Pertempuran Balat al-Syuhada
Rabu, 08 September 2010
Oleh: Alwi Alatas
Hidayatullah.com--KITA
tak hanya harus belajar dari kemenangan dan keberhasilan. Kadang kita
perlu belajar juga dari kekalahan. Karena dengan demikian kita akan
memahami hal-hal yang menjadi penyebab kekalahan itu dan dapat
menghindarinya pada masa-masa yang akan datang. Itulah di antara alasan
mengapa kita mempelajari Sejarah.
Pada
awal Ramadhan tahun 114 H (732 M), telah terjadi salah satu pertempuran
yang paling menentukan sepanjang sejarah. Pertempuran itu terjadi di
suatu tempat di Prancis, di antara kota Tours dan Poitiers, dan kemudian
dikenal sebagai Balat al-Syuhada, pavements of martyrs. Paul K. Davis memasukkan peristiwa ini dalam daftar 100 Decisive Battles-nya. Sementara seorang penulis lain, Edward Creasy, memasukkan pertempuran ini dalam bukunya, Fifteen Decisive Battles of the World.
Kapan
dikatakan sebuah pertempuran bersifat menentukan jalannya sejarah?
Menurut Paul K. Davies (1999: xi), sebuah pertempuran dikatakan
’menentukan’ ketika memenuhi salah satu dari tiga kriteria berikut ini.
Pertama, pertempuran itu berdampak pada perubahan sosial politik yang sangat penting (brought about a major political or social change).
Kedua, sekiranya hasil dari pertempuran itu berbeda 180 derajat, maka akan terjadi perubahan besar-besaran secara politik dan sosial (had the outcome ... been reversed, major political or social changes would have ensued).
Ketiga, pertempuran
tersebut menandai dimulainya perubahan penting dalam strategi perang
(marks the introduction of a major change in warfare). Pertempuran yang
tengah kita bicarakan ini, termasuk dalam kategori yang kedua.
Balat al-Syuhada, dalam
sejarah juga dikenal sebagai Pertempuran Tours atau Pertempuran
Poitiers, terjadi antara pasukan Muslim dari Andalusia yang dipimpin
oleh Abdul Rahman al-Ghafiqi melawan pasukan Perancis yang dipimpin oleh
Charles Martel. Pada pertempuran ini kaum Muslimin kalah dan Abdul
Rahman sendiri turut gugur sebagai syuhada.
Muhammad Abdullah Enan dalam bukunya Decisive Moments in the History of Islam (1983:
43) menyebutkan betapa para ahli sejarah, terutama di Barat,
berandai-andai bahwa sekiranya hasil dari pertempuran ini berbeda 180
derajat, yaitu kaum Muslimin menang dan pasukan Perancis kalah, maka
‘tidak akan ada lagi Eropa yang Kristen atau agama Kristen, dan Islam
akan mendominasi Eropa.’
Ia
juga mengutip pendapat Edward Gibbon yang mengatakan bahwa pada titik
itu (di daerah antara Poitiers dan Tours, pen.) garis kemenangan kaum
Muslimin telah mencapai 1000 mil ke Utara dihitung dari Gibraltar.
Sekiranya mereka mampu meneruskan jarak kemenangannya dengan jumlah yang
sama, maka mereka akan mampu mencapai Polandia dan Dataran Tinggi
Skotlandia. Jika itu benar-benar terjadi, ‘barangkali tafsir al-Qur’an
pada masa sekarang ini akan diajarkan di sekolah-sekolah Oxford, dan
mimbar-mimbarnya mungkin menunjukkan pada orang yang bersunat akan
kesucian dan kebenaran Wahyu Muhammad’ (1983: 48).
Kemungkinan-kemungkinan inilah yang membuat para sejarawan memandang
pertempuran ini sebagai decisive battle.
Enan
sendiri dalam pengantar bukunya (1983: iv) memandang pertempuran ini
sebagai salah satu dari dua pertempuran paling menentukan antara Islam
dan Barat (the greatest decisive encounters of Islam and Christendom). Pertempuran
yang satunya lagi adalah pengepungan Konstantinopel yang telah dimulai
sejak 32 H (653 M). Kegagalan kaum Muslimin dalam dua pertempuran
tersebut telah menunda, atau menghalangi, penetrasi Islam ke Eropa,
masing-masing dari pintu masuk Timur dan Barat-nya.
Bagaimana
jalannya Pertempuran Tours atau Poitiers ini sendiri? Dan apa yang
menyebabkan kekalahan kaum Muslimin pada pertempuran tersebut? Kita akan
melihatnya lebih jauh.
Pertempuran
ini terjadi sekitar 20 tahun setelah masuknya Islam ke Andalusia di
bawah kepemimpinan Tariq ibn Ziyad dan Musa ibn Nusayr. Sejak awal sudah
tampak keinginan para pemimpin Muslim ini untuk membuka lebih jauh
wilayah Eropa. Musa ibn Nusayr dan Tariq ibn Ziyad sudah menyeberangi
Pegunungan Pyrenees yang membatasi wilayah Spanyol dan Perancis untuk
memasuki wilayah yang terakhir ini lebih jauh lagi dan, tidak tertutup
kemungkinan, untuk mencapai Konstantinopel dari arah Barat (Eropa).
Namun
ketika kedua tokoh ini baru menguasai beberapa bagian Selatan Perancis
mereka dipanggil menghadap Khalifah di Damaskus. Sepeninggal Musa ibn
Nusayr hingga ke masa Abdul Rahman al-Ghafiqi setidaknya ada lima orang
lainnya yang ditunjuk oleh Damaskus untuk memimpin Andalusia (Reinaud,
1964). Sejak memasuki Andalusia, kekuatan kaum Muslimin terus merambah
wilayah Selatan, Tengah, dan bahkan Utara Perancis (Davis, 1999: 103).
Namun, laju penetrasi pasukan Muslim ke Perancis berjalan relatif lambat
disebabkan ketidakstabilan politik di Andalusia pada masa itu.
Keadaan
sosial dan politik menjadi lebih baik saat Abdul Rahman al-Ghafiqi
ditunjuk untuk memimpin Andalusia. Kepemimpinannya yang baik dan adil
membuatnya disukai oleh orang-orang yang dipimpinnya. Dalam membagikan
pampasan perang, ia terbiasa mendahulukan kepentingan anggota pasukannya
daripada kepentingannya sendiri. Ia juga merupakan seorang pemimpin
yang saleh dan dikenal sebagai salah seorang sahabat Ibn Umar
radhiyallahu ’anhu, salah seorang Sahabat Rasulullah shallallhu ’alaihi
wasallam (Reinaud, 1964: 43; Alatas: 2007: 151).
Enan (1983: 45)
menjelaskan bahwa al-Ghafiqi merupakan pemimpin dan administrator yang
tangguh, seorang pembaharu yang antusias, seorang yang memiliki kebaikan
dan kualitas yang ideal, serta memiliki rasa keadilan, kesabaran, dan
relijiusitas yang tinggi. Secara umum Enan melihat sosok al-Ghafiqi
sebagai pemimpin (Wali) Andalusia yang terbesar dan paling handal. Sejak
era kepemimpinannya, menurut Reinaud (1964: 44), gubernur-gubernur yang
tidak amanah diganti dengan orang-orang yang jujur. Orang-orang Islam
dan Kristen diperlakukan secara adil, sesuai dengan perjanjian yang
terjalin di antara mereka. Gereja-gereja yang dirobohkan secara
semena-mena diperbaiki kembali. Demikian juga sebaliknya, gereja yang
dibangun dengan cara korupsi, yaitu dengan cara menyogok penguasa
setempat, diperintahkan untuk dirobohkan.
Al-Ghafiqi sangat
waspada terhadap potensi konflik internal dan pemberontakan di Andalusia
serta terhadap kemungkinan ancaman dari arah Utara. Oleh karena itu, ia
segera mengirim pasukannya ke Utara, menyeberangi pegunungan Pyrenees,
untuk memerangi salah satu gubernurnya di Perancis Selatan, Uthman ibn
Abi Nis’ah, yang menentang kepemimpinannya dan bersekutu dengan penguasa
Kristen di wilayah itu, yaitu Eudo, Duke of Acquitaine. Pasukan yang
dikirim al-Ghafiqi berhasil menumpas perlawanan Ibn Abi Nis’ah.
Al-ghafiqi sendiri kemudian menyusul ke Utara dengan pasukan yang kuat
untuk menghadapi ancaman Duke Eudo dan pasukannya.
Al-Ghafiqi
memasuki wilayah Perancis pada musim semi 732 M (awal 114 H), kurang
lebih satu tahun setelah ia diangkat menjadi Wali Andalusia. Satu
persatu wilayah Acquitaine berhasil diduduki pasukannya. Eudo berusaha
menahan pasukan al-Ghafiqi di tepi Sungai Dordogne. Namun dalam
pertempuran ini Eudo menderita kekalahan telak dan banyak anggota
pasukannya yang mati di pertempuran itu. Al-Ghafiqi mengejar Eudo hingga
ke ibukota kerajaannya di Burdal, Bordeaux, yang segera takluk ke
tangannya setelah pengepungan singkat. Seluruh Acquitaine kemudian jatuh
ke tangan Muslim. Sementara Eudo sendiri melarikan diri ke Utara,
pasukan Muslim mulai memasuki wilayah Burgundi dan menaklukkan kota-kota
seperti Lyon dan Besancon. Sebagian pasukan Muslim bahkan berhasil
mencapai Sens yang terletak hanya seratus mil saja dari Paris. Pasukan
al-Ghafiqi kemudian bergerak ke arah Barat hingga ke tepi Sungai Loire.
Dari sana mereka bersiap untuk ke Utara menuju pusat Kerajaan Frank
(Perancis) (Enan, 1983: 47-8).
Kerajaan Frank ketika itu dalam
masa transisi antara Dinasti Merovingian dan Dinasti Carolingian.
Walaupun secara resmi masih dipimpin oleh seorang raja Merovingian yang
sudah tak lagi memiliki kekuasaan riil, Kerajaan Frank ketika itu secara
efektif dikendalikan oleh Charles Martel. Kerajaan Frank pada masa itu,
dan pada abad-abad setelahnya, dapat dikatakan sebagai kerajaan terkuat
di Eropa Barat dan merupakan sekutu paling setia dari kepausan Katholik
di Roma. Melihat gerakan pasukan Islam yang semakin berbahaya, Charles
Martel menghimpun pasukannya. Eudo sendiri, yang merupakan saingan
Charles Martel dan selama sekian lama berusaha melepaskan diri dari
kekuasaan pusat, kemudian datang dan meminta bantuan pada Charles
Martel. Charles menyetujuinya denga syarat Eudo akan terus loyal
kepadanya.
Sementara itu, Pasukan Muslim telah mencapai daerah di
antara Poitiers dan Tours. Mereka menyerang dan menguasai kedua kota
itu. Tak lama setelah itu, di wilayah antara Poitiers dan Tours, pasukan
Muslim mulai berhadapan dengan pasukan Frank yang dipimpin oleh Charles
Martel. Laporan tentang jumlah pasukan Muslim beragam, antara 20.000
sampai 80.000. Sementara jumlah pasukan Frank dilaporkan secara beragam
juga, ada yang menyatakan lebih sedikit dari pasukan Muslim dan ada yang
yang menyebutkan angka yang lebih besar. Pasukan Frank kebanyakannya
merupakan pasukan irregular, nyaris telanjang, dengan rambut ikal yang
tergerai hingga ke bahu, serta mengenakan kulit serigala.
Pasukan
yang dibawa al-Ghafiqi ketika itu merupakan pasukan terkuat dan
terbesar yang pernah dibawa ke Perancis. Namun jumlah pasukan sudah agak
berkurang setelah melalui berbagai pertempuran. Pada saat itu mereka
juga menghadapi ujian yang cukup serius: harta! Sepanjang penaklukkan
berbagai kota di Perancis, pasukan Muslim berhasil mengumpulkan banyak
pampasan perang. Harta itu bisa menjadi kekuatan ekonomi bagi Muslim
selepas perang. Tapi masalahnya perang belum selesai. Dan kini mereka
justru sedang dihadapkan dengan kekuatan inti lawan.
Al-Ghafiqi
mulai mengkhawatirkan keberadaan pampasan perang yang ada di tangan
pasukannya. Ia khawatir perhatian pasukannya terpecah antara menghadapi
musuh dengan menjaga pampasan perang agar tidak jatuh ke tangan musuh.
Ia meminta agar sebagian pampasan perang itu ditinggalkan saja, tapi ia
tidak mampu memaksakan hal ini karena khawatir anggota pasukan akan
menentangnya di saat yang cukup genting tersebut.
Kedua pasukan
tidak langsung bertempur. Mereka saling mengawasi selama kurang lebih
seminggu. Kesempatan ini digunakan oleh pasukan Muslim untuk mengamankan
harta yang telah mereka kumpulkan agak jauh ke Selatan. Akhirnya
pertempuran bermula pada tanggal 12 atau 13 Oktober 732 (akhir Sha’ban
114). Selama tujuh hingga delapan hari berikutnya kedua pasukan terlibat
dalam pertempuran kecil. Kemudian pada hari kesembilan mereka memasuki
pertempuran besar yang melibatkan seluruh anggota pasukan. Mereka
bertempur hingga malam hari tanpa ada pihak yang menang.
Pada
hari kesepuluh kedua belah pihak saling menyerang lebih keras lagi. Kubu
Perancis memperlihatkan strategi pertahanan yang kokoh dan menyulitkan
kaum Muslimin untuk menyerang. Enan menyebutkan bahwa pasukan Perancis
pada akhirnya mulai kelelahan dan tanda-tanda kemenangan mulai berpihak
kepada pasukan Muslim. Tapi sayangnya banyak di antara anggota pasukan
Muslim yang terlalu khawatir akan jatuhnya pampasan perang ke tangan
musuh. Sehingga ketika mereka mendengar seruan dari tempat penjagaan
harta bahwa musuh mulai melakukan penetrasi ke tempat itu, konsentrasi
pasukan Muslim menjadi terpecah. Banyak di antara mereka yang
meninggalkan tempatnya dan menuju tempat harta pampasan perang berada.
Hal ini menimbulkan kekacauan di dalam barisan Muslim dan membuka
peluang bagi musuh.
Al-Ghafiqi berusaha untuk mengembalikan
pasukannya pada posisi mereka semula. Tapi semuanya sudah terlambat.
Dalam keadaan yang tidak menentu itu, ia terkena anak panah yang
dilontarkan musuh. Ia terjatuh dari kudanya dan mati syahid. Keadaan
menjadi semakin kacau dan musuh berhasil mendesak pasukan Muslim.
Walaupun mendapat pukulan bertubi-tubi dan banyak korban yang gugur,
kaum Muslimin masih bisa mempertahankan posisi mereka hingga pertempuran
dihentikan pada hari itu. Kedua belah pihak kembali ke posisi
masing-masing dan bersiap-siap menyongsong pertempuran baru keesokan
harinya. Namun pasukan Muslim tidak bersiap untuk menyongsong
pertempuran baru. Mereka menyadari bahwa mereka sudah kalah dan pemimpin
mereka sudah gugur. Maka secara diam-diam mereka memutuskan untuk
mundur pada malam harinya dan meninggalkan semua pampasan perang yang
sejak awal berusaha mereka jaga.
Keesokan paginya pasukan Frank
merasa heran dengan kesunyian di kubu Muslim. Mereka kemudian menyadari
bahwa lawan mereka sudah pergi meninggalkan pertempuran. Charles Martel
dan pasukannya merasa cukup dengan hasil pertempuran itu dan tidak
merasa perlu untuk mengejar pasukan Muslim. Mereka mengambil harta
pampasan perang yang ditinggalkan pasukan Muslim dan kemudian kembali
pulang (Enan, 1983: 56-9; Davis, 1999: 104-6).
Peristiwa itu
kemudian dikenal dalam Sejarah Islam sebagai Balat al-Syuhada’ atau
Dataran Syuhada. Para Sejarawan hanya bisa berandai-andai atas apa yang
akan terjadi sekiranya pertempuran itu dimenangkan oleh pasukan Muslim.
Bagaimana keadaan Eropa setelah itu sekiranya Kerajaan Frank dan seluruh
wilayah Perancis jatuh ke tangan Muslim? Akankah Paris, dan mungkin
juga setelah itu London, dan berbagai kota penting Eropa lainnya,
menjadi pusat-pusat kebudayaan Islam?
Tapi kita tidak perlu
berandai-andai. Semuanya sudah ditetapkan Allah dan ketetapan Allah
adalah yang terbaik. Kita hanya perlu belajar dari Sejarah, bahwa
adakalanya bukan musuh yang kuat yang mampu menaklukkan dan mengalahkan
kita. Kita hanya perlu belajar bahwa adakalanya, atau malah seringkali,
yang membuat kita takluk dan kalah justru ketidakmampuan kita sendiri
dalam mengontrol hawa nafsu yang bersumber pada kecintaan yang
berlebihan terhadap harta duniawi. Wallahu a’lam bis showab. [Jakarta, 25 Ramadhan 1431/ 4 September 2010]
Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com, kini sedang mengambil program doktoral bidang sejarah di Universiti Islam Antarabangsa, Malaysia
Referensi
Alatas, Alwi. Sang Penakluk Andalusia: Musa ibn Nusayr dan Tariq ibn Ziyad. Jakarta:
Davis, Paul K. 100 Decisive Battles: From Ancient Times to the Present. Oxford: ABC- CLIO. 1999.
Enan, Muhammad Abdullah. Decisive Moments in the History of Islam. Delhi: Idarah-I Adabiyat-I Delli. 1983.
Reinaud, Muslim Colonies in France, Northern Italy and Switzerland, diterjemahkan
oleh Haroon Khan Sherwani dari Invasions des Sarrazins en France, et de
France en Savoie, en Piemont et en Suisse. Lahore: Sh. Muhammad Ashraf.
1964.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar