan mereka
kemudian berlanjut hingga Pak Camat akhirnya mempersunting Irma, si
gadis penolongnya itu ketika telah sembuh.
Pamanku ada dua
orang yang ikut keluar dari pihak Mama, sedangkan dari pihak Papa
adiknya. Menurut Mama, Nenekku (Alm) adalah seorang yang pemberani. Dia
selalu tegar dan menyemangati putra-putranya. Ikut keluar artinya
memerangi kelaliman. Pimpinan di daerah kita sudah memutuskan untuk
berjuang maka tetaplah berjuang. Nenek ikut membantu dengan dapur umum
ketika tentara pusat belum masuk ke Kaluang.
Kampung-kampung
penuh dengan lubang mortir yang ditembakkan dari arah Pasa (Bukittinggi
kota). Lubang-lubang besar sebesar kubangan kerbau dengan kedalaman
kira-kira tiga meter yang melubangi apapun di kapung itu dimana tetap
ada hingga awal tahun 1980an. Selain mortir yang ditembakkan juga ada
serangan udara dari pesawat-pesawat tempur. Di atas Bukit Kaluang sebuah
bukit di desa itu selalu ada yang bersiaga, memberitahukan ke penduduk
ataupun tentara PRRI yang berada di kampung bila terlihat iring-ringan
tentara pusat berjalan menuju arah kampung itu. Bila tanda diberikan,
biasanya Mama dan Nenek langsung bersembunyi di bawah kolong rumah yang
sudah dibikin Inyiak (Kakek) lubang persembunyian. Di atasnya ditaruh
kasur kapuk yang besar sampai dua lampis. Gunanya menghindari serpihan
Mortir yang jatuh. Namun bila mortirnya tepat ke dalam lubang, alamat
mereka tinggal nama.
Setelah kampung
dikuasai Tentara Pusat, banyak orang laki-laki dewasa yang menyingkir ke
dalam Rimbo (Rimba) di Bukit Barisan. Rimba itu bernama Rimbo Manduang.
Di sana ada pesawangan yang diisi sawah penduduk dan beberapa pondok
kecil. Salah satu pondok itu adalah posko darurat Tentara PRRI dimana
ada sebuah Gong besar yang terbuat dari kayu yang ada lubangnya, mereka
menyebutnya Tontong. Bila dipukul dengan pemukul kayu khusus disitu akan
berbunyi gema pukulan yang terdengar sayup sampai ke kampung. Pukulan
Tontong dibedakan jadi beberapa kode supaya penerima pesan di kampung
paham maksud pemeberitahuan melewati bunyi Tontong yang sayup-sayup
sampai itu ke kampung. Orang kampung akan mengirimkan pesan berantai dan
beberapa saat kemudian sunyilah kampung. Ada yang bersembunyi di lubang
ada yang bergegas masuk hutan. Dusun itu bernama Sonsang, tempat
kelahiran Papa dan saudaranya yang mana hanya berjarak seratus meter
saja dari terjalan perbukitan Bukit Barisan di tengah-tengah pulau
Sumatera.
Sebuah peristiwa
tragis yang saya telah dengar dari beberapa orang tua termasuk dari Papa
dan Mama adalah terbunuhnya tiga orang laki-laki dewasa yang bendirikan
Dangau (Gubuk) di Rimbo Manduang itu. Mereka mengungsi ke Rimba untuk
keamanan diri daripada mati sia-sia di kampung, difitnah Tukang Tunjuk
atau semacamnya. Laki-laki dewasa bila berada di kampung tanpa ada
alasan misalnya sebagai Guru atau tenaga kesehatan akan langsung
dicurigai sebagai pasukan PRRI. Salah satunya bernama Mak Siagiar, Mak
Idi dan dua temannya. Di dangau tengah rimba itu hari itu mereka sedang
memasak nasi di bagian belakang dangau yang berfungsi sebagai dapur
darurat. Tungku api dengan kayu bakar yang tersedia melimpah disana.
Ketenangan mereka bersembunyi tiba-tiba menjadi porak-poranda diterjang
sebuah mortir yang meledak pas di tungku nasi mereka itu.
Empat orang itu
semuanya terkena ledakan mortir. Tubuh mereka tercabik-cabik
mengeluarkan darah yang menganak sungai. Periuk nasi pecah dan nasi
berserakan di sekitar mereka. Ketika orang kampung mendekati dangau itu,
terlihat ada satu orang yang masih bernyawa. Beliau adalah Mak Idi
tetangga Nenek di kampung Kaluang. Mak Idi langsung dibawa pulang ke
kampung ketika bunyi pesawat dan mortir telah berhenti senyap. Tontong
dibunyikan kembali dan kondisi kembali aman untuk sementara.
Mama dan Nenek
ikut menjemput Mak Idi yang dikabarkan orang terkena mortir. Karena
kondisi yang darurat, Mak Idi hanya dibawa dengan sarung yang
disangkutkan ke bilah kayu dan didegeng (dipikul) oleh empat orang.
Masing-masing memegang ujung bilah kayu itu. Mak Idi yang terluka parah
di kepala berayun-ayun dibawa turun dari rimbo Manduang yang
berbukit-bukit itu. Sepanjang jalan darah menetes dari luka kepala
beliau itu. Bahkan Mama sempat melihat benak beliau dari luka kepala
yang terbuka itu. Namun Allah SWT masih sayang pada Mak Idi. Beliau
selamat hingga bisa hidup sampai tuanya.Orang kampung selalu mengenang
peristiwa bersejarahdi kampung Kaluang itu bila melihat Mak Idi yang
selalu berkepala plontos hingga tuanya. Mak Idi mendirikan lapau di
samping mesjid Kaluang atas izin Inyiak sebagai Angku Imam disana. Aku
sering bermain di lapau Mak Idi yang ketika ku kecil telah kupanggil
Inyiak Idi. Aku suka kacang tujin (kacang bawang) yang dibungkus kertas
minyak warna-warni dengan bungkus berbentuk segitiga. Nyam nyam nyam..
Sekitar tahun 1959
Papa masih berada di kampung di Sonsang. Sekitar dua ratus meter ke
arah pinggiran Bukit Barisan. Ketika itu Papa sudah bergabung dengan
tentara PRRI tapi masih berada di kawasan kampung sebab kampung belum
diduduki tentara pusat. Suatu hari mendaki bukit Sonsang. Di atas bukit
itu ada sejata besar yang digunakan oleh pejuang PRRI untuk menembak
tentara pusat yang masuk ke kampung atau membalas serangan dari
pesawat-pesawat tempurnya. Sesampainya di atas hanya ada seorang tentara
yang menjaga senjata itu.
Kama nan lain?
Bi mancari paisok
turun, jawab kawan Papa itu.
Tiba-tiba dari
arah Koto Malintang datang satu pesawat tempur tentara pusat, dimana
biasanya mereka membombardir kampung dan bukit-bukit disekitaran
kampung.
Wak tembaklah,
kata Papa ke tentara yang menjaga alat berat yang bernama senjata ASE.
Jadih,
Masuakanlah piluru
no tu, tu arahan.
Yo, wak arahan ka
muko pesawat tu.
Merekapun sibuk
mempersiapkan serangan penyambutan untuk sang pesawat tempur itu. Peluru
dimasukkan, sejata diarahkan ke atas siap membidik sasaran.
Mulanya pesawat
itu terbang tinggi, lama kelamaan merendah melewati mereka bersiap untuk
menghujani kampung itu dengan bombardier. Tepat ketika sasaran telah
terkunci, kawan Papa langsung menarik picu tembakan senjata itu. Peluru
itu mereka lihat jelas menembus arah depan dari pesawat. Pesawat itu
tetap terbang namun menjauh dari kampung dengan meninggalkan asap di
udara. Mereka tidak tau apakah pesawat itu akhirnya jatuh atau selamat
kala itu. Yang jelas mereka telah berhasil mengusirnya dari kampung.
Sekitar tahun 1971
Papa mendengar sebuah pesawat ditemukan di Bukik dibelakang Danau
Singkarak oleh peladang tebu disana. Di dalam pesawat itu ada tulang
belulang manusia ditemukan dua orang. Papa langsung pergi ke tempat
kawannya yang dulu sama-sama di atas bukit Sonsang itu menembak sebuah
pesawat pembom itu. Kawan Papa marah-marah waktu Papa mengingatkan
kembali kenangan itu, dan berasumsi bila yang ditemukan itu adalah
pesawat yang mereka tembak dulu itu.
OndehSi Djas, nak
kaditangkok si Djas bacarito mode tu dinan rami ko, kebetulan mereka
ketemu di pasar.
Sia juo nan
kamanangkok awak laih goh, kan awak lah diagiah amnesty, salah merekalah
manga manggaduah kampuang awak, jawab Papa mantap.
Batam, Feb 17th,
2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar