Koalisi Besar Menuju Kemenangan
Oleh: Zulfadli Aminuddin
Konstelasi politik di negara kita bergerak cepat dan tidak terduga. Berbagai kejutan terjadi mengiringi pembentukan koalisi menghadapi pilpres 9 Juli 2014. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa tidak ada partai di republik ini yang memperoleh suara mayoritas mutlak yang memungkinkan bagi partai tersebut mengusung calon presiden sendiri. Seluruh partai memperoleh suara yang hampir berimbang. Untuk itu mau tidak mau partai dengan suara terbanyak harus berkoalisi dengan partai lain.
Kita telah menyaksikan perkembangan dari waktu ke waktu setelah pemilu legislatif 9 April yang lalu dan sekarang telah menjadi kenyataan bahwa hanya ada dua poros kekuatan yang mengusung calon idaman masing-masing untuk maju bertarung dalam pilpres yang akan datang. Kedua poros itu adalah Poros PDIP yang berkoalisi dengan Nasdem, PKB dan Hanura yang mendukung Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla sebagai Capres dan Cawapres, kemudian poros yang dimotori oleh Gerindra yang berkoalisi dengan PAN, PKS, PPP, PBB dan Golkar. Sedangkan Demokrat memilih menjadi penonton, netral atau diluar dari dua poros ini. Yang menarik disini adalah Golkar yang memutuskan bergabung ketika menit-menit terakhir akan dilaksanakannya deklarasi Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa sebagai Capres dan Cawapres. Maka sudah dapat dipastikan dengan dua pasang capres dan cawapres ini pemilu presiden hanya akan terlaksana satu putaran.
Melihat peta kekuatan antara Capres Jokowi versus Capres Prabowo berdasarkan dukungan partai maka Prabowo secara hitungan di atas kertas diuntungkan. Hal ini dapat kita lihat total perolehan suara partai pendukung Prabowo 48,92 % sedangkan Jokowi 39,98 %. Namun belajar dari pemilu sebelumnya hal ini tidak berbanding lurus. Sebab dalam memilih parpol jelas berbeda dengan memilih orang atau figur, meskipun kita tidak menampik bahwa pengaruh partai ikut mempunyai peranan, bisa jadi suatu partai dapat mempengaruhi pemilihnya. Tapi jangan lupa bahwa dalam politik tidak sama dengan hitungan matematika, setiap kemungkinan bisa saja terjadi. Karena disamping itu yang teramat penting dalam hal ini adalah strategi dan sejauh mana kecepatan bergeraknya mesin partai untuk memenangkan pertarungan dalam pilpres mendatang.
Dan yang pasti para pendukung dua pasang Capres/Cawapres ini baik yang pro Jokowi-Kalla maupun yang pro Prabowo-Hatta tentu akan secara gencar mengkampanyekan jagoannya masing-masing secara massif di media massa, jejaring sosial dan sebagainya. Tentu harapan kita adalah bahwa tidak masalah mengunggulkan capres yang kita dukung asalkan tidak mencari-cari keburukan dan kelemahan capres yang lain, ini sangat penting ditekankan karena masyarakat sudah cerdas dalam memilih karena tidak ada pemaksaan dalam memilih capres tertentu, karena dalam demokrasi setiap orang bebas dalam menentukan pilihannya.
Dibalik itu semua ada satu hal yang perlu dicermati, adanya upaya sebagian media massa yang condong ke salah satu kandidat atau media yang jelas-jelas milik pemimpin partai penyokong capres tertentu, dimana media ini kesannya sangat kentara ingin menggiring publik untuk tidak menyukai calon presiden tertentu. Salah satu isu yang dihembuskan adalah bergabungnya suatu partai ke salah satu pasangan calon karena iming-iming kursi menteri, sedangkan calon yang lain tidak pernah menjanjikan kursi, ini transaksional katanya. Kalau kita fikir secara jernih isu ini lucu dan aneh di dalam politik, dimanapun di dunia ini tidak ada satu negara demokrasi pun yang tidak membagi-bagikan kursi menteri atau jabatan lainnya ke rekan koalisinya.
Katanya kerjasama (yang digembar gemborkan salah satu capres), tentu di dalam kerjasama wajar membicarakan porsi jabatan apabila memenangkan pilpres. Kalau tidak bagaimana mungkin ada bentuk kerjasama. Tidak ada bedanya sekarang atau nanti membicarakan pembagian kekuasaan tersebut. Konsekwensi setiap partai dalam mendukung tentu ada syarat tertentu, meskipun tidak pernah dinyatakan. Suatu partai berkoalisi tentu ada sesuatu yang diharapkannya dan ini wajar dan tidak ada yang salah. Dan ini adalah bukti dan sebagai penghargaan kepada dukungan yang diberikannya. Justru yang aneh itu adalah apabila partai pendukung tidak mengharapkan apa-apa dari perannya dalam koalisi. Timbul pertanyaan dimana bentuk kerjasamanya. Ini jelas mustahil dalam dunia politik.
Jadi kesimpulannya pembagian jatah kursi atau apapun namanya adalah sah-sah saja dalam demokrasi. Yang penting adalah niat dari mewujudkan ini adalah untuk kepentingan bangsa dan negara dalam jangka panjang bukan untuk kepentingan sesaat dan kepentingan pragmatis lainnya. Karena dalam memperjuangkan bangsa dan negara tidak bisa sendiri tapi butuh kerjasama dari semua pihak secara kolektif kolegial dalam mendukung Presiden dan Wakil Presiden terpilih nantinya.
Saya sebetulnya tidak ingin mempertentangkan kedua calon kandidat atau menentukan pilihan kepada calon tertentu, tapi berita yang berkembang perlu disikapi dengan tegas dan hanya ada satu pilihan diantara dua pilihan. Agar jangan timbul ketidakadilan maka saya dengan tegas menyatakan memilih capres dan cawapres yang diusung oleh koalisi besar yang akan memenangkan pertarungan di pilpres 9 Juli 2014 yang akan datang karena lebih rasional dan mempunyai visi dan misi yang jelas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar