Hari itu Jum’at
tanggal 12 Agustus 2011 bertepatan dengan 12 Ramadhan 1432, saya dan jamaah
masjid lainnya baru saja selesai melaksanakan shalat Jum’at di masjid Syech
Muhammad Yusuf Aur Pakan Kamis Kec.Tilatang Kamang. Setelah berdoa sejenak saya
melihat jam menunjukkan pukul 13.00 Wib, firasat saya tidak enak maka langsung saja
saya bergegas keluar masjid mengambil motor dan memacunya menuju tempat
bersalin (rumah Bidan) yang berjarak tidak sampai satu kilometer dari masjid.
Tidak lama kemudian saya sampai di
tempat bersalin, dan ternyata benar isteri saya sudah hampir melahirkan,
mungkin bayinya menunggu kedatangan ayahnya. Beberapa saat setelah saya masuk
ke dalam ruangan terdengar tangis bayi sejenak namun kemudian berhenti.
Meskipun hati agak was-was juga tapi beberapa detik kemudian barulah hati saya menjadi
tenang. Alhamdulillah gumam saya dalam hati. Tepat pukul 13.05 Isteri saya
selamat melahirkan seorang bayi. Ternyata benar bayi yang dilahirkan berjenis
kelamin laki-laki dan sesuai dengan hasil USG sebelumnya. Pada saat mau
dilahirkan lehernya kebetulan dililit oleh tali pusar. Kata orang tua-tua kelak
anak yang dililit tali pusar ini akan gagah dan tampan. Alhamdulillah bidan
yang membantu persalinan bertindak dengan cepat dan profesional.
Saya sangat bersyukur kehadirat Allah
Swt, karena keinginan serta harapan kami selama ini dikabulkan-Nya dengan
memberikan amanah seorang bayi laki-laki. Karena tiga orang anak kami
sebelumnya adalah perempuan. Syukur Alhamdulillah.
Rasa sukacita tidak dapat dilukiskan
dengan kata-kata, baik bayi maupun ibunya sehat wal’afiat dimana telah selamat dalam
proses melahirkan secara normal, suatu karunia Allah yang sangat berharga bagi
kami sekeluarga.
Bayi yang imut dengan berat 3,8 kg ini kami
beri nama Muhammad Habiburrahman dengan panggilan Habib, sebuah nama yang
mengandung doa dan pengharapan semoga dicintai oleh Yang Maha Pengasih. Harapan
kami sangat besar semoga amanah yang dikaruniai Tuhan ini dapat kami jaga dan
pelihara serta akan kami didik dengan sebaik-baiknya.
Hari berganti hari bulan pun berganti
bulan, Habib anak kami tumbuh dan berkembang dengan sangat baik, kami dan
seluruh keluarga besar menaruh cinta dan kasih sayang yang bersangatan
kepadanya. Sebagai sesuatu yang wajar terhadap si bungsu dan satu-satunya anak
laki-laki. Perkembangannya sangat membahagiakan, apabila dibandingkan dengan
saudara sepupunya Hamidah yang lebih tua duapuluh satu hari, Habib cukup cepat
perkembangan berat badannya. Setiap orang selalu menyatakan pujian dan doa
semoga kelak menjadi tumpuan harapan kedua orang tuanya. Amin.
Habib adalah ibarat permata yang sangat
berharga dalam keluarga kami, dia seolah pelipur dahaga di tanah tandus dan gersang.
Teman bermain bagi tiga orang kakak-kakaknya yang semuanya perempuan yaitu
Nurul, Sabila dan Rafa. Terutama kakak di atasnya Rafa selalu menjadi teman
setianya ketika kakaknya yang lain pergi sekolah, ayah dan ibunya juga pergi mengajar
atau ketika neneknya sedang di dapur. Mereka berdua Habib dan Rafa setiap hari
bercengkerama dan bercanda sambil menonton televisi. Kakak adik ini begitu
saling menyayangi satu sama lain. Ketika bangun pagi-pagi apabila Habib
menangis maka dia dibawa ke tempat tidur kakaknya Rafa, maka Habib akan
berhenti menangis.
Pada umur 11 bulan Habib sudah mulai
pandai berjalan, memanjat-manjat dan sebagainya. Kadang-kadang benda yang
ditemuinya dibuangnya ke halaman melalui jendela, mungkin tidak berguna menurut
anggapannya. Meskipun belum pandai berbicara dan memanggil ayah dan ibu tapi
dia sudah paham bila dicegah memegang atau mengambil sesuatu. Dia sudah
mengerti apabila ibu dan ayahnya mau pergi, maka dia sudah berdiri di pintu
melambai-lambaikan tangan. Disamping itu dia sangat respek dengan tamu yang
datang kemudian mendekat sambil tersenyum manis, berbeda dengan kakaknya Rafa
yang justru sebaliknya.
Suatu kali di sore hari ketika saya baru
saja selesai memimpin rapat tiba-tiba datang telpon dari isteri saya
mengabarkan bahwa Habib sedang demam dan panasnya tinggi, saya masih ingat hari
itu Jum’at tanggal 6 Juli 2012. Beberapa saat saja bicara kemudian handphone
mati, membuat saya terkejut bukan main. Tanpa berpikir panjang saya segera
pamit kemudian langsung pulang dan memacu motor, di dalam perjalanan perasaan
saya resah tidak karuan. Sampai di rumah Alhamdulillah panas si Habib mulai
turun dan sore itu juga saya langsung pergi meminta obat ke bidan. Padahal
besoknya kami berencana akan berangkat ke Padang dengan membawa Habib dan Rafa,
karena Isteri saya akan mengikuti PLPG untuk guru sertifikasi selama sepuluh
hari. Tapi Alhamdulillah berkat pertolongan Allah Habib sudah berangsur membaik
dia tetap dibawa ke Padang. Tapi meskipun demikian di Padang tetap diminta juga
obat ke bidan yang ada di sana.
Selama di Padang, saya menjaga si Habib
ketika ibunya mengikuti PLPG, tapi syukurlah kesehatannya semakin membaik.
Namun sejak pulang dari Padang Habib tidak mau lagi meminum ASI, maka
diberikanlah susu bubuk bayi untuk seterusnya dan dia selalu diberi minum susu bubuk
bayi merk Lactogen 750 gram, yang dihabiskannya hanya dalam satu minggu saja. meskipun
sebelumnya susu ini sekedar membantu dan hanya diberikan ketika ibunya pergi
mengajar.
Memasuki bulan September dimana pada
bulan ini banyak acara keluarga yang cukup padat, dimulai dengan acara
pernikahan dan pesta perkawinan kemenakan/keponakan saya pada tanggal satu dan
dua, kemudian acara meminang anak sepupu tanggal 6, selanjutnya rencana kenduri
kahwin (keponakan juga) di Malaysia tanggal 30 September. Untuk acara yang
terakhir ini saya sudah agak berat untuk berangkat ke Malaysia karena perkiraan
saya mungkin ada saudara-saudara lain yang bisa berangkat ke sana, tapi
ternyata tidak satu pun yang bisa berangkat sebagai mamak/paman mewakili keluarga
dari kampung. Apalagi saya pun baru pulang dari malaysia pada bulan Mei
menghadiri kenduri kemenakan yang lain pula.
Akhirnya dengan berbagai pertimbangan
dan bermusyawarah dengan anggota keluarga maka diputuskanlah bahwa saya yang akan
berangkat ke Malaysia. Karena keputusan hanya dua, jadi berangkat atau tidak.
Menimbang keadaan inilah saya kuatkan diri untuk pergi ke Malaysia. Karena merujuk
kepada pepatah Minangkabau yang berbunyi “kaluak paku kacang balimbiang,
timpuruang lenggang-lenggangkan, dibawo urang ka saruaso, anak dipangku
kamanakan dibimbiang, urang kampuang dipatenggangkan, tenggang nagari jaan
binaso”. Artinya adalah: anak (anak kandung) dipangku/digendong sedangkan
kemenakan (anak saudara perempuan) dibimbing, berbuat baik dengan orang kampung
agar nagari kita aman sentosa. Maksudnya kita tidak boleh membeda-bedakan
antara anak dengan kemenakan dalam hal mendidik dan mengurus keperluannya,
meskipun kita utamakan anak kandung tapi kemenakan kita bantu juga sepanjang
menurut aturan adat yang berlaku.
Keputusan bahwa saya yang akan
berangkat mewakili keluarga dari kampung kemudian dikhabarkan kepada keluarga
di Malaysia, dimana nantinya saya akan berangkat dengan kapal verry dari Dumai
menuju Port Klang Malaysia. Dan saudara di Malaysia pun telah bersedia akan
menjemput nantinya ke pelabuhan Klang. Saya sendiri kemudian langsung membeli
tiket mobil travel yang akan ditumpangi menuju Kota Dumai. Keberangkatannya adalah
pada hari Rabu malam tanggal 26 September 2012.
Rabu malam itu sekitar pukul 20.00 Wib
saya sudah siap di rumah menunggu mobil travel yang akan menjemput. Sebagaimana
biasa ketika akan berangkat tidak ada sedikitpun firasat dalam diri saya akan
terjadi sesuatu nantinya yang tidak diinginkan. Setelah menyalami semua
termasuk anak bungsu kesayangan, Habib, saya mencium pipinya beberapa kali yang
ketika itu dalam gendongan ibunya. Sebelumnya seingat saya, saya sempat bercanda
yang ditujukan kepada Habib. “Habib...ayo gantilah baju Bib kita akan berangkat
lagi...”
Mobil travel yang menjemput pun telah sampai
dan menunggu di depan di dekat masjid. Setelah pamit dengan mengucap salam saya
segera menuju mobil travel sambil menyandang sebuah tas ransel dan menjinjing
bungkusan tas asoy /kresek. Singkat cerita, malam itu berangkatlah kami dengan
beberapa penumpang lain dengan mobil travel BMW menuju Dumai. Penumpang hanya
empat orang karena bangku di barisan belakang mobil APV itu sengaja dikosongkan
karena diisi oleh barang-barang penumpang dan kiriman paket. Perjalanan malam
itu boleh dikatakan lancar namun sedikit terlambat sampai di Kota Dumai,
kira-kira pukul 07 pagi hari Kamis, biasanya mobil travel tiba pukul enam atau setengah
tujuh, hal ini disebabkan karena ada beberapa penumpang yang turun di kota Duri.
Setelah mengurus beberapa keperluan berkaitan
dengan paspor dan tiket verry melalui agen biro travel, maka pukul 10 pagi saya
dan beberapa orang lainnya diantar menuju pelabuhan Dumai. Beberapa saat
kemudian langsung antrian untuk cap paspor oleh petugas imigrasi. Kebetulan
penumpang lumayan banyak hari itu. Kemudian setelah selesai langsung menuju
kapal verry yang sudah menunggu. Tepat jam 11 pagi kapal verry pun mulai bergerak
meninggalkan pelabuhan Dumai dengan tujuan pelabuhan Klang di Malaysia. Ketika
kapal verry baru saja berjalan membelah laut, perut saya terasa lapar. Tanpa
pikir panjang saya langsung membuka nasi bungkus yang sudah dibeli sebelumnya
ketika di Dumai dan menyantapnya sampai habis. Beberapa saat kemudian kru kapal
pun memberikan makanan berupa mie goreng, kadang-kadang nasi goreng, dan
dibungkus kotak gabus kemudian diiringi dengan sebuah air mineral gelas. Dan
saya juga memakan mie goreng tersebut.
Kira-kira setengah jam kemudian
perasaan saya menjadi tidak enak, perut terasa sakit tapi bukan mau mabuk, begitu
pula dengan kepala juga terasa sakit. Keringat bercucuran membasahi badan
seperti orang mandi. Rasanya badan tidak kuat lagi melanjutkan perjalanan.
Keadaan ini berlangsung hampir setengah jam tapi saya terus menguatkan hati
sambil berdoa. Alhamdulillah berangsur-angsur rasa sakit itupun kembali pulih.
Selama menempuh perjalanan lebih kurang tiga setengah jam sampailah kapal verry
di pelabuhan Klang yang membawa penumpang termasuk saya, tiba di Port Klang kira-kira
pukul setengah empat waktu Malaysia.
Turun dari kapal verry, saya
sebagaimana juga penumpang lainnya segera bergegas menyusuri jalan berupa
koridor yang dibatas kiri kanan, karena akan menghadapi antrian lagi untuk cap
paspor. Setelah antrian selama lebih dari setengah jam tibalah giliran saya dan
tanpa banyak tanya dari petugas imigrasi Malaysia, saya terus memasukkan tas ke
mesin x ray, dan akhirnya selamat keluar dari ruangan imigrasi.
Di luar kantor imigrasi / imigresen saya
sudah ditunggu oleh kakak saya Masni yang menjemput dari Kuala Lumpur. Kami
langsung menuju loket Kommuter atau kereta api listrik dan segera naik ke atas
kommuter yang nampak sangat lengang oleh penumpang. Kami menunggu keberangkatan
kommuter hampir setengah jam. Kommuter akhirnya berjalan santai dengan membawa
penumpang yang tidak terlalu banyak.
Sementara itu di jorong Dalam Koto,
ribuan kilometer jaraknya dari tempat dimana kami naik kommuter, Habib selesai
dimandikan ibunya sore itu sekitar pukul 17 Wib dan dipakaikan pula baju kaos
lengan panjang dan celana panjang warna biru tua dengan tulisan di depan
bajunya “tendangan si madun”. Beberapa saat kemudian Neneknya yang dipanggil
Tuo baru pulang dari melayat. Alangkah bahagianya hati Tuo melihat cucu sudah
mandi dan memakai pakaian yang bagus. “Wah, sudah bagus ya Habib, cucu tuo...,
sayang tuo dulu”, Habib menyodorkan kedua pipinya untuk dicium. Tuo mencium
kedua pipi sang cucu dengan penuh kasih sayang.
Ibunya kemudian hendak pergi mencuci ke
belakang, maka dibawanyalah Habib ke dalam kamar tuonya, dimana tuonya telah
berada dalam kamar dan menutup pintu, tapi Habib menangis, kemudian dia diberi
makanan sepotong pias kacang. Tuonya kemudian memanggil kakaknya Nurul untuk
menggendong Habib sebentar karena Tuo sedang ganti pakaian. Ketika di dalam
gendongan kakaknya tersebut suara Habib terdengar memekik agak keras seperti
tersedak. Tuo terkejut dan berfikiran mungkin dia tertelan sesuatu, tapi
mulutnya sudah tertutup rapat dan badan sudah lemas, terlihat tangannya masih
menggenggam pias kacang.
Melihat keadaan demikian Tuo memanggil
ibunya di belakang, ibunya bergegas untuk melihat keadaannya. “Habib.., maafkan
ibu sayang, ibu telah salah” ujar ibunya dengan perasaan gelisah. Ibunya segera
menelepon bidan Elvia di pakan Kamis dan menceritakan keadaan Habib. Ibuk Bidan
segera menyuruh agar diantar langsung ke UGD Puskesmas Pakan Kamis. Segera saja
ibunya memanggil kak Sus, yang rumahnya beberapa puluh meter ke depan untuk
mengantarkan Habib ke UGD. Ibunya segera menggendong Habib dengan membonceng
motor ke puskesmas.
Tiba di Puskesmas, petugas segera
memeriksa dan melakukan tindakan medis apakah Habib tertelan sesuatu atau ada
sesuatu tersangkut di kerongkongannya, tapi tidak ada dan kakinya pun sudah
diangkat ke atas. Petugas medis puskesmas menyarankan untuk segera dibawa ke
IGD Rumah Sakit Ahmad Mochtar (RSAM) Bukittinggi. Di RSAM juga dilakukan upaya
selanjutnya yang ditangani oleh tiga orang dokter. Istri saya menelpon Dr.
Anbiar, ahli bedah yang merupakan saudara sepupunya dari pihak ayah, namun
rupanya beliau sedang bertugas melakukan pembedahan pasien pula. Manusia
berencana sedangkan Allah membuat keputusan, meskipun dokter telah berusaha
sesuai dengan ilmunya, Habib tidak tertolong dan dia menghembuskan nafas
terakhir sekitar pukul enam kurang seperempat (17.45) Wib pada hari itu, Kamis
tanggal 27 September 2012. Tidak beberapa lama kemudian dokter keluar
memberitahukan bahwa Habib telah meninggal dunia.
Saya tidak dapat mengungkapkan
bagaimana perasaan seorang ibu mendengar kematian anaknya. Tapi syukurlah pada
saat yang bersamaan isteri saya ketemu dengan Ustadz Rajuddin, dan ustadz ini
yang berusaha menenangkan dan mengingatkan isteri saya bahwa, anak adalah
titipan atau pinjaman dari Allah dan Dia tentu berhak untuk mengambilnya
kembali.
Kembali ke perjalanan saya. Perjalanan
yang ditempuh dari Port Klang menuju Kuala Lumpur mencapai lebih kurang dua jam
karena sering berhenti karena banyaknya stasiun yang dilalui. Kami akhirnya turun
di stasiun Putra Kuala Lumpur dimana jam waktu itu telah menunjukkan kira-kira pukul
18.30 waktu Malaysia.
Keluar dari stasiun Putra kami dan kak
Masni berjalan kaki menyusuri jejantas atau jembatan penyeberangan menuju
stasiun LRT semacam kereta api listrik juga hendak ke hentian/terminal Bas
Puduraya, rencananya mau beli tiket ke Kuantan Pahang tempat kemenakan akan
melangsungkan pesta perkawinannya. Selama berjalan kaki itu tiba-tiba saya
tersedak, terasa sakit sekali ke seluruh dada, untunglah ada air minum di tas
ransel dan saya minum air putih itu sampai habis. Lama juga redanya akibat
tersedak tersebut sampai kami tiba di stasiun LRT kira-kira sepuluh menit
kemudian. Kak Masni terus menuju komputer penjual tiket LRT.
Baru saja menekan tombol layar sentuh
dan akan memasukkan uang, nada dering hanphone kak Masni berbunyi. Di layarnya
nama Irwan, yaitu kemenakan saya juga anak dari kak Masna. Saya tidak mendengar
suara Irwan dari seberang, tapi dari raut wajah kak Masni nampak terkejut
“Zul... anak zul yang kecil meninggal...” kata kak Masni kepada saya. Saya
mengira pada mulanya anak Zul atau Hafizul yang adalah anak kak Masni ini. Barulah
setelah kak Masni menjelaskan bahwa Irwan atau Wan terima telpon dari kampung.
“Istri Zul menelpon sambil menangis dari kampung ke Wan, dia meminta supaya Zul
balik kampung segera...” ujar kak Masni melanjutkan. Barulah saya tersentak dan
percaya, badan saya terasa lunglai tidak berdaya.
Saya kaget bukan kepalang. Ya Allah...
ujian apakah yang Engkau timpakan kepada hamba yaa Allah. Agak lama saya
termenung seolah tidak percaya dengan berita ini, apa daya saya tidak dapat
menelpon langsung karena kartu sim hanphone belum diganti. Hampir saja saya
tidak mampu menguasai diri, untunglah Allah masih memberikan kekuatan.
Ampunilah hamba ya Allah..Inna Lillahi wa Inna Ilaihi raajiuun....Engkau
menitipkan seorang anak kepada kami tapi hanya sebentar ya Allah, sekarang
engkau mengambilnya kembali, saya ikhlas ambillah ya Tuhan. Izinkanlah saya
bersedih dan menangis tapi bukan menyesali takdir-Mu. Saya tidak mampu
melukiskan dengan kata-kata bagaimana perasaan saya waktu itu. Saya setuju
saran kak Masni supaya Irwan membeli tiket pesawat melalui internet dan malam
itu juga segera kembali ke kampung. Kak Masni memutuskan untuk kembali ke
stasiun Putra dan naik kommuter menuju Sungai Buloh, rumah dimana Irwan dan Mak
nya tinggal. Dan Irwan akan menjemput ke stasiun Sungai Buloh.
Bagai petir yang menggelegar di siang
bolong begitulah kira-kira berita dari kampung yang saya terima. Badan saya
terasa lemas dan kaki sangat berat untuk dilangkahkan. Seandainya punya sayap
tentulah saat itu juga saya langsung terbang ke kampung. Saya tidak sanggup
menahan air mata yang terus mengalir dan menetes ke bumi. Kesedihan yang
teramat sangat dan kepedihan yang tak sanggup dituliskan dengan kata-kata. Tapi
walau bagaimanapun saya harus memaksakan diri ini untuk tetap kuat karena harus
berjalan kaki kembali ke stasiun Putra untuk naik kommuter ke Sungai Buloh sejauh
kira-kira 10 menit jalan kaki.
Kemudian datang kabar dari Wan, rupanya
tidak ada pesawat yang berangkat malam ke Padang tapi yang ada pagi pukul tujuh
dan sampai di padang pukul delapan. Saya hanya pasrah dan tidak mampu lagi
berkata-kata. Malam itu saya bermalam di rumah kak Masna, malam yang sangat
menyedihkan bagi saya. Hanya semalam di Malaysia. Karena besok pagi sebelum
subuh harus segera berangkat ke Bandara KLIA (Kuala Lumpur Internasional
Airport).
Semalaman saya sulit untuk tidur, selalu
teringat putra semata wayang yang ditinggalkan di kampung sekarang telah
dipanggil Tuhan nya menuju Surga. Saya ikhlas dan rela melepasnya pergi tapi
kesedihan di dalam hati akan kehilangannya sulit untuk diusir. Air mata
mengalir tiada henti, cobaan yang luar biasa yang menimpa saya kali ini. Saya
teringat akan baginda Rasulullah SAW ketika putranya Ibrahim meninggal sewaktu
berusia enambelas bulan, beliau menangis dan meneteskan air mata, dan tangan
beliau menggigil. Sehingga para sahabat berusaha mencegah, “Aku tidak melarang
kalian menangis, yang aku larang adalah menangis dengan suara keras” kata
beliau kepada sahabat. “apa yang kalian lihat pada diriku sekarang ini adalah
karena pengaruh cinta dan kasih di dalam hati, orang yang tidak menaruh kasih
sayang, orang lain pun tidak menaruh kasih sayang kepadanya”.
Kami orangtuanya sangat mencintai dan
mengasihinya ternyata Allah lebih mencintai dan mengasihi melebihi cinta kami.
Mungkin Allah sangat sayang apabila dia hidup lebih lama lagi mungkin dia akan
teraniaya oleh kerasnya arus kehidupan dunia yang penuh kepalsuan dan
kebohongan ini.
Pagi-pagi Jum’at sebelum subuh kira-kira
pukul empat waktu Indonesia, saya yang diantar oleh Wan sudah berangkat dari
Sungai Buloh menuju KLIA. Perjalanan ditempuh selama lebih kurang satu jam.
Sampai di KLIA sudah masuk waktu subuh dan kami pun shalat subuh berjamaah. Beberapa
saat kemudian Setelah cap paspor kami sarapan di ruang tunggu bandara, kemudian
kami segera berjalan kaki menuju pesawat Air Asia yang sudah standby, yang
waktu itu hujan cukup lebat dan membasahi landasan. Detik detik keberangkatan
pesawat ditandai dengan hujan yang sudah reda dan ketika pesawat tinggal
landas, matahari sudah mulai menampakkan sinarnya. Lebih kurang pukul 7.50 Wib
pesawat landing dengan mulus di landasan udara Bandara Internasional
Minangkabau.
Keluar dari bandara saya dan Wan segera
naik taksi hendak ke kampung, Alhamdulillah perjalanan cukup lancar sehingga
sampai di kampung sesuai dengan target yaitu pukul 10 pagi. Begitu turun dari
taksi saya langsung menuju ke dalam rumah yang sudah dipenuhi karib kerabat dan
para pelayat. Suasana di dalam rumah sangat ramai tapi hening. Di depan mata
saya buah hati sibiran tulang telah terbujur tidak bergerak di tengah rumah. Melihat
saya datang mungkin arwahnya berkata “selamat datang ayah, habib menunggu ayah
saja lagi...”. Saya berusaha kuat dan rasanya saya sudah cukup kuat dan telah
siap menerima semuanya karena ini bukan mimpi tapi kenyataan yang tidak lain
harus dihadapi dengan kekuatan iman.
Wajahnya tampak cerah, bagaimana anak
yang sedang tidur maka begitulah keadaannya. Saya duduk bersimpuh sambil
mencium keningnya berulangkali, saya tak kuasa menahan kesedihan yang teramat
sangat. Sambil terisak dan air mata tak kuasa saya bendung. Tapi saya yakin
dapat menguasai diri berkat pertolongan Allah. “Habib...ini ayah nak, ayah
datang untuk melepas mu nak...” Saya rasa semua orang ikut menangis
menyaksikan. Isteri saya berusaha menenangkan, nampaknya dia lebih tabah
daripada saya.
Beberapa saat kemudian saya ikut
memandikan Habib untuk yang terakhir kalinya di dekat dimana dia sering saya
mandikan semasa hidupnya. Proses penyelenggaraan jenazah berlangsung cepat.
Setelah dikafani jenazah kemudian dibawa ke masjid untuk dishalatkan, sesuai usulan
salah seorang tokoh masyarakat karena dia adalah jenazah bayi yang suci maka
tidak perlu ditunggu hingga selesai shalat Jum’at. Jenazah kemudian dibawa ke
samping masjid untuk dimakamkan karena disana tanah pekuburan kaum. Proses
penyelenggaraan jenazah hingga ke kubur berjalan lancar dan selesai pukul 11
Wib.
Selamat jalan Habib anak ku dan selamat
berbahagia karena engkau telah berada di surga dengan pengasuh mu, selama tiga
belas bulan lima belas hari kami bersamamu dengan cinta dan kasih sayang kami
yang tiada putus-putusnya tercurah untuk mu, kami merelakan dan kami
ikhlaskan, semoga ayah dan ibu akan berjumpa dengan mu kelak, nak... di Yaumil Mahsyar. Insya Allah. (20/10/2012)