Judul di atas saya kira akan
menimbulkan pertanyaan pula bagi kita semua apakah benar telah terjadi krisis
kepemimpinan di nagari Kapau ? Apakah hanya toh sekedar pertanyaan atau mungkin
wacana tanpa memerlukan jawaban ?. Saya sebenarnya agak sungkan menyelesaikan
tulisan ini, sebab konsepnya sudah saya buat lebih kurang tujuh tahun yang lalu
tapi saya biarkan begitu saja, kemudian konsep tersebut saya temukan kembali
ternyata nuansanya masih relevan hingga sekarang bahkan sangat relevan. “Krisis Kepemimpinan Di Nagari Kapau?” sebuah
judul yang memerlukan jawaban kita semua yang masih mencintai nagari tempat kita
dilahirkan dan dibesarkan, bagaimana kepemimpinan adat dan agama sangat kita
perlukan di nagari kita dalam menghadapi arus globalisasi.
Saya yakin dan percaya
setelah membaca tulisan ini, sebanyak kita maka mungkin sebanyak itu pula
tanggapan dan reaksi dalam memahaminya, barangkali ada yang merasa tidak
senang, tidak ambil peduli dan sebagainya. Tapi itu tidak menjadi masalah bagi
saya apabila ada yang merasa tersinggung karena apa yang saya ungkapkan ini
bagi saya sudah benar dan sesuai dengan kenyataan yang ada. Sebab dalam alam
demokrasi setiap perbedaan pendapat adalah biasa dan bahkan dihargai, karena
demokrasi itu sendiri adalah ciri orang Minangkabau dimanapun mereka berada.
Sewaktu beliau Aminuddin
Dt.Bagindo Basa (Inyiak Indo) Almarhum – yang kebetulan adalah orang tua saya -
masih hidup ketika itu pada awal tahun 2000 dimana sedang panas-panasnya pro dan
kontra PP No. 84 Tahun 1999 Tentang Perluasan Kota Bukittinggi, pernah saya
tanyakan kepada beliau seandainya nagari Kapau jadi masuk kota (masuk wilayah
perluasan kota). Terlepas dari pro kontra tersebut maka dengan tegas beliau
menjawab: “Mana mungkin (Kapau) masuk kota apabila kepemimpinan
(Adat) di nagari saja masih bermasalah. Itu pekerjaan besar, jangankan mengurus
nagari, diri mereka sendiri belum terurus sebagaimana mestinya”.
Apabila
difikirkan secara jernih apa yang beliau katakan sangat relevan pada saat itu,
bahkan pada saat sekarang, dimana di tubuh Ninik Mamak nan VI Suku Nagari Kapau
sendiri masih dilanda persoalan interen – katakanlah begitu - yaitu antara
Ninik Mamak Pucuak yang Berlima versus Ninik Mamak Pucuak Guci Pili VI Induak
di dalam menakhodai KAN (Kerapatan Adat Nagari). Sekiranya kita membahas
substansi atau dasar konflik tersebut kiranya tidak layak untuk dimuat di dalam
tulisan ini.
Dalam hal ini Inyiak Indo
begitu kerasnya dalam berprinsip, beliau menolak keputusan KAN pada tahun 1999
dimana terbukti dalam surat KAN yang meminta wakil Ninik Mamak VI Suku
pengganti Dt.Tandi Langik yang pusakonya dinilai “runtuh”. Apa jawaban Inyiak
Indo mewakili Guci Pili VI Induak, barangkali diluar dugaan sementara orang
karena ternyata beliau menolak wakil melainkan tetap mengutus Dt.Tandi Langik
langsung sebagai wakil Guci Pili VI Induak, karena pusako Dt. Tandi Langik
tidak sumbiang dan tidak sakah apalagi runtuh, dengan alasan-alasan yang masuk
akal. Diantara alasan beliau yang pertama adalah Perihal meruntuh pusako sudah
dihapus sejak tahun 1955 yang terkenal dengan Sumpah Satia, kecuali kesalahannya sendiri yang melanggar
Undang-undang 20 maka runtuh dengan sendirinya. Alasan beliau yang kedua Adanya
perbedaan pendapat adalah biasa dalam suatu rapat/pertemuan. Dan alasan beliau
yang ketiga Apabila mencari suatu keadilan harus ada dakwa dan jawab, saksi dan
bainat/bukti kemudian diputuskan oleh seorang hakim yang adil.
Disini kita bisa memetik
hikmah kenapa Inyiak Indo begitu tegas, mungkin ada sesuatu yang salah maka
disinilah perlunya introspeksi. Kita semua mengakui bahwa pengalaman beliau
yang sarat sekali tentang adat istiadat selama puluhan tahun, hampir tidak ada
persoalan adat dan sosial di nagari Kapau yang tidak mampu beliau selesaikan.
Bahkan saya berani mengatakan beliaulah salah satu kamus berjalan tentang adat
di nagari Kapau di zamannya tapi kenapa banyak yang tidak mau bertanya, apakah
semua sudah pintar tentang adat dan kemasyarakatan sehingga sudah tidak ada
yang perlu ditanyakan lagi ?.
Saya tidak kultus individu dalam hal ini, bukan
pula terlalu subjektif dalam menganalisa, tapi ini adalah kenyataan yang tidak mungkin
terbantahkan, sebab figur tokoh berpengaruh seperti beliau sangat jarang dan
sekarang ini boleh dikatakan sudah tidak ada lagi, ini yang harus kita akui.
Ibarat pelita yang terang dalam nagari sekarang sudah padam, apakah masih ada
pelita-pelita lain yang akan muncul. Saya ingin bertanya kepada sidang pembaca
yang budiman, apakah masih ada tokoh-tokoh pemimpin semacam Sabar Dt.Rajo
Labiah, Hamzah Dt.Batuah, Dewan Dt.Maradjo, Rasyidin Kari Bagindo, Haji
Sjarbaini, Abdul Wahab Intan Batuah dan lain-lain yang tidak mungkin disebutkan
satu persatu yang bisa dijadikan panutan dan contoh yang patut ditauladani ?.
Toh jangan pula kita kesampingkan
prinsip-prinsip pokok adat yang berlaku di Minangkabau baik adat Koto Piliang
maupun Bodi Chaniago yaitu musyawarah. Tanpa adanya tokoh berpengaruh, masih
ada jalan bagi kita memecahkan masalah yaitu dengan jalan musyawarah, ini bukan
berarti beliau (Inyiak Indo) tidak mementingkan musyawarah tapi pengakuan pihak
pihak yang bermasalah terhadap kemampuan dan wibawa beliaulah yang dapat mengarah
kepada penyelesaian suatu permasalahan.
Saya
sebagai salah seorang anak nagari Kapau juga tidak habis berfikir kenapa
persoalan demi persoalan ibarat awan hitam yang menggelayuti langit diatas bumi
Kapau belum juga berakhir ? Tidak usah diurai persoalan apa tapi yang sangat
mengganggu fikiran saya adalah persoalan Niniak Mamak VI Suku nagari Kapau,
seolah-olah seorang yang pandai saya
mencoba menganalisa dari pangkal sampai ke dan ujung dari awal sampai akhirnya,
tapi saya belum berhasil menemukan jawabannya. Tapi saya tidak puas sampai di
sini, saya akui pengalaman saya baru satampuak pinang, kok umua baru satahun
jaguang tapi sedari dulu saya sudah berusaha menimba pengalaman dari orang
tua-tua, maka saya mencoba terus. Kiranya saya bisa menemukan benang merah dan
benang putih persoalan, minimal bisa menyentuh hati fihak yang punya hati
sekeras baja bisa menjadi lembut seperti kapas namun berani tampil menegakkan
mana yang benar, dimana orang tersebut bertindak ibarat menarik rambut dari dalam tepung tidak seperti managakkan banang basah.
Cobalah dahulu kita
bicara mengenai kelarasan yang dianut di nagari Kapau, kita semua tahu
kelarasan kita di Kapau adalah Koto Piliang. Prinsip musyawarah di sini adalah
mufakat, intinya adalah bulek aie dek
pambuluah - bulek kato dek mupakat, artinya secara populer kurang lebih
adalah aklamasi. Dimana apabila ada seorang yang tidak setuju maka belum boleh
diambil suatu keputusan. Maka timbul pertanyaan, Apakah boleh diambil suara
terbanyak ( dengan pemungutan suara ) jawabnya adalah Tidak Boleh. Sebab jalan
penyelesaiannya sudah digariskan dalam adat, apabila sulit mencapai kata
mufakat maka harus dilakukan dengan jalan batupang
barasah – sarantak babandiang dan bajanjang
naiak batanggo turun. Kita tidak menafikan memang di dalam praktek sehari-hari adat koto piliang tidak murni
lagi dilaksanakan.
Kembali kita kepada prinsip musyawarah dan
mufakat, apakah hal ini sudah dilaksanakan sejak terbentuknya KAN pada tahun 1983 ?. Kita semua faham
bahwa setiap masalah, persoalan, konflik dan segala macam problematika adat di
nagari tentu hendaknya diselesaikan dengan jalan musyawarah. Nah, di nagari
Kapau yang kita cintai ini sudahkah ada usaha penyelesaian perkara dengan jalan
musyawarah di tingkat nagari sejak tahun 1983 ? jawabnya marilah kita
kembalikan kepada hati nurani kita masing-masing secara objektif, saya mengajak
kita bersama marilah secara jujur mengakui, sebab sekecil apapun persoalan yang
ada kita tidak boleh menutup mata apalagi berusaha menutup-nutupinya. Jadi
dalam arti kata kita harus menyelesaikan setiap masalah dengan jalan musyawarah
sebagai jalan yang terbaik.
Kita semua tahu bahwa
terbentuknya suatu nagari harus ada komponen yang merupakan syarat sahnya suatu
nagari, yaitu babalai bamusajik, bapandam
bapakuburan, batapian tampek mandi, bakorong bakampuang dan seterusnya. Kemudian manusia yang menghuninya
dibagi atas empat, yaitu niniak mamak,
alim ulama, cadiak pandai / termasuk pemuda dan bundo kanduang, yang
terkenal dengan nama urang ampek jinih. Meskipun
dalam penyelenggaraan nagari ditopang oleh Tali Tigo Sapilin, yaitu Niniak
Mamak, Alim Ulama, Cadiak Pandai, namun dalam mengambil suatu keputusan maka
keterlibatan nan Ampek Jinih mutlak diperlukan.
Melihat kondisi nagari
kita sekarang dan beberapa tahun belakangan secara jujur saya sungguh sedih,
terutama melihat krisis kepercayaan terhadap para pemimpin yang bermula dari
segelintir yang berbuat tidak semestinya, akibatnya adalah karena nila setitik rusak susu sebelanga. Para
pemimpin hanya dihargai apabila dibutuhkan, dihormati apabila diperlukan, akan
tetapi jauh dari panutan serta tauladan. Kebersamaan, kekompakan dan
solidaritas semakin pudar. Sebagian pemimpin khususnya pemimpin adat hanya
berharga dalam acara-acara ceremonial belaka, diluar itu mereka kehilangan
wibawa dan kharismanya.
Kita tidak usah menutup
mata seperti yang dikemukakan diatas bahwa persoalan demi persoalan kian
menggelayuti nagari yang kita cintai ini. Meskipun tidak ada gejolak ataupun
pertentangan yang berarti. Tapi apakah dapat dianggap persoalan itu disebabkan
oleh para pemimpin kita ?. jawabnya boleh ya dan boleh tidak. Sebenarnya
kehidupan kepemimpinan adat di nagari kita boleh dikatakan telah terjadi stagnasi. Sebab orang banyak menilai
tanpa adanya kepemimpinan itupun, keadaan masih akan berjalan seperti apa adanya sehingga pimpinan hanya
formalitas dan symbol belaka. Atau masyarakat lebih cenderung bersikap masa
bodoh asalkan tidak merugikan dirinya sendiri.
Maka tidaklah berlebihan
kiranya bila prinsip musyawarah benar-benar harus dikedepankan. Karena apa,
semenjak KAN
terbentuk saya menyaksikan belum pernah ada suatu musyawarah nagari yang benar
benar melibatkan unsur nan Ampek Jinih. Apalagi dalam hal ini tidak jelas
perbedaan antara KAN
dan Ninik Mamak Nan VI Suku dalam struktur dan pengambilan keputusan. Padahal
kita tahu bahwa KAN
adalah produk pemerintah yang tertuang dalam Perda No.13 Tahun 1983 yang di dalamnya
bukan hanya ninik mamak. Sedangkan
Ninik Mamak VI Suku Nagari Kapau adalah produk Anak Nagari Kapau sendiri sejak
asal mula berdirinya Nagari Kapau tempat berkumpulnya Ninik Mamak Pucuak yang 6
(enam) orang mewakili 6 suku yakni; Jambak
Gadang - Dt.Bandaro, Guci Pili - Dt.Tandi Langik, Melayu - Dt.Mangkudun,
Tanjung Pisang Simabua - Dt.Panduko Basa, Koto - Dt.Palimo dan Jambak Kaciak - Dt.Indo
Marajo. Ke enam yang disebutkan itu disebut Ninik Mamak Pucuak yang
memimpin suku masing-masing, dibawahnya adalah Ninik Mamak Nan Barinduak, dan
terakhir dinamakan Ninik Mamak Saparuik/sapayuang yang langsung memimpin anak
kemenakan.
Dalam mengadili anak
kemenakan yang bersalah, atau mamak kepala kaum, mamak kepala waris bahkan ninik mamak sendiri yang bersalah,
terlepas dalam struktur mana dia berada maka ada filosofi adat yang mesti kita
ikuti, Apobilo kusuik kapalo mako jangkie
nan maisai, maksudnya; Bila
pemimpin adat /ninik mamak yang diduga bersalah maka diselesaikan oleh
musyawarah bersama ninik mamak di kampung / nagari atau urang ampek jinih atau
suatu badan yang dipilih yang akan menjadi hakim. Apobilo kusuik bulu mako paruah nan manyalasaikan, artinya; Bila
anak kemenakan / bukan ninik mamak yang diduga bersalah maka Ninik Mamak nan
saparuik menyelesaikan, dengan cara bajanjang naik batanggo turun terus ke
ninik mamak nan barinduak dan terakhir ke ninik mamak nagari atau Ninik Mamak
VI Suku, sebagai hakim terakhir yang akan memutuskan perkara. Dan hendaklah
orang yang diduga bersalah atau terdakwa dihadirkan dalam persidangan yang
terbuka untuk umum, terdakwa berhak membela diri atau mendapat pembelaan dan
kesalahan terdakwa harus dibuktikan dengan bukti (bainat) yang nyata dan harus
dihadirkan para saksi yang menyaksikan secara langsung kejadian perkara.
Begitulah prinsip umum lembaga peradilan dan kemanapun kita pergi, persyaratan
itu mutlak diperlukan supaya semua kita mendapat keadilan yang sebenarnya.
Jadi sekali lagi bagi
pemimpin dan calon pemimpin di tengah-tengah masyarakat jika akan melahirkan
suatu keputusan penting di nagari, alangkah baiknya bila sungguh-sungguh
melibatkan masyarakat banyak sebab keputusan bukan milik seseorang/golongan
tapi milik semua masyarakat. Dan apalagi menyatakan seseorang bersalah atau
tidaknya marilah kita selesaikan menurut hukum adat yang sebenarnya manimbang samo barek, maukua samo panjang yaitu seorang Hakim
yang adil sesudah melalui dakwa dan jawab serta adanya saksi dan bainat, tidak
ada lagi pihak yang dirugikan secara tidak adil. Bukankah adanya Mubes Kapau
tahun 1991 dan tahun 2003 merupakan sesuatu yang sangat berarti ?. Menjawab
pertanyaan ini, bagi saya mubes tersebut tidak mempunyai arti sama sekali,
hanya barangkali sekedar ajang silaturrahim belaka antara perantau dengan warga
kampung terlebih lagi sangat dipaksakan terhadap hal-hal yang spesifik.
Sehingga Follow Up atau tindak lanjutnya tidak ada atau boleh juga dikatakan
dalam istilah minyak habih samba ndak
lamak.
Indak
ado kusuik nan indak salasai, indak ado karuah nan indak janiah, demikianlah filosofi adat di
Minangkabau tapi hanya bisa terlaksana apabila kita memenuhi syarat-syarat
tertentu dimana syarat itu dapat kita peroleh di lingkungan kita sendiri. Mari
kita simak falsafah adat berikut ini :
Mancaliak
contoh ka nan sudah, maliek tuah ka nan manang
Maa
adiaknyo nan marangkak, maa kakaknyo nan bauban
Kusuik
kapalo jangkie maisai, kusuik bulu paruah nan manyalasaikan
Batupang
barasah, Sarantak babandiang
Ka
lauik riak maampeh, ka pulau baguo batu
Kok
Mangauik yo sabana kameh , kok mancancang yo sabana putuih
Pincalang
anak rang Tiku, mandayuang sambie manungkuik
Basilang
kayu dalam tungku, baitu api mangkonyo iduik
Urang
Makah mambao taraju, urang Baghdad mambao talua, dimakan bulan puaso
Rumah
nan basandi batu, adat nan basandi alua, itulah nan ka ganti rajo
Kamanakan
barajo ka mamak, mamak barajo ka pangulu, pangulu barajo ka mupakat,
Mupakat
barajo ka nan bana, bana badiri sandirinyo
Tentu tidak mungkin pula
kita mengurai benang yang kusut sementara pikiran dan lingkungan kita masih
kusut pula ?. Marilah kita berdoa kehadhirat ALLAH SWT semoga kita dapat bebas
dari krisis multi dimensi terutama memulihkan kepercayaan kepada para pimpinan
lembaga yang ada di lingkungan kita masing masing. Amin. Mudah mudahan kusut
yang kita alami ini bukan kusut sarang tampuo
yang hanya api yang bisa menyelesaikan.
Kapau, 16 Januari 2006
Zulfadli, SH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar