| Opini
Budaya Minang Mulai Luntur
Tanggal 02 April 2012
SYOFYAN KUDAN
Sumbar merupakan satu dari 33 provinsi di Indonesia, terkenal dengan budaya Minangkabau yang disingkat Minang saja.
Dalam kehidupan masyarakat Minang, terkenal dengan kepintaran otaknya terlihat dari sejumlah pepatah dan petitih yang diterbitkan para pendahulu kita. Takurung ndak di lua, tahimpik ndak di ateh. Kemudian juga ada sikap pemberani yang diibaratkan; tabujua lalu, tabalintang patah, ditambah lawan pantang dicari, kalau basobok pantang dielakkan.
Orang Minang juga punya rasa persatuan yang kokoh ibarat sadanciang bak basi, saciok bak ayam, kemudian juga ada rasa senasib sepenanggungan, tatilantang samo makan angin, tatungkuik samo makan tanah.
Orang Minang juga mempunyai rasa malu yang tinggi dan jika terjadi di dalam keluarganya, maka diberikan hak untuk menggadaikan harta pusaka yang ada, rumah gadang katirisan. Mayat tabujua di tangah rumah. Gadih gadang alun balaki.
Banyak lagi istilah Minang yang menandakan ciri khas orang Minang tersebut.
Dalam perkembangan sejarah kehidupan orang Minang, budaya itu sekarang dan beberapa dekake terakhir ini sudah mulai luntur, dengan adanya kasus-kasus yang menyimpang dari prilaku orang Minang itu sendiri.
Walaupun itu bersifat kasuistis, namun hal itu telah membuat budaya Minang itu menjadi luntur dimata suku/budaya adat lain, di luar minang.
Kenapa sampai luntur budaya tersebut? Pertama, pewarisan budaya tidak berkelanjutan, sehingga terputus di tengah generasi. Hal-hal kecil yang harus diketahui oleh generasi penerus minang, tidak lagi diketahuinya, akibat kemajuan zaman dan pergaulan.
Sebagai data, Prof. Agustiar Syahnur (alm) guru besar UNP pada 2001 silam, ketika penulis menjadi mahasiswa pascasarjana, beliau sebagai dosen pernah menyampaikan kepada kami, dari hasil observasi dengan angket kepada sejumlah mahasiswa S-1 jurusan Bahasa Inggris di UNP, diperoleh data 63 persen mahasiswa tidak tahu dengan sukunya. Apakah suku menurut bapak atau ibu, juga mahasiswa tidak tahu.
Itu data yang dilakukan beliau pada 2000. Coba bayangkan setelah 12 tahun hingga sekarang. Jika ada yang meneliti kembali, maka penulis yakin persentasenya akan lebih meningkat lagi, ketidak tahuan sukunya.
Itu hal-hal kecil, yang tidak kita sadari, budaya Minang sudah mulai luntur. Penulis juga yakin, jika kita ajukan sejumlah pertanyaan kepada pelajar SD, siswa SLTP, SLTA hingga mahasiswa, pasti kita akan terkejut dengan ketidak tahuan masalah adat.
Bagaimana ia akan beradat Minang, suku saja mereka tidak tahu, harus memakai suku ibu atau suku bapaknya.
Bukti lainnya, pemberian nama putera-puteri Minang sekarang yang usia sekolah tidak ada lagi kita dengar dan lihat yang memakai suku Minang.
Misalnya Syofyan Kudan Chaniago, Edwardi Piliang, Waitlem Jambak, Eko Yanche Tanjung atau Wannedi Saman Guci, Rusmel Melayu dan lainnya.
Coba bedakan dengan war ga Sumatra Utara (Sumut) setiap anaknya lahir, bangga memakai nama dengan sukunya. Siapakah yang salah? Apakah yang tua-tua sekarang tidak mau lagi memberikan arahan tentang pentingnya arti suku dalam budaya Minang.
Usaha pemerintah menghidupkan kembali budaya lokal telah ada yakni pemerintah provinsi, kabupaten dan kota memberikan mata pelajaran muatan lokal di setiap jenjang pendidikan. Untuk Sumbar dikenal dengan mata pelajaran Budaya Adat Minangkabau (BAM) yang telah mulai diberikan di tingkat SD sampai SLTA.
Bahkan dalam penerapan mata pelajaran BAM tersebut diberikan kebebesan kepada sekolah untuk menentukan gurunya, yang dapat diambilkan dari tokoh-tokoh masyarakat yang mengerti dengan adat dan budaya di masing-masing daerah. Sebab, adat salingka nagari. Artinya, adat dan budaya itu antar nagari pasti ada bedanya, baik cara pelaksanaan, berpakaian maupun waktu pelaksanannya.
Tapi sangat disayangkan, mata pelajaran BAM yang dilaksanakan sekarang tidak ubahnya seperti mata pelajaran sejarah yang berisi sejarah Minangkabau. Seharusnya bukan sejarah yang ditonjolkan, tapi aplikasi pengetahuan adat dan budaya di daerah setempat yang dipraktikkan.(*)
Dalam kehidupan masyarakat Minang, terkenal dengan kepintaran otaknya terlihat dari sejumlah pepatah dan petitih yang diterbitkan para pendahulu kita. Takurung ndak di lua, tahimpik ndak di ateh. Kemudian juga ada sikap pemberani yang diibaratkan; tabujua lalu, tabalintang patah, ditambah lawan pantang dicari, kalau basobok pantang dielakkan.
Orang Minang juga punya rasa persatuan yang kokoh ibarat sadanciang bak basi, saciok bak ayam, kemudian juga ada rasa senasib sepenanggungan, tatilantang samo makan angin, tatungkuik samo makan tanah.
Orang Minang juga mempunyai rasa malu yang tinggi dan jika terjadi di dalam keluarganya, maka diberikan hak untuk menggadaikan harta pusaka yang ada, rumah gadang katirisan. Mayat tabujua di tangah rumah. Gadih gadang alun balaki.
Banyak lagi istilah Minang yang menandakan ciri khas orang Minang tersebut.
Dalam perkembangan sejarah kehidupan orang Minang, budaya itu sekarang dan beberapa dekake terakhir ini sudah mulai luntur, dengan adanya kasus-kasus yang menyimpang dari prilaku orang Minang itu sendiri.
Walaupun itu bersifat kasuistis, namun hal itu telah membuat budaya Minang itu menjadi luntur dimata suku/budaya adat lain, di luar minang.
Kenapa sampai luntur budaya tersebut? Pertama, pewarisan budaya tidak berkelanjutan, sehingga terputus di tengah generasi. Hal-hal kecil yang harus diketahui oleh generasi penerus minang, tidak lagi diketahuinya, akibat kemajuan zaman dan pergaulan.
Sebagai data, Prof. Agustiar Syahnur (alm) guru besar UNP pada 2001 silam, ketika penulis menjadi mahasiswa pascasarjana, beliau sebagai dosen pernah menyampaikan kepada kami, dari hasil observasi dengan angket kepada sejumlah mahasiswa S-1 jurusan Bahasa Inggris di UNP, diperoleh data 63 persen mahasiswa tidak tahu dengan sukunya. Apakah suku menurut bapak atau ibu, juga mahasiswa tidak tahu.
Itu data yang dilakukan beliau pada 2000. Coba bayangkan setelah 12 tahun hingga sekarang. Jika ada yang meneliti kembali, maka penulis yakin persentasenya akan lebih meningkat lagi, ketidak tahuan sukunya.
Itu hal-hal kecil, yang tidak kita sadari, budaya Minang sudah mulai luntur. Penulis juga yakin, jika kita ajukan sejumlah pertanyaan kepada pelajar SD, siswa SLTP, SLTA hingga mahasiswa, pasti kita akan terkejut dengan ketidak tahuan masalah adat.
Bagaimana ia akan beradat Minang, suku saja mereka tidak tahu, harus memakai suku ibu atau suku bapaknya.
Bukti lainnya, pemberian nama putera-puteri Minang sekarang yang usia sekolah tidak ada lagi kita dengar dan lihat yang memakai suku Minang.
Misalnya Syofyan Kudan Chaniago, Edwardi Piliang, Waitlem Jambak, Eko Yanche Tanjung atau Wannedi Saman Guci, Rusmel Melayu dan lainnya.
Coba bedakan dengan war ga Sumatra Utara (Sumut) setiap anaknya lahir, bangga memakai nama dengan sukunya. Siapakah yang salah? Apakah yang tua-tua sekarang tidak mau lagi memberikan arahan tentang pentingnya arti suku dalam budaya Minang.
Usaha pemerintah menghidupkan kembali budaya lokal telah ada yakni pemerintah provinsi, kabupaten dan kota memberikan mata pelajaran muatan lokal di setiap jenjang pendidikan. Untuk Sumbar dikenal dengan mata pelajaran Budaya Adat Minangkabau (BAM) yang telah mulai diberikan di tingkat SD sampai SLTA.
Bahkan dalam penerapan mata pelajaran BAM tersebut diberikan kebebesan kepada sekolah untuk menentukan gurunya, yang dapat diambilkan dari tokoh-tokoh masyarakat yang mengerti dengan adat dan budaya di masing-masing daerah. Sebab, adat salingka nagari. Artinya, adat dan budaya itu antar nagari pasti ada bedanya, baik cara pelaksanaan, berpakaian maupun waktu pelaksanannya.
Tapi sangat disayangkan, mata pelajaran BAM yang dilaksanakan sekarang tidak ubahnya seperti mata pelajaran sejarah yang berisi sejarah Minangkabau. Seharusnya bukan sejarah yang ditonjolkan, tapi aplikasi pengetahuan adat dan budaya di daerah setempat yang dipraktikkan.(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar