Januari 26, 2011
Ketika Papa Bercerita (5)
Menyambung cerita Papa yang beberapa tahun
silam dianggap sebagai cerita tabu, maka semakin bersemangat saya untuk
tetap menceritakannya kembali. Seorang peneliti yang mana penelitiannya
dibukukan oleh penerbit Mizan dimana judul bukunya adalah Mohammad
Natsir dalam Sejarah Politik Indonesia. Dia curhat di kata pengantarnya
tentang bagaimana stressnya dia sehingga hampir putus asa dengan
penelitiannya yang seperti membentur batu cadas itu. Bahan-bahan sangat
sulit didapatkan, boleh dibilang langka kemudian hal yang ingin
ditelitinyapun tabu untuk diungkapkan sebab dia meneliti di tahun 1993
dan baru sanggup dia selesaikan di tahun 1999. Sungguh perjalanan yang
panjang untuk sebuah Tesis. Buah kesulitan demi kesulitan yang dia alami
berbuah manis di Desember 2010 yang baru lalu, sebab Mizan menerbitkan
penelitiannya ini menjadi sebuah buku yang bisa Kawan peroleh di Toko
Buku Gramedia. Kebetulan saya beli di Batam di kota rantauan saya ini.
Mukaddimah saya kali ini panjang lebar sebab
dari perkembangan posting-posting yang saya lihat mulai bermunculan di
Palanta RN ini. Saya melihat adanya pro dan kontra dari beberapa sisi
sudut pandang. Bagi saya pribadi sebagai anak dari seorang pejuang PRRI
yang boleh Kawan sebut sebagai pemberontak yang mengobrak-abrik kesatuan
bangsa, tetap ingin membongkar semua fakta secara benar dan adil.
Fakta-fakta yang ada yang dilakoni sendiri oleh Papa saya, tetap akan
saya suarakan. Sekalipun beberapa diantara Tetua Palanta yang sendiri
yang benar-benar mengalami namun tetap ingin menyembunyikannya seperti
sebuah aib monggo silahkan saja, tanpa mengurangi semua rasa hormat yang
saya miliki untuk anda semua.
Tolong jangan biarkan saya terpengaruh
dengan rasa ketakutan yang telah lama lapuk itu. Anda mungkin mengalami
masa sedih, malu, dan penuh ketakutan dan kengerian itu, tapi bagi kami
yang tidak pernah tau bagaimana bila masa bagolak itu sungguh pernah
terjadi, sungguh sungguh amat menarik hati untuk kami cungkil lagi dan
lagi. Sungguh hati kami ingin merasakan sejuta rasa yang pernah
dirasakan di masa itu, untuk kami jadikan kenangan dan pelajaran yang
berharga. Mohon maaf yang sebesar-besarnya atas kenakalan ini untuk
selalu berusaha menyungkil-nyungkil duri yang telah lama tertanam dalam
daging suku Minang tercinta ini.
****
Menjemput cerita yang tercecer karena
ingatan yang harus dikeluarkan lagi oleh Papa yang telah mengendap
selama kurang lebih setengah abad yang lalu. Mari kita simak bersama.
Sekitar Juli 1961 dua pondok yang
didirikan di tengah Rimbo Mansang berjarak 10 meter. Satu pondok untuk
Pak Imam dan keluarga dan satunya para pengikut yang terdiri dari :
1. Bukhari Tamam asal Bukittinggi
2. Tk. Suleman yang kemudian bergelar Dt. Tan Kabasaran asal Bukittinggi
3. Masri asal Aia Kidjang Kumpulan
4. Yarnani (Wali nagari Kumpulan)
5. Papa (H. Djasri .S) Asal Sonsang Tilatang Kamang
6. Seorang pemuda Sunda yang lihai mengetik
7. Dt Tumangguang asal Durian Kunik Kumpulan
8. Suud orang Kumpulan yang pintar masak
Sedangkan Pondok yang ditempati Pak Imam bersama Ummi istri beliau dan anak-anaknya Siti Lis, Asnah dan Fauzi.
Namun walaupun letak persembunyian yang
jauh di tengah hutan belantara Sumatera itu, Pak Imam selalu saja
menerima tamu hampir setiap harinya. Kebanyakan tamu selalu saja membawa
buah tangan untuk mereka selain update berita terakhir seputar keadaan
masa itu. Inilah bentuk keberpihakan masyarakat di kampung-kampung,
meskipun tempat pak Imam selalu dikunjungi selama di Rimbo Mansang itu,
akan tetapi kerahasiaan tetap terjaga dengan baik.
Suatu hari masih di bulan Juli 1961 itu,
Batalyon 140 ingin bersilaturahmi dengan Kolonel Dahlan Djambek yang
bermarkas di Rimbo Mansang tapi berjauhan dengan tempat Pak Imam. Papa
ditugasi untuk mempertemukan mereka dengan Pimpinan Batalyon ini. Namun
Pak Dahlan tidak mau bertemu di komplek persembunyiannya, sehingga Papa
mencari tempat di dekat Aliran Batang Masang yang lebar itu. Seorang
kawan Papa yang bernama Suud memasak nasi dan sambalado sebagai lauk
untuk acara temu kangen antara Sang Kolonel dengan pasukannya itu yang
dikomandani oleh seorang yang berasal dari Aceh. Namanya Pak Malintara,
yang mana pasukannya biasa di sebut pasukan PDD (Pasukan Dahlan
Djambek). Pertemuan itu berlangsung aman dan penuh keakraban di tengah
hutan rimba itu. Karena tempat yang dipilih adalah tempat yang tidak
dipersiapkan sebelumnya, maka mereka hanya makan nasi putih dengan lauk
cabe (sambalado). Walaupun demikian, mereka melahapnya dengan penuh
kenikmatan.
Menurut Papa yang mengawasi pertemuan
itu, Pak Dahlan sendiri makan dengan lahapnya. Sebab untuk mencapai
tempat tersebut, mereka harus berjalan cukup jauh dan dengan sangat
hati-hati supaya tidak bertemu dengan pasukan Combad bentukan Tentara
Pusat yang terdiri dari OPR yang sebagian besar adalah para preman.
Karena yang dibawa saat itu hanya periuk tempat memasak, maka daun
Simantuangpun telah berubah fungsi jadi piringnya. Suasana sungguh
sangat nyaman dalam rangkulan buah manis silaturahim.
Selang tidak berapa lama, mereka kembali
bersiaga di sepanjang aliran batang Masang itu. Terlihat dari jauh
berjalan sekitar 30 orang pasukan Combad. Papa mengenali pemimpinnya
adalah Preman Tembok yang bernama Ancok Gandi. Sepertinya dia dan
pasukannya itu sangat bernafsu untuk menghabiskan sisa- sisa pejuang
PRRI yang tersisa di dalam Rimbo Masang itu. Yang tidak lain adalah Pak
Dahlan dan Pak Imam. Papa dan rombongan ketika itu berada di tempat yang
memungkin mereka untuk menghabisi 30 orang pasukan Combad itu, tapi
datang perintah dari Pak Dahlan untuk membiarkan mereka itu lewat saja.
Papa tau bila kawan-kawannya manggaritih ingin menghabisi preman komunis
itu, sebab perangai mereka yang sadis ke orang-orang yang mereka
curigai sebagai orang PRRI. Dihilangkan atau ditembak dari jarak dekat
walaupun yang lawan tidak memegang senjata adalah hal biasa bagi mereka.
To Be continued.
Batam, 26 Januari 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar