Januari 10, 2011
KETIKA PAPA BERCERITA 2
Melanjutkan
cerita pertemuan Papa (H. Djasri S) dan Mak Ngah (Sjamsir Sjarief) nan
bamukim di tapi riak nan badabue di Santa Cruz California yang mana Mak
Ngah sambil pulang ke kampung halaman beliau di Biaro Bukittinggi
Sumbar. Mereka bernostalgia kembali mengenai masa-masa perang PRRI
dibawah asuhan para penegak kebenaran, yang mana salah satunya adalah
Pak Imam (alm. Buya Moh. Natsir) dalam didikan sama di Universitas Rimba
Raya.
Hari
Kamis pagi Mak Ngah me-sms Papa untuk mengajak pergi ke Kumpulan.
Kumpulan adalah salah satu tempat Pak Imam tinggal di dalam rimbanya
yang dikenal dengan sebuah komplek persembunyian dengan nama Gang
Kenanga seperti yang telah penulis ceritakan di seri pertama. Jam 9 pagi
mereka janjian untuk bertemu di daerah Simpang By Pass Manggis
Bukittinggi untuk kemudian naik angkot yang bertujuan ke Kumpulan.
Ketika sudah ketemu di sana dan naik ke mobil angkutan itu, Mak Ngah
me-sms penulis mengabarkan acara mereka hari itu.
Sebenarnya
Mak Ngah ingin menelusuri tempat persembunyian Pak Imam di dalam rimba
disana, dengan bantuan Papa yang dulunya bertugas sebagai kurir Pak Imam
dan keluarga. Hanya medan yang akan mereka lalui entah sudah tambah
berat atau bagaimana, makanya Papa memutuskan untuk merubah keinginan
Mak Ngah menjadi acara ziarah. Mak Ngah yang duduk di bagian depan mobil
sedangkan Papa duduk di bagian belakang membuat mereka tidak bisa
bercerita langsung. Papa mengirimkan kertas bertuliskan perubahan
rencana itu persis halnya anak sekolahan minta contekan. Mak Ngah yang
tidak begitu mengetahui lika liku kampung yang setengah abad yang lalu
telah dia tinggalkan, menyerahkan keputusan ke Papa. Akhirnya mereka
bersepakat untuk menziarahi kuburan Kolonel Dahlan Djambek di daerah Aia
Kijang tepatnya di sebuah kampung yang bernama Lariang.
Di
simpang Aia Kijang mereka berhenti untuk kemudian menyambung kendaraan
umum ke daerah Lariang. Kamis adalah hari pakan di daerah Kumpulan
sehingga transportasi lumayan lancar untuk masuk ke kampung-kampung di
pelosok nagari Sumatera Barat ini. Menuju Lariang jalan yang dilalui
lumayan mendaki. Setibanya di Makam Kolonel Dahlan Djambek ini mereka
berziarah mengirim doa. Ilalang maninggi disana sini menyaingi tembok
pekuburan Sang Kolonel yang meninggal ditembaki tentara Soekarno di kala
subuh sekitar September 1961.
Menurut
cerita orang kampung Lariang, Sang Kolonel berumur 36 tahun masa itu,
masih muda gagah. Dia dan anak buahnya bermalam di kampung itu di sebuah
rumah di pinggir kampung. Sampai sekarang rumah itu masih dipertahankan
bentuk aslinya dan tidak dirubah-rubah. Konon kabarnya Sang Kolonel
yang berhasil ditangkap di rumah itu tidak bisa tertembus peluru. Anak
buahnya yang terus menerus ditembaki oleh Tentara Soekarno telah hancur
berantakan kepala dan tubuhnya karena ditembaki berulang-ulang.
Rata-rata kepala mereka pecah karena ditembaki terus-menerus itu. Kain
sarung yang dipakai oleh Sang Kolonel penuh dengan lubang tembakan.
Namun yang tembus ke badannya di sekitar dada hanya satu tembakan saja.
Cerita
dari mulut ke mulut orang kampung Lariang menceritakan bahwa Sang
Kolonel kabarnya memiliki kemampuan yang luar biasa sehingga peluru
tidak mempan menembus badannya. Ketika melihat anak buahnya sudah
berserakan berserpihan manganak darah dan benak di subuh buta itu, Sang
Kolonel memutuskan untuk ikut gugur bersama anak buahnya. Sehingga kain
sarung yang dipakainya hancur penuh tembakan tetapi yang menembus
dadanya hanya satu tembakan. Satu tembakan yang diijinkan dia untuk
membuat dia gugur bersama anak buahnya yang sudah duluan gugur. Sang
Kolonel belum mau menyerah sebagaimana halnya Kolonel Ahmad Husen yang
telah duluan menyerah di awal tahun 1961 itu. Menurut Papa dan Mak Ngah,
banyak diantara pejuang yang tidak tahan hidup di dalam Rimba, sehingga
ditawari pengampunan, jadi cepat menyerah. Ditambah lagi dengan adanya
pengkhianat perjuangan. Syukur Alhamdulillah tempat Pak Imam tidak bisa
terdeteksi oleh tentara Soekarno karena orang kampung yang selalu
berpihak ke perjuangan beliau, sehingga tetap selamat sampai menyerah di
September 1961 itu, Alhamdulillah
Makam
Kolonel Dahlan Djambek sudah ditembok dan dipagar . Rumah tempat
kejadian penangkapan itu masih bisa diziarahi. Hanya saja jalan menuju
ke tempat tersebut lumayan rusak dan mendaki. Seperti halnya situs-situs
sejarah di negeri kita lainnya, Pemakaman inipun kurang terawat. Dimana
tempat itu disemaki oleh ilalang yang meninggi. Butuh sentuhan
kepedulian dari para penerus cita-cita perjuangan.
Selepas
siang para pejuang senja ini kembali ke pasar Kumpulan untuk shalat dan
makan. Papa memilih menu gulai ikan rayo asam durian, sedangkan Mak
Ngah memilih ikan goreng. Sementara mulut mereka terus saja bercerita
tentang masa-masa yang tidak akan pernah mereka lupakan tentang masa
silam yang penuh kenangan. Mak Ngah mengajak Papa untuk ke kampung
Malampah yang berjarak 30 km dari Pasar Kumpulan. Mengingat mereka hanya
membawa badan saja, Papa mengurungkan niat Mak Ngah tersebut karena
beberapa pertimbangan. Diantaranya mereka tidak membawa persiapan
sekiranya nanti harus bermalam di perjalanan. Lain waktu perlu
perencanaan yang matang untuk menapak tilasi perjalanan setengah abad
silam tersebut.
Perjalanan
tersebut harus diakhiri dengan berangkat kembali menuju Kota
Bukittinggi. Papa mengantar Mak Ngah sampai di simpang By Pass untuk
seterusnya Mak Ngah bisa kembali ke Biaro. Rupanya orangtua satu ini
belum puas dengan kejadian sehari itu sehingga beliau meneruskan jalan
ke Hotel Pusako untuk berenang sebagaimana hobinya sejak dulu. Ohya
Kawan, Mak Ngah adalah sosok tua yang bersemangat mengalahkan yang muda.
Di setiap ulang tahun beliau, selalu berenang mengitari kolam renang
sebanyak usia yang telah dilalui. Bila sekarang usia beliau memasuki 76
tahun artinya beliau telah beranang di hari ulang tahunnya 75 lap di
kolam renang di Santa Cruz California sana. Orang Melayu cakap ; Boleh
tahaaaannn Dato satu nie.. Sungguh luar biasa untuk kakek-kakek seusia
beliau itu.
Menurut
Papa, Mak Ngah sangat ingin untuk pergi ke Gang Kenanga. Sehingga Papa
telah melakukan persiapan untuk acara napak tilas tersebut. Seorang
kawan yang seperjuangan dulu yang bergelar Datuak Tumangguang telah
beliau hubungi. Mereka siap untuk menjadi penunjuk jalan menuju Gang
Kenanga sebab beliau tinggal di Kumpulan tepatnya di kampung Durian
Kunik. Berkemungkinan bila acara itu jadi, maka akan memakan waktu 2
harian. Jika diriku ini tidak takabek di Rantau ini, tentunya akan
bernyanyi riang mengiringi langkah orang-orang tua jagoan ini. Seperti
yang sering kugeluti waktu kecil masuk hutan untuk memetik pohon-pohon
cengkeh yang mulai berbuah di kebun di tengah rimbo Manduang dulu itu.
Batam, 10 Januari 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar