Kamis, 06 September 2012

Semilir Angin Senja


Januari 10, 2011

KETIKA PAPA BERCERITA 2

Diarsipkan di bawah: Kenangan Papa — ritrin @ 7:15 pm and
Melanjutkan cerita pertemuan Papa (H. Djasri S) dan Mak Ngah (Sjamsir Sjarief) nan bamukim di tapi riak nan badabue di Santa Cruz California yang mana Mak Ngah sambil pulang ke kampung halaman beliau di Biaro Bukittinggi Sumbar. Mereka bernostalgia kembali mengenai masa-masa perang PRRI dibawah asuhan para penegak kebenaran, yang mana salah satunya adalah Pak Imam (alm. Buya Moh. Natsir) dalam didikan sama di Universitas Rimba Raya.
Hari Kamis pagi Mak Ngah me-sms Papa untuk mengajak pergi ke Kumpulan. Kumpulan adalah salah satu tempat Pak Imam tinggal di dalam rimbanya yang dikenal dengan sebuah komplek persembunyian dengan nama Gang Kenanga seperti yang telah penulis ceritakan di seri pertama. Jam 9 pagi mereka janjian untuk bertemu di daerah Simpang By Pass Manggis Bukittinggi untuk kemudian naik angkot yang bertujuan ke Kumpulan. Ketika sudah ketemu di sana dan naik ke mobil angkutan itu, Mak Ngah me-sms penulis mengabarkan acara mereka hari itu.

Sebenarnya Mak Ngah ingin menelusuri tempat persembunyian Pak Imam di dalam rimba disana, dengan bantuan Papa yang dulunya bertugas sebagai kurir Pak Imam dan keluarga. Hanya medan yang akan mereka lalui entah sudah tambah berat atau bagaimana, makanya Papa memutuskan untuk merubah keinginan Mak Ngah menjadi acara ziarah. Mak Ngah yang duduk di bagian depan mobil sedangkan Papa duduk di bagian belakang membuat mereka tidak bisa bercerita langsung. Papa mengirimkan kertas bertuliskan perubahan rencana itu persis halnya anak sekolahan minta contekan. Mak Ngah yang tidak begitu mengetahui lika liku kampung yang setengah abad yang lalu telah dia tinggalkan, menyerahkan keputusan ke Papa. Akhirnya mereka bersepakat untuk menziarahi kuburan Kolonel Dahlan Djambek di daerah Aia Kijang tepatnya di sebuah kampung yang bernama Lariang.
Di simpang Aia Kijang mereka berhenti untuk kemudian menyambung kendaraan umum ke daerah Lariang. Kamis adalah hari pakan di daerah Kumpulan sehingga transportasi lumayan lancar untuk masuk ke kampung-kampung di pelosok nagari Sumatera Barat ini. Menuju Lariang jalan yang dilalui lumayan mendaki. Setibanya di Makam Kolonel Dahlan Djambek ini mereka berziarah mengirim doa. Ilalang maninggi disana sini menyaingi tembok pekuburan Sang Kolonel yang meninggal ditembaki tentara Soekarno di kala subuh sekitar September 1961.
Menurut cerita orang kampung Lariang, Sang Kolonel berumur 36 tahun masa itu, masih muda gagah. Dia dan anak buahnya bermalam di kampung itu di sebuah rumah di pinggir kampung. Sampai sekarang rumah itu masih dipertahankan bentuk aslinya dan tidak dirubah-rubah. Konon kabarnya Sang Kolonel yang berhasil ditangkap di rumah itu tidak bisa tertembus peluru. Anak buahnya yang terus menerus ditembaki oleh Tentara Soekarno telah hancur berantakan kepala dan tubuhnya karena ditembaki berulang-ulang. Rata-rata kepala mereka pecah karena ditembaki terus-menerus itu. Kain sarung yang dipakai oleh Sang Kolonel penuh dengan lubang tembakan. Namun yang tembus ke badannya di sekitar dada hanya satu tembakan saja.
Cerita dari mulut ke mulut orang kampung Lariang menceritakan bahwa Sang Kolonel kabarnya memiliki kemampuan yang luar biasa sehingga peluru tidak mempan menembus badannya. Ketika melihat anak buahnya sudah berserakan berserpihan manganak darah dan benak di subuh buta itu, Sang Kolonel memutuskan untuk ikut gugur bersama anak buahnya. Sehingga kain sarung yang dipakainya hancur penuh tembakan tetapi yang menembus dadanya hanya satu tembakan. Satu tembakan yang diijinkan dia untuk membuat dia gugur bersama anak buahnya yang sudah duluan gugur. Sang Kolonel belum mau menyerah sebagaimana halnya Kolonel Ahmad Husen yang telah duluan menyerah di awal tahun 1961 itu. Menurut Papa dan Mak Ngah, banyak diantara pejuang yang tidak tahan hidup di dalam Rimba, sehingga ditawari pengampunan, jadi cepat menyerah. Ditambah lagi dengan adanya pengkhianat perjuangan. Syukur Alhamdulillah tempat Pak Imam tidak bisa terdeteksi oleh tentara Soekarno karena orang kampung yang selalu berpihak ke perjuangan beliau, sehingga tetap selamat sampai menyerah di September 1961 itu, Alhamdulillah
Makam Kolonel Dahlan Djambek sudah ditembok dan dipagar . Rumah tempat kejadian penangkapan itu masih bisa diziarahi. Hanya saja jalan menuju ke tempat tersebut lumayan rusak dan mendaki. Seperti halnya situs-situs sejarah di negeri kita lainnya, Pemakaman inipun kurang terawat. Dimana tempat itu disemaki oleh ilalang yang meninggi. Butuh sentuhan kepedulian dari para penerus cita-cita perjuangan.
Selepas siang para pejuang senja ini kembali ke pasar Kumpulan untuk shalat dan makan. Papa memilih menu gulai ikan rayo asam durian, sedangkan Mak Ngah memilih ikan goreng. Sementara mulut mereka terus saja bercerita tentang masa-masa yang tidak akan pernah mereka lupakan tentang masa silam yang penuh kenangan. Mak Ngah mengajak Papa untuk ke kampung Malampah yang berjarak 30 km dari Pasar Kumpulan. Mengingat mereka hanya membawa badan saja, Papa mengurungkan niat Mak Ngah tersebut karena beberapa pertimbangan. Diantaranya mereka tidak membawa persiapan sekiranya nanti harus bermalam di perjalanan. Lain waktu perlu perencanaan yang matang untuk menapak tilasi perjalanan setengah abad silam tersebut.
Perjalanan tersebut harus diakhiri dengan berangkat kembali menuju Kota Bukittinggi. Papa mengantar Mak Ngah sampai di simpang By Pass untuk seterusnya Mak Ngah bisa kembali ke Biaro. Rupanya orangtua satu ini belum puas dengan kejadian sehari itu sehingga beliau meneruskan jalan ke Hotel Pusako untuk berenang sebagaimana hobinya sejak dulu. Ohya Kawan, Mak Ngah adalah sosok tua yang bersemangat mengalahkan yang muda. Di setiap ulang tahun beliau, selalu berenang mengitari kolam renang sebanyak usia yang telah dilalui. Bila sekarang usia beliau memasuki 76 tahun artinya beliau telah beranang di hari ulang tahunnya 75 lap di kolam renang di Santa Cruz California sana. Orang Melayu cakap ; Boleh tahaaaannn Dato satu nie.. Sungguh luar biasa untuk kakek-kakek seusia beliau itu.
Menurut Papa, Mak Ngah sangat ingin untuk pergi ke Gang Kenanga. Sehingga Papa telah melakukan persiapan untuk acara napak tilas tersebut. Seorang kawan yang seperjuangan dulu yang bergelar Datuak Tumangguang telah beliau hubungi. Mereka siap untuk menjadi penunjuk jalan menuju Gang Kenanga sebab beliau tinggal di Kumpulan tepatnya di kampung Durian Kunik. Berkemungkinan bila acara itu jadi, maka akan memakan waktu 2 harian. Jika diriku ini tidak takabek di Rantau ini, tentunya akan bernyanyi riang mengiringi langkah orang-orang tua jagoan ini. Seperti yang sering kugeluti waktu kecil masuk hutan untuk memetik pohon-pohon cengkeh yang mulai berbuah di kebun di tengah rimbo Manduang dulu itu.
Batam, 10 Januari 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar