Sabtu, 22 September 2012, 14:24 WIB
Asma Nadia
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Asma Nadia
"Kalau sampai besok tukang susu nggak datang juga, jangan-jangan dia teroris!"
"Kalau sampai besok tukang susu nggak datang juga, jangan-jangan dia teroris!"
Kalimat 'si Mbak' yang sudah mendampingi
keluarga selama 12 tahun itu sontak membuat kami yang sedang menyantap
sarapan pagi tercengang. Pengantar susu langganan memang tinggal di
Beji, lokasi yang belum lama ini, terjadi ledakan hebat di rumah warga
terduga teroris di daerah itu. Satu orang yang berada paling dekat
dengan ledakan --belakangan diketahui sebagai peracik bom tersebut--
meninggal dunia beberapa hari kemudian.
Dan yang mencengangkan adalah betapa
mudah asisten rumah tangga kami membuat kesimpulan. Hanya karena di Beji
ditemukan terduga teroris, ia menganggap semua orang di sana sebagai
tersangka teroris, termasuk mencurigai tukang susu langganan.
Dugaan itu bertahan. Apalagi setelah satu hari berlalu dan sosok pengantar susu sapi dan susu kedelai itu tidak juga terlihat. Prasangka yang kemudian menulari anak-anak. "Benar tukang susu kita teroris, Bunda?"
Saya dengan segera membantah. Terlalu dini, bahkan cenderung menjurus ke fitnah, membuat tuduhan tanpa landasan serupa itu. Memasuki hari kedua, tukang susu belum juga muncul. Si Mbak makin yakin dengan dugaannya.
Di hari ketiga, bel rumah berbunyi. Seperti biasa Mbak kami keluar dan melihat siapa yang datang. Tak lama perempuan berusia tiga puluhan asal Tegal itu muncul dengan wajah semringah, "Ternyata bukan teroris, Bunda. Nih tukang susunya datang."
Si Mbak mengangkat tinggi-tinggi dua plastik berisi cairan berwarna putih dan berlalu. Ungkapan Mbak di rumah kami, sepintas terkesan sederhana dan lugu. Tetapi, justru cara berpikir seperti itu yang kemudian dilakukan sebuah stasiun TV swasta dengan nara sumbernya.
Hanya karena meyakini satu atau dua teroris pernah menjadi anggota rohis ketika sekolah, lalu mengasumsikan rohis sebagai salah satu tempat perekrutan teroris.
Pertama, mengetahui tayangan yang menuai banyak protes masyarakat itu, benak saya langsung berhitung. Bayangkan, jika di setiap satu sekolah, ada 50 hingga seratus anggota Rohis, jika dikalikan jumlah 20 ribu-an SMP dan 10 ribuan SMA di Indonesia, jumlah anggota rohis bisa mencapai ratusan ribu, bahkan jutaan dengan para alumninya. Lalu, bagaimana mungkin hanya karena diasumsikan ada satu-dua orang di antaranya terekrut jaringan teroris, kita lantas menyimpulkan organisasi yang memiliki ratusan ribu orang itu sebagai satu media perekrutan dan kaderisasi teroris.
Saya tidak bisa mengerti metode apa yang digunakan untuk membuat kesimpulan dangkal seperti itu. Apakah ada metode yang membenarkan jika satu orang Jawa jadi teroris, kita boleh mengatakan Jawa adalah tempat lahirnya generasi teroris? Pemikiran yang menganggap semua tak ada bedanya seperti ini, teramat sangat berbahaya. Ini yang mengakibatkan banyak muslim menjadi korban penganiayaan --ditambah pula sikap paranoid akut dari orang atau kelompok tertentu yang memang alergi terhadap Islam-- hanya karena perilaku segelintir muslim lainnya.
Mengapa ketika seorang mahasiswa Korea di Amerika secara brutal menembak hingga menimbulkan banyak korban, tidak ada yang menuduh Korea sebagai tempat nya psikopat? Atau sewaktu warga lokal Norwegia membantai puluhan orang, tidak seorang pun mengatakan bangsa tersebut suka membantai. Terakhir penembakan brutal di gedung bioskop di Amerika, pun pada titik itu kita bisa dengan adil melihat bahwa peristiwa tragis itu merupakan aksi individu.
Perlu kehati-hatian untuk membedakan aksi perseorangan dengan kelompok dan tidak mudah mengaitkan dengan kelompok lainnya. Apalagi kemudian memublikasikannya secara luas. Akibat tayangan itu, BlackBerry Messenger (BBM) penuh dengan imbauan protes, juga ajakan melaporkan ke KPI.
Belum jumlah mention di twitter maupun tag di Facebook untuk menggalang aksi bersama menuntut media tersebut meminta maaf, bahkan dibubarkan.
Tetapi, saya baru-baru ini bertemu dengan sekelompok anak muda --mantan aktivis rohis-- yang uniknya memberi respons berbeda. Mereka tidak menghujat atau memaki, tetapi memilih untuk melawan dengan lagu. Melodinya mudah diingat. Liriknya sederhana, tapi mengembalikan senyum di wajah saya. Senyum yang jika boleh, ingin saya bagi kepada semua aktivis dan alumni rohis yang kemarin sempat terlukai, juga kepada siapa saja:
Aku anak rohis
Selalu optimis
Bukannya sok narsis
Kami memang manis.
Kami aktivis, benci anarkis
Walau kantungku tipis, bukan teroris.
Dugaan itu bertahan. Apalagi setelah satu hari berlalu dan sosok pengantar susu sapi dan susu kedelai itu tidak juga terlihat. Prasangka yang kemudian menulari anak-anak. "Benar tukang susu kita teroris, Bunda?"
Saya dengan segera membantah. Terlalu dini, bahkan cenderung menjurus ke fitnah, membuat tuduhan tanpa landasan serupa itu. Memasuki hari kedua, tukang susu belum juga muncul. Si Mbak makin yakin dengan dugaannya.
Di hari ketiga, bel rumah berbunyi. Seperti biasa Mbak kami keluar dan melihat siapa yang datang. Tak lama perempuan berusia tiga puluhan asal Tegal itu muncul dengan wajah semringah, "Ternyata bukan teroris, Bunda. Nih tukang susunya datang."
Si Mbak mengangkat tinggi-tinggi dua plastik berisi cairan berwarna putih dan berlalu. Ungkapan Mbak di rumah kami, sepintas terkesan sederhana dan lugu. Tetapi, justru cara berpikir seperti itu yang kemudian dilakukan sebuah stasiun TV swasta dengan nara sumbernya.
Hanya karena meyakini satu atau dua teroris pernah menjadi anggota rohis ketika sekolah, lalu mengasumsikan rohis sebagai salah satu tempat perekrutan teroris.
Pertama, mengetahui tayangan yang menuai banyak protes masyarakat itu, benak saya langsung berhitung. Bayangkan, jika di setiap satu sekolah, ada 50 hingga seratus anggota Rohis, jika dikalikan jumlah 20 ribu-an SMP dan 10 ribuan SMA di Indonesia, jumlah anggota rohis bisa mencapai ratusan ribu, bahkan jutaan dengan para alumninya. Lalu, bagaimana mungkin hanya karena diasumsikan ada satu-dua orang di antaranya terekrut jaringan teroris, kita lantas menyimpulkan organisasi yang memiliki ratusan ribu orang itu sebagai satu media perekrutan dan kaderisasi teroris.
Saya tidak bisa mengerti metode apa yang digunakan untuk membuat kesimpulan dangkal seperti itu. Apakah ada metode yang membenarkan jika satu orang Jawa jadi teroris, kita boleh mengatakan Jawa adalah tempat lahirnya generasi teroris? Pemikiran yang menganggap semua tak ada bedanya seperti ini, teramat sangat berbahaya. Ini yang mengakibatkan banyak muslim menjadi korban penganiayaan --ditambah pula sikap paranoid akut dari orang atau kelompok tertentu yang memang alergi terhadap Islam-- hanya karena perilaku segelintir muslim lainnya.
Mengapa ketika seorang mahasiswa Korea di Amerika secara brutal menembak hingga menimbulkan banyak korban, tidak ada yang menuduh Korea sebagai tempat nya psikopat? Atau sewaktu warga lokal Norwegia membantai puluhan orang, tidak seorang pun mengatakan bangsa tersebut suka membantai. Terakhir penembakan brutal di gedung bioskop di Amerika, pun pada titik itu kita bisa dengan adil melihat bahwa peristiwa tragis itu merupakan aksi individu.
Perlu kehati-hatian untuk membedakan aksi perseorangan dengan kelompok dan tidak mudah mengaitkan dengan kelompok lainnya. Apalagi kemudian memublikasikannya secara luas. Akibat tayangan itu, BlackBerry Messenger (BBM) penuh dengan imbauan protes, juga ajakan melaporkan ke KPI.
Belum jumlah mention di twitter maupun tag di Facebook untuk menggalang aksi bersama menuntut media tersebut meminta maaf, bahkan dibubarkan.
Tetapi, saya baru-baru ini bertemu dengan sekelompok anak muda --mantan aktivis rohis-- yang uniknya memberi respons berbeda. Mereka tidak menghujat atau memaki, tetapi memilih untuk melawan dengan lagu. Melodinya mudah diingat. Liriknya sederhana, tapi mengembalikan senyum di wajah saya. Senyum yang jika boleh, ingin saya bagi kepada semua aktivis dan alumni rohis yang kemarin sempat terlukai, juga kepada siapa saja:
Aku anak rohis
Selalu optimis
Bukannya sok narsis
Kami memang manis.
Kami aktivis, benci anarkis
Walau kantungku tipis, bukan teroris.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar