Sejak sepekan terakhir jejaring Facebook teman-teman
yang dulu dan sekarang masih aktif di Rohanis Islam (Rohis) fokus ke
pemberitaan Metro TV soal keterkaitan Rohis dan Teroris. Ada
tampilan di Facebook yang diambil dari grafis yang ditayangkan Metro
TV beberapa waktu lalu. Kebetulan saya sedikit menonton acara
tersebut. Tampilan di layar televisi yang berisi grafis itu memang tidak
secara terang menyebut Rohis. Tapi kalau menyebut ekstrakurikuler
keislaman di sekolah, khususnya muslim, apalagi kalau bukan Rohis. Terus
juga ditayangkan bagaimana modus operansi teroris menginfiltrasi Rohis.
Mengajak anak yang punya ketertarikan dengan Islam, mengajaknya
berdiskusi di luar, menjejalkan perihal permasalahan bangsa, dan
sebagainya. Yang mengerikan memang judul di bawah tampilan grafis itu:
“Awas Generasi Baru Teroris”. Begitu kurang lebih.
Acara itu sendiri talkshow. Ada dua
narasumber di situ. Saya tak ingat nama mereka. Tapi yang satu
memberikan analisis demikian. Cuma memang dia tak menyebut Rohis. Bisa
jadi kehati-hatian, bisa jadi ia sendiri tak yakin dengan analisisnya.
Dari pemaparan dia inilah, grafis ditampilkan saat diskusi masih
berlangsung. Jadi, tampilan grafis yang bikin heboh itu diambil dari
pemaknaan redaksi atas uraian narasumber. Soal ini pas atau tidak, nanti
kita bahas. Ini penting disampaikan supaya tahu bahwa grafis itu ada
karena talkshow. Bukan reportase jurnalis Metro TV di
lapangan atau editorial atau tajuk media televisi itu.
Nah, dari cerita ini, saya ingin mendedahkan
beberapa hal di artikel sederhana ini. Pertama, soal Rohis. Analisis
soal Rohis erat kaitannya dengan teroris tidak tidak beralasan. Kalaupun
ada teroris muda yang dulu pernah aktif di Rohis, media tentu tidak
bisa menggeneralisasinya demikian. Saya kebetulan waktu sekolah di SMAN 2
Tanjungkarang sempat aktif di Rohis. Kebetulan saya pun tahun 1995-1996
didapuk jadi ketua umum OSIS. Bahkan pernah didaulat menjadi Ketua
Forum Kerja Sama Alumni Rohis (FKAR) Bandar Lampung.
Soal pengajian yang digelar alumni, memang ada.
Biasanya fokus pada akidah dan kelancaran membaca Alquran. Soal
pandangan terhadap dunia Islam, semisal Palestina, Bosnia-Herzegovina,
dan lain-lain tentu jadi kajian menarik. Namanya saja Rohis, tentu wajar
kalau ada kajian soal Islam. Tapi apakah itu menjurus ke perilaku
anarki, tidak benar sama sekali. Yang menjadi bahan bakar pengelolaan
dakwah di kalangan pelajar ialah memperbaiki akhlak remaja. Justru
dengan adanya organisasi, Rohis menjadi legal dan formal di sekolah.
Pembinanya saja guru sekolah setempat. Kalau ada anasir yang mulai
mencurigakan, pembina biasanya berkonsultasi dengan alumni, apakah itu
benar datang dari Rohis dan alumni ataukah bukan. Komunikasi yang lancar
seperti itu menjadikan semua aktivitas Rohis diketahui secara baik oleh
sekolah dan orangtua.
Kedua, soal tayangan Metro TV. Media
memang menayangkan yang demikian tentu konteksnya pas. Sedang marak
penangkapan terhadap pelaku teror. Cuma masalahnya, media kita terlalu
gegabah dalam menampilkan grafis dan karya jurnalistik lainnya tanpa
verifikasi yang memadai. Sekiranya fokus diskusi soal organisasi
keislaman yang terindikasi teroris, akan lebih baik juga menampilan
narasumber yang punya kapasitas di situ. Misalnya aktivis Rohis beserta
guru. Sehingga akan ada pembanding antara opini narasumber yang satu dan
lainnya. Ini yang sepengamatan saya tidak dilakukan Metro TV.
Kemudian soal tayangan grafis itu, memang sebaiknya
tidak demikian. Begini. “Nabi Jurnalisme” Bill Kovach, penyusun “kitab
suci” Sembilan Elemen Jurnalisme, menyebutkan, intisari kerja
jurnalisme ialah disiplin dalam verifikasi. Fakta yang tersaji dicek
kembali. Angka yang tertera diuji. Uraian narasumber diuji kesahihannya.
Apalagi yang berkenaan dengan isu, bukan kejadian atau peristiwa. Dalam
tayangan itu, media yang baik ialah media yang kritis dengan uraian
narasumber. Jurnalis yang baik tidak memercayai begitu saja ucapan
narasumber. Tapi ia mesti mengonfirmasinya kepada pihak yang disebut.
Maka itu, semakin banyak perspektif pembicaraan soal kaitan Rohis dan
teroris, akan lebih baik. Jadi, tak ada nuansa penghakiman terhadap
unsur tertentu.
Jurnalis juga mesti skeptis.
Misalnya, apa benar si pengamat memberikan pemaparan demikian dan itu
berkenaan dengan orang banyak. Komunitas muslim di Rohis misalnya.
Jurnalis yang telaten tidak mudah percaya dengan sumber-sumber resmi
sebelum ia sendiri melakukan reportase yang mendalam. Seorang wartawan
asing berhari-hari menginap di Pondok Pesantren Daarut Tauhid milik
Abdullah Gymnastiar hanya untuk menulis artikel pendek soal Aa Gym itu.
Tapi jurnalis kita cukup dengan pengamatan dari jauh kemudian menurunkan
laporan. Memang harus demikian. Karya yang baik ialah konstruksi
jurnalisme yang dibangun dari basis verifikasi yang kuat. Jangan pernah
menayangkan atau menuliskan artikel yang jurnalisnya sendiri tak yakin
dengan kebenaran dalam tulisan yang ia buat.
Kalau misalnya diskusi itu tak menghadirkan pihak
“tertuduh” yakni Rohis, bisa saja dibuatkan talkshow keesokan
harinya. Tentu narasumbernya aktivis Rohis yang organisasinya disinyalir
berkaitan dengan teroris. Lucu saja kalau baru dugaan awal teroris yang
ditangkap dulu aktif di Rohis, maka semua Rohis adalah teroris. Ini
sebuah kesimpulan yang gegabah. Sama saja dengan mengatakan motor Honda
kualitasnya buruk karena banyak bengkelnya. Ya Honda mesti
banyak bengkel karena memang produksi motor mereka gila-gilaan.
Ini yang semestinya jadi basis bekerja jurnalis. Menarik kesimpulan dari
basis reportase yang ketat.
*
Usai tayangan di Metro TV itu, banyak
teman yang melakukan penggalangan SMS ke pemred Metro TV yang
berisi pesan: Saya anak Rohis dan saya bukan teroris! Ini tentu sebuah
usaha masyarakat sipil melakukan protes karena komunitas mereka
disudutkan tanpa ada ruang untuk mereka bersuara. Dan kesadaran kritis
ini bagus. Mesti diapresiasi. Mereka justru protes dengan elegan dan
menjauhi anarki. Juga sebongkah bentuk menunjukkan kalau Rohis memang
bukan teroris nan anarki. Ada juga permintaan agar
Metro TV meminta maaf.
Persoalan minta maaf di Indonesia ini, dalam ranah
apa pun, sungguh sulit. Lihat saja betapa banyak kejadian kecelakaan
pesawat, kereta api, kecelakaan saat mudik, di laut; tetapi adakah
pejabat yang berwenang, menteri misalnya, yang minta maaf seraya mundur
dari jabatan? Di ranah media juga demikian. Jarang ada kabar sebuah
media meminta maaf atas kelalaian jurnalisnya atau kesalahan dalam
menulis. Juga lemah dalam verifikasi. Padahal, minta maaf itu tidak
membuat sebuah media kehilangan martabatnya. Justru media itu sedang
membangun kultur yang sehat dalam berbisnis dan mengedukasi masyarakat.
Di Amerika Serikat ada majalah The
New Republic. Ini majalah keren. Prestisenya tinggi.
Dilanggani pesawat Kepresidenan Amerika Serikat: Air Force One. Isinya
banyak feature, tulisan khas yang sarat
sisi humanisme. Ada satu jurnalisnya yang terkenal. Stephen Glass
namanya. Orangnya simpatik, jurnalis muda yang bertalenta. Hampir semua
artikel yang ditulis Glass disukai pembaca. Suatu waktu, usai perubahan
editor—setara pemimpin redaksi—di sana, dari Kelly ke Chuck, ada ihwal
yang menarik. Di suatu edisi, Glass menulis “Hack Heaven”. Artikel
menarik soal pertemuan para hacker di sebuah tempat yang anehnya hanya
ada di majalah The New Republic. Wartawan Majalah The
Forbes Digital dimarahi editornya karena tak ada artikel itu di
Forbes. Si reporter yang biasa meliput soal dunia peretas pening.
Ia juga bingung kenapa event sepenting itu ia tidak tahu dan hanya ada
di The New Republic. Ia penasaran dan mengecek. Ia lakukan
verifikasi. Semua nama orang, nama tempat, jam dan waktu kejadian di
tulisan Glass ia pelototi. Ia telepon semua narasumber peretasnya. Nama
perusahaan Juct Micronics yang ditulis Glass ia cek. Hasilnya nihil. Si
wartawan Forbes berkesimpulan: artikel
Glass bohong!
Editor Forbes kontak Chuck di The New
Republic. Ia bilang artikel Glass bohong. Chuck tidak marah. Ia
justru curiga kepada jurnalisnya, Glass. Ia skeptis. Maka ia lacak juga
artikel Glass yang pernah ditulis, tak cuma “Hack Heaven”. Glass
ditanya. Glass bergeming. Ia yakin ia tak bohong dan menuduh pihak Forbes
ingin menjatuhkan kredibilitasnya.
Chuck mengecek sendiri. Hotel tempat para peretas
berkumpul ternyata tutup di jam yang ditulis Glass dalam artikelnya.
Demikian juga soal nama perusahaan, tidak ada sama sekali. Tempat para
peretas makan juga demikian. Akhirnya Chuck tegas. The New Republic
harus bikin permintaan maaf di sebuah edisi dengan tanda tangan semua
kru redaksi. Awalnya semua kru tak mau dan berkeras Glass tak salah.
Tapi Chuck editor yang tangguh. Ia ambil tanggung jawab dan berikan
pengertian kepada jurnalisnya: minta maaf tidak akan menurunkan martabat
sebuah media. Justru itu adalah bentuk
pertanggungjawaban media kepada khalayak. Akhirnya edisi apologize itu
dibuat. Semua kru meneken. Dan Stephen Glass, wartawan muda yang cerdas
itu, dipecat. Karier jurnalistik Glass habis. Dan memang keyakinan Chuck
benar. The Republic tak habis karena mengakui kekeliruan atas semua
karya wartawannya. Justru publik Amerika salut. Tiras majalah pun
terjaga, bahkan terkerek ke langit yang paling atas.
Kalau media kita, taruhlah misalnya Metro TV,
mau melakukan klarifikasi, itu sangat bagus. Media itu dibangun oleh
personal. Dan mereka manusia juga. Karena manusia, salah itu lazim dan
sangat boleh jadi. Salah itu tidak dosa. Tapi apa upaya yang dilakukan
usai bersalah itu yang penting. Media memang mesti yakin dengan konten
yang diberitakan. Tapi jika hasil penilaian internal memang ada
kesalahan, akui saja dengan jantan. Apakah ada cela dan jadi titik noda
jika ada media yang mau minta maaf atas kekeliruan yang ia buat? Justru
publik akan menghargai dan nama baik media itu terjaga.
Buat para teman yang dulunya aktif di Rohis dan
kini masih membina adik-adiknya di organisasi itu juga mesti bijak dan
teliti. Jangan mengambil sebuah kesimpulan kalau kita sendiri tidak
yakin. Pelajari dulu. Baru ambil sikap. Kalau terburu-buru bisa menjadi
blunder dan memancing kemarahan. Saat marah dan anarki, masyarakat
kemudian beranggapan, benar bahwa Rohis memang organisasi yang terkait
dengan teroris karena acap anarkis.
Justru dengan pemberitaan begitu, semangat
berdakwahnya mesti dijaga dan silaturahimnya ditingkatkan. Orang akan
melihat dari perilaku. Masyarakat kini semakin cerdas. Tidak semua
informasi yang dijejalkan media itu ditelan bulat-bulat. Ada proses
menyaring dan mencari yang akurasinya kuat. Independensinya tepercaya.
Dan disiplin verifikasi medianya ketat.
Soal verifikasi ini juga penting dilakukan orang
per orang. Jangan mudah mencap, menuduh, kalau kita tak ketahui hal itu
dengan baik. Jangan mudah percaya gosip. Toh di satu ayat Alquran saja ada: kalau ada orang fasik bawa berita, jangan mudah
percaya. Tanya dulu. Tabayun dulu. Cek dulu. Verifikasi dulu.
Di ranah keislaman Indonesia ini mudah betul
memancing kemarahan. Lihat pemberitaan kita. Warga Syiah diserang,
jemaah Ahmadiyah sulit beribadah, dan sebagainya. Kalau kita tak pernah
tahu dan bergaul dengan baik dengan saudara-saudara itu, tidak mesti
bersikap sok tahu. Diam saja. Itu lebih aman. Yakin saja dengan
keyakinan kita.
Dulu bapak dan ibu saya selalu mewanti-wanti pas
aktif di Rohis jangan ikutan LDII atau Lembaga Dakwah Islam Indonesia.
Ada kabar kalau salat di masjid mereka dipellah, dicap kafirlah, seram
pokoknya. Untungnya saya dulu ya biasa saja. Tidak mudah percaya dengan
kabar yang saya sendiri belum membuktikannya. Sudah ada bibit verifikasi
juga meski belum jadi jurnalis. Kalau belum melihat sendiri, ya tidak
yakin. Sekarang tempat tinggal saya di Hajimena mayoritas dihuni
saudara-saudara LDII. Dan semua anggapan yang buruk-buruk itu tidak ada.
Saya hangat bergaul di dalamnya, salat di masjid bersama warga sekitar,
tidak ada cap kafir, malah pergaulan yang amat baik. Hubungan
silaturahim yang tulus. Juga mengaji Alquran dan Hadis yang sahih. Yang
membuat saya salut, konten mengajinya juga sama seperti jurnalis:
verifikasi. Jadi, semua makna dari Alquran dan Hadis dijaga benar
keasliannya seperti yang dulu pernah Rasulullah Muhammad sampaikan
kepada sahabatnya. Mirip perawi hadis. Dan kerja jurnalis juga identik
dengan hal demikian. Tak hanya soal LDII, soal Ahmadiyah, Syiah, bahkan
yang lainnnya juga dijalani dengan baik. Selama tidak merusak hubungan
baik dan menjaga tenggang rasa, semua bisa dilakoni dengan indah. Kalau
hanya melihat perbedaan, curiga-mencurigai, alangkah banyak yang kita
lihat sehari-hari. Ujungnya bentrok. Konflik. Tak pernah ada damai.
Hanya melihat yang berbeda tanpa pernah mau memperbanyak kesamaan.
*
Sengaja saya mendetailkan dengan banyak perspektif
di artikel ini. Ini bertujuan agar media juga berjalan pada trek yang
benar dan tidak masuk dalam ranah fitnah dan lemah dalam verifikasi.
Kita tentu berkeinginan kejadian ini tak terulang. Apalagi yang
berkenaan dengan Islam. Ini baru bahas Rohis, belum bahas Pondok
Pesantren Ngruki yang juga telanjur dicap teroris oleh masyarakat
lantaran pemberitaan media. Kenapa selalu yang
dicap teroris itu komunitas muslim? Justru media harus tertantang
membikin liputan kenapa soal teroris ini cepat betul polisi bekerja. Kok
mengurus korupsi simulator SIM saja lamanya minta ampun. Jangan sampai,
isu teroris ini melarikan kita dari kasus yang lebih akbar. Dan tidak
menutup kemungkinan penangkapan terduga teroris ini justru bagian dari
kerja intelijen kepolisian. Tidak mustahil bukan? Dan media ditunggu
mewartakannya.
*
Pemimpin Umum Lampung Post Bambang Eka
Wijaya pernah bilang, pemilihan umum di ranah media itu berlangsung
setiap hari. Orang boleh bebas memilih mau membaca koran apa, mau
melihat televisi apa, dan menikmati siaran radio apa saja. Kalau ia tak
suka dengan satu media, ia beralih ke media lain. Itu berlangsung setiap
hari. Maka itu, media yang bermartabat, mengedepankan edukasi, tanpa
melepas unsur-unsur menarik dalam pemberitaan (konflik, kekerasan,
politik, korupsi), tetap punya hati di masyarakat. Dan bicara soal media
cetak semacam itu, nama Kompas patut diusung. Kenapa ini saya
masukkan ke dalam tubuh artikel soal Rohis dan teroris ini? Sebab nama Kompas—mungkin—masih
diapresiasi gimana gitu oleh kalangan muslim. Khususnya aktivis Islam.
Kompas dulu dikenal dengan kepanjangan
“komando pastur”. Saya sejak dulu tak percaya. Membaca Kompas untuk
masyarakat Indonesia adalah kebutuhan utama. Pembaca koran seolah belum
membaca berita kalau belum buka Kompas. Saya mencoba
memverifikasi. Kompas memang identik dengan Katolik. Wajar
karena pendirinya memang Katolik. Nama Frans Seda mesti disebut. Tapi
duet almarhum PK Ojong dan Jakob Oetama adalah yang utama. Jakob alumnus
sekolah Seminari. Katolik. Ojong juga begitu. Dan saya pengagum berat Ojong.
Metode kerja, integritas, kesederhanaan, dan welas
asih dalam membesarkan korporasi, itu yang mesti dicontoh. Dan dalam
keseharian itu terlihat dari mutu jurnalismenya yang menurut saya sampai
sekarang masih tepercaya. Soal nilai Katolik di dalamnya, barangkali
sulit untuk dihilangkan karena itu jadi masa lalu yang baik. Dan mungkin
hanya sedikit yang tahu, saat dipenjara, eks Perdana Menteri Mohammad
Roem yang juga tokoh Masyumi, dikirimi buku-buku bermutu oleh Ojong. Dan
mereka berkarib. Hangat. Ketika melayat kediaman Ojong saat pendiri Kompas
dan pencipta nama Kompasiana itu meninggal, Roem bilang,
“Ini cara orang baik meninggal.”Wallahualam bissawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar