Oleh: Zulfadli Aminuddin
Haji Koeratoel’ain gelar Sutan Asali adalah salah satu
Anak Nagari Kapau, putra asli Kapau yang lahir sekitar tahun 1924 di Kampung
Parak Maru Kenagarian Kapau. Beliau satu diantara beberapa putra Kapau yang
mempunyai peranan penting pada masa perjuangan dan pembangunan.
Penulis berusaha menampilkan sekilas perjuangan beliau
yang dapat menginspirasi generasi muda Kapau pada saat ini. Berikut adalah hasil dari wawancara penulis dengan Bapak H. Koeratoel’ain St Asali yang ditulis kembali pada bulan
Mei tahun 2012. Dimana saat itu beliau sangat antusias menceritakan sejarah
perjuangannya di masa muda, selamat membaca:
Setelah kemerdekaan Koeratoel’ain waktu itu memutuskan
tidak bekerja untuk negara artinya tidak menjadi pegawai. Sebab Negara ini
menurutnya dibuat bukan untuk dibebani tapi untuk dimakmurkan. Kemudian dia
pergi ke Jakarta dan disanalah dia menamatkan bon A dan bon B, dan kebetulan
disana dia juga bertemu dengan bapak Sulaiman, beliau itu orang Koto Panalok
yang waktu itu menjadi pegawai tinggi di PDK atau Departemen Pendidikan. Maka
Koeratoel’ain masuk di PDK, disamping itu dia juga tetap kuliah disana.
Jadi begitulah bapak Sulaiman tersebut yang memasukkan
Koeratoel’ain kerja di PDK, sehingga bapak Sulaiman pula lah yang membiayai
kuliahnya. Disana ketika kuliah tersebut waktu sore dia juga banyak berdagang
dengan Belanda, karena dia juga pandai bahasa Belanda. Jadi waktu itu
orang-orang Belanda setiap hari sabtu sore mereka berjualan
perlengkapan-perlengkapan tentara. Seperti misalnya sapu tangan, sepatu, rokok,
maka dibelilah itu oleh Koeratoel’ain kemudian dijual kembali ke toko-toko.
Jadi disana boleh dikatakan Koeratoel’ain lebih
tentram karena ada penghasilan yang didapat dari PDK tersebut. Dan di PDK itu
juga dia bekerja di bagian kesejahteraan membagi barang untuk karyawan.
Akhirnya setelah dihitung-hitungnya penghasilan sebagai pegawai menengah di PDK
dibandingkan ketika berjualan sore itu ternyata lebih bagus dia berjualan
tersebut. Sehingga menambah kuat fikirannya untuk tidak jadi pegawai. Jadi
ketika dia pulang kampung langsung membuka toko buku.
Padahal sewaktu akan pergi dulu Said Rasjad sebagai
bupati waktu itu sudah menawarkan kepadanya,
katanya, “Asali, apa pangkat yang anda suka”, “kenapa begitu”, kata Koeratoel’ain. “Saya kan jadi
bupati sekarang jadi apa pangkat yang anda suka”, kata Said Rasjad.
Koeratoel’ain mengatakan kepada Said Rasjad bahwa dia
tidak mau jadi pegawai, “saya akan mencari sendiri”, katanya. “Kenapa begitu”,
timpal Said Rasjad, “ya kan negara ini kita bangun untuk kesejahteraan dan kita
kan tidak mesti bergantung kepada negara”, kata Koeratoel’ain. “O ya kalau
begitu teruskanlah”, kata Said Rasjad. Jadi begitulah setelah pulang dari
Jakarta dia langsung aktif di tengah masyarakat. Buka toko buku pada bulan
November 1950 dan diberi nama Pustaka Pahlawan, persis ketika hari pahlawan
tanggal 10 November. Dan modalnya bersama ada yang dari Bupati Said Rasjad
bahkan dari aktivis PKI sekalipun yaitu Janizar seorang camat waktu itu.
Sewaktu membuka toko buku itu, karena Koeratoel’ain orang partai maka dia aktif juga di partai yaitu
PSII. Di nagari dia juga aktif sebagai ketua DPR nagari Kapau, sewaktu Inyiak Adjo
(Dewan Dt Marajo) jadi Wali Nagari.
Kalau
dalam pemerintahan sehari-hari dia jadi wakil Wali Nagari. Tapi meskipun
demikian yang mengkoordinir segala urusan nagari dan urusan luar adalah Koeratoel’ain
sebagai wakil wali nagari. Termasuk waktu itu di pemerintahan nagari Angku Kari
Bagindo, Aminuddin sebagai ketua BPNK dan komandan PMT dan termasuk juga M Noer
Amin yang waktu itu masih sekolah, jadi dia bisa masuk ke kota membawa
barang-barang yang diperlukan. Karena seperti kertas waktu itu agak susah. Jadi
kalau dia ke kota tidak dicurigai oleh Belanda. Yang lain ya sembunyi sembunyi
sajalah.
Kantor Wali Nagari Kapau waktu itu di Pandam Bingkah
dekat Surau Sirah (Koto Panjang Hilir), ada gudang kecil di tepi sawah. Pada
suatu kali pernah Belanda masuk, pegawai kantor menyangka kedatangan pasukan
Belanda itu datang dari Tanjung Alam, rupanya yang sekali ini dia masuk ke Pasar
Kapau bukan dari sana. Karena Belanda sudah memperkirakan tempat berkumpul para
pejuang. Jadi dia sergap. Yang menjaga pasar Kapau adalah seorang pemuda
namanya Zainuddin dari Parak Maru. Ketika itu dia lari ke sawah. Maka dia
ditembak oleh Belanda. Jadi rupanya kedatangan pasukan Belanda ini dari Padang
Cantiang terus ke tanah Rang Kapau menuju ke pasar Kapau. Koeratoel’ain dan
yang lainnya di kantor nagari hampir kepergok oleh Belanda, tapi ada yang lari
ke sawah. Ada pula yang bersembunyi di lumbung padi dan sebagainya. Jadi ketika
itulah Nampak olehnya Zainuddin ini lari kemudian ditembaknya sehingga tewas
seketika. Koeratoel’ain sendiri sembunyi di dalam rumpun padi Alhamdulillah
tidak tampak oleh Belanda padahal jaraknya hanya sepuluh meter.
Ketika itu banyak juga orang yang mengungsi dari
Padang. Salah satu keluarga yaitu keluarga Azhar Muhammad (Sari Anggrek) dari
Padang, tinggal di Pandam Basasak di rumah Dt Gadang Basa. Jadi waktu itulah
dasar mulanya Koeratoel’ain, Azhar Muhammad dan Dt Gadang Basa membuka toko
buku. Jadi peperangan di Kapau hanya pada agresi Belanda yang kedua. Kalau
agresi pertama belum sampai ke Bukittinggi hanya sampai Tapakis yaitu di Lubuk
Alung Padang. Karena pada waktu itu Belanda membonceng dengan sekutu yang
dinamakan NICA. Pada waktu itu kota Padang diperintah oleh Bagindo Aziz Chan
sebagai walikota. Bagindo Aziz Chan ini kader PSII, Koeratoel’ain dan
kawan-kawan bertemu dengannya sekali sepekan di kantor PSII di dekat stasiun.
Jadi Bagindo Aziz Chan ini sekali seminggu pulang ke Padang Panjang karena
isterinya asal Jakarta dan tinggal di Padang Panjang. Ketika akan pulang ke
Padang Panjang itu setiba di Alai, karena sebagai walikota waktu itu maka
diajak oleh Tentara Belanda yang katanya mau melihat ekstrimis sebentar. Karena
percaya saja maka ikutlah dia dengan Belanda, rupanya Belanda telah bersiap
untuk membunuhnya, ketika sedang berjalan itu kepalanya dipukul oleh Belanda
sehingga tewas ditempat, jadi dia tidak ditembak. Koeratoel’ain ikut
memandikannya maka terlihat olehnya kepala Bagindo Aziz Chan sudah lunak bekas
pukulan.
Bagindo Aziz Chan dan juga Said Rasjad, keduanya ini
juga kader PSII. Said Rasjad ini juga kemudian dikenal sebagai dosen Bahasa
Belanda, tapi yang menarik adalah pendidikannya dia sekolah di sekolah Katolik
tapi meskipun demikian keyakinan agamanya sangat kuat dan keyakinan itu
terimbas dari keyakinan yang digambarkan Bagindo Aziz Chan karena Bagindo Aziz
Chan ini murid langsung dari Haji Agus Salim. Dia sekolah kedokteran di
Surabaya dan bertemu dengan Haji Agus Salim, jadi karena tertarik dengan
perjuangan Haji Agus Salim maka dia berhenti sekolah dan bergerak dalam politik
di PSII.
Setelah perjuangan kemerdekaan banyak orang menjadi veteran tapi
Koeratoel’ain tidak mau jadi veteran, waktu itu Mr M Yamin pernah ditawari
orang jadi veteran. Katanya saya tidak veteran karena veteran itu bekas, karena
saya mau berjuang terus. Terinspirasi itulah dia tidak mau mendaftar jadi
veteran. Baru mendaftar jadi veteran lama setelah itu. Disuruh oleh anak “mendaftar
sajalah pak, kami kan perlu juga sejarah”, katanya. Jadi waktu itu tahun 1986 Koeratoel’ain akhirnya
mendaftar jadi veteran. Berapa jarak bedanya sejak tahun 1950.
Pada awal kemerdekaan di Kapau waktu itu pemuda-pemuda
dilatih untuk berjuang menghadapi Belanda,
pelatihnya yaitu Aminuddin (Angku Dotor) bekas Heiho, ketua BPNK dan komandan
PMT dan Bermawi salah seorang tentara republik waktu itu. Senjata dibeli
sendiri, Koeratoel’ain sendiri ada punya pistol yang diberikan pamannya Haji
Nawi karena pamannya ini tidak perlu senjata. Ada juga senjata yang direbut
dari Jepang yaitu ketika peristiwa di Durian yaitu di dekat Balingka. Karena
disana ada pabrik kertas, maka disanalah Jepang bertahan. Jepang tidak mau
menyerahkan senjata dan orang meminta senjata dengan menyerang tempat itu.
Akhirnya dia serahkan juga senjata sebagian. Sebab bagi tentara Jepang yang
kalah itu dia harus mempertahankan senjata untuk diserahkan ke tentara sekutu yang
menang, itulah sebabnya dia takut menyerahkan ke orang Indonesia. Sedangkan
banyak juga senjata yang dibeli ke Singapura.
Perang fisik dengan Belanda itu terjadinya sewaktu
agresi Belanda yang kedua. Agresi pertama sejak awal kemerdekaan kita telah
membentuk pemerintahan di Padang. Disana baru terjadi perang sampai tahun 1947.
Kita mundur ke belakang, terjadi gencatan senjata yang batasnya di Tabing
dimana disana batas perjanjian Linggarjati. Sesudah Bagindo Aziz Chan walikota Padang
terbunuh, maka ketika itulah wilayah kekuasaan Belanda sampai ke Tapakis Lubuk
Alung. Kalau di Kapau pada waktu itu sampai tahun 1947 baru terjadi penampungan
pengungsi dari Padang. Karena memang pengungsi banyak dari Padang. Karena
Padang Area tersebut sudah dikuasai Belanda sehingga semua orang Republik lari
keluar dan sebagian sampai di Kapau.
Pada saat itu tahun 1947 Koeratoel’ain pernah
mengantarkan perbekalan, dikumpulkan semua bahan-bahan makanan seperti beras,
ubi kayu dan sebagainya dan diantarkan ke Padang melalui jalan Sitinjau Laut.
Memang ketika itu harus berani dan Koeratoel’ain ikut mengiringi truk yang
membawa barang sebab ketika itu Belanda bisa saja membom posisi pejuang yang
tidak punya senjata untuk melawannya. Koeratoel’ain dan kawan-kawan bermalam
ketika itu di Lubuk Paraku, dan mereka lah yang mengantar perbekalan pertama
dari Kapau ketika itu.
Yang terjadi ketika Belanda
menyerbu tahun 1948, mereka berusaha agar supaya Belanda tidak merebak ke daerah-daerah
mengejar para pejuang. Yaitu dengan cara merusak atau sabotase, seperti
misalnya jalan-jalan dipotong kemudian dialiri air sehingga Belanda tidak dapat
melaluinya. Bila Belanda
datang maka pejuang lari. Ketika Belanda
menyerbu Cubadak,
maka mereka
lari ke Kamang.
Dekat batas Kapau
dengan Tilatang
yaitu Kayu Gagak, disana ada kedai.
Kedai itu dibakar oleh Belanda
termasuk ada orang yang ikut terpanggang di dalamnya.
Itulah permulaan perang pada agresi kedua tersebut.
Kegiatan Koeratoel’ain dan kawan-kawan terutama menyiapkan perbekalan, ketika nanti malam
pejuang akan bergerilya misalnya. Maka diberitahulah oleh pemerintah nagari
berapa keperluannya. Bergiliran menuju kampung-kampung. Itulah yang dikerjakan
oleh PKK dengan menyiapkan nasi bungkus. Jadi setiap ada kegiatan perjuangan
maka selalu ada tugas untuk menyiapkan perbekalan seperti nasi bungkus, bukan
hanya Kapau tapi setiap daerah kebagian tugas seperti itu. Misalnya Gadut dan Tilatang, tapi orang lebih
senang bila pasukan gerilya itu di Kapau.
Karena orang Kapau
terkenal pandai masak.
Kantor ketika itu di Padang Cantiang, dan di kantor itu banyak
stafnya bahkan ada yang PKI, Lenggang Rasiak
atau
Lenggang Security
namanya. Dialah yang mengumpulkan perbekalan. Tapi pada waktu itu batas-batas
ideologi hilang karena kita menghadapi Belanda
jadi kita bersatu menghadapi satu musuh bersama yaitu Belanda. Staf-staf nagari
waktu itu banyak misalnya Guru Pak Gaya (Abdul Wahab Intan Batuah) padahal dia
guru waktu itu. Saaduddin Efendi kakak dari Firdaus Efendi staf kantor Bupati,
guru Syair, dan banyak lagi guru-guru lainnya jadi staf semuanya di kantor
nagari, tapi tugas-tugasnya tidak ada karena suasana perang.
Sesudah
perang sebagai rasa syukur, maka pergilah
Koeratoel’ain dan kawan-kawan ke pasar Bukittinggi, kemudian berfoto
bersama di studio foto. Membawa tustel atau kamera waktu itu tidak ada. Radio
saja tidak ada waktu itu di Kapau. Ada satu radio Kapau pada masa awal
kemerdekaan, radio itu dibawa dari Malaysia
oleh Rasjidin Kari Bagindo. Karena sebagai Wali Nagari pertama setelah kemerdekaan dia berangkat
ke Malaysia minta bantuan, maka
terbawalah satu radio pulang yang dinamakan Radio Rimbo. Radio ini sangat berat,
baterainya saja 40 buah. Itulah yang didengar sore dan malam hari.
Pada waktu agresi Belanda tahun 1948 maka Koeratoel’ain yang menyerahkan radio ini
ke Kamang, dimana waktu itu
disana tempatnya jawatan penerangan Kabupaten.
Mereka sangat gembira karena yang akan dijadikan berita front tentu berita dari
radio ini.
Ketika kali yang kedua Belanda masuk ke Kapau, Koeratoel’ain dan kawan-kawan berkantor di Parak Bingkah, dia
masuk ke dalam sawah yang hanya berjarak 10 meter dari posisi tentara Belanda. Tapi untunglah Belanda
tidak melihat. Kemudian kali ketiga dia
mau ke Kamang hendak bertemu dengan kawan-kawan
di sana, dalam perjalanan ke sana sampai di Magek kebetulan Belanda masuk ke pasar Magek. Tidak tahu kemana mau
lari, akhirnya bersembunyi saja lagi di bawah kolong sebuah kedai yang
kebetulan sedang tutup. Rupanya Belanda
sampai ke kedai. Hanya jarak dua meter dari Koeratoel’ain dan kawan-kawan yang bersembunyi, nampak
sepatu serdadu Belanda. Semua yang bersembunyi menahan nafas, ada yang batuk
maka dibisikkan jangan batuk, tapi untunglah Belanda tidak tahu. Koeratoel’ain punya
satu pistol dan sebuah granat. Jadi tahulah dia bahwa di sana harus menghadapi
keberanian. Kemudian dia
serahkan granat itu kepada pejuang di Kamang.
Kemudian Koeratoel’ain dengan Slamat yang sekretaris
nagari pergi ke Kamang
di Batu Baraguang namanya, tempat
markas Letkol Dahlan Djambek. Di perjalanan ada bukit namanya Gunuang Aru, setiba di sana
nampaklah pesawat capung terbang melayap. Capung itu memberi kode sebenarnya,
dimana daerah yang akan ditembaki atau di bom. Ketika itu bersembunyilah mereka disana
dekat tebing. Pesawat itu kemudian membom persis sekitar 50 meter dari markas
Dahlan Djambek.
Pada zaman perjuangan tahun 1947 Koeratoel’ain dan
kawan-kawan
sempat membuat ampangan bandar/sungai atau bendungan dekat Induring tepatnya di
banda bawah. Itu mereka
buat karena ada semen peninggalan Jepang
di pasar bawah. Jadi setelah Jepang
kalah semen terbengkalai maka mereka ambil untuk membuat ampangan tadi. Waktu
itu ketuanya Inyik Adjo dan Koeratoel’ain bendahara. Setelah selesai ampangan
tadi mereka undanglah pak Hatta ketika beliau berada di Sumbar. Datanglah pak
Hatta melihat ampangan di sana.
Wakil ketua BPNK waktu itu adalah Basir orang Induring,
setelah perang kemerdekaan dia menetap di Pakanbaru.
Anggota BPNK itu adalah seluruh pemuda yang ada di kapau. Tetapi yang aktif
sekitar 70 orang, ada pula bagiannya yaitu yang dinamakan Pasukan Mobil Teras
(PMT), inilah pasukan tempurnya. Pasukan ini mempunyai senjata seadanya. Hanya
beberapa orang yang punya pistol misalnya Koeratoel’ain, Aminuddin komandan PMT dan Dewan St Basa. Dan
senjata itu tidak boleh dinampakkan karena tentara sendiri bisa saja merampas senjata
itu, karena tentara itu sebetulnya banyak yang tidak punya senjata. Umumnya
tentara biasanya kebanyakan punya senjata bambu runcing.
Pasukan PMT adalah pemuda daerah setempat karena setiap
nagari ada pasukan tersebut. Sebagian bekas tentara Jepang bergerak di kampungnya
masing-masing. Koeratoel’ain pada tahun
1947 sudah tentara juga tapi menjadi BP (Badan Penyelidik), pernah bertugas di
Baso, di Koto Gadang dan Koto Tuo. Kemudian dia berhenti jadi tentara enam bulan menjelang agresi Belanda. Maka berhenti ada
sejarahnya, dia
ditugasi menjaga barang selundupan yang masuk dari Singapura di Baso. Umumnya
adalah rokok, barang-barang ini ditangkap kemudian dijual untuk perjuangan.
Koeratoel’ain tahu benar berapa barang yang diselundupkan tersebut di Baso. Dilaporkanlah
kepada komandan, dimana waktu itu kantor mereka
di benteng. Rupanya rokoknya komandan itu, ini korupsi rupanya pikir
Koeratoel’ain, sehingga dia
berhenti jadi tentara.
Yang memasukkan Koeratoel’ain jadi tentara adalah Nawawi
St Pangeran dia orang Tilatang
punya isteri di Luak
Tunggang. Jadi, karena
kemurnian perjuangan tersebut telah ternodai maka dia berhenti karena
Koeratoel’ain merasa tidak
ada lagi arti tugas baginya.
Koeratoel’ain mengaji atau belajar agama dengan
mamak/paman nya yang
bergelar Malin Sutan, bapak dari Dt Tanah
Basa. Setelah itu karena kurang enak belajar dengan mamak sendiri dia kemudian belajar di Bukareh. Yang mengajar murid
mamak dia
juga Kari Arjani namanya, itu tahun 1947. Setelah itu dia pindah mengaji ke Sarojo
Bukittinggi, yang mengajar disana adalah pak Labai Darwis, beliau juga mengajar
di Sumatera Tawalib Parabek. Beliaulah yang menjadi otak pelaksana pendidikan
di sana tahun 1942 sampai awal 1945. Yang pokok benar pelajaran waktu itu
adalah nahu sharaf. Baginya belajar
bahasa arab cukup mudah karena dia
sudah mengalami belajar Bahasa Belanda. Dalam masa tiga tahun Koeratoel’ain
sudah bisa membaca huruf arab gundul
atau kitab kuning. Tahun 45 itu dia
sudah mulai belajar jadi khatib di Mandiangin sambil mengajar juga di Cingkaring.
Kemudian pelajaran agama ditambah setelah Koeratoel’ain bergabung di PSII, belajar diantaranya
dengan Haji Agus Salim. Dan itu dia
buktikan ketika mengikuti Konferensi Asia Afrika di Bandung, dia mewakili tokoh Islam dari
Sumbar meninjau konferensi AA tersebut. Tambahan pelajaran kemudian setelah kemerdekaan dia kuliah di Muallimin yang
pindah dari Padang Panjang ke Bukittinggi. Gurunya orang Yugoslavia, namanya
Mustafa Ramadhan, dia tidak bisa bahasa Indonesia. Jadi dia mengajar tafsir dengan
bahasa arab. Koeratoel’ain bisa menangkap pelajaran setelah tiga bulan belajar
dengannya.
Dan satu kesyukuran Koeratoel’ain adalah dia masuk suatu partai yang
militan yaitu PSII yang merupakan induk dari partai-partai yang ada selama ini,
karena telah berdiri sebelum adanya partai-partai lain. Disanalah dia banyak belajar dengan
tokoh-tokoh yang berpengalaman di zaman Belanda seperti Arudji Kartawinata Ketua
DPR, Anwar Tjokroaminoto staf Panglima Sudirman, Haji Agus Salim tokoh jenius
Indonesia yang ahli menguasai sembilan
buah bahasa.
Koeratoel’ain pernah jadi anggota DPRD kabupaten Agam
tahun 1964, kemudian anggota DPRD Tk I
tahun 1966 yang merangkap sebagai anggota MPRS yang mengangkat presiden
tahun 1967. Dia
disamping berdagang juga aktif di politik. Sejak kemerdekaan tahun 1945-1946
Koeratoel’ain mulai memimpin cabang PSII, kemudian menjadi Bendahara PSII
Sumbar. Setelah PRRI karena tokoh-tokoh
PSII tidak boleh bergerak lagi,
maka dia
tampil memimpin partai dan menduduki level-level sampai tingkat nasional. Dan dalam memimpin itu dia bukan untuk menonjolkan
diri karena tidak ada orang yang bisa tampil lagi. Dengan pimpinan pusat
lainnya dia akrab
seperti saudara. Sebutannya tetap saudara, saudara Tjokro, saudara Arudji dan
lain-lain. Dan disanalah membuat Koeratoel’ain banyak belajar. Dan dengan
banyak belajar itu akibatnya dalam kegiatan kemasyarakatan antara lain di Bank Nasional dia jadi komisaris selama lima
tahun. Selama itu dia
tetap belajar dan membaca. Sampai sekarang dia tetap membaca, pertama sekali
pagi-pagi Quran dengan pemahamannya sekali, kemudian membaca majalah dan surat
kabar dua sehari, daerah dan pusat. Dan buku-buku, sebagian sudah diberikannya ke perpustakaan.
Dengan membaca maka pergaulan dengan level-level yang
tinggi jadi mudah sehingga misalnya dia juga jadi pendiri di Yarsi Sumbar, padahal banyak tokoh-tokoh
waktu itu yang sarjana S2 dan S3. Dengan membaca itulah dan juga banyak bergaul
dengan tokoh-tokoh nasional sehingga pemikiran jadi berkembang. Begitu juga
dengan STIE Haji Agus Salim dan Koeratoel’ain jadi pengawas di sana.
Ketika masuk partai dan sudah mampu menjadi anggota maka
disana diwajibkan bersumpah setia atau baiat. Kalau dipikirkan memang berat
tapi setelah dijalani ternyata tidaklah berat. Itulah yang mendorongnya ketika berdagang buku,
maka uangnya banyak yang habis untuk partai. Misalnya acara-acara partai kongres dan sebagainya,
pernah suatu kali diinapkan peserta di hotel Jogja kiranya tidak cukup biayanya
maka dia
yang membayar sehingga habis uangnya bahkan
sampai berutang ke bank. Tapi ada saja jalan keluarnya setelah itu tersebab
niat untuk kepentingan agama sehingga, jika kamu menolong agama Allah maka Allah pun
akan menolongmu, kata Allah.
Said Rasjad pernah datang ke kedai, “St Asali berdagang atau tidak”, katanya, “kenapa
begitu”, “ya uang dihabiskan untuk partai bagaimana ceritanya itu”. “Tapi itu
kan kewajiban”, kata saya.
Tentang berdirinya Yarsi dimana Koeratoel’ain juga salah
seorang pendirinya, diawali dengan sejarah yang cukup panjang. Dimana setelah berakhirnya PRRI, para tokohnya yang sebagian adalah dari PSSI
mempunyai suatu gagasan pendirian rumah sakit Islam. Meskipun pemerintah
menganggap pemberontak tapi ini harus dipisahkan, karena ini adalah niat
baik dari M Natsir waktu itu. Karena ketika itu di Bukittinggi ada rumah sakit
baptis yaitu Kristen,
dimana Kristen
itu akan dikembangkan di sini. Dia, Kristen
ini mempunyai fikiran jika Sumatra
Barat telah dimasuki itu
berarti seluruh Indonesia bisa dimasuki, karena militansi Islam itu terletak di
Sumatera Barat. Jadi begitulah,
nawaitu yang ingin mengkristenkan ini harus dibendung dengan pendidikan pula.
Ketika itu banyak orang berceloteh, bercerita bahwa akan
berdiri rumah sakit Kristen
dan kita akan dikristenkan dan seterusnya dengan mengungkap kejengkelan yang
diumbarkan. Pak Natsir datang, “tidak begitu”, katanya. “Kalau orang
menghidupkan lampu maka terang lampunya, tidak dipadamkan lampunya orang itu tapi buat pula oleh kita”.
Begitulah dilakukan cara dakwah dengan perbuatan. Karena itu niatnya, maka mereka partai-partai Islam yang
ada di DPR mengusahakan berdirinya yayasan, yaitu Yayasan Rumah Sakit Islam
atau Yarsi tersebut.