Kamis, 10 Mei 2012
Dewan Banteng dan PRRI
WALAUPUN antara Dewan Banteng yang dibentuk tanggal 20 Desember 1956, 52 tahun yang lalu, dan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang diproklamirkan oleh Dewan Perjuangan (bukan oleh Dewan Banteng) tanggal 15 Pebruari 1958, 50 tahun yang lalu, ibarat mata uang logam yang satu sisinya hampir sama dengan sisinya yang lain, namun berbeda tujuan, “seiring batuka jalan”.
Maksudnya walaupun Ahmad Husein sebagai Ketua Dewan Banteng di satu sisi, tetapi di sisi lain Ahmad Husein sebagai Ketua Dewan Perjuangan yang memproklamasikan PRRI. Dewan Banteng dibentuk bertujuan untuk membangun Daerah sedangkan PRRI membentuk Pemerintahan tandingan melawan Pemerintah Jakarta yang sah waktu itu.
Gagasan membentuk Dewan Banteng timbul di Jakarta pada 21 September 1956 dari sejumlah Perwira Aktif dan Perwira Pensiunan bekas Divisi IX Banteng di Sumatera Tengah dulu setelah mereka melihat nasib dan keadaan tempat tinggal para prajurit yang dulu berjuang mempertahankan kemerdekaan dalam perang Kemerdekaan melawan Belanda tahun 1945 -1950, keadaan Kesehatan amat sederhana, anak-anak mereka banyak yang menderita penyakit dan kematian.
Ada asrama yang ditinggalkan oleh KNIL (tentera Belanda), akan tetapi tidak mencukupi, karena jumlah mereka yang banyak. Para perwira aktif dan perwira pensiunan dari eks. Divisi Banteng juga melihat nasib masyarakat yang semakin jauh dari janji-janji dalam perang Kemerdekaan, hidup mereka semakin susah,tidak bertemu janji keadilan dan kemakmuran bersama itu.Pemerintah Pusat lebih mementingkan Daerah Pulau Jawa ketimbang Daerah diluar pulau Jawa dalam hal pembagian “kue” pembangunan, sedang daerah di luar pulau Jawa adalah penghasil devisa yang terbanyak.
Pertemuan sejumlah perwira aktif dan perwira pensiunan eks. Divisi Banteng di Jakarta itu kemudian dilanjutkan dengan mengadakan Reuni di Padang dari perwira-perwira aktif dan pensiunan eks. Divisi Banteng pada tanggal 20 –24 Nopember 1956 yang pada pokoknya membahas masaalah politik dan sosial ekonomi rakyat di Sumatera Tengah. Reuni yang dihadiri oleh sekitar 612 orang perwira aktif dan pensiunan dari eks. Divisi Banteng itu akhirnya membuat sejumlah keputusan yang kemudian dirumuskan di dalam tuntutan Dewan Banteng.
Untuk melaksanakan keputusan-keputusan Reuni itu,maka dibentuklah suatu Dewan pada tanggal 20 Desember 1956 yang dinamakan “ Dewan Banteng”mengambil nama Banteng dari Divisi Banteng yang sudah dibubarkan. Di dalam perang Kemerdekaan tahun 1945 -1950 melawan Belanda dulu di Sumatera Tengah dibentuk sebuah Komando militer yang dinamakan dengan Komando Divisi IX Banteng.
Sesudah selesai perang Kemerdekaan dan Belanda menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia pada tanggal 27 Desember 1950, maka Komando Divisi Banteng ini diciutkan dengan mengirim pasukan-pasukannya ke luar Sumatera Tengah seperti ke Pontianak, Ambon, Aceh dan Jawa Barat. Pengalaman yang sangat menyedihkan dialami oleh Batalyon “Pagar Ruyung” yang sesudah bertugas di Ambon, lima dari delapan kompinya dipindahkan ke Jawa Barat. Pasukannya dilebur ke dalam Divisi Siliwangi dan hubungan dengan induk pasukannya Divisi Banteng diputus.
Terjadi berbagai hal sehingga ada yang meninggal dunia dan ditahan. Komando Divisi Banteng makin lama makin diciutkan, sehingga akhirnya tinggal satu Brigade yang masih memakai nama Brigade Banteng, di bawah pimpinan Letkol Ahmad Husein. Kemudian pada bulan April 1952 Brigade Banteng diciutkan menjadi satu Resimen yang menjadi Resimen Infanteri 4 di dalam Komando Tentera Teritorium (TT) I Bukit Barisan (BB) di bawah Komando Panglimanya Kolonel Simbolon.Letkol. Ahmad Husein diangkat kembali menjadi Komandan Resimen Infanteri 4 TT I BB itu.
Pemecahan Batalion-batalion dan pembubaran Komando Divisi Banteng itu menimbulkan bibit-bibit dendam dari para pejuang perang Kemerdekaan melawan Belanda yang bernaung di bawah panji-panji Divisi Banteng itu. Pengurus Dewan Banteng terdiri dari 17 orang, yang terdiri dari 8 orang perwira aktif dan pensiunan, 2 orang dari Kepolisian dan 7 orang lainnya dari golongan sipil, ulama, pimpinan politik, dan pejabat.
Lengkapnya susunan Pengurus Dewan Banteng itu adalah :Ketua,Letkol, Ahmad Husein,Komandan Resimen Infanteri 4, Sekretaris Jenderal Mayor (Purn) Suleman, Kepala Biro Rekonstruksi Nasional Sumatera Tengah, sedangkan anggota-anggotanya adalah Kaharuddin Datuk Rangkayo Basa, Kepala Polisi Sumatera Tengah, Sutan Suis, Kepala Polisi Kota Padang, Mayor Anwar Umar, komandan Batalion 142 Resimen 4. Kapten Nurmatias Komandan Batalyon 140, Resimen Infanteri 4. H. Darwis Taram Dt. Tumanggung, Bupati 50 Kota, Ali Luis Bupati d/p di Kantor Gubernur Sumatera Tengah, Syekh Ibrahim Musa Parabek Ulama, Datuk Simarajo, Ketua Adat (MTKAAM).
Kolonel (Purn) Ismael Lengah, Letkol (Purn) Hasan Basri (Riau), Saidina Ali Kepala Jawatan Sosial Kabupaten Kampar, Riau, Letnan Sebastian Perwira Distrik Militer 20 Indragiri, Riau, A. Abdulmanaf, Bupati Kabupaten Merangin, Jambi, Kapten Yusuf Nur, Akademi Militer, Jakarta dan Mayor Syuib, Wakil Asisten II Staf Umum Angkatan Darat di Jakarta.
Selain itu Dewan Banteng didukung oleh segenap Partai Politik, kecuali Partai Komunis Indonesia (PKI), juga didukung oleh segenap lapisan masyarakat seperti para pemuda, alim ulama, cadiak pandai, kaum adat sehingga waktu itu lahirlah semboyan,” timbul tenggelam bersama Dewan Banteng”. (***)
Dewan Banteng Tetap Mengakui Sukarno, Juanda dan Nasution
TUNTUTAN Dewan Banteng yang terpenting diantaranya adalah:
• Menuntut pemberian serta pengisian otonomi luas bagi daerah-daerah dalam rangja pelaksanaan sistem Pemerintahan desentralisasi serta pemberian perimbangan keuangan antara pusat dan daerah yang wajar,layak dan adil.
• Menuntut dihapuskan segera sistem sentralisme yang dalam kenyataannya mengkaibatkanb birokrasi yang tidak sehat dan juga menjadi pokok pangkal dari korupsi, stagnasi pembangunan daerah, hilangnya inisiatif dan kegiatan daerah serta kontrol.
• Menuntut suatu Komando Pertahanan Daerah dalam arti Teritorial, operatif dan administratif yang sesuai dengan pembagian administratif dari Negara Republik Indonesia dewasa ini dan merupakan komando utama dalam Angkatan Darat.Juga menuntut ditetapkannya eks. Divisi Banteng Sumatera Tengah sebagai kesatuan militer yang menjadi satu korps dalam Angkatan Darat.
Walaupun Letkol Ahmad Husein selaku Ketua Dewan Banteng mengambil alih jabatan Gubernur Sumatera Tengah dari tangan Gubernur Ruslan Mulyoharjo, namun Ahmad Husein tidak ditindak sebagai Komandan Resimen 4 TT. I. BB, malah sebaliknya tuntutan Dewan Banteng agar dibentuk satu Komando Militer di Sumatera Tengah yaitu Komando Militer Daerah Sumatera Tengah (KDMST) dipenuhi lepas dari TT. I BB dan Letkol, Ahmad Husein diangkat menjadi Panglima KDMST. Dewan Banteng tetap mengakuo Sukarno sebagai Presiden Republik Indonesia, tetap mengakui Pemerintahan Juanda dan tetap mengakui Jenderal A.H. Nasution sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD).
Berbeda dengan Dewan Banteng, Kolonel Maluddin Simbolon, Panglima TT. I BB setelah mengumumkan pembentukan Dewan Garuda yang seluruh pengurusnya militer pada tanggal 22 Desember 1956, dua hari sesudah Dewan Banteng, pada hari itu juga Simbolon menyatakan melepaskan diri dari Pemerintahan Juanda dan menyatakan daerah TT. I BB dalam keadaan Darurat Perang (SOB). Pemerintah Juanda cepat memberikan jawaban.Pada hari itu juga memerintah KSAD memecat Simbolon dari jabatan Panglima TT.I BB dan mengangkat Kepala Stafnya Letkol.Jamin Ginting menggantikan Simbolon menjadi Panglima TT.I BB. Simbolon bersama sejumlah anak buahnya akhirnya melarikan diri ke Sumatera Barat, Padang dan tidak kembali lagi ke Medan.
Setelah Pemerintah Pusat tidak memperhatikan usul alokasi dana untuk pembangunan daerah Sumatera Tengah,maka Dewan Banteng tidak mengirimkan lagi seluruh penghasilan Daerah Sumatera Tengah ke Pusat, ditahan di daerah dan digunakan untuk pembangunan Daerah. Masalah ini meningkatkan konlik dengan Pemerintah Pusat. Selanjutnya, Dewan Banteng melakukan “Barter”, pedagang langsung dengan luar negeri, tanpa melalui prosedur yang lazim yaitu melalui Departemen Perdagangan dan Bea Cukai. Yang dibarter adalah teh, karet dan hasil bumi Sumatera Tengah lainnya. Dana yang diperoleh dari hasil barter itu digunakan untuk mendatangkan alat-alat berat untuk pembangunan jalan seperti traktor, buldozer, aspal dan berbagai alat berat lainnya.
Dalam beberapa bulan saja keadaan pembangunan di Sumatera Tengah meningkat, sehingga ada jalan dinamakan orang “ Jalan Dewan Banteng”.Pembangunan Sumatera Tengah di bawah Dewan Banteng dianggap terbaik waktu itu di Indonesia. Untuk mempercepat pembangunan di daerah-daerah Kabupaten dan Kota, Dewan Banteng pernah membagi-bagikan uang Rp. 1juta kepada tiap Kabupaten dan Kota.Kalau sekarang uang Rp.1 juta tidak punya harga, akan tetapi pada tahun 1957 itu uang Rp. 1 juta punya nilai yang tinggi. Keadaan ini tidak berlangsung lama, hanya sekitar dua tahun, karena situasi politik di Jakarta bertambah panas disebabkan sikap dan tingkah laku Presiden Sukarno yang membela Partai Komunis Indonesia (PKI) yang waktu itu berakiblat ke Moskow. Waktu itu Sukarno akrab dengan Moskow.
Setelah pemilihan umum tahun 1955 PKI keluar sebagai partai politik nomor empat besar sesudah PNI, Masyumi dan NU. Di Sumatera Tengah sendiri PKI hanya mendapat suara sekitar 5.7%. Akibatnya adalah : muncul konsep Presiden yang ingin membentuk Kabinet Kaki Empat yang disebutnya sebagai Kabinet Nasakom, Nasional (PNI), agama (Masyumi dan NU) dan Komunis (PKI).Konsep Sukarno ini ditentang oleh banyak pihak terutama partai-partai Islam yang kemudian melahirkan gerakan anti Komunis. Suasana Politik di Jakarta semakin panas.
Di dalam bulan Agustus 1957 rumah Kol. Dahlan Jambek di granat, tetapi tidak menimbulkan korban. Akibatnya Kol. Dahlan Jambak dan keluarganya hijrah ke Padang. Sejak itu Kol.Dahlan Jambek bersama dengan Yazid Abidin menggiatkan kampanye anti komunis di Sumatera Tengah. Di Padang dibentuk Gerakan Bersama Anti Komunis (Gebak) yang dipimpin langsung oleh Kol Dahlan Jambek bersama Yazid Abidin. Gerakan anti komunis di Sumatera Tengah itu secara tidak disadari atau mungkin memang disengaja untuk menarik bantuan dari Amerika Serikat, karena sejak tahun 1953, tiga tahun sebelum Dewan Banteng, Amerika telah memperhatikan perkembangan Komunisme di Indonesia.
Menteri Luar Negeri Amerika Serikat waktu itu John Foster Dullas menginstruksikan Duta Besar Amerika Serikat di Jakarta Hugh S. Cumming: Di atas segalanya lakukanlah apa yang dapat anda gunakan untuk memastikan, bahwa Sumatera tidak jatuh ke tangan komunis. Menurut Dullas, dipeliharanya suatu negara kesatuan dapat mempunyai bahaya-bahaya khusus dan saya mengacu kepada Tiongkok (kekalahan Chiang Kai Shek oleh Mao Tse Tung di daratan Cina) tidak berarti lagi pada saat Tiongkok jatuh ketangan komunis. Pada akhirnya kita mendapatkan suatu wilayah Tiongkok yang utuh, tetapi demi keuntungan kaum komunis.
Ditegaskan oleh Dullas, kalau antara suatu Indonesia yang wilayahnya utuh, tetapi condong dan maju menunjuk komunis dan perpecahan negara itu menjadi kesatuan-kesatuan geografis, maka saya lebih suka pada kemungkinan ke dua, sebab menyediakan suatu tempat bertumpu yang dapat dipergunakan Amerika Serikat untuk menghapus komunisme di suatu tempat atau tempat yang lainnya dan lalu pada akhirnya, kalau menghendaki begitu, tiba kembali pada suatu Indonesia yang bersatu.
Dalam pada itu, Wakil Presiden Amerika Serikat RichardNixon menganjurkan agar Amerika Serikat bekerja melalui kalangan militer Indonesia. Dewan Keamanan Nasional AS kemudian memutuskan membentuk suatu Panitia Ad Hoc antara Departemen tentang Indonesia untuk menyiapkan suatu laporan mengenai implikasi-implikasi dari peristiwa akhir-akhir ini terhadap keamanan AS rencana-rencana tindak yang mungkin diambil (dari buku 50 tahun Amerika Serikat—Indonesia, oleh Paul F. Gardner). Dapat dilihat dari kutipan-kutipan di atas, bahwa betapa seriusnya Amerika Serikat terhadap komunisme di Indonesia, jauh sebelum pemilu tahun 1955. (***)
Kok Bakisa Duduak Jan Bakisa dari Lapiek Nan Salai
MENANGGAPI rapat rahasia di Sungai Dareh itu, Bung Hatta mengirim pesan yang kemudian disiarkan Pers di Jakarta: ”Kok bakisa duduak jan bakisa dari lapiek dan salai, kok bakisa tagak jan bakisa dari tanah nan sabungkah”. Sekitar tanggal 16 Januari 1958 Bung Hatta dan Syahrir mengirim seorang utusan ke daerah-daerah bergolak seperti Dewan Garuda di Palembang dan Dewan Banteng di Padang. Utusan itu adalah Djoeir Moehamad, salah seorang anggota Dewan Pimpinan Partai Sosialis Indonesia (PSI).
Pesan Bung Hatta dan Syarir itu adalah: ”Pergolakan-pergolakan daerah di Indonesia dewasa ini (maksudnya: waktu itu) terjadi pada saat-saat sedang hangatnya berlangsung Perang Dingin antara Blok Komunis dan Blok Barat ( termasuk Eropa Barat). Tidak tertutup kemungkinan, bahwa pergolakan daerah itu merupakan peluang bagi Blok Amerika untuk menungganginya, karena khawatir akan sikap Presiden Soekarno yang akrab dengan Blok Uni Soviet”. Ternyata kemudian, bahwa yang disinyalir oleh Bung Hatta dan Syahrir ini benar adanya.PRRI terperangkap ke dalam strategi Amerika Serikat.
Djoeir Moehamad juga menyampaikan pesan kepada Letkol Barlian, Ketua Dewan Garuda di Palembang dan Ahmad Husein, Ketua Dewan Banteng di Padang, bahwa suatu pemberontakan untuk membentuk Pemerintahan yang lain akan menimbulkan korban yang tidak sedikit, setidak-tidaknya akan mengakibatkan perkembangan daerah yang bersangkutan tertinggal selama satu generasi. Pesan ini kemudian menjadi kenyataan. Dapat dirasakan sekarang. Letkol Barlian di Palembang mematuhi nasihat Bung Hatta dan Syahrir ini, akan tetapi Ahmad Husein semula akan bersedia melaksanakan nasihat Bung Hatta dan Syahrir itu, tapi tampaknya waktu itu dia telah dikepung oleh teman-teman militernya, sehingga ia mengingkari nasihat Bung Hatta dan Syahrir itu.
Kol Dahlan Jambek berkata lewat pidato-pidatonya, bahwa keadaan sekarang sudah berada pada titik, ”the point of no return”. Pada tanggal 9 Februari 1958 Badan Aksi Rakyat Sumatera Tengah (BARST) mengadakan rapat akbar di Padang untuk mendorong Ahmad Husein mengambil langkah-langkah yang bijaksana dan kuatk terhadap Pemerintah Jakarta. Dalam rapat akbar itu berpidato Kol. Dahlan Jambek dan Kol. Simbolon yang kemudian rapat akbar itu mengeluarkan sebuah resolusi yang ditujukan kepada Ahmad Husein.
Sebagian besar dari isi resolusi itu yang diapopsi ke dalam ultimatum Dewan Perjuangan yang diumumkan lewat radio tanggal 10 Pebruari 1958 yaitu :
* Agar Ahmad Husein mengirim tuntutan kepada Perdana Menteri Juanda dan Kabinetnya di Jakarta supaya mengembalikan mandatnya dan menunjuk Hatta dan Hamengkubowono IX sebagai formatur pembentukan Kabinet baru.
* Agar Pemerintah Pusat mencabut larangan terhadap barter.
* Agar Presiden Soekarno kembali ke UUD 1950 dalam membentuk kabinet. Jika tuntutan itu tidak dipenuhi, Ahmad Husein harus mengambil langkah-langkah bijaksana dan kuat.
Esok harinya, tanggal 10 Pebruari 1958, Ahmad Husein selaku Ketua Dewan Perjuangan mengeluarkan ultimatum yang ditujukan kepada Pemerintah Pusat melalui RRI Padang yang isinya antara lain:
* Menuntut supaya dalam waktu 5 x 25 jam: a. Kabinet Juanda mengembalikan mandatnya kepada Presiden/pejabat Presiden ( waktu itu Presiden Sukarno sedang berada di luar negeri dan Pejabat Presiden waktu itu adalah Ketua DPR Sartono). b. Presiden/Pejabat Presiden mengambil kembali mandat Kabinet Juanda.
* Menuntut segera setelah tuntutan dalam angka 1 dilaksanakan supaya Hatta dan Hamengkubowono IX ditunjuk untuk membentuk satu Zaken Kabinet Nasional menurut ketentuan-ketentuan konstitusi yang terdiri dari tokoh-tokoh yang sudah terkenal sebagai pemimpin-pemimpin yang jujur, cakap dan disegani serta bersih dari anasir-anasir anti-Tuhan. a. Untuk menyelamatkan negara dari desintegrasi dan kekacauan sekarang dan kembali bekerja menurut UUDS menunggu terbentuknya UUD oleh kontituente. b. Meletakkan dasar-dasar yang kuat bagi pembangunan Negara dan Bangsa lahir dan bathin dengan arti yang sesungguhnya.
Tuntutan ke lima: a. Bersedia kembali kepada kedudukannya yang konstitusionil serta menghapuskan segala akibat dari tindakan-tindakannnya yang melanggar UUD serta membuktikan kesediaannya itu dengan kata dan perbuatan. b. Memberikan kesempatan sepenuhnya serta bantuannya menurut konstitusi kepada Zaken Kabinet Nasional Hatta- Hamengkubowono IX ini, agar sungguh-sungguh dapat melakukan kewajibannya sampai pemilihan umum yang akan datang.
Tuntutan ke enam: Apabila tuntutan tersebut pada angka 1 dan 2 tidak dipenuhi,maka kami mengambil langkah-langkah kebijaksanaan sendiri. Tuntutan ke tujuh: a. Apabila tuntutan tersebut pada angka 1 dan 2 dilaksanakan oleh pejabat Presiden, tetapi ternyata bahwa tuntutan tersebut pada angka 5 tidak dipenuhi oleh Presiden, ataupun. b. Apabila tuntutan tersebut pada angka 1 dan 2 dilaksanakan pejabat Presiden, tetapi kemudian ternyata bahwa tuntutan tersebut pada angka 5 tidak dipenuhi oleh Presiden Soekarno.
Maka dengan ini kami menyatakan, bahwa sejak itu kami menganggap diri kami terbebas dari pada wajib taat kepada Dr. Ir. Soekarno sebagai Kepala Negara. Maka sebagai akibatnya dari tidak dipenuhinya semua tuntutan di atas, menjadi tanggung jawab dari mereka yang tidak memenuhinya, terutama Presiden Soekarno. Esok harinya, tanggal 11 Februari 1958, Kabinet Juanda menolak Ultimatum Dewan Perjuangan itu dan memerintahkan KSAD untuk memecat dari dinas militer Letkol Ahmad Husein dan Kol. Simbolon serta Komando Daerah Militer Sumatera Tengah (KDMST) dibekukan dan hubungan darat, maupun udara dengan Sumatera Tengah dihentikan sama seperti yang sudah dilakukan di Sulawesi Utara. (***)
Peristiwa Cikini Membatalkan Rekonsiliasi
PADA tanggal 30 Nopember 1957 terjadilah suatu peristiwa di Jakarta dengan apa yang dikenal kemudian sebagai “Peristiwa Ciniki 2.Malam tanggal 30 Nopember itu, Presiden Sukarno menghadiri pesta ulang tahun sebuah sekolah di Cikini dimana putra dan putrinya bersekolah. Waktu akan pulang malam itu sekelompok anak-anak muda yang bertempat tinggal di asrama dekat sekolah itu yang diketahui sebagai anggota Gerakan Anti Komunis Jakarta (GAK) melemparkan granat kearah mobil Sukarno.
Sukarno dan putra-putrinya selamat,akan tetapi dipihak lain terdapat korban jatuh meninggal dunia sekitar 9 orang dan sekitar 100 orang lainnya luka-luka berat.Korban yang terbanyak adalah murid-murid sekolah itu. Menanggapi peristiwa Cikini itu,Perdana Menteri Juanda mengatakan kepada Duta Besar Amerika Serikat di Jakarta Allison, bahwa usaha pembunuhan tersebut (t erhadap Sukarno) yang dikenal dengan “Peristiwa Cikini”membatalkan pendekatan-pendekatan rekonsiliasi yang direncanakan sebelumnya terhadap Dewan Banteng. Dengan pernyataan Juanda itu,maka usul kompromi Ahmad Husein untuk menyelesaikan konflik Dewan Banteng dan Pemerintah Pusat jadi sirna. Ahmad Husein mengusulkan agar dibentuk suatu dalam suatu wadah Dewan Nasional dan diisi oleh wakil dari daerah-daerah. Dewan Nasional itu kemudian dibentuk oleh Sukarno, akan tetapi isinya orang- orang dekatnya saja.
Sesudah peristiwa Cikini itu, Sukarno meninggalkan Indonesia untuk selama 6 minggu beristirahat ke luar negeri seperti ke Eropa dan Asia. Peristiwa Cikini dibesar-besarkan oleh surat kabar surat kabar PKI seperti Harian Rakyat, Warta Bhakti, Bintang Timur dan Harian Pemuda. Sejumlah tokoh-tokoh politik dari partai Masyumi dikait-kaitkan dengan Peristiwa Cikini itu.Mereka kemudian diteror dan diancam akan ditangkap dan ditahan dengan tuduhan korupsi. Rumah Mohd. Rum sampai-sampai dikepung, tetapi Mohd.Rum dan keluarganya selamat. Akibatnya, para politisi dari partai Masyumi merasa tidak aman lagi tinggal di Jakarta. Satu demi satu mereka berangsur-angsur hijrah ke Padang,seperti Syafruddin Prawira Negara,Mohd.Natsir dan Burhanuddin Harahap. S
yafruddin Prawira negara waktu itu menjadi Direktur Bank Indonesia. Prof, Sumitro Joyohadikusumo bukan politisi dari partai Masyumi melainkan dari Partai Sosialis Indonesia (PSI), akan tetapi Sumitro kemudian hijrah pula ke Padang,akan tetapi dia lebih banyak bolak balik keluar negeri, seperti ke Singapura, Amerika Serikat dan negara-negara lain yang anti Komunis. Akhirnya semua politisi baik dari tokoh militer, dari Masyumi dan PSI ( Sumitro) berkumpul di Padang. Gagasan untuk melawan Sukarno yang dituduh condong kepada PKI itu semakin kuat kerika para tokoh-tokoh militer dan politisi sipil itu mengadakan rapat rahasia di Sungai Dareh pada tanggal 9 Januari 1958. Rapat rahasia di Sungai Dareh itu diadakan dalam dua putaran.Pada putaran pertama rapat rahasia itu hanya dihadiri oleh tokoh-tokoh militer saja,kecuali Prof. Sumitro, ikut dalam rapat itu.
Rapat putaran ke dua, baru diadakan rapat gabungan antara tokoh-tokoh militer dengan politisi sipil. Tidak banyak yang diketahui orang dari rapat Sungai Dareh itu, kecuali terbetik berita, bawha Simbolon akan mendirikan negara Sumatera. Berkenaan dengan issu negara Sumatera itu,Perdana Menteri Juanda memberi penjelasan dihadapan sidang DPR pada tanggal 3 Pebruari 1958. Perdana Menteri Juanda mensinyalir, bahwa dalam bulan Desember 1957 dan Januari 1958 terdengar lagi berita-berita tentang adanya usaha-usaha untuk memproklamirkan berdirinya Negara Sumatera. Ada pula berita-berita tentang pembentukan Pemerintah Pusat baru Republik Indonesia yang berkedudukan di Sumatera oleh karena Pemerintah di Jakarta tidak dianggap sah.
Menurut Juanda, untuk mencek kebenaran berita-berita itu pada tanggal 26 Januari 1958 Kepala Kepolisian Negara Sukamto mengunjungi Sumatera Barat. Setelah kunjungannya ke Sumatera Barat yang mengadakan pertemuan dengan pimpinan Kepolisian Sumatera Tengah tidak dapat diperoleh keterangan-keterangan yang lebih jelas mengenai persoalan Sumatera itu. Pada tanggal 6 Pebruari 1958, Ahmad Husein membantah adanya gagasan mendirikan negara Sumatera itu melalui RRI Bukittinggi. Yang dapat diketahui kemudian dari rapat rahasia Sungai Dareh itu adalah penyempurnaan susunan pengurus Dewan Perjuangan.
Semula hanya terdiri dari empat orang yaitu :Letkol. Ahmad Husein, Panglima KDMST, sebagai Ketua, Kol. HVN Sumual, Panglima TT VII Wirabuana di Sulawesi, anggota, Kol.Maludin Simbolon tadinya Panglima TT.I Bukit Barisan di Medan, anggota, dan Letkol.Barlian, Panglima TT II Sriwijaya di Palembang.Penyempurnaan susunan Dewan Perjuangan itu adalah sebagai berikut: Ketua,Letkol, Ahmad Husein, Panglima KDMST, Sekjen Kol. Dahlan Jambek, anggota-anggota: Kol. Mayor Anwar Umar, Mohd. Natsir, Mr. Syafruddin Prawiranegara, Burhanuddin Harahap, Sumitro Hadikusumo,Mayor Nainggolan, Mayor Nawawi, AN Nusyirwan dan Amelz.
Walaupun issue pendirian negara Sumatera itu dibantah pada tanggal 6 Pebruari 1958 oleh Ketua Dewan Perjuangan Ahmad Husein namun Vence Sumual dan Simbolon ditugaskan mencari senjata ke luar negeri. Mereka berangkat menuju Singapura, Disamping itu Sumitro yang mempunyai jalur khusus dengan CIA (Central Intellegence Agancy) Amerika Serikat berangkat pula ke Singapura dan terus ke Amerika. Simbolon pertama kalinya berhubungan dengan agen CIA adalah setelah dia bersama anak buahnya melarikan diri ke Sumatera Barat . Ia mengirim seorang kurir ke CIA di Jakarta dengan pesan,bahwa dia membutuhkan keuangan guna membiayai pasukannya dan ingin bertemu dengan seorang CIA.
Menurut Dean Almy, wakil CIA di Konsulat Amerika Serikat di Medan pesan Simbolon itu diteruskan kepadanya dengan perintah untuk pergi ke Bukittinggi bertemu dengan Simbolon, setelah memperoleh keterangan dari Simbolon tentang situasi waktu itu Dean Almy menyerahkan uang dalam bentuk uang dolar AS kepada Simbolon sebesar USD 50.000.Ini terjadi di awal bulan Oktober 1957. Sekitar bulan Desember 1957 Dean Almy diperintahkan pergi ke Singapura untuk bertemu dengan Simbolon yang telah tiba disana dengan kapal laut menempuh rute penyeludupan di Kepulauan Riau. Berdasarkan perintah dari Markas Besar CIA,”kami menjanjikan kepada Simbolon senjata-senjata dan minta supaya beberapa orang perwiranya dapat dilatih dalam bidang komunikasi agar kami dapat memelihara hubungan “kata Dean Almy. Menurut Dean Almy, “tidak lama sesudah itu senjata-senjata untuk 8.000 orang dikirim ke Sumatera Tengah”. (***)
Akhir PRRI yang Tragis..
LIMA hari kemudian, maka Dewan Perjuangan menolak Keputusan Kabinet Juanda dengan membentuk Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada tanggal 15 Februari 1958 dengan Mr Syafruddin Prawiranegara sebagai Perdana Menterinya, Maludin Simbolon sebagai Menteri Luar Negeri, Mr Burhanuddin Harahap sebagai Menteri Pertahanan dan Menteri Kehakiman, Dr Sumitro Joyohadikusimo sebagai Menteri Perhubungan dan Pelayaran, Mohd Syafei sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan (PP & K) dan Menteri Kesehatan.
JF Warouw sebagai Menteri Perhubungan, S Sarumpait sebagai Menteri Pertanian dan Perburuan, Mohthar Lintang sebagai Menteri Agama, M Saleh Lahade sebagai Menteri Penerangan dan A Gani Usman sebagai Menteri Sosial. PRRI kemudian dilanjutkan dengan pembentukan Pemerintahan Federal atau disebut juga sebagai Republik Persatuan Indonesia (RPI) yang diproklamirkan di Bonjol pada tanggal 8 Pebruari 1960, Syafruddin Prawiranegara diangkat menjadi Presidennya. Pembentukan RPI ini membuat perpecahan di kalangan tokoh politisi sipil dengan tokoh-tokoh militer yang non Islam. Sukarno kembali ke Jakarta dari kunjungan istirahatnya di luar negeri pada tanggal 16 Pebruari 1958, sehari sesudah Proklamasi PRRI.
Sukarno menegaskan, ”Kita harus menghadapi penyelengara pada tanggal 15 Februari 1958 di Padang itu dengan tegas dan dengan segala kekuatan yang ada pada kita.” Pada dasarnya Sukarno menyokong rencana Juanda dan Nasution untuk menggunakan kekerasan senjata. Kemudian Kabinet Juanda juga mengeluarkan perintah untuk menangkap Mr Syafruddin Prawiranegara, Mr Burhanuddin Harahap dan Dr Sumitro Joyohadikusomo. Situasi semakin panas, di Padang dan daerah lain di Sumatera Barat digiatkan latihan-latihan militer terutama sekali terhadap mahasiswa dan pelajar. Di mana-mana kelihatan orang berbaju hijau dan memanggul senjata.
Senjata-senjata bantuan Amerika Serikat pun berhamburan jatuh dari pesawat terbang pada beberapa tempat di Padang dan Bukittinggi pada malam hari. Tidak hanya dengan pesawat terbang Amerika mengirimkan senjata, tetapi juga dengan kapal-kapal selam. Menurut Dean Almy, Wakil CIA di Konsulat Amerika Serikat di Medan, ”kami juga mempunyai kapal-kapal selam di lepas pantai dekat Padang yang menurunkan senjata-senjata dan amunisi pada malam hari.” Pemerintah Pusat melakukan pemboman-pemboman untuk melumpuhkan kekuatan PRRI terhadap jumlah sasaran di Bukittinggi, Padang dan Painan. Menjelang pendaratan di Pantai Padang, dilakukan pula penembakan-penembakan meriam dari kapal-kapal perang yang sudah berada di hadapan pantai Padang.
Pada tanggal 17 April 1958, sekitar dua bulan setelah Proklamasi PRRI , Pemerintah Pusat mulai mendaratkan pasukannya di pantai merah, 9 km di utara Kota Padang, tepatnya di pantai Parupuk Tabing di bawah Komando Kol Ahmad Yani dengan sandi ”Operasi 17 Agustus”. Sandi operasi pusat ini kemudian menjadi nama Komando Daerah Militer (KODAM) untuk daerah Sumatera Barat dan Riau.Kodam III/17 Agustus itu berpusat di Padang. Pasukan Gaerak Cepat (PGT) Auri diterjunkan dari pesawat udara di lapangan Udara Tabing. Kemudian mereka bergerak menuju pusat kota dan pada sore itu juga kota Padang jatuh ke tangan tentara pusat tanpa perlawanan. Tentara Pusat terus mendesak pasukan PRRI yang mengambil taktik terus menerus mundur dari kota-kota dan bertahan di daerah pegunungan dan perkampungan-perkampungan yang tidak akan dapat dijamah oleh tentara Pusat.
Pada umumnya pasukan PRRI kembali mejajaki daerah-daerah yang dahulu di Zaman Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) seperti Sangir dan Bidar Alam. Melihat pasukan PRRI yang makin terdesak itu oleh pasukan tentara pusat, maka Amerika Serikat kembali berpaling kepada pemerintah Jakarta, mendekati Jenderal Nasution. Perang saudara terjadi di mana-mana. Masyarakat di kampung-kampung tertekan bathinnya, sehingga akhirnya terjadilah eksodus perantauan besar-besaran meninggalkan kampung halamannya. Sementara operasi tentara pusat berjalan menekan pasukan PRRI, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Nasution melancarkan pula ”Operasi Pemanggilan Kembali” para pemberontak pada akhir tahun 1960 agar perwira yang memberontak kembali kepangkuan Ibu Pertiwi. Nasution mengirim utusan-utusan untuk berunding dengan pemberontak di Sumatera, Sulawesi dan di Singapura.
Daerah yang pertama menyambut baik kebijaksaan Nasution itu adalah tokoh-tokoh militer di Sulawesi pimpinan Kawilarang dan kemudian secara resmi menghentikan perlawanan pada bulan April 1961. Syafruddin dan Natsir mengadakan pertemuan Kabinet RPI-nya pada awal tahun 1961 dan memutuskan untuk menunjuk Simbolon untuk berunding dengan Pemerintah Pusat. Simbolon melihat terbukanya kesempatan baik apabila tokoh-tokoh militer berpisah dari politisi sipil dan berunding untuk dirinya sendiri dengan tentara Pemerintah Pusat. Maka, pada bulan April 1961 Simbolon dan Ahmad Husein memishakan diri dan melepaskan diri dari nama RPI dan kemudian mendirikan Pemerintah Darurat Militer di bawah pimpinan Ahmad Husein.
Tanggal 21 Juni 1961 Ahmad Husein beserta kawan-kawan militernya dan tokoh tokoh politisi sipil lainnya di Sumatera Tengah kembali kepangkuan ibu pertiwi di Solok dengan sekitar 600 orang anggota pasukannya. Sebulan kemudian yaitu sekitar bulan Juli 1961 baru Syafruddin mengirim utusan kepada Jenderal Nasution untuk membicarakan syarat-syarat penyerahan kembali kepangkuan ibu Pertiwi itu dan sesudah diadakan pertukaran surat menyurat,maka Syafruddin mengeluarkan pengumuman melalui radio pada tanggal 17Agustus 1961 yang menyerukan kepada seluruh pasukan RPI supaya menghentikan perlawanan.
Pada hari yang sama dengan pengumuman Syafruddin itu yaitu pada tanggal 17 Agustus 1961 Presiden Sukarno mengumumkan pula ”Amnesti Umum” (Pengampunan umum) kepada seluruh pemberontak yang menyerah tanpa syarat sampai tanggal 5 Oktober 1961 serta bersumpah setiap kepada konstitusi, negara dan Panglima Besar Revolusi yaitu Sukarno. Hari berikutnya Zulkifli Lubis menyerah dan seminggu kemudian Syafruddin, Assaat dan Burhanuddin Harahap bersama dengan pemimpin sipil lainnya melapor kepada penguasa militer pemerintah dekat Padang Sidempuan di Selatan Tapanuli yang dikuasai oleh Divisi Siliwangi dari Jawa Barat. Syafruddin juga menyerahkan asset PRRI yang masih ada sebanyak 29 kg emas batang kepada Nasution untuk diserahkan kepada Juanda. Itulah akhir yang tragis dari PRRI. (***)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar