Kisah Seorang Yahudi yang Mengislamkan Jutaan Orang
Kamis, 01 Maret 2012
Oleh: Mustamid
SI
SUATU tempat di Prancis sekitar lima puluh tahun yang lalu, ada seorang
berkebangsaan Turki berumur 50 tahun bernama Ibrahim. Ia adalah
orangtua yang menjual makanan di sebuah toko makanan. Toko tersebut
terletak di sebuah apartemen di mana salah satu penghuninya adalah
keluarga Yahudi yang memiliki seorang anak bernama "Jad" berumur 7
tahun.
Jad, si anak Yahudi Hampir setiap hari mendatangi toko
tempat di mana Ibrahim bekerja untuk membeli kebutuhan rumah. Setiap
kali hendak keluar dari toko –dan Ibrahim dianggapnya lengah– Jad selalu
mengambil sepotong cokelat milik Ibrahim tanpa seizinnya.
Pada
suatu hari usai belanja, Jad lupa tidak mengambil cokelat ketika mau
keluar, kemudian tiba-tiba Ibrahim memanggilnya dan memberitahu kalau ia
lupa mengambil sepotong cokelat sebagaimana kebiasaannya. Jad kaget,
karena ia mengira bahwa Ibrahim tidak mengetahui apa yang ia lakukan
selama ini. Ia pun segera meminta maaf dan takut jika saja Ibrahim
melaporkan perbuatannya tersebut kepada orangtuanya.
"Tidak apa,
yang penting kamu berjanji untuk tidak mengambil sesuatu tanpa izin, dan
setiap saat kamu mau keluar dari sini, ambillah sepotong cokelat, itu
adalah milikmu”, ujar Jad sebagai tanda persetujun.
Waktu
berlalu, tahun pun berganti dan Ibrahim yang seorang Muslim kini menjadi
layaknya seorang ayah dan teman akrab bagi Jad si anak Yahudi
Sudah
menjadi kebiasaan Jad saat menghadapi masalah, ia selalu datang dan
berkonsultasi kepada Ibrahim. Dan setiap kali Jad selesai bercerita,
Ibrahim selalu mengambil sebuah buku dari laci, memberikannya kepada Jad
dan kemudian menyuruhnya untuk membukanya secara acak. Setelah Jad
membukanya, kemudian Ibrahim membaca dua lembar darinya, menutupnya dan
mulai memberikan nasehat dan solusi dari permasalahan Jad.
Beberapa
tahun pun berlalu dan begitulah hari-hari yang dilalui Jad bersama
Ibrahim, seorang Muslim Turki yang tua dan tidak berpendidikan tinggi.
14 Tahun Berlalu
Jad kini telah menjadi seorang pemuda gagah dan berumur 24 tahun, sedangkan Ibrahim saat itu berumur 67 tahun.
Alkisah,
Ibrahim akhirnya meninggal, namun sebelum wafat ia telah menyimpan
sebuah kotak yang dititipkan kepada anak-anaknya di mana di dalam kotak
tersebut ia letakkan sebuah buku yang selalu ia baca setiap kali Jad
berkonsultasi kepadanya. Ibrahim berwasiat agar anak-anaknya nanti
memberikan buku tersebut sebagai hadiah untuk Jad, seorang pemuda
Yahudi.
Jad baru mengetahui wafatnya Ibrahim ketika putranya
menyampaikan wasiat untuk memberikan sebuah kotak. Jad pun merasa
tergoncang dan sangat bersedih dengan berita tersebut, karena
Ibrahim-lah yang selama ini memberikan solusi dari semua
permasalahannya, dan Ibrahim lah satu-satunya teman sejati baginya.
Hari-haripun
berlalu, Setiap kali dirundung masalah, Jad selalu teringat Ibrahim.
Kini ia hanya meninggalkan sebuah kotak. Kotak yang selalu ia buka, di
dalamnya tersimpan sebuah buku yang dulu selalu dibaca Ibrahim setiap
kali ia mendatanginya.
Jad lalu mencoba membuka lembaran-lembaran
buku itu, akan tetapi kitab itu berisikan tulisan berbahasa Arab
sedangkan ia tidak bisa membacanya. Kemudian ia pergi ke salah seorang
temannya yang berkebangsaan Tunisia dan memintanya untuk membacakan dua
lembar dari kitab tersebut. Persis sebagaimana kebiasaan Ibrahim dahulu
yang selalu memintanya membuka lembaran kitab itu dengan acak saat ia
datang berkonsultasi.
Teman Tunisia tersebut kemudian membacakan
dan menerangkan makna dari dua lembar yang telah ia tunjukkan. Dan
ternyata, apa yang dibaca oleh temannya itu, mengena persis ke dalam
permasalahan yang dialami Jad kala itu. Lalu Jad bercerita mengenai
permasalahan yang tengah menimpanya, Kemudian teman Tunisianya itu
memberikan solusi kepadanya sesuai apa yang ia baca dari kitab tersebut.
Jad pun terhenyak kaget, kemudian dengan penuh rasa penasaran ini bertanya, "Buku apa ini?"
Ia menjawab, "Ini adalah Al-Qur'an, kitab sucinya orang Islam!"
Jad sedikit tak percaya, sekaligus merasa takjub,
Jad lalu kembali bertanya, "Bagaimana caranya menjadi seorang muslim?"
Temannya menjawab, "Mengucapkan syahadat dan mengikuti syariat!"
Setelah itu, dan tanpa ada rasa ragu, Jad lalu mengucapkan Syahadat, ia pun kini memeluk agama Islam!
Islamkan 6 juta orang
Kini Jad sudah menjadi seorang Muslim, kemudian ia mengganti namanya
menjadi Jadullah Al-Qur'ani sebagai rasa takdzim atas kitab Al-Qur'an
yang begitu istimewa dan mampu menjawab seluruh problema hidupnya selama
ini. Dan sejak saat itulah ia memutuskan akan menghabiskan sisa
hidupnya untuk mengabdi menyebarkan ajaran Al-Qur'an.
Mulailah
Jadullah mempelajari Al-Qur'an serta memahami isinya, dilanjutkan dengan
berdakwah di Eropa hingga berhasil mengislamkan enam ribu Yahudi dan
Nasrani.
Suatu hari, Jadullah membuka lembaran-lembaran Al-Qur'an
hadiah dari Ibrahim itu. Tiba-tiba ia mendapati sebuah lembaran
bergambarkan peta dunia. Pada saat matanya tertuju pada gambar benua
Afrika, nampak di atasnya tertera tanda tangan Ibrahim dan dibawah tanda
tangan itu tertuliskan ayat :
((اُدْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ...!!))
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik!!...” [QS. An-Nahl; 125]
Iapun yakin bahwa ini adalah wasiat dari Ibrahim dan ia memutuskan untuk melaksanakannya.
Beberapa
waktu kemudian Jadullah meninggalkan Eropa dan pergi berdakwah ke
negara-negara Afrika yang di antaranya adalah Kenya, Sudan bagian
selatan (yang mayoritas penduduknya adalah Nasrani), Uganda serta
negara-negara sekitarnya. Jadullah berhasil mengislamkan lebih dari
6.000.000 (enam juta) orang dari suku Zulu, ini baru satu suku, belum
dengan suku-suku lainnya.
Akhir Hayat Jadullah
Jadullah
Al-Qur'ani, seorang Muslim sejati, da'i hakiki, menghabiskan umur 30
tahun sejak keislamannya untuk berdakwah di negara-negara Afrika yang
gersang dan berhasil mengislamkan jutaan orang.
Jadullah wafat
pada tahun 2003 yang sebelumnya sempat sakit. Kala itu beliau berumur 45
tahun, beliau wafat dalam masa-masa berdakwah.
Kisah pun belum selesai
Ibu
Jadullah Al-Qur'ani adalah seorang wanita Yahudi yang fanatik, ia
adalah wanita berpendidikan dan dosen di salah satu perguruan tinggi.
Ibunya baru memeluk Islam pada tahun 2005, dua tahun sepeninggal
Jadullah yaitu saat berumur 70 tahun.
Sang ibu bercerita bahwa
–saat putranya masih hidup– ia menghabiskan waktu selama 30 tahun
berusaha sekuat tenaga untuk mengembalikan putranya agar kembali menjadi
Yahudi dengan berbagai macam cara, dengan segenap pengalaman, kemapanan
ilmu dan kemampuannya, akan tetapi ia tidak dapat mempengaruhi putranya
untuk kembali menjadi Yahudi. Sedangkan Ibrahim, seorang Muslim tua
yang tidak berpendidikan tinggi, mampu melunakkan hatinya untuk memeluk
Islam, hal ini tidak lain karena Islamlah satu-satunya agama yang benar.
Yang menjadi pertanyaannya, "Mengapa Jad si anak Yahudi memeluk Islam?"
Jadullah
Al-Qur'ani bercerita bahwa Ibrahim yang ia kenal selama 17 tahun tidak
pernah memanggilnya dengan kata-kata: "Hai orang kafir!" atau "Hai
Yahudi!" bahkan Ibrahim tidak pernah untuk sekedar berucap: "Masuklah
agama Islam!"
Bayangkan, selama 17 tahun Ibrahim tidak pernah
sekalipun mengajarinya tentang agama, tentang Islam ataupun tentang
Yahudi. Seorang tua Muslim sederhana itu tak pernah mengajaknya diskusi
masalah agama. Akan tetapi ia tahu bagaimana menuntun hati seorang anak
kecil agar terikat dengan akhlak Al-Qur’an.
Kemudian dari
kesaksian Dr. Shafwat Hijazi (salah seorang dai kondang Mesir) yang
suatu saat pernah mengikuti sebuah seminar di London dalam membahas
problematika Darfur serta solusi penanganan dari kristenisasi, beliau
berjumpa dengan salah satu pimpinan suku Zolo. Saat ditanya apakah ia
memeluk Islam melalui Jadullah Al-Qur’ani?, ia menjawab; tidak! namun ia
memeluk Islam melalui orang yang diislamkan oleh Jadullah Al-Qur'ani.
Subhanallah,
akan ada berapa banyak lagi orang yang akan masuk Islam melalui
orang-orang yang diislamkan oleh Jadullah Al-Qur’ani. Dan Jadullah
Al-Qur'ani sendiri memeluk Islam melalui tangan seorang muslim tua
berkebangsaan Turki yang tidak berpendidikan tinggi, namun memiliki
akhlak yang jauh dan jauh lebih luhur dan suci.
Begitulah hikayat
tentang Jadullah Al-Qur'ani, kisah ini merupakan kisah nyata yang
penulis dapatkan kemudian penulis terjemahkan dari catatan Almarhum
Syeikh Imad Iffat yang dijuluki sebagai "Syaikh Kaum Revolusioner
Mesir". Beliau adalah seorang ulama Al-Azhar dan anggota Lembaga Fatwa
Mesir yang ditembak syahid dalam sebuah insiden di Kairo pada hari
Jumat, 16 Desember 2011 silam.
Kisah nyata ini layak untuk kita
renungi bersama di masa-masa penuh fitnah seperti ini. Di saat banyak
orang yang sudah tidak mengindahkan lagi cara dakwah Qur'ani. Mudah
mengkafirkan, fasih mencaci, mengklaim sesat, menyatakan bid'ah,
melaknat, memfitnah, padahal mereka adalah sesama muslim.
Dulu
da'i-da'i kita telah berjuang mati-matian menyebarkan Tauhid dan
mengislamkan orang-orang kafir, namun kenapa sekarang orang yang sudah
Islam malah justru dikafir-kafirkan dan dituduh syirik? Bukankah kita
hanya diwajibkan menghukumi sesuatu dari yang tampak saja? Sedangkan
masalah batin biarkan Allah yang menghukumi nanti. Kita sama sekali
tidak diperintahkan untuk membelah dada setiap manusia agar mengetahui
kadar iman yang dimiliki setiap orang.
Mari kita renungi kembali
surat Thaha ayat 44 yaitu Perintah Allah swt. kepada Nabi Musa dan Harun
–'alaihimassalam– saat mereka akan pergi mendakwahi fir'aun. Allah
berfirman,
((فَقُولاَ لَهُ قَوْلاً لَّيِّناً لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى))
“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, Mudah-mudahan ia ingat atau takut.”
Bayangkan,
Fir'aun yang jelas-jelas kafir laknatullah, namun saat dakwah dengan
orang seperti ia pun harus tetap dengan kata-kata yang lemah lembut,
tanpa menyebut dia Kafir Laknatullah! Lalu apakah kita yang hidup di
dunia sekarang ini ada yang lebih Islam dari Nabi Musa dan Nabi Harun?
Atau adakah orang yang saat ini lebih kafir dari Fir'aun, di mana
Al-Qur'an pun merekam kekafirannya hingga kini?
Lantas alasan
apa bagi kita untuk tidak menggunakan dahwah dengan metode Al-Qur'an?
Yaitu dengan Hikmah, Nasehat yang baik, dan Diskusi menggunakan argumen
yang kuat namun tetap sopan dan santun?
Maka dalam dakwah yang perlu kita perhatikan adalah bagaimana cara kita agar mudah menyampaikan kebenaran Islam ini.
Oleh karenanya, jika sekarang kita dapati ada orang yang kafir, bisa
jadi di akhir hayatnya Allah akan memberi hidayah kepadanya sehingga ia
masuk Islam.
Bukankah Umar bin Khattab dulu juga pernah memusuhi Rasulullah? Namun
Allah berkehendak lain, sehingga Umar pun mendapat hidayah dan akhirnya
memeluk Islam. Lalu jika sekarang ada orang muslim, bisa jadi di akhir
hayatnya Allah mencabut hidayah darinya sehingga ia mati dalam keadaan
kafir. Na'udzubillah tsumma Na'udzubillahi min Dzalik.
Karena
sesungguhnya dosa pertama yang dilakukan iblis adalah sombong dan angkuh
serta merasa diri sendiri paling suci sehingga tak mau menerima
kebenaran Allah dengan sujud hormat kepada nabi Adam –'alaihissalam–.
Oleh karena itu, bisa jadi Allah mencabut hidayah dari seorang muslim
yang tinggi hati lalu memberikannya kepada seorang kafir yang rendah
hati. Segalanya tiada yang mustahil bagi Allah!
Marilah kita
pertahankan akidah Islam yang telah kita peluk ini, dan jangan pernah
mencibir ataupun "menggerogoti" akidah orang lain yang juga telah
memeluk Islam serta bertauhid. Kita adalah saudara seislam seagama.
Saling mengingatkan adalah baik, saling melindungi akidah sesama muslim
adalah baik. Marilah kita senantiasa berjuang bahu-membahu demi perkara
yang baik-baik saja. Wallahu Ta'ala A'la Wa A'lam Bis-Shawab.*
Penulis adalah mahasiswa Program Licence Universitas Al-Azhar Kairo Konsentrasi Hukum Islam. Facebook; Mustamid
Keterangan: Muslim Afsel dan foto Penulis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar