Rabu, 21 Agustus 2013
New York - Lembaga pemantau hak asasi manusia internasional
(Human Right Watch) mempublikasikan laporannya di laman hrw.org terkait
pengusiran dengan pembantaian di kamp Rab’ah al Adawiyah dan Lapangan
Nahdha di Kairo, Mesir.
Lembaga tersebut pun mengungkapkan, pembantaian itu merupakan pembunuhan
terburuk dalam sejarah modern sebuah negara. Pasukan keamanan Mesir
menggunakan kekuatan mematikan untuk mengusir aksi duduk pada 14 Agustus
2013.
Investigasi HRW melaporkan, keputusan untuk menggunakan senjata peluru
tajam dengan skala besar sejak awal menunjukkan gagalnya penerapan
kebijakan yang berdasarkan pengawasan internasional saat memutuskan
untuk menggunakan kekuatan mematikan.
Padahal, tidak ada alasan berarti tentang adanya gangguan dari para
pengunjuk rasa atau gangguan dari penggunaan senjata terbatas dari
demonstran.
Kegagalan dari pemerintah untuk membuka ‘pintu keluar’ bagi keselamatan
peserta aksi duduk, termasuk pengunjuk rasa yang cedera akibat tembakan
dan membutuhkan perawatan medis adalah kekerasan serius dalam standar
internasional.
Investigasi HRW berdasarkan dokumentasi dari tangan pertama, wawancara
intensif dengan para pekerja kesehatan, dan Pusat Hak Ekonomi dan Sosial
Mesir.
Jumlah korban tewas saat aksi duduk di Rab’ah Al Adawiyah melonjak
dengan cepat dari 288 versi kementerian kesehatan bentukan militer,
menjadi 377 korban tewas.
Dengan jumlah korban tewas yang terus bertambah setiap hari, HRW
mendesak, penguasa militer Mesir harus menghentikan kebijakan instruksi
penggunaan peluru tajam untuk melindungi gedung negara. Kebijakan
tersebut, seharusnya hanya digunakan untuk melindungi nyawa seseorang.
“Penggunaan kekuatan mematikan yang tak bisa dibenarkan ini adalah
kemungkinan terburuk penyebab situasi di Mesir hari ini, “ujar Joe
Stork, Direktur HRW zona Afrika Utara dan Timur Tengah.
Berdasarkan keterangan dari Kementerian Dalam Negeri, jumlah korban
tewas hingga 14 Agustus tercatat 638 jiwa. Termasuk 43 polisi. Terjadi
baku tembak di kota dekat Kairo di Mohandessin dan sebuah serangan
terhadap kantor polisi di Kerdassa yang menyebabkan 4 polisi tewas.
HRW pun mewawancarai saksi, pendeta, dan warga atas kejadian tersebut.
Mereka menjelaskan setelah 14 Agustus 2013, milisi Islam radikal telah
menyerang sembilan kota dan membakar 32 gereja.
Tiga hari setelahnya, terjadi bentrokan antara pasukan keamanan dan
demonstran dari Ikhwanul Muslimin, juga pengunjuk rasa anti Ikhwanul
Muslimin. Terdapat 173 korban tewas pada 18 Agustus, menurut data dari
Kementerian Kesehatan. (rol)
Sumber: dakwatuna
Tidak ada komentar:
Posting Komentar