Akhir Tragis Sang Penyelamat RI
Posted by admin in Ihwal on 07 14th, 2010 | no responses
PDRI dibentuk pada 19 Desember 1948 di Bukittingi, Sumatera Barat, oleh Syafruddin Prawiranegara. Sedang PRRI dicetuskan 10 tahun kemudian, tepatnya tanggal 15 Pebruari 1958, di Padang, Sumatera Barat, oleh Ahmad Husein. Syafruddin sendiri kemudian diangkat sebagai Perdana Menteri dalam pemerintahan yang baru ini.
Ihwal terbentuknya PDRI bermula ketika Belanda melancarkan agresi kedua dengan menduduki ibukota negara yang saat itu berkedudukan di Yogyakarta. Ketika itu, Belanda juga menawan Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta.
Beberapa jam sebelum ditawan, Soekarno sempat menyurati Syafruddin selaku Menteri Kemakmuran RI yang saat itu sedang menjalankan tugas di Bukittinggi, Sumatera Barat. Surat itu berisi mandat kepada Syafruddin agar segera membentuk PDRI. Tanpa ada hambatan, sehari setelah itu, pemerintahan darurat terbentuk.
Perjalanan PDRI selanjutnya jelas tak mulus. Syafruddin dan kawan-kawan terus diburu Belanda yang tak senang dengan berdirinya pemerintahan baru. Roda pemerintahan terpaksa digerakkan dengan cara bergerilya di hutan-hutan Sumatera Barat.
Upaya Syafruddin menyelamatkan bangsa dari ketiadaan pemerintahan boleh dikata berhasil. Melalui pemancar radio di Koto Tinggi, PDRI telah membukakan mata internasional untuk mengakui kedaulatan RI.
Agresi militer Belanda berhenti. Soekarno dan Hatta dibebaskan. PBB mengakui kedaulatan Indonesia.
Seiring keberhasilan ini, cerita tentang PDRI juga ditutup dengan happy anding yang mengharu-biru. Setelah dijemput oleh Muhammad Natsir ke Payakumbuh, Syafruddin berangkat ke Yogyakarta untuk mengembalikan mandat pemerintahan kepada Presiden Soekarno.
Di Lapangan Koto Kaciak, keberangkatan Syafruddin dilepas dengan tangis haru ribuan masyarakat dan para pejuang yang telah berbulan-bulan keluar masuk hutan demi menyelamatkan PDRI. Selama berada di hutan, mereka mengandalkan budi baik masyarakat yang kerap mengirimi mereka nasi bungkus untuk menunjang hidup.
Sejarawan Dr Mestika Zed menyatakan, negara dan pemerintahan Indonesia tidak akan ada tanpa PDRI. “PDRI adalah pemerintah darurat yang dipimpin Syafruddin Prawiranegara sebagai bentuk kesuksesan orang daerah menyelamatkan negara dari ancaman disintegrasi bangsa dan kembali menyerahkan tampuk kekuasaan setelah tugasnya selesai.” kata Mestika.
Pengembalian mandat PDRI oleh Syafruddin kepada Soekarno ternyata bukan awal bagi terwujudnya pemerintahan yang sesuai dengan cita-cita proklamasi. Sebaliknya, ketimpangan pembangunan antara pusat dan daerah kian menganga.
Ketika Presiden Soekarno menggulirkan proyek pembangunan Tugu Monas serta berhala-berhala lain di Jakarta, rakyat di daerah, baik di Jawa maupun di luar Jawa, justru kian dibelenggu oleh kemiskinan, kelaparan, dan didera penyakit tukak dan cacing tambang.
Akibat ketimpangan itu, gelombang ketidakpuasan di daerah mulai membesar. Di Bukittinggi, bekas ibukota PDRI, misalnya, untuk pertamakali terjadi unjuk rasa yang diikuti 10 ribu orang. Peristiwa ini dikenal dengan sebutan “Demontrasi Nasi Bungkus”.
Istilah “Nasi Bungkus” menggambarkan simbol bahwa rakyatlah yang dulu mendukung tentara dengan logistik sehingga tetap bisa mempertahankan PDRI hingga bangsa ini bisa terselamatkan.
Berawal dari Dewan Banteng
Bersamaan dengan kian memuncaknya protes atas ketimpangan pembangunan wilayah pusat dan daerah, pada Desember 1956 berdirilah Dewan Banteng di Sumatera Tengah, Dewan Gajah di Sumatera Utara, dan Dewan Garuda di Sumatera Selatan.
Bermunculannya dewan-dewan itu merupakan wujud ketidakpuasan daerah kepada pemerintah pusat atas penciutan struktur militer dan kian diberi tempatnya PKI di pemerintahan. Saat itu Soekarno dinilai lebih condong ke “kiri“.
Menurut Kahin (1979), Resimen 6 Devisi IX Banteng sebelumnya merupakan pasukan terbaik di Sumatera. PRRI kala itu menunjuk Ahmad Husein sebagai panglima pasukan ini.
Namun, nasib Divisi Banteng menjadi kucar-kacir ketika pemerintah Soekarno melaksanakan penyerderhanaan struktur militer secara nasional.
Kemudian, perwira Akademi Militer Hukum di Jakarta, Jusuf Nur dan Djamhuri Djamin, pengusaha Ramawi Izhar, serta Badar Gafar dari pusat pendidikan infanteri, berencana menggelar reuni mantan Divisi Banteng, baik yang masih aktif maupun yang tidak.
Rencana reuni dimatangkan dalam dua kali pertemuan. Pertama, di Jakarta pada 21 September 1956. Kedua, di Padang, Sumatera Barat, pada 11 Oktober 1956.
Reuni akhirnya terlaksana di Padang tanggal 20 hingga 24 Nopember 1956. Reuni ini membahas masalah politik dan sosial ekonomi rakyat di Sumatera Tengah.
Reuni dihadiri sekitar 612 perwira aktif dan pensiunan. Reuni membuat sejumlah rekomendasi, yakni perbaikan masalah kepimpinan negara secara progresif dan radikal, perbaikan kabinet yang telah dimasuki unsur komunis, penyelesaian perpecahan di tubuh Angkatan Darat, pemberian otonomi seluas-luasnya kepada Sumatera Tengah, serta menghapuskan birokrasi sentralistik. Rekomendasi ini dinamakan tuntutan Dewan Banteng.
Selain itu dibentuk pula dewan yang bertugas menindaklanjuti dan memperjuangkan hasil reuni ini. Dewan tersebut bernama Dewan Banteng, terdiri dari unsur militer, pemerintah daerah, alim ulama, dan pemuka adat. Jumlahnya ada 17 orang, mengacu pada semangat proklamasi 17 Agustus 45.
Tetapi oleh PKI dan sebagian tokoh PNI, rumusan perjuangan Dewan Banteng itu dicap sebagai pemberontakan. Ahmad Husein, ketua Dewan Banteng, langsung membantah tuduhan ini. Ia berpidato di depan corong Radio Republik Indonesia Padang, mengutarakan bahwa perjuangan Dewan Banteng bukan untuk memberontak, justru untuk membela keutuhan Republik Indonesia dan menegakan konstitusi.
Dewan Banteng menilai Soekarno telah mengkhianati konstitusi dengan membubarkan konstituante. Soekarno juga dikecam karena kian memihak kepada komunis. Puncaknya adalah mundurnya Bung Hatta sebagai Wakil Presiden RI pada 1 Desember 1956. Ia tidak setuju dengan cara Soekarno mengatasi keadaan negara.
Sayangnya, peristiwa itu tak membuat Soekarno mengoreksi sikapnya. Malah, aksi pelemparan granat pada malam 30 Nopember 1957, di saat Soekarno menghadiri ulang tahun sekolah Cikini, tempat anaknya bersekolah, dijadikan alasan untuk menangkapi lawan-lawan politiknya dan mengeluarkan Dekrit Presdien 5 Juli 1959. Dekrit ini berisi permintaan agar konstituante hasil Pemilu 1955 dibubarkan.
Pasca peristiwa Cikini, Jakarta menjadi bara api yang setiap saat siap membakar para lawan politik Soekarno, terlebih bagi siapa saja yang sejak awal telah menentang keberadaan PKI. Surat kabar yang menjadi corong PKI seperti Harian Rakyat, Warta Bhakti, Bintang Timur dan Harian Pemuda menuding sejumlah tokoh politik dari partai Masyumi dikait-kaitkan dengan peristiwa Cikini. Mereka kemudian diteror dan diancam akan dihabisi.
Rumah Mohammad Rum sempat dikepung massa. Untunglah Rum dan keluarganya selamat. Demikian juga rumah Natsir. Para politisi dari partai Masyumi merasa tidak aman lagi tinggal di Jakarta. Satu demi satu mereka ‘hijrah’ ke daerah. Bahkan, Prof. Soemitro Djojohadikoesoemo, politisi Partai Sosialis Indonesia (PSI), turut hijrah ke Padang.
Jadi, kedatangan Muhammad Natsir, Syafruddin Prawiranegara, dan Burhanuddin Harahap ke Padang sesungguhnya tidak ada kaitannya dengan terbentuknya Dewan Banteng atau berbagai gerakan protes yang sedang marak di daerah.
“Pak Natsir dan sejumlah tokoh Masyumi murni mengungsi ke daerah untuk menyelamatkan diri dari aksi penculikan,” ungkap Dt Tankabasaran, pengawal Natsir pada waktu itu.
Namun, Soekarno tidak peduli. Para tokoh Masyumi tetap dianggap ikut memberontak. *Dodi Nurja/Suara Hidayatullah OPEMBER 2008
Pemberontakan Setengah Hati
Tokoh Masyumi mampu meredam keinginan masyarakat untuk memisahkan diri dari NKRI. Namun, Soekarno tetap menilainya sebagai pemberontak.
Gagasan melawan Soekarno yang dituduh kian condong pada PKI semakin menguat ketika para tokoh militer dan politisi sipil mengadakan rapat rahasia di Sungai Dareh, Sumatera Barat. Rapat rahasia itu berlangsung dalam dua putaran.
Putaran pertama tanggal 8 Januari 1958, dihadiri tokoh-tokoh militer plus seorang politisi sipil Soemitro Djojohadikoesoemo. Rapat putaran pertama ini penuh semangat ‘kemarahan’ kepada pemerintah pusat. Bahkan, sempat terlontar beberapa kali ancaman akan memisahkan diri dari NKRI dan mendirikan negara Sumatera jika pemerintah pusat tak mau berbenah.
Untunglah, dalam rapat kedua tanggal 10 Januari 1958, tokoh sipil seperti Muhammad Natsir, Syafruddin Prawiranegara, dan Boerhanuddin Harahap, bisa meredam keinginan itu. Pertemuan tertutup yang disebut rapat rahasia Sungai Dareh itu cuma menyempurnakan susunan pengurus Dewan Perjuangan.
Sebulan setelah rapat rahasia berlangsung, tepatnya tanggal 10 Pebruari 1958, Ahmad Husein, selaku Ketua Dewan Perjuangan, menyampaikan ultimatum kepada pemerintahan Soekarno melalui Radio Republik Indonesia Padang. Ultimatum yang disebut Piagam Perjuangan ini berisi 8 poin tuntutan. Intinya, menuntut agar dalam waktu 5 x 24 jam sejak diumumkannya ultimatum ini, presiden segara membubarkan Kabinet Djuanda.
Tuntutan lainnya, pemerintah harus membentuk Zaken Kabinet Nasional yang jujur dan bersih dari unsur-unsur PKI. Kemudian, Soekarno harus memberi dukungan kepada Zaken Kabinet, dan Hatta bersama Hamengku Buwono harus diberi mandat untuk bertugas di Zaken Kabinet ini.
Jika ternyata Soekarno enggan memenuhi tuntutan ini dan tidak memberikan kesempatan kepada Zaken Kabinet untuk bekerja, maka Dewan Perjuangan menyatakan terbebas dari kewajiban taat kepada Soekarno sebagai kepala negara.
Tak ada satu kalimat pun dalam ultimatum yang menyatakan bakal memisahkan diri dari Republik Indonesia. Saat ditanya oleh Kapten Zaidin Bakry apa yang akan dilakukan Dewan Perjuangan ke depan, Husein sama sekali tak menjawab bakal mendirikan negera sendiri. Ia hanya menjawab, “Kita buat organisasi. Kita gertak Soekarno sampai kelak dia undang kita untuk membicarakan nasib bangsa ini.”
Namun, ultimatum yang hanya sekadar ”gertakan sambal” itu tidak membuahkan hasil. Esok harinya, 11 Februari 1958, di Jakarta, Djuanda mengumumkan menolak ultimatum Dewan Perjuangan. Bahkan, ia memerintahkan KSAD untuk memecat Letkol Ahmad Husein dan Kolonel Simbolon dari kemiliteran, membekukan Komando Daerah Militer Sumatera Tengah (KDMST), serta memutuskan hubungan darat dan udara dengan Sumatera Tengah.
Sikap yang ditunjukkan Djuanda ini jelas memberi jawaban bahwa ultimatum tak akan dipenuhi. Bahkan, Djuanda memberikan reaksi yang sangat keras.
Itu berarti, tak ada lagi jalan menuju negosiasi. Tindakan harus segera dilakukan. Maka, pada tanggal 15 Pebruari 1958, Husein segera membentuk ”kabinet tandingan” yang berkedudukan di Padang. Mereka juga mengumumkan tak mengakui lagi kabinet Djuanda.
Kabinet baru itu bernama Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Dalam kabinet itu, Mr Syafruddin Prawiranegara diamanahi sebagai Perdana Menteri merangkap Menteri Keuangan. Maludin Simbolon menjabat Menteri Luar Negeri., Kolonel Dahlan Djambek menjabat Menteri Dalam Negeri. Mr Burhanuddin Harahap menjadi Menteri Pertahanan sekaligus Menteri Kehakiman. Dr Soemitro Djojohadikoesemo menjabat Menteri Perhubungan dan Pelayaran.
Adapun Menteri Agama dijabat Saleh Lintang. Menteri Penerangan dijabat Saleh Lahade. Menteri Sosial dijabat A. Gani Usman. Menteri Pertanian dijabat S. Sarumpaet. Menteri Pembangunan dijabat JF Warouw. Dan, Menteri PP&K dijabat Mohammad Syafei.
Tak lama kemudian terjadilah ”tragedi”. Tragedi ini berawal saat Presiden Soekarno pulang dari lawatan ke Eropa Timur dan Peking pada 16 Pebruari 1958. Djuanda langsung menghadap Soekarno dan melaporkan gerakan yang ia sebut ‘pemberontakan’ PRRI di Sumatera Tengah dan Permesta (Perjuangan Rakyat Semesta) di Sulawesi. Hari itu juga keluar perintah Soekarno agar menangkap para tokoh PRRI dan Permesta.
Ancaman penangkapan “dijawab” oleh Ahmad Husein dengan mengelar Rapat Umum PRRI di Padang pada 20 Pebruari 1958. Di hadapan peserta rapat, Husein menyatakan tidak gentar dengan ancaman Soekarno. Sambil melemparkan tanda pangkatnya ke tanah, Husein berkata, “Apabila saudara-saudara tidak mendukung perjuangan PRRI, maka saat ini juga saudara-saudara boleh menangkap saya dan menyerahkan saya ke pemerintahan Soekarno.”
Beberapa tokoh lalu menenangkan Husein. Tanda pangkat yang tadi dilempar, diambil lagi dan dilekatkan kembali ke tempatnya.
Sejak saat itu dukungan terus mengalir kepada PRRI. Bahkan dilaporkan, sekitar 400 mahasiswa dan pelajar Minang yang sedang kuliah di Jawa memutuskan pulang untuk bergabung bersama Tentara Pelajar (TP), sebuah kekuatan penyeimbang terhadap OPR (Organisasi Pemuda Rakyat) dan OKR (Organisasi Keamanan Rakyat) bentukan PKI.
Dukungan mayoritas dari masyarakat Sumatera Tengah dan Sumatera Barat terhadap PRRI adalah wajar. Sebab, wilayah ini merupakan basis Masyumi. Tokoh-tokoh Masyumi sendiri banyak yang menjadi tokoh PRRI.
Lagi pula, di Sumatera Tengah, partai Masyumi meraih kemenangan mutlak (58 persen) pada Pemilu 1955, jauh meninggalkan PNI, apa lagi PKI.
Para tokoh PRRI di daerah Sumatera Tengah juga ‘menjawab’ ultimatum Soekarno dengan melancarkan operasi penangkapan terhadap ratusan tokoh ‘kiri’ dan anggota PKI. Mereka ditahan di tiga tempat: Muaro Labuh, Situjuh, dan Suliki.
Keesokan harinya, tanggal 21 Pebruari 1958, Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) mulai melancarkan operasi penumpasan PRRI dengan kekuatan penuh. Operasi ini diberi sandi “Operasi 17 Agustus”, dipimpin oleh Kolonel Ahmad Yani.
Pesawat AURI langsung menghujani Kota Padang dan Bukittinggi dengan bom. Bersamaan dengan itu, puluhan kapal perang membombardir Pantai Padang.
Anehnya, tak ada perlawan dari pihak ”pemberontak”. Tak ada serangan balasan meski mereka bertubi-tubi diserang APRI. Tak ada satu pun ”pemberontak” yang berusaha meletuskan senjatanya. Ada apa gerangan?
Rupanya sehari setelah ”rapat rahasia Sungai Dareh” ditutup, Natsir memberi perintah agar PRRI menerapkan ‘gerakan tanpa perang’ untuk melawan pemerintah Soekarno. Seruan ini betul-betul diikuti.
PRRI bukannya membalas serangan tapi justru mundur ke kampung-kampung, terus ke hutan-hutan. Rute gerakan mundur ini tak jauh berbeda dengan rute perjuangan PDRI dulu, yaitu belantara di sekitar Agam, Pasaman, Payakumbuh, dan Solok.
Inilah adegan ”pemberontakan setengah hati” PRRI. *Dodi Nurja/Suara Hidayatullah NOPEMBER 2008
Balas Dendam Si Palu Arit
Karena PRRI sangat memusuhi komunis, PKI ikut serta dalam operasi penumpasan garakan ini. Korban pun berjatuhan.
Sejatinya, bukan hanya faktor kesenjangan yang menyebabkan PRRI lahir. Namun, hadirnya komunis di Indonesia juga menjadi salah satu sebabnya. Ini bisa diketahui dari ultimatum PRRI yang dikeluarkan tanggal 10 Februari 1958. Isi ultimatum tersebut antara lain menuntut agar pemerintah pusat membersihkan kabinetnya dari unsur-unsur PKI.
Nuansa anti-PKI juga terlihat dari respon pribadi para tokoh PRRI terhadap gerakan komunisme. Simbolon, panglima Tentara dan Teritorium I (TT-I) Bukit Barisan, yang menjabat Menteri Luar Negeri PRRI, misalnya, sejak awal sudah menyadari bahaya komunis mengintai Sumatera Timur.
Perkebunan-perkebunan raksasa yang saat itu berada di bawah pengawasannya rawan untuk disusupi komunis. Sebab, para buruh merupakan ”ladang emas” bagi mereka untuk digarap.
Para buruh yang sudah terasuki paham komunis ini mendirikan organisasi bernama SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia). Organisasi ini bertugas melumpuhkan usaha perkebunan, transportasi, dan pelabuhan di Belawan, Sumatera Utara, sehingga pemasukan negara terhambat dan pemerintah mengalami kesulitan ekonomi. Rencana berikutnya, mereka akan menuntut kekuasaan.
Begitu pula Saleh Lahade yang menjabat Menteri Sosial di kabinet PRRI. Kewaspadaan perwira yang mendapat tugas mengurusi transmigrasi ini terhadap gerakan komunis sudah ia perlihatkan lewat sebuah tulisan pada 15 Oktober 1957.
Dalam tulisan itu ia tumpahkan semua konsep mengenai cara mengatasi problem yang menimpa Angkatan Darat. Cara itu, menurutnya, menumpas sumber masalah yang menyebabkan pertikaian dalam militer terjadi. Sumber masalah itu tak lain adalah komunis. Tulisan itu selanjutnya ia sampaikan ke Panitia 7 di Jakarta.
Sedangkan Syafruddin Prawinagera yang menjabat Perdana Menteri PRRI, Burhanuddin Harahap yang menjabat Menteri Pertahanan, serta Natsir, adalah tokoh-tokoh Masyumi yang memang amat keras menentang komunis.
Jadi, bisa dimaklumi jika mereka semua kemudian bergabung dengan PRRI ketika “hijrah” ke Padang.
Bahkan, PRRI pernah pula mendapat bantuan persenjataan dari CIA (Central Intelligence Agency) Amerika Serikat karena memusuhi komunis. RZ Leirissa dalam buknya PRRI Permesta, Strategi Membangun Indonesia Tanpa Komunis menilai hubungan ini terbangun karena PRRI dan CIA sama-sama memiliki kepentingan. PRRI memerlukan senjata untuk menghadapai serangan pemerintah pusat, sedangan CIA perlu saluran untuk menggertak Soekarno. Ini bisa dipahami karena Barat sangat memusuhi komunis.
Akan tetapi, setelah AS melihat masih ada sekelompok orang yang anti-komunis di jajaran pemerintahan, dukungan terhadap PRRI dialihkan kepada kelompok ini.
Balas dendam
Dendam PKI kepada PRRI kian lama kian membuncah. Kesempatan untuk membalaskan dendam ini terbuka lebar ketika terjadi operasi penumpasan PRRI. Apalagi setelah Kolonel Pranoto diangkat menggantikan Kolonel Ahmad Yani sebagai Panglima Kodam III dan Komandan Operasi 17 Agustus.
Syafrudin Bahar, dalam Kaharoeddin Gubernur di Tengah Pergolakan, 1998, memaparkan bagaimana Pranoto mengerahkan sekitar 6.341 OKR (Organisasi Keamanan Rakyat) dan OPR (Organisasi Pemuda Rakyat) untuk menyerang PRRI. Jumlah ini hampir setara dengan sembilan batalyon tentara.
Kenyataannya, OKR menjelma menjadi Pemuda Rakyat yang dijadikan ujung tombak PKI melakukan berbagai teror, intimidasi, dan tindakan brutal. Banyak korban berjatuhan di Minang. Mereka semua pendukung PRRI.
Kebiadaban kian menjadi-jadi dengan ikutnya Mayor Latif sebagai Perwira Seksi I/Intelijen, Letnan Untung (kelak memimpim kudeta G30S/PKI) sebagai Komandan Kompi, dan anggota Biro Khusus Komite CC-PKI, Djajusman. Jadilah penumpasan PRRI sebagai ajang balas dendam menghabisi mereka yang dulu gencar menuntut pembubaran PKI.
Tiap daerah punya cerita hampir sama tentang kekejaman PKI. Pendukung PRRI yang tidak lari ke hutan sering ditemukan dalam karung tanpa kepala atau mata. Di Matur Mudik, tentara pelajar yang dijemput malam oleh OPR banyak yang tak pernah kembali lagi.
Di Mahek Suliki, anggota PRRI yang bersiap kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi ditembaki hingga tewas. Di desa Lariang, Bonjol Pasaman, Kolonel Dahlan Djambek yang bersiap turun gunung memenuhi panggilan pemerintahan Soekarno pada 13 September 1961 diberondong sampai tewas.
Dengan adanya kasus-kasus itu, Amnesti Umum berupa pengampunan dan jaminan keselamatan bagi anggota PRRI yang bersedia keluar hutan, seperti diumumkan Presiden Soerkarno melalui Kepres No 332 tanggal 22 Juni 1961, omong kosong.
Kebiadaban demi kebiadan yang dialami masyarakat Minang benar-benar menimbulkan trauma yang mendalam sampai hari ini. Masyarakat Minang kehilangan inisiatif dan daya kritis. Demikian parahnya rasa trauma itu sampai-sampai tradisi pemberian nama yang berbau Minang sempat dihapus. Banyak putra Minang yang lahir pascapenumpasan PRRI diberi tambahan nama Prayitno, Sutarjo, atau Hamiwanto.
Setelah PRRI jatuh, posisi PKI semakin menguat. Pada tahun 1965, tepatnya tanggal 30 September, partai komunis semakin berani bergerak. Enam pejabat tinggi militer dan seorang pengawal mereka bunuh. Peristiwa ini tersohor dengan sebutan Gerakan 30 September. Rupanya, inilah akhir dari cerita kekejaman ”Si Palu Arit”. *Dodi Nurja/Suara Hidayatullah OPEMBER 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar