Hidayatullah
Kamis, 29 Maret 2012
HARGA-harga
komoditi pangan di Indonesia sering tak terkontrol. Suatu saat
melambung tinggi, di saat lain anjlok mencapai titik terendah. Bawang
merah misalnya, harganya pernah mencapai puluhan ribu per kilo, tapi
saat tiba waktu panen turun drastis. Saking rendahnya harga itu, para
petani di Nganjuk, Jawa Timur pernah lebih memilih membakar barangnya
daripada menjualnya.
Tidak terkontrolnya harga-harga tersebut
karena begitu lemahnya peran pemerintah. Saking lemahnya, adanya
pemerintah itu seperti tidak ada. Sebagian orang bilang, peran
pemerintah memang dibatasi. Pemerintah tidak boleh intervensi soal
harga. Harga lebih diserahkan kepada mekanisme pasar. Namun bila
harga-harga melangit sehingga mencekik rakyat, pemerintah mestinya
punya kewenangan mengontrol harga.
Seperti pendapat sebagian
besar ulama, dalam kasus tertentu -walau mereka berpendapat sebaiknya
harga memang ditentukan oleh pasar- pemerintah berhak mengontrol harga,
demi melindungi rakyat. Karena dalam banyak kasus, melambungkan
harga-harga itu bukan semata mekanisme pasar, melainkan lantaran ulah
para tengkulak.
Dalam sejarah Islam, orang yang pertama kali
turut campur menentukan harga di pasar adalah ‘Umar bin Khaththab, saat
beliau menjabat khalifah. Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang dikenal tegas ini punya perhatian besar kepada pasar.
Sebab, pasar adalah jantung ekonomi suatu masyarakat (negara).
Berangkat dari kepentingan ini, sekalipun khalifah, ‘Umar merasa perlu
turun sendiri ke pasar-pasar melakukan pengawasan. Bila melihat
penyimpangan beliau langsung meluruskan.
Dari Sa’id bin
Al-Musayyib diriwayatkan, ‘Umar bertemu Hathib bin Abi Balta’ah yang
sedang menjual kismis di pasar. ‘Umar berkata, “Kamu tambah harganya
atau angkat dari pasar kami.”
Riwayat lain, dari Yahya bin
Abdul Rahman bin Hathib. Dia berkata, “Ayahku dan ‘Utsman bin ‘Affan
adalah dua sekutu yang mengambil kurma dari Al-Aliyah ke pasar. Mereka
kemudian bertemu dengan ‘Umar. “Wahai Ibnu Abi Balta’ah, tambahlah
harganya, apabila tidak, maka keluarlah dari pasar kami,” kata Umar.
Riwayat di atas menunjukkan bahwa ‘Umar begitu peduli dengan
harga-harga yang berkembang di pasar. Beliau melarang menurunkan harga.
Harga yang terlalu murah sepintas memang menguntungkan konsumen. Namun
sesungguhnya dalam jangka panjang itu bakal menghancurkan kepentingan
yang lebih besar, yakni kepentingan penjual maupun kepentingan pembeli
itu sendiri.
Harga yang terlalu murah, membuat para pedagang
enggan berjualan karena keuntungannya terlalu sedikit. Tidak sepadan
dengan jerih payah dan modal yang dikeluarkan. Bila pedagang enggan
berjualan, pada akhirnya tentu bakal mempengaruhi persedian barang.
Saat persedian barang sedikit, sementara di sisi lain permintaan
bertambah, yang terjadi kemudian harga melambung tinggi. Nah, ini tentu
tidak menguntungkan bagi masyarakat banyak.
Karena itu, di
samping melarang menurunkan harga, ‘Umar memerintahkan pedagang menjual
sesuai harga pasar. Ada riwayat yang menunjukkan hal tersebut.
Diriwayatkan, seorang laki-laki datang membawa kismis dan menaruhnya di
pasar. Lalu dia menjual tidak dengan harga pasar. Tidak jelas di
riwayat ini apakah pria itu menjual di bawah harga pasar atau justru di
atasnya. Yang jelas ‘Umar berkata, “Juallah dengan harga pasar atau
kamu pergi dari pasar kami. Sesungguhnya kami tidak memaksamu dengan
satu harga.”
Sebagian ulama menganggap apa yang dilakukan ‘Umar
tersebut bertentangan dengan ketentuan Rasulullah. Abu Dawud dan
At-Tirmidzi mengisahkan, suatu hari harga-harga barang naik. Sebagian
umat Islam lalu mendatangi Rasulullah, minta beliau menentukan harga.
Tapi Nabi tidak bersedia. Beliau hanya berdoa, “Aku berdoa agar Allah
menghilangkan mahalnya harga dan meluaskan rezeki.” Rasulullah memberi
alasan kenapa menolak menentukan harga, “Sesungguhnya Allah, Dialah
yang menentukan harga, yang Maha Menahan, Maha Meluaskan lagi Maha
Memberi rezeki. Dan aku berharap bertemu Allah dan tidak ada seorang
dari kalian meminta pertanggungjawabanku atas kezaliman dalam darah dan
harta.”
Ulama lain, seperti Jaribah bin Ahmad Al-Haritsi
berpendapat sebaliknya. Seperti ditulis dalam bukunya, Al Fiqh Al
Iqtishadi Lil Amiril Mukminin Umar ibnu Al Khathab (diterjemahkan
penerbit Khalifa dengan judul Fiqih Ekonomi Umar bin Khathab), menurut
Jaribah apa yang dilakukan Umar tidak bertentangan dengan Hadits Nabi
di atas. Jaribah punya dua alasan.
Pertama, naiknya
harga pada zaman Nabi tersebut akibat fluktuasi dari persediaan dan
permintaan barang. Artinya, harga naik karena persediaan barang sedikit
sementara permintaan banyak. Karena itu Rasulullah enggan menetapkan
harga. Memperkuat pendapatnya, Jaribah mengutip pendapatnya Ibnu
Taimiyah. Syaikhul Islam ini berpendapat, membuat dalil berdasarkan
Hadits yang menunjukkan keengganan Nabi menentukan harga, untuk
membuktikan dilarangnya penentuan harga secara mutlak adalah kesalahan.
“Ini adalah kasus khusus, bukan umum,” kata Ibnu Taimiyah.
Kedua,
masih kata Jaribah, ‘Umar tidak membatasi harga tertentu, misalnya
dengan nominal tertentu. ‘Umar hanya minta pedagang menjual dengan
harga pasar. Di antara dalil yang menunjukkan ‘Umar benar-benar menjaga
harga pasar adalah saat beliau memerintahkan Hathib untuk masuk ke
rumahnya dan menjual kismisnya sebagaimana kehendaknya. Sebab,
berjualan di rumah jauh dari penglihatan penjual dan pembeli, sehingga
tidak mempengaruhi harga di pasar.
Sekalipun sikap ‘Umar tegas
dalam menjaga harga pasar, namun beliau tidak kaku. Pada kasus tertentu
pedagang boleh menjual barangnya di luar harga pasar.
Itu
pernah dialami Al-Miswar bin Makhramah. Ia menjual makanan dengan harga
modalnya atau tanpa keuntungan. ‘Umar heran dengan apa yang dilakukan
Miswar tersebut, “Apakah kamu gila, wahai Miswar?”
Miswar
menjawab, “Demi Allah, tidak wahai Amirul Mukminin. Tetapi aku melihat
mendung musim gugur. Aku benci menahan apa yang bermanfaat bagi
manusia.” Mendengar jawaban Miswar tersebut, ‘Umar segera menyahut,
“Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan.”
Tetapi jika
penyimpangan harga, baik turun maupun naik yang terlalu ekstrim karena
ulah pedagang, misalnya monopoli, maka menurut Jaribah, negara mesti
bertindak demi kemaslahatan semua orang.
Kesimpulannya, bila
terjadi pergerakan harga, baik naik maupun turun, akibat fluktuasi
persediaan dan permintaan barang dalam keadaan normal, maka penentuan
harga dalam keadaan seperti ini tidak diperbolehkan. Penetapan harga di
saat keadaan normal, dianggap sebagai kezaliman kepada rakyat yang
menyebabkan penguasa harus mempertanggungjawabkan pada Hari Kiamat
kelak. */Bambang Subagyo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar