Pertempuran Balat al-Syuhada Rabu, 08 September 2010 Oleh: Alwi Alatas
Hidayatullah.com--KITA
tak hanya harus belajar dari kemenangan dan keberhasilan. Kadang kita
perlu belajar juga dari kekalahan. Karena dengan demikian kita akan
memahami hal-hal yang menjadi penyebab kekalahan itu dan dapat
menghindarinya pada masa-masa yang akan datang. Itulah di antara alasan
mengapa kita mempelajari Sejarah. Pada
awal Ramadhan tahun 114 H (732 M), telah terjadi salah satu pertempuran
yang paling menentukan sepanjang sejarah. Pertempuran itu terjadi di
suatu tempat di Prancis, di antara kota Tours dan Poitiers, dan kemudian
dikenal sebagai Balat al-Syuhada, pavements of martyrs. Paul K. Davis memasukkan peristiwa ini dalam daftar 100 Decisive Battles-nya. Sementara seorang penulis lain, Edward Creasy, memasukkan pertempuran ini dalam bukunya, Fifteen Decisive Battles of the World. Kapan
dikatakan sebuah pertempuran bersifat menentukan jalannya sejarah?
Menurut Paul K. Davies (1999: xi), sebuah pertempuran dikatakan
’menentukan’ ketika memenuhi salah satu dari tiga kriteria berikut ini. Pertama, pertempuran itu berdampak pada perubahan sosial politik yang sangat penting (brought about a major political or social change). Kedua, sekiranya hasil dari pertempuran itu berbeda 180 derajat, maka akan terjadi perubahan besar-besaran secara politik dan sosial (had the outcome ... been reversed, major political or social changes would have ensued). Ketiga, pertempuran
tersebut menandai dimulainya perubahan penting dalam strategi perang
(marks the introduction of a major change in warfare). Pertempuran yang
tengah kita bicarakan ini, termasuk dalam kategori yang kedua.
Balat al-Syuhada, dalam
sejarah juga dikenal sebagai Pertempuran Tours atau Pertempuran
Poitiers, terjadi antara pasukan Muslim dari Andalusia yang dipimpin
oleh Abdul Rahman al-Ghafiqi melawan pasukan Perancis yang dipimpin oleh
Charles Martel. Pada pertempuran ini kaum Muslimin kalah dan Abdul
Rahman sendiri turut gugur sebagai syuhada. Muhammad Abdullah Enan dalam bukunya Decisive Moments in the History of Islam (1983:
43) menyebutkan betapa para ahli sejarah, terutama di Barat,
berandai-andai bahwa sekiranya hasil dari pertempuran ini berbeda 180
derajat, yaitu kaum Muslimin menang dan pasukan Perancis kalah, maka
‘tidak akan ada lagi Eropa yang Kristen atau agama Kristen, dan Islam
akan mendominasi Eropa.’ Ia
juga mengutip pendapat Edward Gibbon yang mengatakan bahwa pada titik
itu (di daerah antara Poitiers dan Tours, pen.) garis kemenangan kaum
Muslimin telah mencapai 1000 mil ke Utara dihitung dari Gibraltar.
Sekiranya mereka mampu meneruskan jarak kemenangannya dengan jumlah yang
sama, maka mereka akan mampu mencapai Polandia dan Dataran Tinggi
Skotlandia. Jika itu benar-benar terjadi, ‘barangkali tafsir al-Qur’an
pada masa sekarang ini akan diajarkan di sekolah-sekolah Oxford, dan
mimbar-mimbarnya mungkin menunjukkan pada orang yang bersunat akan
kesucian dan kebenaran Wahyu Muhammad’ (1983: 48).
Kemungkinan-kemungkinan inilah yang membuat para sejarawan memandang
pertempuran ini sebagai decisive battle. Enan
sendiri dalam pengantar bukunya (1983: iv) memandang pertempuran ini
sebagai salah satu dari dua pertempuran paling menentukan antara Islam
dan Barat (the greatest decisive encounters of Islam and Christendom). Pertempuran
yang satunya lagi adalah pengepungan Konstantinopel yang telah dimulai
sejak 32 H (653 M). Kegagalan kaum Muslimin dalam dua pertempuran
tersebut telah menunda, atau menghalangi, penetrasi Islam ke Eropa,
masing-masing dari pintu masuk Timur dan Barat-nya. Bagaimana
jalannya Pertempuran Tours atau Poitiers ini sendiri? Dan apa yang
menyebabkan kekalahan kaum Muslimin pada pertempuran tersebut? Kita akan
melihatnya lebih jauh. Pertempuran
ini terjadi sekitar 20 tahun setelah masuknya Islam ke Andalusia di
bawah kepemimpinan Tariq ibn Ziyad dan Musa ibn Nusayr. Sejak awal sudah
tampak keinginan para pemimpin Muslim ini untuk membuka lebih jauh
wilayah Eropa. Musa ibn Nusayr dan Tariq ibn Ziyad sudah menyeberangi
Pegunungan Pyrenees yang membatasi wilayah Spanyol dan Perancis untuk
memasuki wilayah yang terakhir ini lebih jauh lagi dan, tidak tertutup
kemungkinan, untuk mencapai Konstantinopel dari arah Barat (Eropa). Namun
ketika kedua tokoh ini baru menguasai beberapa bagian Selatan Perancis
mereka dipanggil menghadap Khalifah di Damaskus. Sepeninggal Musa ibn
Nusayr hingga ke masa Abdul Rahman al-Ghafiqi setidaknya ada lima orang
lainnya yang ditunjuk oleh Damaskus untuk memimpin Andalusia (Reinaud,
1964). Sejak memasuki Andalusia, kekuatan kaum Muslimin terus merambah
wilayah Selatan, Tengah, dan bahkan Utara Perancis (Davis, 1999: 103).
Namun, laju penetrasi pasukan Muslim ke Perancis berjalan relatif lambat
disebabkan ketidakstabilan politik di Andalusia pada masa itu. Keadaan
sosial dan politik menjadi lebih baik saat Abdul Rahman al-Ghafiqi
ditunjuk untuk memimpin Andalusia. Kepemimpinannya yang baik dan adil
membuatnya disukai oleh orang-orang yang dipimpinnya. Dalam membagikan
pampasan perang, ia terbiasa mendahulukan kepentingan anggota pasukannya
daripada kepentingannya sendiri. Ia juga merupakan seorang pemimpin
yang saleh dan dikenal sebagai salah seorang sahabat Ibn Umar
radhiyallahu ’anhu, salah seorang Sahabat Rasulullah shallallhu ’alaihi
wasallam (Reinaud, 1964: 43; Alatas: 2007: 151).
Enan (1983: 45)
menjelaskan bahwa al-Ghafiqi merupakan pemimpin dan administrator yang
tangguh, seorang pembaharu yang antusias, seorang yang memiliki kebaikan
dan kualitas yang ideal, serta memiliki rasa keadilan, kesabaran, dan
relijiusitas yang tinggi. Secara umum Enan melihat sosok al-Ghafiqi
sebagai pemimpin (Wali) Andalusia yang terbesar dan paling handal. Sejak
era kepemimpinannya, menurut Reinaud (1964: 44), gubernur-gubernur yang
tidak amanah diganti dengan orang-orang yang jujur. Orang-orang Islam
dan Kristen diperlakukan secara adil, sesuai dengan perjanjian yang
terjalin di antara mereka. Gereja-gereja yang dirobohkan secara
semena-mena diperbaiki kembali. Demikian juga sebaliknya, gereja yang
dibangun dengan cara korupsi, yaitu dengan cara menyogok penguasa
setempat, diperintahkan untuk dirobohkan.
Al-Ghafiqi sangat
waspada terhadap potensi konflik internal dan pemberontakan di Andalusia
serta terhadap kemungkinan ancaman dari arah Utara. Oleh karena itu, ia
segera mengirim pasukannya ke Utara, menyeberangi pegunungan Pyrenees,
untuk memerangi salah satu gubernurnya di Perancis Selatan, Uthman ibn
Abi Nis’ah, yang menentang kepemimpinannya dan bersekutu dengan penguasa
Kristen di wilayah itu, yaitu Eudo, Duke of Acquitaine. Pasukan yang
dikirim al-Ghafiqi berhasil menumpas perlawanan Ibn Abi Nis’ah.
Al-ghafiqi sendiri kemudian menyusul ke Utara dengan pasukan yang kuat
untuk menghadapi ancaman Duke Eudo dan pasukannya.
Al-Ghafiqi
memasuki wilayah Perancis pada musim semi 732 M (awal 114 H), kurang
lebih satu tahun setelah ia diangkat menjadi Wali Andalusia. Satu
persatu wilayah Acquitaine berhasil diduduki pasukannya. Eudo berusaha
menahan pasukan al-Ghafiqi di tepi Sungai Dordogne. Namun dalam
pertempuran ini Eudo menderita kekalahan telak dan banyak anggota
pasukannya yang mati di pertempuran itu. Al-Ghafiqi mengejar Eudo hingga
ke ibukota kerajaannya di Burdal, Bordeaux, yang segera takluk ke
tangannya setelah pengepungan singkat. Seluruh Acquitaine kemudian jatuh
ke tangan Muslim. Sementara Eudo sendiri melarikan diri ke Utara,
pasukan Muslim mulai memasuki wilayah Burgundi dan menaklukkan kota-kota
seperti Lyon dan Besancon. Sebagian pasukan Muslim bahkan berhasil
mencapai Sens yang terletak hanya seratus mil saja dari Paris. Pasukan
al-Ghafiqi kemudian bergerak ke arah Barat hingga ke tepi Sungai Loire.
Dari sana mereka bersiap untuk ke Utara menuju pusat Kerajaan Frank
(Perancis) (Enan, 1983: 47-8).
Kerajaan Frank ketika itu dalam
masa transisi antara Dinasti Merovingian dan Dinasti Carolingian.
Walaupun secara resmi masih dipimpin oleh seorang raja Merovingian yang
sudah tak lagi memiliki kekuasaan riil, Kerajaan Frank ketika itu secara
efektif dikendalikan oleh Charles Martel. Kerajaan Frank pada masa itu,
dan pada abad-abad setelahnya, dapat dikatakan sebagai kerajaan terkuat
di Eropa Barat dan merupakan sekutu paling setia dari kepausan Katholik
di Roma. Melihat gerakan pasukan Islam yang semakin berbahaya, Charles
Martel menghimpun pasukannya. Eudo sendiri, yang merupakan saingan
Charles Martel dan selama sekian lama berusaha melepaskan diri dari
kekuasaan pusat, kemudian datang dan meminta bantuan pada Charles
Martel. Charles menyetujuinya denga syarat Eudo akan terus loyal
kepadanya.
Sementara itu, Pasukan Muslim telah mencapai daerah di
antara Poitiers dan Tours. Mereka menyerang dan menguasai kedua kota
itu. Tak lama setelah itu, di wilayah antara Poitiers dan Tours, pasukan
Muslim mulai berhadapan dengan pasukan Frank yang dipimpin oleh Charles
Martel. Laporan tentang jumlah pasukan Muslim beragam, antara 20.000
sampai 80.000. Sementara jumlah pasukan Frank dilaporkan secara beragam
juga, ada yang menyatakan lebih sedikit dari pasukan Muslim dan ada yang
yang menyebutkan angka yang lebih besar. Pasukan Frank kebanyakannya
merupakan pasukan irregular, nyaris telanjang, dengan rambut ikal yang
tergerai hingga ke bahu, serta mengenakan kulit serigala.
Pasukan
yang dibawa al-Ghafiqi ketika itu merupakan pasukan terkuat dan
terbesar yang pernah dibawa ke Perancis. Namun jumlah pasukan sudah agak
berkurang setelah melalui berbagai pertempuran. Pada saat itu mereka
juga menghadapi ujian yang cukup serius: harta! Sepanjang penaklukkan
berbagai kota di Perancis, pasukan Muslim berhasil mengumpulkan banyak
pampasan perang. Harta itu bisa menjadi kekuatan ekonomi bagi Muslim
selepas perang. Tapi masalahnya perang belum selesai. Dan kini mereka
justru sedang dihadapkan dengan kekuatan inti lawan.
Al-Ghafiqi
mulai mengkhawatirkan keberadaan pampasan perang yang ada di tangan
pasukannya. Ia khawatir perhatian pasukannya terpecah antara menghadapi
musuh dengan menjaga pampasan perang agar tidak jatuh ke tangan musuh.
Ia meminta agar sebagian pampasan perang itu ditinggalkan saja, tapi ia
tidak mampu memaksakan hal ini karena khawatir anggota pasukan akan
menentangnya di saat yang cukup genting tersebut.
Kedua pasukan
tidak langsung bertempur. Mereka saling mengawasi selama kurang lebih
seminggu. Kesempatan ini digunakan oleh pasukan Muslim untuk mengamankan
harta yang telah mereka kumpulkan agak jauh ke Selatan. Akhirnya
pertempuran bermula pada tanggal 12 atau 13 Oktober 732 (akhir Sha’ban
114). Selama tujuh hingga delapan hari berikutnya kedua pasukan terlibat
dalam pertempuran kecil. Kemudian pada hari kesembilan mereka memasuki
pertempuran besar yang melibatkan seluruh anggota pasukan. Mereka
bertempur hingga malam hari tanpa ada pihak yang menang.
Pada
hari kesepuluh kedua belah pihak saling menyerang lebih keras lagi. Kubu
Perancis memperlihatkan strategi pertahanan yang kokoh dan menyulitkan
kaum Muslimin untuk menyerang. Enan menyebutkan bahwa pasukan Perancis
pada akhirnya mulai kelelahan dan tanda-tanda kemenangan mulai berpihak
kepada pasukan Muslim. Tapi sayangnya banyak di antara anggota pasukan
Muslim yang terlalu khawatir akan jatuhnya pampasan perang ke tangan
musuh. Sehingga ketika mereka mendengar seruan dari tempat penjagaan
harta bahwa musuh mulai melakukan penetrasi ke tempat itu, konsentrasi
pasukan Muslim menjadi terpecah. Banyak di antara mereka yang
meninggalkan tempatnya dan menuju tempat harta pampasan perang berada.
Hal ini menimbulkan kekacauan di dalam barisan Muslim dan membuka
peluang bagi musuh.
Al-Ghafiqi berusaha untuk mengembalikan
pasukannya pada posisi mereka semula. Tapi semuanya sudah terlambat.
Dalam keadaan yang tidak menentu itu, ia terkena anak panah yang
dilontarkan musuh. Ia terjatuh dari kudanya dan mati syahid. Keadaan
menjadi semakin kacau dan musuh berhasil mendesak pasukan Muslim.
Walaupun mendapat pukulan bertubi-tubi dan banyak korban yang gugur,
kaum Muslimin masih bisa mempertahankan posisi mereka hingga pertempuran
dihentikan pada hari itu. Kedua belah pihak kembali ke posisi
masing-masing dan bersiap-siap menyongsong pertempuran baru keesokan
harinya. Namun pasukan Muslim tidak bersiap untuk menyongsong
pertempuran baru. Mereka menyadari bahwa mereka sudah kalah dan pemimpin
mereka sudah gugur. Maka secara diam-diam mereka memutuskan untuk
mundur pada malam harinya dan meninggalkan semua pampasan perang yang
sejak awal berusaha mereka jaga.
Keesokan paginya pasukan Frank
merasa heran dengan kesunyian di kubu Muslim. Mereka kemudian menyadari
bahwa lawan mereka sudah pergi meninggalkan pertempuran. Charles Martel
dan pasukannya merasa cukup dengan hasil pertempuran itu dan tidak
merasa perlu untuk mengejar pasukan Muslim. Mereka mengambil harta
pampasan perang yang ditinggalkan pasukan Muslim dan kemudian kembali
pulang (Enan, 1983: 56-9; Davis, 1999: 104-6).
Peristiwa itu
kemudian dikenal dalam Sejarah Islam sebagai Balat al-Syuhada’ atau
Dataran Syuhada. Para Sejarawan hanya bisa berandai-andai atas apa yang
akan terjadi sekiranya pertempuran itu dimenangkan oleh pasukan Muslim.
Bagaimana keadaan Eropa setelah itu sekiranya Kerajaan Frank dan seluruh
wilayah Perancis jatuh ke tangan Muslim? Akankah Paris, dan mungkin
juga setelah itu London, dan berbagai kota penting Eropa lainnya,
menjadi pusat-pusat kebudayaan Islam?
Tapi kita tidak perlu
berandai-andai. Semuanya sudah ditetapkan Allah dan ketetapan Allah
adalah yang terbaik. Kita hanya perlu belajar dari Sejarah, bahwa
adakalanya bukan musuh yang kuat yang mampu menaklukkan dan mengalahkan
kita. Kita hanya perlu belajar bahwa adakalanya, atau malah seringkali,
yang membuat kita takluk dan kalah justru ketidakmampuan kita sendiri
dalam mengontrol hawa nafsu yang bersumber pada kecintaan yang
berlebihan terhadap harta duniawi. Wallahu a’lam bis showab. [Jakarta, 25 Ramadhan 1431/ 4 September 2010] Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com, kini sedang mengambil program doktoral bidang sejarah di Universiti Islam Antarabangsa, Malaysia Referensi Alatas, Alwi. Sang Penakluk Andalusia: Musa ibn Nusayr dan Tariq ibn Ziyad. Jakarta: Davis, Paul K. 100 Decisive Battles: From Ancient Times to the Present. Oxford: ABC- CLIO. 1999. Enan, Muhammad Abdullah. Decisive Moments in the History of Islam. Delhi: Idarah-I Adabiyat-I Delli. 1983. Reinaud, Muslim Colonies in France, Northern Italy and Switzerland, diterjemahkan
oleh Haroon Khan Sherwani dari Invasions des Sarrazins en France, et de
France en Savoie, en Piemont et en Suisse. Lahore: Sh. Muhammad Ashraf.
1964.
Penegak Syariat Islam di Ranah Minang
Rabu, 27 Juli 2011 PANGLIMA
kaum paderi yang tegas dan penuh wibawa. Berhasil melaksanakan
pemurnian Islam ke setiap nagari di Ranah Minang, sampai-sampai
kewajiban menunaikan shalat dikontrol sangat ketat
Kejayaan Islam di Ranah Minang (Sumatera Barat) pernah mencapai puncaknya ketika kaum paderi (ulama)
dipimpin oleh 'Abdullah Tuanku Nan Renceh. Kekuasaannya menghunjam
sampai lembaga pemerintahan nagari yang diberi hak otonom oleh Kerajaan
Minangkabau. Kerajaan tersebut kala itu berpusat di Pagaruyung.
Pusat kekuasaan kaum paderi sendiri berada di teritorial Luhak (Kabupaten)
Nan Tuo, yakni Luhak Agam, Tanah Datar, dan Luhak Nan Limopuluah
Dikoto. Atau, seluas wilayah administrasi pemerintahan Kabupaten Agam,
Tanah Datar, dan Kabupaten 50 Kota sekarang.
Pada masa itu, kaum
paderi benar-benar memegang kendali pemerintahan dan kemasyarakatan
untuk mengamalkan syariat Islam. Kondisinya tak jauh berbeda ketika
jazirah Arab dikuasai kaum Wahabi yang dipelopori oleh Muhammad bin
Abdul Wahab (1703-1787).
Sejarah kelahiran pergerakan kaum
paderi di Ranah Minang memang tak dapat dilepas dari pergerakan kaum
Wahabi di jazirah Arab. Pergerakannya berawal pada tahun 1802 ketika
“Tiga Serangkai” pulang dari Makkah, yakni Haji Miskin dari Pandai Sikek
(Pandai Sikat) Luhak Agam, Haji Muhammad Arief dari Sumanik, Luhak
Tanah Datar (dikenal dengan Haji Sumanik), dan Haji Abdurrahman dari
Piobang, Luhak Limopuluah Dikoto (dikenal dengan Haji Piobang).
Ketiganya dikenal dengan sebutan Haji Nan Tigo. Mereka mendalami ajaran
Wahabi saat belajar di tanah suci Makkah hampir 10 tahun lamanya.
Panglima Paderi
'Abdullah
adalah putra dari Incik Rahmah, pemuka suku Koto Nagari Kamang Mudik,
yang lahir di Jorong Bansa, Nagari Kamang Mudik, Luhak Agam, tahun 1762.
Sejak kecil, Abdullah senantiasa giat memperdalam ilmu agama.
Ia
merasa tidak cukup hanya belajar pada guru mengaji tingkat nagari
sebagaimana tradisi anak muda seusianya kala itu. Abdullah melakukan
terobosan dengan belajar di kampung lain, tepatnya di surau Tuanku Tuo
di Cangkiang, Luhak Agam.
Tamat dari pendidikan model surau,
'Abdullah masih belum merasa puas. Dia bukannya kambali ke kampung
halaman, tetapi meneruskan perjalanan ke Ulakan, Padang Pariaman.
Hampir
lima tahun menuntut ilmu, barulah 'Abdullah kembali ke Jorong Bansa.
Begitu sampai di kampung, 'Abdullah mendengar kabar ada ulama besar di
Pandai Sikek yang baru pulang dari Makkah. Namanya Haji Miskin.
'Abdullah yang saat itu baru tiba di rumah langsung saja berangkat ke
Pandai Sikek.
Sesampai di sana, betapa kecewanya 'Abdullah
karena Haji Miskin tak ditemukan. Dia lebih kecewa lagi ketika
mengetahui bawa Haji Miskin yang baru pulang itu hanya sebentar berada
di Pandai Sikek. Ternyata tokoh yang ia buru itu harus pergi lagi karena
dakwahnya tak diterima oleh masyarakat kampungnya sendiri.
Bagi
'Abdullah, kabar “diusirnya” Haji Miskin justru membuat penasaran.
Pikirnya, kalaulah apa yang dibawa Haji Miskin tak terlalu istimewa,
tentulah perlawanan dari orang kampung sendiri tidak sehebat itu.
Ternyata
benar. Begitu ketemu Haji Miskin di tempat pengungsiannya, Nagari Ampek
Angkek (Empat Angkat), Abdullah mendapat pelajaran tentang pemurnian
gerakan Islam. Ajaran ini sama dengan yang digerakan oleh kaum Wahabi di
jazirah Arab.
Haji Miskin memberikan pengajian secara
berkesinambungan, dibantu oleh dua karibnya yakni Haji Piobang dan Haji
Sumanik. Lalu, bergabung pula beberapa tokoh Islam lainnya, seperti
Tuanku Kubu Sanang, Tuanku Lintau, Tuanku Ladang Laweh (Ladang Luas),
Tuanku Dikoto Padang Lua (Padang Luar), Tuanku Galung, Tuanku Dikoto
Ambalau, dan Tuanku Dilubuk Aua (Lubuk Aur). Mereka masing-masing adalah
ulama di kampungnya.
Para ulama itu kemudian berbai’at kepada
Haji Miskin untuk melancarkan gerakan penegakan syariat Islam yang
mereka beri nama gerakan kaum paderi. Mereka ini kemudian dikenal
sebagai Dewan Pimpinan Paderi dengan julukan “Harimau Nan Salapan”
(Harimau yang Delapan). 'Abdullah ditunjuk sebagai pimpinan merangkap
panglima perang dengan gelar Tuanku Nan Renceh Al-Mujaddid. Sementara
Haji Miskin diangkat sebagai hakim.
Menurut Angga Parlindungan
dalam bukunya Tuanku Rao, gerakan Paderi pimpinan Nan Renceh adalah
gerakan sistemik dengan angkatan perang yang mirip angkatan perang
Turki. Memang, Nan Renceh beberapa kali mengirimkan beberapa prajurit
terbaiknya untuk belajar bertempur di Kesultanan Turki.
Kala itu
ilmu peperangan Kesultanan Turki sudah maju. Pasukan Jenitsar Cavalary
Turki pernah menghalau dan menghancurkan tentara Napoleon Bonaparte. Di
antara tentara paderi yang dikirim tersebut adalah Tuanku Kulawat. Ia
malah sempat berperang bersama tentara Turki melawan tentara Napoleon
tahun 1809 sampai 1812. Kemudian, Tuanku Gapuak (1809-183), Tuanku Rao
(1812-1815), dan Tuanku Tambusai (1817-1821).
Perjuangan kaum
paderi, seperti dicatat oleh Haji Piobang, memiliki tiga target fase.
Pertama, jangka tujuh tahun sudah harus merebut seluruh pulau Andalas
dan Semenanjung Malaya. Kedua, jangka tiga tahun kemudian sudah harus
merebut kekuasaan di Pulau Jawa dan pulau-pulau kecil di timurnya.
Ketiga, merebut seluruh tanah Jawi (Nusantara), kemudian bekerjasama
dengan pasukan Dato' Haji Onn. Pasukan yang terakhir ini kabarnya sudah
berhasil merebut kekuasaan di Filipina Selatan, Kalimantan Utara, dan
Kepulauan Sangihe.
Tegas Tegakkan Hukum Islam
Selama
masa kepemimpinan 'Abdullah Tuanku Nan Renceh (1762-1825), menurut
sejarawan Ampera Salim, kaum paderi berhasil melaksanakan pemurnian
Islam dan masuk ke setiap ruang lingkup pemerintahan nagari.
Sampai-sampai kewajiban menunaikan shalat dalam kehidupan masyarakat
setiap nagari dikontrol dengan sangat ketat.
Usai shalat Shubuh
di surau-surau, Nan Renceh menurunkan Laskar Paderi keliling kampung.
Mereka bertugas memeriksa batu tapakan yang sudah disediakan di setiap
pintu masuk rumah penduduk. Apabila batu itu basah, diketahuilah bahwa
penghuni rumah sudah melaksakan shalat Shubuh. Tapi bila tidak, penghuni
rumah akan langsung diinterogasi.
Andai belum shalat karena
tertidur, maka diperintahkan segera menunaikan shalat. Bila tiga kali
didapati tidak juga menunaikan shalat--ditandai dengan batu tapakan yang
tidak basah--maka penghuni rumah harus bertaubat kepada Allah Subhanahu
wa Ta'ala. Akan tetapi bila kemudian terbukti meninggalkan shalat
kembali, maka penghuni rumah harus meninggalkan nagari.
Nan
Renceh juga berhasil membudayakan pakaian jubah putih bagi laki-laki dan
kerudung bagi perempuan. Bagi mereka yang akan dipilih menjadi wali
nagari (kepala pemeritahan nagari) harus mampu menjadi imam shalat
berjamaah.
Hukum Islam yang ditegakkan kaum Paderi dalam masa
kepemimpinan Nan Renceh sangat tegas dan berwibawa. Ampera Salim juga
menyebutkan, pernah suatu kali etek (adik ibu/ayah) Nan Renceh sendiri
tak mengindahkan aturan yang diberlakukan Pemerintah Negara Darul Islam
Minangkabau. Dia enak saja meneruskan kebiasaan minum tuak dan menghisap
candu.
Memang, orang dekat Nan Renceh, yakni Hassan Nasution,
pernah menegur si etek agar menghentikan kebiasaannya. Tapi dia tetap
menolak. Bahkan ketika ditawarkan agar diungsikan ke Kuantan, si etek
tegas-tegas menolak.
Demi tegaknya wibawa hukum Islam, si etek
divonis hukuman mati. Eksekusi dilakukan dengan pedang oleh Haji Idris
dan Haji Hassan. Kejadian ini berlangsung dalam tatapan tenang seorang
Tuanku Nan Renceh. Baginya, penegakan wibawa hukum Islam lebih peting
daripada saudara sendiri yang mengingkarinya.*/ Dodi, sahid Red: Panji Islam
REPUBLIKA.CO.ID,
JAKARTA -- Wakil Menteri ESDM, Widjajono Partowidagdo, meninggal dunia
saat mendaki Gunung Tambora, Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, Sabtu
(21/4). Almarhum sebelum meninggal sempat mengirimkan tulisan
terakhirnya yang dikirim ke mailing list Ikatan Alumni ITB.
Inilah isi surat terakhir Widjajono:
Kalau kita menyayangi orang-orang yang kita pimpin, Insya Allah,
Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang akan menunjukkan cara untuk
membuat mereka dan kita lebih baik. Tuhan itu Maha Pencipta, segala
kehendak-Nya terjadi.
Saya biasa tidur jam 20.00 WIB dan bangun
jam 02.00 WIB pagi lalu Salat malam dan meditasi serta ceragem sekitar
30 menit, lalu buka komputer buat tulisan atau nulis email.
Dalam
meditasi biasa menyebutkan: ''Tuhan Engkau Maha Pengasih dan Penyayang,
aku sayang kepadaMu dan sayangilah aku. Tuhan Engkau Maha Pencipta,
segala kehendak-Mu terjadi''
Lalu, saya memohon apa yang saya mau (dan diakhiri dgn mengucap) ''Terima kasih Tuhan atas karuniaMu.''
Subuh
saya Sholat di Mesjid sebelah rumah lalu jalan kaki dari Ciragil ke
Taman Jenggala (pp sekitar 4 kilometer). Saya menyapa Satpam, Pembantu
dan Orang Jualan yang saya temui di jalan dan akibatnya saya juga
disapa oleh yang punya rumah (banyak Pejabat, Pengusaha dan Diplomat).
Sehingga,
saya memulai setiap hari dengan kedamaian dan optimisme karena saya
percaya bahwa apa yang Dia kehendaki terjadi dan saya selain sudah
memohon dan bersyukur juga menyayangi ciptaan-Nya dan berusaha membuat
keadaan lebih baik.
Oh ya, Tuhan tidak pernah kehabisan akal. Jadi, kita tidak perlu kuatir. Percayalah?
Aminuddin
(Engku Dotor) Dt. Bagindo Basa Pejuang Yang Tak Dikenang ...
”...apapun yang akan terjadi, saya yang akan bertanggung jawab penuh, hanya
saya meminta kepada Inyik dan Bapak semua seandainya diantara kami ada yang
sakit maka kepada Inyik dan Bapaklah kami mengadu dan melaporkannya...”
Engku Dotor
Menemui kawan Nostalgia
Inyiak A.Datuk Bagindo
Basa Pejuang
Yang Tak Dikenang
Di-Kapau ...
----------------------------------------
Medan, tanggal,
5 Mei 1989
Salam Nostalgia
= H.SJAMSUDDIN ZUL =
Muqaddimah
Generasi
muda sekarang barangkali banyak yang tidak tahu dan tidak begitu mengenal
Aminuddin yang terkenal dengan julukan Angku Dotor atau Engku Dotor yang kemudian
bergelar Datuk Bagindo Basa atau Inyiak Indo. Karena beliau bukanlah seorang
tokoh yang punya pangkat serta jabatan penting di tingkat nasional, bukan
seorang pejabat dan bukan pula seorang yang hartawan serta bukan pula pahlawan
yang mendapat banyak tanda jasa.
Tapi nilai peranan dan perjuangannya boleh dikatakan lebih dari itu
meskipun memiliki skala yang lebih kecil, mulai dari zaman Belanda, zaman
Jepang, zaman Mempertahankan Kemerdekaan, zaman PRRI dan zaman Mengisi Kemerdekaan
serta zaman Orla dan Orba sampai ke zaman Reformasi, peranan beliau sangat
menonjol sebagai pejuang yang sebenarnya dan berpengaruh pada zaman-zaman
tersebut di nagarinya pada khususnya dan juga kabupaten dan propinsi pada
umumnya.
Dalam segala hal penulis tetap objektif
dalam menilai sosok beliau karena sebagai manusia Aminuddin tidak luput dari
kelemahan dan kekurangan. Dari segi ini tidak mungkin ditutup-tupi sepanjang
tidak merupakan aib yang akan menjadi fitnah nantinya. Sebab beliau tidak hanya
tokoh dalam satu bidang tapi tokoh perjuangan multi zaman di berbagai bidang,
militer, politik, sosial budaya, adat, agama dan pendidikan. Disamping itu juga
piawai dalam berdiplomasi sehingga beliau selalu menjadi rujukan masyarakat
Kapau pada masanya, apapun persoalan adat dan kemasyarakatan.
Mempunyai kepribadian yang keras dan
memiliki prinsip dalam bertindak. Beliau mempunyai falsafah yang benar itu
benar dan yang salah itu salah, tidak plin plan tapi selalu memiliki karakter, tegas
dan pragmatis dalam mengambil keputusan, tapi kadang-kadang cepat menjadi
pemarah apabila seseorang melakukan sesuatu kesalahan atau tidak sesuai menurut
semestinya.
Dan yang terpenting adalah keberaniannya mengambil keputusan bagaimanapun
sulitnya. Tapi Aminuddin seorang yang tidak pendendam dan mau memberi maaf.
Perjuangan yang dilakukannya bukan untuk gagah-gagahan dan bukan pula untuk
mengharapkan harta, pangkat dan jabatan, tetapi dengan satu tujuan yaitu
ketulusan hati. Berbuat untuk orang banyak dan berhasil menolong banyak orang
adalah kepuasan tersendiri baginya.
Dua hal yang merupakan kelebihan atau
keistimewaan pada diri Aminuddin, yaitu bahwa beliau mempunyai ingatan yang
sangat kuat dan mempunyai kemampuan bercerita yang tidak habis-habisnya.
Kekuatan ingatan sampai akhir hayatnya, sehingga beliau masih mampu mengingat
dan menceritakan peristiwa-peristiwa yang dialaminya puluhan tahun yang lalu
sampai kronologis apa saja peristiwa atau kejadian tersebut. Hal ini jarang
dimiliki setiap orang mungkin hanya satu dari seribu orang. Saya sudah
mendengar dan melihat bagaimana beliau mampu bercerita selama berjam-jam tanpa
putus dan tanpa kehabisan bahan untuk diceritakan. Dan menjadi daya tarik
tersendiri bagi siapa saja yang mendengarkannya tanpa bosan.
Pemikirannya yang orisinil mampu diterjemahkan kepada lawan bicaranya
sehingga mudah dicerna dan difahami, sehingga pendengar terhipnotis seolah-olah
ikut mengalami kejadian seperti yang diceritakannya.
Tapi ada satu hal yang menarik dan
masih membekas dalam ingatan saya, di tahun 1995 ketika beliau jatuh sakit dan
masuk hospital di Malaysia melawat anak dan cucu, di saat dokter datang
memeriksa, maka dokter keturunan India itu berkata:
”Apakah Bapak
merokok...”
”Iya, Pak
Dokter..”
Dokter termenung
agak lama, wajahnya berubah menjadi serius,
”Sebaiknya Bapak
tidak merokok” katanya pelan tapi tegas, kemudian dokter itu pun berlalu.
Mendengar dokter berkata demikian, Aminuddin meng eja kalimat,
Se-ba-ik-nya.. se-ba-ik-nya.., beliau berfikir, kalau merokok tentu seburuknya.
Kalau seburuknya tentu akan berakibat fatal bagi kesehatannya.
Beliau memang seorang perokok berat sejak muda mulai dari rokok putih
Kansas sampai ketika itu rokok kretek Gudang Garam Merah. Mulai saat itu beliau
bertekad untuk tidak merokok dan sepulang dari hospital beliau langsung mencoba
berhenti merokok dan Alhamdulillah beliau mampu berhenti merokok hingga akhir
hayatnya di tahun 2000. Bila ingin sukses maka kemauan dari hati itu nampaknya bukan
diucapkan saja tapi mesti dilaksanakan.
Banyak ketegasannya disalah artikan
oleh sebagian orang padahal itu adalah untuk kebaikan karena dia mempunyai
prinsip bahwa suatu kebenaran itu harus diungkapkan, sehingga banyak pula yang
merasa tidak senang secara pribadi dengan Aminuddin. Dan menganggap beliau
sebagai ’musuh’ yang berbahaya, bahkan dengan memberi julukan Dt. Bagindo Bala. Demikianlah kehidupan
di dunia, segala sesuatunya dijadikan oleh Tuhan serba dua, ada yang mempunyai
niat baik dan ada pula yang mempunyai niat buruk, begitulah seterusnya.
Tapi ada dua hal yang sangat menonjol pada diri Aminuddin, yang pertama
yaitu ingatannya yang sangat kuat, ini terbukti apabila beliau bercerita suatu
pengalaman atau peristiwa yang terjadi puluhan tahun yang lalu, dengan lancar
ibarat air mengalir mampu dipaparkannya. Yang kedua adalah pantang menyerah
pada suatu keadaan, bagaimana pun sulitnya suatu permasalahan maka apabila
sudah berada di tangan beliau selalu ditemukannya jalan keluar.
Aminuddin adalah pribadi yang unik,
karena dia mempunyai satu prinsip dalam hidup yaitu ingin jadi orang bebas,
maksudnya adalah beliau tidak ingin terikat ke dalam suatu institusi dimana di
dalamnya dia diperintah dan harus patuh kepada pimpinan. Inilah yang tidak
disukainya. Hal ini bukan tanpa sebab, di masa mudanya pernah menjadi Tentara
Heiho yang mempunyai disiplin yang sangat keras dan kepatuhan yang kaku
terhadap komandan. Sehingga secara tidak langsung ikut merubah cara pandangnya
di kemudian hari.
Teman-temannya sesama bekas pasukan Heiho semua menjadi tentara, hanya dia
yang tidak mau menjadi tentara. Begitu pula ketika kesempatan untuk menjadi
pegawai terbuka pada tahun-tahun lima puluhan, maka beliau tidak mau ikut
serta. Berbeda dengan kakaknya Rasjidin dan adiknya yang bungsu Ali Amran,
keduanya menjadi pegawai di Departemen Agama. Tetapi beliau tidak pernah
menyesal atas semua itu dan menghadapi hidup dengan santai dan apa adanya,
karena tidak pernah terikat dengan institusi apapun.
Tulisan ini hanyalah sebagian kecil dari demikian banyak kisah dan sejarah
kehidupan yang berkaitan dengan Aminuddin yang dijuluki Angku Dotor yang
kemudian bergelar Datuk Bagindo Basa yang dapat penulis goreskan melalui pena.
Oleh karena tidak secara keseluruhan yang dapat penulis sampaikan sehubungan
dengan keterbatasan penulis, maka dengan segala kerendahan hati penulis mohon
maaf yang sebesar-besarnya. Dan penulis juga mohon maaf kepada sidang pembaca
apabila ada sesuatu yang diletakkan tidak pada tempatnya atau ada pemuka
masyarakat yang tidak sempat disebutkan, padahal ikut mempunyai peranan dan
andil yang besar.
Karena semua itu bukan karena kesengajaan tapi karena kealpaan penulis. Dan
penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua fihak yang telah membantu
memberikan referensi yang sangat tinggi nilainya. Dan akhirnya marilah kita
berserah diri kehadhirat Allah SWT, karena sebagai manusia kita bersifat Khilaf
dan hanya Allah yang maha bersifat Qadim.
{ 01 }
Masa Kanak-Kanak
Aminuddin
dilahirkan pada hari Ahad tanggal 10 Agustus 1924 M bertepatan dengan tanggal 9
Muharram 1343 H, di sebuah rumah gadang di Dusun Koto Panjang Hilir Kelarasan
Kapau Luhak Agam, atau terkenal dengan dusun Surau Sirah. Ayahnya Haji Abbas
dan Ibu Sada, beliau adalah anak yang keempat dari dari tujuh orang bersaudara.
Dilahirkan dari keluarga sederhana namun terpandang dari segi intelektual.
Ayah beliau adalah salah seorang
yang telah pandai tulis baca huruf latin dari sedikit sekali orang Kapau yang
demikian, sehingga tidak mengherankan banyak orang yang belajar kepada beliau.
Beliau juga menguasai ilmu falak dan berhitung. Haji Abbas terkenal seorang
yang saleh dan merupakan tokoh terkemuka di nagari Kapau ketika itu, beliau
juga salah seorang pendiri Sekolah Agama Perti atau Madrasah Tarbiyah Islamiyah
(MTI) Kapau pada tahun 1929.
Dari segi nasab atau garis keturunan
menurut ayah maka Aminuddin termasuk keturunan dari Kepala Laras (Lareh) Kapau
yang bernama Sabar gelar Datuk Rajo Labiah, beliau mempunyai dua orang anak
yaitu Ahmad Chatib seorang guru di sekolah rendah atau sekolah desa dan seorang
lagi bernama Nurdin. Ahmad Chatib ini adalah ayah dari Haji Abbas.
Beliau-beliau itu adalah orang-orang yang disegani karena merupakan orang yang
terpelajar.
Pada tahun 1926 terjadi gempa yang
dahsyat di Padang Panjang yang getarannya sampai juga ke Kapau. Ketika gempa
terjadi Aminuddin sedang dalam gendongan ibunya yang disaat itu baru saja
sebelah kaki ibunya melangkah ke rumah gadang, tiba-tiba dapur rumah gadang
tersebut runtuh karena gempa, tapi alhamdulillah Aminuddin dan Ibunya selamat
tanpa mengalami cedera sedikitpun.
Setelah menginjak usia tujuh tahun
Aminuddin disekolahkan di Sekolah Desa (Volkschool) yang terletak kurang dari
satu km dari rumahnya yaitu di Pandam
Basasak dekat pasar Kapau, yang berlangsung selama 3 tahun. Kemudian
dilanjutkan ke sekolah Sambungan (Gubernemen) di dusun Cingkaring. Di sekolah,
Aminuddin tumbuh menjadi anak yang cukup cerdas demikian pula di rumah ia
mendapat pendidikan yang keras dari orang tuanya terutama ayah beliau Haji
Abbas. Teman sekelasnya antara lain Kuratul’ain, Abdul Hadi dan Muhammad Noer
Amin. Yang terakhir ini adalah anak dari Nurdin dan Nurdin merupakan adik dari
Ahmad Chatib yang berarti Muhammad Noer Amin ukuran paman dari Aminuddin.
Muhammad Noer Amin ini adalah teman sepermainan sewaktu kecil dengan Aminuddin
apalagi beliau berdua sama-sama satu kampung.
Pernah suatu ketika tatkala kedua bersahabat ini sedang bermain di dekat
kolam di Surau Sirah, maka entah kenapa Muhammad Noer Amin terperosok dan jatuh
ke dalam kolam besar dan cukup dalam. Melihat temannya timbul tenggelam
seketika itu pula Aminuddin panik dan segera memanggil kakaknya yang tua yaitu Tajuddin
yang dipanggilnya dengan panggilan Wandang,
wanartinya tuan dan dang artinya
gadang / besar. Tajuddin yang waktu itu sudah remaja segera datang dan langsung
terjun ke kolam melakukan penyelamatan dan alhamdulillah Manoer begitu beliau
dipanggil dapat diselamatkan.
Di sekolah umumnya teman-teman
Aminuddin merasa segan kepadanya karena tabiatnya yang berani dan suka menolong.
Keberaniannya bukan isapan jempol karena pernah suatu ketika seorang temannya
yang gareseh mengadu-adunya dengan
teman yang lain. Dasar Aminuddin tidak mau diadu domba, maka temannya ini mengejek,
ia memasukkan jarinya ke mulut Aminuddin. Sakit hati diperlakukan demikian
Aminuddin menggigit jari temannya itu sehingga temannya itu menjerit sangat
keras, oo.. amak ooi... oo.. amak ooi....
memanggil-manggil ibunya, tapi Aminuddin tidak mau melepaskan gigitannya,
kabarnya ada orang lain yang melepaskan dan barulah gigitan tersebut terlepas.
Dikenal keras hati dan mudah marah
tapi cepat memaafkan adalah tipe Aminuddin yang menurun dari ayahnya. Ayahnya Haji
Abbas adalah cendekiawan di zamannya, dalam keadaan biasa adalah seorang
penyabar yang suka menolong. Suatu kali seorang tetangga meminjam kapak kepada
beliau dan beliau dengan senang hati meminjamkannya, setelah selesai
dikembalikanlah kapak tersebut namun apa yang terjadi ternyata mata kapak
tersebut sumbing. Saat itu juga beliau berkata ”manyeso den harato den” menyiksa saya harta saya, sambil
melemparkan kapak tersebut ke dalam sebuah kolam. Melihat situasi seperti itu
tetangga yang meminjam kapak tadi sangat ketakutan. Akan tetapi setelah amarah
beliau kembali reda maka diambillah kembali kapak yang telah dibuang ke dalam
kolam dan kemudian beliau asah kembali.
Aminuddin adalah seorang anak yang
pandai bergaul sehingga dia disenangi oleh teman-temannya bahkan oleh orang yang lebih tua
darinya, terutama adalah
karena dia pintar atau bijak berbicara atau
maota dan teman-temannya dan
semua orang menjadi suka.Dia pun seorang anak yang tidak
dimanjakan oleh kedua orang tuanya ketika kecil sehingga dia tumbuh sebagai
anak yang mandiri dan mempunyai pendirian. Didikan orang tuanya telah membentuk
kepribadiannya menjadi pribadi yang pandai berhemat dan sederhana. Belanja yang
diberikan oleh orang tuanya ketika sekolah hanyalah satu rimih atau serimih uang
Belanda. Kalau sekarang hanya dapat pembeli setengah piring lontong atau
sepotong kue.
Dalam
berinteraksi dengan siapapun selalu dilakukannya dengan mengamalkan nasehat
dari orang tuanya Haji Abbas “kok
manyauak di hilia-hilia, kok bakato di bawah-bawah”artinya kalau mengambil
air di hilir-hilir, kalau berkata di bawah-bawah, maksudnya adalah kalau
bergaul dengan orang banyak maka harus hati-hati dalam berbicara dan bertindak.
Di lain pihak pandai mengambil hati orang sehingga orang tidak merasa tersakiti
oleh sikap serta perkataan dan memang itu adalah modal utama dalam pergaulan
sehari-hari.
Disamping itu dia tidak
suka membantah dengan kata-kata yang tidak pantas, juga dengan senang hati suka
membantu. Begitu juga hubungan dengan keluarga dari pihak ayah atau bako sangat baik. Aminuddin suka
bermain-main ke Parak Maru Pasir di rumah neneknya di pihak ayah, dimana
neneknya ini sangat sayang kepada Aminuddin.
Pada suatu ketika
Aminuddin memasakkan nasi untuk neneknya yang sudah tua yang seluruh gigi
beliau sudah tanggal dan mata juga sudah rabun, jadi oleh karena gigi beliau
sudah tidak ada maka dimasaklah nasi yang lunak atau nasi lambiak. Ketika memakan nasi tersebut neneknya marah-marah dan
menggerutu. Kemudian Aminuddin menjelaskan kepada neneknya bahwa dia yang
memasak dan nasinya dilunakkan karena gigi neneknya sudah tidak ada. Mengetahui
bahwa sang cucu yang memasak maka redalah kemarahan nenek. Rupanya nenek memakan
nasi yang biasa dengan tunggul giginya yang sudah keras dan sudah menjadi
pengganti gigi beliau yang seluruhnya sudah ompong. Nenek ini mempunyai putra
dua orang yaitu Haji Abbas dan Dt. Pangulu Basa nan Kuniang, sehingga kalau
menurut ranji / silsilah Minangkabau apabila tidak mempunyai anak perempuan,
maka keluarga tersebut menjadi pudua
atau pudur, yang maksudnya adalah punah menurut system matrilineal.
{ 02 }
Heiho Rikugun Bioying
Perang
Dunia II telah merobah kondisi dunia, juga telah merobah nasib rakyat di
pelosok negeri seperti di nagari Kapau. Munculnya Jepang sebagai
kekuatan militer baru menyebabkan para prajuritnya terdampar ke negeri yang
bernama Indonesia yang pada waktu itu sedang dijajah Belanda dan dinamakan
Hindia Belanda. Sehingga dengan secepat kilat Indonesia berhasil ditaklukkan
dan Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang. Pada mulanya rakyat Indonesia
menyambut Jepang dengan harapan Jepang dapat merobah nasib bangsa Indonesia dan
membawa kepada kemerdekaan Indonesia.
Demikianlah, di Bukittinggi Tentara
Jepang berhasil mendirikan Pemerintahan Militer dan dijadikan markas besar
tentaranya dibawah panglima tentara Jepang se-Sumatera Letnan Jenderal Watanabe
Murikata dengan markasnya di kota Bukittinggi. Jepang mempropagandakan dan
menjanjikan akan memberi kemerdekaan kepada Indonesia. Di masa Jepang timbul
semangat untuk merdeka. Tapi Jepang ternyata tidak memberikan cek kosong, di
balik itu mereka ingin bangsa Indonesia berhutang budi kepada Jepang karena
telah membebaskan Indonesia dari penjajahan Belanda, artinya bangsa Indonesia
harus membantu Jepang dalam menghadapi musuh-musuhnya.
Salah satu program Jepang adalah membentuk Pasukan Heiho dari penduduk pribumi.
Pasukan Heiho ini adalah pasukan khusus Jepang dalam Perang menghadapi Amerika
dan Sekutu-sekutunya, yang akan ditempatkan di garis depan. Maka dibukalah
pendaftaran bagi bangsa Indonesia untuk diangkat menjadi prajurit Heiho. Salah
seorang yang mendaftar masuk tentara Heiho adalah seorang pemuda bernama
Aminuddin. Setelah melalui tes layaknya masuk tentara, Aminuddin dan beberapa
teman satu kampungnya akhirnya diterima sebagai prajurit Heiho dan beliau
memilih prajurit bagian kesehatan.
Menjadi prajurit Heiho merupakan babak baru bagi Aminuddin dalam
kehidupannya. Berbekal latihan serta disiplin militer yang keras membentuk
watak dan kepribadian yang juga keras bagi Aminuddin. Semua itu mempunyai
pengaruh yang kuat dalam kehidupan beliau di kemudian hari. Berbeda dengan
sebagian orang sipil yang tidak dibekali dengan disiplin dan teknik-teknik
militer maka akan mudah dipengaruhi serta memiliki mental yang lemah. Disamping
dilatih secara militer, Aminuddin juga diajari bahasa Jepang, sehingga beliau faham
bahasa Jepang sehari-hari untuk berkomunikasi dengan tentara Jepang. Salah seorang temannya seperjuangan dalam pasukan Heihoyang
merupakan teman satu kampung ialah Sjahmenan.
Salah satu propaganda
Jepang yang terkenal adalah mengajarkan lagu-lagu perjuangan mereka yang menambah semangat patriotisme para
prajuritnya. Bahkan lagu tersebut ada yang diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia dan wajib diajarkan di sekolah-sekolah. Sehingga banyak anak-anak
setingkat SD yang hafal lagu-lagu tersebut. Lagu-lagu seperti Mi Oto Kaino, A
Kaichi, Maere Netsu dan lain-lain selalu dinyanyikan dalam setiap latihan gerak
jalan pasukan Heiho yang dilakukan di jalan-jalan utama kota Bukitinggi.
Berikut ini dua buah
cuplikan syair lagu Jepang yang dihafal Aminuddin :
Mi oto kai no so raa kete
Kio kuji tuta kaku kang gaya keba
Ten cino se iki ha suro suto
Ki bao doru oya sima
O sa iro no asa gu moni
So doru
uzino su ngata koso
King wu
ome getsu yu rigin nagi
Wa gani..
pong no
Wa ka
dinare
Ta tei ka ino ungi miyo
Ikari toto ani itada kite
Sing ming wa rera mi noto moni
Mi zu dese ahu dai si mehi
Yo ke ahak ko wu iye tonasi
Mi kari
no he towo mi cibi kite
Ta dasi
tun ta iwa n tata ta n
Ri sowa..
han nato
Sagi
ka oru
-----------------------------------------------
A kai chi sio noyo ka ren no
Na natsu botang uwa
sakura ni hikari
ki ono to butong obu
ka suming nahu ra nya
re ka ichi sio no
su mo nga waku
A ho
bu sem pa iyo ka ren no
Hu de
waku rongane
ko koro
ai dama
sato
su rate eba
arau
miko ete
yo ku
zute keju ku
na gori
gomi
I no chiyo sima nuyo Ka ren no
Yo tsu natsu basawa
So hori nat su basa
Hun to nere ere
Tat tisan nasa ising
Ya ma toda ma singa
Te kiwa nai
Ada beberapa organisasi
yang dibentuk Jepang di Indonesia yaitu :
Pusat Tenaga Rakyat
(PUTERA)
Tawaran kerja sama yang ditawarkan pemerintahan
Jepang pada masa itu, disambut hangat oleh para pemimpin bangsa. Sebab menurut
perkiraan mereka, suatu kerja sama di dalam situasi perang adalah cara terbaik.
Pada masa ini, muncul empat tokoh nasionalis yang dikenal dengan sebutan Empat
Serangkai, mereka adalah Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hattta, K.H. Mas Mansyur, dan
Ki Hajar Dewantara. Empat tokoh nasionalis ini lalu membentuk sebuah gerakan
baru yang dinamakan Pusat Tenaga Rakyat (Putera).Putera resmi didirikan pada
tanggal 16 April 1943. Gerakan yang didirikan atas dasar prakarsa pemerintah
Jepang ini bertujuan untuk membujuk kaum nasionalis sekuler dan kaum
intelektual agar dapat mengerahkan tenaga dan pikirannya untuk usaha perang
negara Jepang. Gerakan ini ini tidak dibiayai pemerintahan Jepang. Walaupun
demikian, pemimpin bangsa ini mendapat kemudahan untuk menggunakan fasilitas
Jepang yang ada di Indonesia,
seperti radio dan koran. Dengan cara ini, para pemimpin angsa dapat
berkomunikasi secara leluasa kepada rakyat. Sebab, pada masa ini radio umum
sudah banyak yang masuk ke desa-desa. Pada akhirnya, gerakan ini ternyata
berhasil mempersiapkan mental masyarakat Indonesia untuk menyambut
kemerdekaan pada masa yang akan datang.
Gerakan Tiga A
Gerakan Tiga A yang memiliki tiga arti, yaitu
Jepang Pelindung Asia, Jepang Pemimpin Asia, dan Jepang Cahaya Asia. Pada awal
gerakan ini dikenalkan kepada masyarakat Indonesia, terlihat bahwa
pemerintah Jepang berjanji bahwa saudara tua nya ini dapat mencium aroma
kemerdekaan.
Pada awal gerakannya, pemerintah militer Jepang bersikap baik terhadap bangsa Indonesia,
tetapi akhirnya sikap baik itu berubah. Apa yang ditetapkan pemerintah Jepang
sebenarnya bukan untuk mencapai kemakmuran dan kemerdekaan Indonesia,
melainkan demi kepentingan pemerintahan Jepang yang pada saat itu sedang
menghadapi perang. Tetapi setelah pemerintah Jepang mengetahui betapa besarnya
pengharapan akan sebuah kemerdekaan, maka mulai dibuat propaganda-propaganda
yang terlihat seolah-olah Jepang memihak kepentingan bangsa Indonesia.
Dalam menjalankan aksinya, Jepang berusaha untuk bekerja sama dengan para
pemimpin bangsa (bersikap kooperatif). Cara ini digunakan agar para pemimpin
nasionalis dapat merekrut massa
dengan mudah dan pemerintah Jepang dapat mengawasi kinerja para pemimpin
bangsa.
Tetapi gerakan ini tidak bertahan lama. Hal ini dikarenakan kurang mendapat
simpati di kalangan masyarakat Indonesia.
Sebagai penggantinya, pemerintah Jepang menawarkan kerja sama kepada tokoh-tokoh
nasional Indonesia.
Dengan kerja sama ini, pemimpin-pemimpin Indonesia yang ditahan dapat
dibebaskan, di antaranya Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, Sutan Syahrir, dan
lain-lain.
Seinendan
Seinendan adalah organisasi semi militer yang
didirikan pada tanggal 29 April 1943. Orang-orang yang boleh mengikuti
organisasi ini adalah pemuda yang berumur 14-22 tahun. Tujuan didirikannya
Seinendan adalah untuk mendidik dan melatih para pemuda agar dapat menjaga dan
mempertahankan tanah airnya dengan menggunakan tangan dan kekuatannya sendiri.
Tetapi, maksud terselubung diadakannya pendidikan dan pelatihannya ini adalah
guna mempersiapkan pasukan cadangan untuk kepentingan Jepang di Perang Asia Timur Raya.
Fujunkai
Fujinkai dibentuk pada bulan Agustus 1943.
Organisasi ini bertugas untuk mengerahkan tenaga perempuan turut serta dalam
memperkuat pertahanan dengan cara mengumpulkan dana wajib. Dana wajib dapat
berupa perhiasan, bahan makanan, hewan ternak ataupun keperluan-keperluan
lainnya yang digunakan untuk perang.
MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia)
Golongan nasionalis Islam adalah golongan yang
sangat anti Barat, hal itu sesuai dengan apa yang diinginkan Jepang. Jepang
berpikir bahwa golongan ini adalah golongan yang mudah dirangkul. Untuk itu,
sampai dengan bulan Oktober 1943, Jepang masih mentoleransi berdirinya MIAI.
Pada pertemuan antara pemuka agama dan para gunseikan yang diwakili oleh Mayor
Jenderal Ohazaki di Jakarta, diadakanlah acara tukar pikiran. Hasil acara ini
dinyatakan bahwa MIAI adalah organisasi resmi umat Islam. Meskipun telah
diterima sebagai organisasi yang resmi, tetapi MIAI harus tetap mengubah asas
dan tujuannya. Begitu pula kegiatannya pun dibatasi. Setelah pertemuan ini,
MIAI hanya diberi tugas untuk menyelenggarakan peringatan hari-hari besar Islam
dan pembentukan Baitul Mal (Badan Amal). Ketika MIAI menjelma menjadi sebuah
organisasi yang besar maka para tokohnya mulai mendapat pengawasan, begitu pula
tokoh MIAI yang ada di desa-desa.
Lama kelamaan Jepang berpikir bahwa MIAI tidak menguntungkan Jepang, sehingga
pada bulan Oktober 1943 MIAI dibubarkan, lalu diganti dengan Majelis Syuro
Muslimin Indonesia (Masyumi) dan dipimpin oleh K.H Hasyim Asy’ari, K.H Mas
Mansyur, K.H Farid Ma’ruf, K.H. Hasyim, Karto Sudarmo, K.H Nachrowi, dan Zainul
Arifin sejak November 1943.
Jawa Hokokai (Himpunan Kebaktian Jawa)
Selang beberapa waktu, ternyata pemerintah Jepang
mulai menyadari bahwa, gerakan Putera lebih banyak menguntungkan rakyat Indonesia dan
kurang menguntungkan pihaknya. Untuk itu, Jepang membentuk organisasi baru yang
dinamakan Jawa Hokokai (Himpunan Kebaktian Jawa). Tujuan pendirian organisasi
ini adalah untuk penghimpunan tenaga rakyat, baik secara lahir ataupun batin
sesuai dengan hokosisyin (semangat kebaktian). Adapun yang termasuk semangat kebaktian
itu di antaranya: mengorbankan diri, mempertebal persaudaraan, dan melaksanakan
sesuatu dengan bukti.
Organisasi ini dinyatakan sebagai organisasi resmi pemerintah. Berarti,
organisasi ini diintegrasikan ke dalam tubuh pemerintah. Organisasi ini mempunyai
berbagai macam hokokai profesi, di antaranya Izi hokokai (Himpunan Kebaktian
Dokter), Kyoiku Hokokai (Himpunan Kebaktian Para Pendidik), Fujinkai
(Organisasi Wanita), Keimin Bunka Syidosyo (Pusat Budaya) dan Hokokai
Perusahaan.
Struktur kepemimpinan di dalam Jawa Hokokai ini langsung dipegang oleh
Gunseikan, sedangkan di daerah dipimpin oleh Syucohan (Gubernur atau Residen).
Pada masa ini, golongan nasionalis disisihkan, mereka diberi jabatan baru dalam
pemerintahan, akan tetapi, segala kegiatannya memperoleh pengawasan yang ketat
dan segala bentuk komunikasi dengan rakyat dibatasi.
Keibodan
Organisasi ini didirikan bersamaan dengan didirikannya Seinendan, yaitu pada
tanggal 29 April 1943. Anggotanya adalah para pemuda yang berusia 26 45 tahun.
Tujuan didirikannya organisasi ini adalah untuk membantu polisi dalam menjaga
lalu lintas dan melakukan pengamanan desa.
Heiho
Anggota Heiho adalah para prajurit Indonesia yang ditempatkan pada
organisasi militer Jepang. Mereka yang tergabung di dalamnya adalah para pemuda
yang berusia 18-25 tahun.
Ketika menjadi prajurit
Heiho maka harus siap dengan disiplinnya yang sangat ketat dan keras dan sanksi
yang berat apabila melanggarnya. Ketika diadakan latihan baris berbaris dan
latihan lain layaknya latihan militer tentara sekarang, maka setiap para
prajurit harus taat terhadap aturan dan perintah komandan dan kesalahan kecil
sekalipun akan dihukum berat. Seperti kancing baju yang lepas ketika latihan
harus dicari sampai ketemu kembali, dan kancing baju itu sangat sederhana terbuat
dari tempurung kelapa. Hukuman yang diberikan adalah berlari mengelilingi
lapangan kantin atau bukit ambacang sebanyak yang diingini oleh komandannya.
Tugas yang dilalui oleh Aminuddin
sebagai prajurit Heiho tidaklah begitu berat, seperti dikirimkan ke garis depan
pertempuran, oleh karena kesatuannya adalah di kesatuan kesehatan. Berbeda
dengan pasukan infantri dan kavaleri yang ditugaskan ke daerah lain yang jauh,
dimana pertempuran terjadi. Tapi meskipun demikian sewaktu-waktu ada juga tugas-tugas
berat yang dilakukan oleh Aminuddin dan Kawan-kawan. Seperti misalnya
ditugaskan membuat terowongan atau terkenal dengan nama Lobang Jepang.
Suatu saat Aminuddin dan
prajurit lainnya dalam satu kesatuan ditugaskan menggali terowongan di bawah kebun
binatang sekarang. Baru beberapa meter digali terjadi longsor dan menimbun
beberapa orang, tapi untunglah prajurit yang lain cepat memberikan pertolongan
sehingga tidak menimbulkan korban jiwa. Oleh karena tanah yang labil dan
membahayakan maka terowongan tersebut akhirnya dihentikan pengerjaannya dan
tidak pernah dilanjutkan lagi.
Orang Jepang mempunyai
kepercayaan menyembah matahari dan bendera negaranya pun bergambar matahari.
Suatu kewajiban bagi seluruh prajurit setiap pagi untuk sikerei, yaitu hormat kearah matahari terbit dengan cara
membungkukkan badan. Itu adalah suatu kepercayaan yang tidak saja diberlakukan
untuk orang Jepang tapi juga diwajibkan bagi bumiputera yang menjadi
prajuritnya, bahkan juga diwajibkan di sekolah-sekolah pada waktu itu. Tentu
saja banyak yang menentang terutama para ulama karena sangat berkaitan dengan
akidah seseorang. Sehingga tidak sedikit bagi yang menentang ditumpas dengan
cara kekerasan dan banyak pula yang dibunuh.
Demikian juga dengan
prosesi kematian dimana apabila ada orang Jepang yang mati, maka jenazahnya
dibakar dengan upacara yang dibuat secara besar-besaran. Ada peristiwa unik dan menarik, pada waktu
itu ada seorang perwira Jepang yang meninggal dunia, setelah dilakukan upacara
pembakaran maka abu jenazah tersebut dimasukkan ke dalam sebuah guci kemudian
dikuburkan. Di atas kuburan tersebut kemudian diletakkan berbagai macam makanan
yang disukai oleh si mati, berupa buah-buahan, roti, rokok dan sebagainya.
Setelah selesai dan beberapa keluarga si mati berdo’a menurut kepercayaannya
maka mereka pun segera pulang dan tanpa menoleh lagi ke belakang.
Sementara itu dari
kejauhan Aminuddin dan beberapa temannya mengintip proses pemakaman dari awal
sampai akhir. Ketika orang-orang yang menghadiri pemakaman beranjak pulang,
maka Aminuddin dan kawan-kawan segera ke makam yang diatasnya dipenuhi oleh
berbagai macam makanan. Dan mereka mengambil makanan yang diletakkan tadi tanpa
takut ketahuan, karena keluarga dan orang-orang yang telah meninggalkan
pemakaman tidak pernah menoleh lagi ke belakang, karena hal itu sudah menjadi
adat kebiasaan bagi mereka.
Ketika Jepang kalah dalam
perang dunia kedua, dan berita belum beredar ke masyarakat banyak, tetapi
berita ini dengan cepat sampai ke seluruh tentara Jepang, maka tidak
sebagaimana biasanya panglima pasukan Jepang mengumpulkan seluruh tentaranya di
lapangan kantin. Panglima kemudian berpidato dengan terbata-bata dan tidak ada
yang faham isi pidatonya di kalangan penduduk pribumi, kecuali mungkin sedikit
bagi yang berpendidikan.
Selesai berorasi dalam
bahasa Jepang, suasana menjadi hening dan semua pasukan termasuk panglima dan
para komandan mengeluarkan sapu tangan dan menyeka air mata mereka
masing-masing. Aminuddin meskipun tidak begitu paham dengan bahasa Jepang, tapi
dengan nalurinya dia menilai, tentu ada sesuatu yang telah terjadi kenapa semua
orang menangis. mungkin Jepang menyerah kalah kepada sekutu, fikir Aminuddin.
Ternyata beberapa hari kemudian beredarlah khabar bahwa Jepang telah menyerah
kalah kepada sekutu, dimana sebelumnya
diawali oleh Amerika yang menjatuhkan bom atom di Hiroshima
dan Nagasaki.
Para tentara Jepang mulai dari perwira sampai
prajurit memang memiliki jiwa kesatria
dan semangat yang sangat tinggi dalam kepatuhan kepada kaisar dan negaranya.
Kekalahan dalam perjuangan adalah sesuatu yang sangat memalukan bagi mereka untuk
hidup dan kematian lebih baik, karena itu adalah sesuatu yang mulia. Maka tidak
mengherankan bila banyak yang melakukan hara-kiri
atau bunuh diri untuk meraih predikat mulia tadi. Bahkan dalam pertempuran pun
prajurit jepang sering menyerang musuh dengan cara berjibaku yang artinya juga adalah bunuh diri.
{ 03 }
Memenuhi Panggilan Tugas
Kemerdekaan Indonesia
akhirnya diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 dan disambut dengan
sukacita seluruh bangsa Indonesia.
Akan tetapi mempertahankan kemerdekaan yang telah diraih itu bukanlah perkara
mudah. Dan ini terbukti tidak lama setelah itu Belanda datang kembali dengan
membonceng dengan tentara Sekutu, ingin mencaplok kembali bekas jajahannya dari
Jepang yang telah kalah dalam perang. Babak baru pasca kemerdekaan maka yang
akan dihadapi oleh tentara Indonesia
dan segenap rakyat Indonesia
adalah tentara Belanda dan para sekutunya.
Sebagai
mantan prajurit Heiho, adalah modal bagi Aminuddin untuk melatih para pemuda
untuk berjuang membela bayi yang baru lahir. Bayi itu bernama Republik Indonesia
yang diibaratkan bayi yang baru saja lahir. Maka dikumpulkanlah para pemuda
Kapau untuk dilatih secara militer dalam rangka perang melawan Belanda dan
pelatihnya adalah Aminuddin beserta
teman-teman seperjuangan lainnya.
Kemudian dibentuk suatu
Badan Keamanan nagari yang diberi nama Badan Pengawal Nagari dan Kota (BPNK). Selanjutnya dibentuk pula di nagari Kapau sebuah pasukan yang
diberi nama Pasukan Mobil Teras (PMT) dan Aminuddin sebagai komandannya. PMT
ini beranggotakan pemuda dari seluruh kampung yang ada di nagari Kapau. Pasukan
ini terdiri dari pasukan inti yang
berjumlah 70 orang dan sekitar 250 orang anggota cadangan.
Salah satu gagasan beliau
dalam menghadapi perang gerilya menghadapi Belanda adalah membangun kembali
tempat perlindungan sekaligus benteng pertahanan yaitu berupa parit perlindungan
di dusun Ladang Laweh. Parit ini adalah peninggalan nenek moyang ketika terjadi
peperangan waktu itu. Parit itu pada asalnya mempunyai panjang lebih kurang
tujuh ratus meter, tinggi dua meter dan lebar satu setengah meter. Sehingga
siapapun yang berdiri maupun berlari di dalamnya tidak akan kelihatan oleh
musuh.
Suatu ketika ada salah
seorang pemuda yang terjatuh dari kendaraannya di dekat sebuah jembatan di
Induring, dia terluka cukup parah dan perlu segera mendapat perawatan maka
Aminuddin segera mengobatinya dengan standar perawatan dengan alat-alat medis
yang telah tersedia, dan memang Aminuddin telah mendapat pendidikan selama
menjadi anggota pasukan Heiho di bidang kesehatan. Sehingga mulai saat itu oleh
teman-temannya Aminuddin diberi gelar Engku Dotor/Angku Dotor atau Amin Dotor.
Ketika sedang bertugas
melatih para pemuda pejuang, terjadi suatu peristiwa kecelakaan yang dialami
oleh Aminuddin yang kemudian sering dipanggil Angku Dotor, yaitu luka yang
diderita akibat terpijak sepotong kayu runcing sebesar kelingking yang menembus
telapak kakinya dan potongan kayu tersebut tanpa disadari ternyata tertinggal
di dalam kakinya.
Luka akibat tertembus
potongan kayu telah diobati dan dalam waktu lebih kurang seminggu telah sembuh.
Namun potongan kayu yang tertinggal di dalam telapak kakinya tersebut lama
kelamaan mengalami infeksi sehingga Angku Dotor tidak mampu lagi berjalan.
Setelah sekian lama hanya diobati dengan obat tradisional membuat kakinya
menjadi kaku dan tidak bisa diluruskan.
Segala macam obat
tradisional dan tukang urut telah didatangkan untuk mengobati kakinya namun
tidak membawa hasil yang menggembirakan. Hal ini membuat ibunya yang masih
hidup waktu itu dan saudara-saudaranya menjadi cemas sehingga akhirnya Angku
Dotor dibawa ke Dr Ilyas di Bukittinggi. Berkat penanganan dari Dr Ilyas kaki
Angku Dotor berhasil dioperasi dengan mengeluarkan potongan kayu tersebut.
Kemudian kakinya yang kaku dan tidak dapat diluruskan disarankan oleh Dr Ilyas
supaya dia sendiri yang mengobati dengan minyak kelapa secara sedikit demi
sedikit tapi jangan dipaksakan.
Saran dari Dr Ilyas
dilakukanlah oleh Amin Dotor sendiri tanpa bantuan dari orang lain, beliau
mengurut kakinya mulai dari lutut kemudian diluruskan sedikit demi sedikit
selama berhari hari. Setelah lurus diangkat lagi sedikit demi sedikit begitulah
terus sehingga menuntut kesabaran yang tinggi, sampai kakinya berhasil
digerakkan.
Setelah sembuh dari
penyakit yang dideritanya selama berbulan-bulan, tidak berapa lama kemudian
Angku Dotor secara tiba-tiba mengalami penyakit muna atau tidak mau berbicara
dan gangguan penglihatan yang berakibat apa yang dilihatnya menjadi
berubah-ubah, serta menjadi pemarah. Penyakit aneh ini muncul secara tiba-tiba
dan diluar dugaan banyak orang. Bayangkan saja Angku Dotor yang selama ini
ceria dan banyak bicara serta penuh humor mendadak menjadi sangat pendiam. Ini
menjadi tanda tanya seluruh keluarga dan teman-temannya, sehingga dicarilah
orang pintar atau dukun yang mampu mengobati penyakit aneh ini.
Diperkirakan penyakit aneh
ini diderita oleh Angku Dotor selama berbulan-bulan pula, mungkin sekitar tujuh
bulan atau lebih. Setelah diobati dengan berbagai cara akhirnya Alhamdulillah
Angku Dotor kembali sembuh sebagaimana sediakala tak kurang suatu apapun juga
sama seperti sebelum dia jatuh sakit.
Selama lebih kurang satu
tahun lebih Angku Dotor absen dari tugas-tugas perjuangan, pada waktu itu
adalah awal kemerdekaan bangsa Indonesia
sekitar tahun 1945-1946 dan perjuangan menghadapi tentara Sekutu dan Belanda.
Akhirnya dia kembali ke medan
perjuangan bergabung dengan kawan-kawan seperjuangannya yang telah menunggu
dengan harap-harap cemas selama ini. Aktifnya kembali Angku Dotor telah
menambah darah dan semangat baru para pemuda pejuang dibawah kepemimpinannya.
Agresi militer Belanda
yang pertama pada tahun 1947 menjadi tantangan bagi Angku Dotor untuk menunjukkan
semangat perjuangannya dalam menghadapi penjajah. Disamping menjadi komandan
Pasukan Mobil Teras, beliau kemudian aktif pula di dalam Lasjkar Muslimin Indonesia
(Lasjmi) dibawah komandan Sofjan Siradj dengan pangkat Letnan Muda. Lasjmi ini
merupakan Lasykar yang dibentuk oleh Partai Islam Perti sebagai wujud dalam
membela tanah air. Pada waktu itu Angku Dotor beserta Pasukan Lasjmi ditugaskan
ke kotaPadang
dan bermarkas di Belimbing Kuranji. Lasjmi juga aktif membantu Pasukan Harimau
Kuranji melakukan perlawanan terhadap Belanda.
Selama beberapa bulan
bergabung dengan pasukan Harimau Kuranji, karena telah terjadinya perjanjian
gencatan senjata dengan Belanda, Angku Dotor pulang ke Bukittinggi, bergabung
kembali dengan pasukan Front Agam untuk bersiap siaga menghadapi perjuangan
selanjutnya apabila sewaktu-waktu Belanda melanggar perjanjian dengan
Pemerintah Republik Indonesia. Dan memang benar Belanda melanggar perjanjian
dan kembali melakukan agresi militernya ke wilayah Republik Indonesia, dengan melakukan Agresi
kedua pada bulan Desember 1948.
{ 04 }
Tragedi di Pasar Kapau
Tahun 1948-1949
adalah masa Agresi Militer Belanda yang kedua ke Negara Indonesia yang telah
merdeka. Demikianlah yang terjadi di Nagari Kapau, karena Kapau adalah sebuah
nagari yang sangat strategis dan salah satu pintu masuk dari Bukittinggi ke
daerah Kamang yang menjadi basis pertahanan Pejuang Kemerdekaan. Namun Belanda
tahu bahwa di Kapau juga adalah tempat berkumpulnya para pejuang dalam mengatur
strategi perjuangan. Maka Belanda telah menjadikan Kapau sebagai salah satu target utama dalam rangka membersihkan para
pejuang yang disebutnya ekstremis.
Hal yang sangat meresahkan Belanda
dan membuat mereka geram adalah adanya gangguan dari para pejuang terhadap
konvoi pasukannya. Pejuang sering menghambat gerakan pasukan Belanda dengan
memblokir jalan raya dengan batang kayu, batang kelapa, batu-batuan dan
sebagainya. Sebagai contoh terjadi di jorong Cingkaring Kapau, para pejuang
menebangi pohon kelapa dan dibelintangkan di atas jalan untuk menghambat konvoi
serdadu Belanda. Namun apa yang terjadi, setelah Belanda datang ternyata mereka
murka dan membakar seluruh rumah yang berada di tepi jalan. Ada sekitar tujuh
buah rumah gadang yang musnah terbakar oleh aksi serdadu Belanda.
Pasar Kapau adalah pasar rakyat yang
ramai setiap hari Selasa dan Jum’at, bagi yang berada di daerah kaki gunung
Marapi mudah sekali bagi mereka menandai daerah Kapau, karena ada sebuah pohon
Katapiang (Kenari) yang sangat besar tumbuh dekat pasar tersebut. Pemuda
Pejuang dari daerah Kamang dan sekitarnya sudah biasa berkumpul di sekitar
pasar Kapau, mereka berjumlah puluhan dan berikat kepala merah.
Suatu ketika di saat hari pasar terdengarlah bunyi pesawat capung
(Pengintai) Belanda terbang rendah berputar-putar beberapa menit di atas pasar
Kapau. Kenyataan ini diprediksi oleh Komandan Pasukan Mobil Teras (PMT) waktu
itu yaitu Aminuddin (Angku dotor), bahwa ini menandakan suatu saat akan ada
serangan ke pasar Kapau. Maka diberitahukanlah melalui orang per orang untuk mengosongkan
pasar karena Belanda akan menyerbu pasar Kapau.
Pada hari yang diperkirakan akan
terjadi penyerbuan ke pasar Kapau, komandan PMT melakukan pengamatan ke daerah
Patanangan dengan salah seorang anggotanya. Ketika itulah bertemu dengan
seorang wanita tua yang berjalan tergesa-gesa mengabarkan bahwa tentara Belanda
berada dibelakangnya. Sang komandan dan temannya segera bersembunyi di sebuah tebing
sebuah sungai kecil, dan berpikir bahwa perkiraannya benar akan ada serangan ke
pasar Kapau dan tentara Belanda inilah yang akan menyerang pasar Kapau. Saksi
mata di daerah yang dilewati pasukan Belanda ini menyaksikan dari persembunyian
bahwa mereka berbaris dengan rapi dengan senjata yang siap ditembakkan.
Belanda memang telah mengatur dengan
rapi serangan ke pasar Kapau, dengan membagi pasukan infanteri atau jalan
kakinya menjadi dua sayap, sayap pertama adalah dari Pakan Kamis menuju Gobah kemudian
terus ke Giring-giring – Pasar Kapau dan yang kedua adalah Pakan Kamis menuju
Patanangan terus ke Padang Canting – Pasar Kapau. Gerakan Pasukan ini nantinya akan
diikuti oleh pesawat Capung. Tidak jelas informasinya berapa personil pasukan
yang ditugaskan ini.
Hari itu, sebagian besar masyarakat
yang ada setelah mengetahui pemberitahuan dari komandan PMT segera mematuhinya
demi untuk keselamatan. Akan tetapi para pemuda pejuang dari daerah lain tetap
berada di area pasar Kapau seolah-olah tidak mengetahui atau tidak percaya akan
ada serangan Belanda ke pasar Kapau. Namun diluar dugaan para pejuang tersebut
mereka dikejutkan dengan informasi akurat bahwa Belanda telah datang. Mendengar
hal ini maka kepanikan yang luar biasa menghinggapi para pemuda pejuang, mereka
semua berlari ke arah Utara daerah Surau Sirah karena mengira Belanda datang
dari arah Barat yaitu Simpang Kapau.
Ternyata perkiraan para pejuang sama
sekali melenceng karena justru mereka menyongsong serdadu Belanda yang datang
dari Utara bukan dari Barat. Para pejuang yang tidak dibekali dengan
persenjataan yang memadai memang tidak siap menghadapi tentara Belanda yang
sudah sangat dekat hanya beberapa puluh meter, sehingga menjadi sasaran
tembakan serdadu Belanda maka akhirnya peristiwa pembantaian yang sangat memilukan
terjadi kepada para pemuda pejuang. Para Pejuang yang berjumlah sekitar
tigapuluhan orang seketika itu juga gugur diberondong tanpa ampun oleh tembakan
senapan mesin serdadu Belanda, dan ternyata pula semua pejuang berasal dari
luar daerah Kapau, terutama dari Kamang.
Penyerbuan ke pasar Kapau ini tidak hanya dilakukan pasukan Infanteri
Belanda tapi juga diikuti dan dilindungi oleh pesawat pengintai (capung) yang
juga menembaki para pejuang dari udara. Pesawat ini mampu terbang rendah
sehingga yang bersembunyi di dalam semak belukar dan di dalam rerimbunan padi sekalipun
pun terlihat olehnya dan diberondong tembakan secara membabi buta. Pada waktu
itu ada seorang penduduk lokal yang tewas oleh tembakan dari pesawat capung
yang terbang rendah.
{ 05 }
Gerakan Pembebasan Wali Perang Kapau
Adalah suatu kisah heroik yang terjadi di saat bangsa Indonesia berjuang
menghadapi agresor Belanda pada Perang Kemerdekaan tahun 1948-1949, ada
beberapa orang anak bangsa yang diberi kekuasaan tapi menyalahgunakan
kekuasaannya itu untuk nafsu kepentingan pribadi dan merusak persatuan antara
anak bangsa seperjuangan, padahal seharusnya dia berada di barisan terdepan
melawan musuh yang nyata, yaitu penjajah Belanda dan antek-anteknya. Mudah-mudahan
dapat diambil hikmahnya bagi orang Kapau di manapun berada.
Alkisah pada waktu itu terjadilah penangkapan Inyiak Adjo yang menjabat
Wali Nagari Kapau dimana pada waktu itu disebut dengan Wali Perang karena
kondisi dan situasi negara dalam keadaan perang melawan agresi Belanda.
Penangkapan beliau ini dilakukan oleh beberapa Oknum CPM (Corps Polisi
Militer), Inyiak Adjo yang jujur dan mempunyai pendirian yang teguh ini dibawa
ke daerah lain di luar nagari Kapau yakni tepatnya ke Patanangan Tilatang, tidak
berapa jauh dari perbatasan nagari Kapau. Beliau dikurung atau katakanlah
ditahan disebuah rumah dengan pengawalan dan penjagaan dari oknum-oknum CPM itu
sendiri.
Khabar ditangkapnya Inyiak Adjo oleh oknum CPM ini tersiar dengan cepat ke
seantero nagari Kapau, rakyat menjadi heboh dan menjadi bahan perbincangan tapi
tidak ada yang berani mengambil sebarang tindakan, maklumlah para penangkap
beliau ini mempunyai senjata, yang salah-salah sedikit nyawa taruhannya. Sebab
kenapa demikian, karena dalam situasi perang seperti itu orang yang punya
senjata bebas berbuat sekehendaknya tanpa dapat disentuh oleh hukum. Kata orang
nyawa ayam lebih berharga daripada nyawa manusia.
Para tokoh nagari Kapau yang berada di pemerintahan menjadi gusar, mereka
semua berpikir apa yang harus dilakukan. Maka akhirnya segera diadakan musyawarah
MPRN (Majelis Permusyawaratan Rakyat Nagari) Kapau dengan mengundang seluruh
unsur-unsur masyarakat yang ada untuk membicarakan persoalan ini. Musyawarah
pun diadakan tanpa dapat mengambil suatu keputusan yang terbaik.
Namun demikian dalam keadaan kritis tersebut muncullah usulan dari seorang
pemuda pemberani nama beliau Amin dengan julukan Amin dotor atau angku dotor
yang waktu itu menjabat Komandan PMT (Pasukan Mobil Teras) di Kapau yang lebih
kurang mengatakan; ”sebaiknya kita melucuti senjata oknum CPM tersebut bila
ingin membebaskan Inyiak Adjo dan saya bersedia memimpin tugas ini dengan
pasukan kita yang ada”, mendengar ucapan spontan tersebut forum musyawarah
menjadi hening, namun usulan ini tidak serta-merta disetujui ataupun ditolak,
terjadilah perdebatan mengingat resikonya sangat besar apabila misi ini gagal,
karena telah terkenal pameo untuk aksi oknum CPM ini sebagai mambunuah indak mambangun, artinya bila
mereka membunuh maka tidak akan tersentuh oleh hukum.
Para tetua dalam forum musyawarah cenderung untuk menolak usulan yang
terkesan konyol ini, namun Amin dotor tetap mempunyai pendirian yang keras dan
tegas dengan menyatakan; ”apapun yang akan terjadi, saya yang akan bertanggung
jawab penuh, hanya saya meminta kepada Inyik dan Bapak semua seandainya
diantara kami ada yang sakit maka kepada Bapak-bapaklah kami mengadu dan
melaporkannya”. Akhirnya musyawarah yang
alot itu pun menjadi cair dan disepakatilah untuk segera membebaskan Inyik Adjo
dari sekapan para oknum dengan mengerahkan pasukan pejuang dan para pemuda
nagari.
Oleh karena di nagari Kapau telah ada lasykar perjuangan yang dinamakan
Pasukan Mobil Teras (PMT) yang dikomandoi oleh Amin dotor, maka ditugaskanlah
pasukan ini untuk segera membebaskan Inyik Adjo.
Dalam suatu pertemuan rahasia beberapa tokoh pejuang maka disepakatilah
untuk melakukan penyerbuan ke ”markas” oknum CPM di Patanangan dengan satu
tujuan yaitu membebaskan Inyiak Adjo Wali Perang Kapau. Pada dinihari sekitar
jam dua di bulan Ramadhan dikumpulkanlah seluruh pasukan reguler PMT sebanyak
70 orang dan ditambah pasukan cadangan yang terdiri dari seluruh pemuda dan
masyarakat Kapau yang laki-laki, maka terkumpullah sebanyak lebih kurang 300 an
orang Kapau di dusun Padang Cantiang, sebagian besar bersenjatakan tongkat dan
pisau dan lain-lain, hanya sebagian kecil yang bersenjata pistol dan laras
panjang. Menurut cerita, dalam mengumpulkan orang sebanyak itu adalah dengan
cara Japuik Tabao artinya bagi yang
tidak datang dijemput ke rumah masing-masing.
Dalam malam yang gelap gulita bergeraklah 300 orang ini menuju Patanangan
dengan jalan kaki meniti pematang sawah, karena jarak dari tempat berkumpul
menuju ke Patanangan ini tidak sampai satu kilometer. Setelah menempuh
perjalanan dalam masa yang tidak terlalu lama sampailah pasukan ini ke tempat
tujuan dan langsung menuju ke rumah tempat penahanan Inyik Adjo berdasarkan
info yang didapat sebelumnya. Keadaan rumah sepi dan hanya ada dua orang
penjaga yang mengawal tempat itu, melihat ramainya yang datang dua orang
penjaga ketakutan dan tanpa perlawanan mereka langsung menyerah. Akhirnya Inyik
Adjo dapat dibebaskan dengan keadaan sehat wal’afiat.
Namun demikian ada target lain yang tak kalah pentingnya yaitu menangkap
dan melucuti senjata Anggota CPM yang menjadi otak penangkapan dan penahanan
Inyik Adjo yang sudah diketahui identitasnya oleh Angku dotor. Maka
diperintahkanlah untuk menyisir beberapa rumah disekitarnya mencari target
dimaksud, sehingga ada belasan rumah yang pintunya didobrak karena tidak mau
membukakan pintu. Info yang diketahui belakangan ternyata masyarakat ketakutan
karena mengira yang datang dalam malam gulita itu adalah serdadu Belanda,
banyak yang berkata ”ampun tuan, ampun tuan”.
Target menangkap otak pelaku penangkapan tidak berhasil, namun keberhasilan
membebaskan Inyik Adjo sebagai pemimpin Nagari Kapau sudah cukup membuat
runtuhnya moril oknum CPM, dan membangkitkan semangat dan harga diri masyarakat.
{ 06 }
Komandan Seribu Nyawa
Keberhasilan
membebaskan Inyik Adjo, merupakan sesuatu yang sangat menggembirakan bagi warga
Kapau sekaligus mengkhawatirkan. Karena dalam suasana perang, apapun dapat
dilakukan oleh seorang prajurit bersenjata untuk membalas dendam dan sakit hati
apalagi ketika moral mereka dijatuhkan.
Kekhawatiran
tersebut ternyata menjadi kenyataan karena tidak lama setelah peristiwa
pembebasan Inyik Adjo, terdengar khabar bahwa oknum-oknum tentara CPM berniat
akan membunuh Angku Dotor yang menjadi pemimpin penyerangan dan berhasil
membebaskan Inyik Adjo. Maka dikirimkanlah seorang Mata-Mata ke Kapau untuk
maksud tersebut. Secara kebetulan Mata-Mata yang dikirimkan ini bertemu dengan
Angku Dotor di dekat rumah Tek Tim Pandan Banyak. Mereka saling berkenalan dan
mata-mata yang menyamar ini menyembunyikan identitasnya yang sebenarnya. Mata-mata
ini terkejut ketika mengetahui bahwa yang ditemuinya adalah Angku Dotor, orang
yang semestinya harus dibunuhnya sesuai dengan tugas yang diembannya. Tapi ia
berusaha tenang dan tetap menjaga rahasia.
Angku Dotor tidak tahu
bahwa yang dihadapinya adalah seorang mata-mata yang akan membunuhnya, ternyata
dengan perkenalan ini berlanjut dengan bercerita kian kemari, karena Angku
Dotor adalah jagonya bercerita, mata-mata tadi seolah-olah terhipnotis dan larut
mendengarkan cerita demi cerita dari Angku Dotor. Kemudian sambil Angku Dotor terus bercerita mereka berdua
akhirnya melangkah dan terus berjalan kaki menuju kearah Pandam Basasak. Mereka
terus berjalan dan kemudian tibalah di simpang Padang Cantiang, Angku Dotor
mengemukakan niatnya akan menuju Padang Cantiang karena ada suatu keperluan.
Mereka berdua berpisah Angku Dotor berbelok menuju Padang Cantiang dan
Mata-Mata terus menuju Pandam Basasak. Mata-mata itu akhirnya tidak kesampaian dalam
melaksanakan niatnya.
Kejadian ini memang sangat
mengherankan entah apa ilmu yang dimiliki oleh Angku Dotor sehingga mampu
menyebabkan seorang mata-mata akhirnya gagal membunuh target yang sudah didepan
matanya sendiri. Angku Dotor bukan orang yang bodoh karena segera setelah
peristiwa pembebasan Inyik Adjo dia pun telah memasang mata-mata pula, karena
dia mafhum dan dengan firasatnya yang tajam telah diperkirakannya bahwa Oknum
CPM tentu tidak akan tinggal diam. Angku Dotor akhirnya mengetahui dari
mata-mata tersebut bahwa ada niat dari Oknum CPM berusaha untuk membunuhnya, sehingga
Angku Dotor semakin waspada.
Mengetahui
bahwa Mata-matanya gagal, Oknum CPM merasa geram dan mencari cara lain agar
dapat melenyapkan Angku Dotor atau paling tidak hendaklah mampu menangkapnya.
Akan tetapi berbagai cara untuk membunuh Angku Dotor tidak berhasil, jangankan
untuk membunuh menangkapnya saja tidak mampu mereka lakukan. Mereka kemudian
berembuk dan diambillah langkah lain yang menurut mereka lebih efektif yaitu
aksi teror yaitu membakar rumah orang tua Angku Dotor di Surau Sirah. Usaha ini
berhasil dilaksanakan dengan membakar rumah orang tuanya di Surau Sirah, tapi
untunglah para tetangga sekitar segera tahu dan menolong memadamkan api yang
mulai membesar tapi api terlanjur membakar habis dapur. Alhamdulillah tidak
sampai menghanguskan rumah gadang.
Terjadinya
peristiwa pembakaran rumah orang tuanya, Angku Dotor tidak tinggal diam, dia
berusaha mencari siapa pelaku pembakaran dan apa motifnya. Berusaha untuk tetap
tenang dan tidak menanggapi secara emosional. Akhirnya berdasarkan
penyelidikannya dan dengan nalurinya yang tajam maka diketahuilah bahwa yang
membakar rumahnya tidak lain adalah oknum CPM. Kemudian ada pula saksi yang
dapat dipercaya bahwa pelaku pembakaran adalah dua orang oknum CPM. Mungkin merupakan shock therapy oknum CPM
supaya Angku Dotor muncul dan dengan mudah dapat ditangkap dan atau kemudian
dibunuh.
Di
suatu hari terdengar khabar bahwa ada dua orang oknum CPM sesuai keterangan
saksi sedang minum di sebuah kedai kopi milik Etek Baya dan kedai kopi tersebut
justru di kampungnya sendiri Surau Sirah. Mendengar khabar ini Angku Dotor
menjadi semakin geram dan segera menyiapkan sepucuk pistol otomatis dan
mengikatkannya di tangan dan tanpa fikir panjang segera menuju kedai dimaksud.
Melihat
kedatangan Angku Dotor, salah seorang dari dua oknum CPM mengeluarkan pistolnya
akan menembak Angku Dotor, tapi pistolnya tidak mau meletus alias macet. Kedua
orang ini keluar dan perkelahian tidak terhindarkan lagi, dua lawan satu. Tanpa
merasa gentar sedikitpun Angku Dotor berusaha meladeni kedua orang tersebut
dengan tangan kosong karena pistol yang diikatkan di tangannya tadi
disembunyikan di lengan bajunya. Perkelahian dua lawan satu terjadi dengan seru
bak filem cowboy, salah seorang berusaha merebut pistol Angku Dotor yang
terikat di tangan. Sementara terjadi rebutan pistol, yang seorang lagi menikam
Angku Dotor dari belakang dengan sebilah pisau, namun Angku Dotor segera
menyadari dan segera berkelit namun pisau hanya sempat merobek bajunya yang
kebetulan dua lapis.
Melihat
situasi kritis karena duel yang tidak seimbang tersebut datanglah seorang
famili Angku Dotor membawa parambah
pematang dan melontarkan ancaman kepada kedua oknum. Menyadari situasi yang
tidak menguntungkan kedua orang ini akhirnya mengambil langkah seribu dari
tempat itu. Di saat dua orang ini kabur melarikan diri Angku Dotor melepaskan
beberapa kali tembakan tapi hanya mengenai telinga salah seorang.
Setelah
kejadian ini nama Angku Dotor menjadi perbincangan luas di masyarakat. Salah
seorang komandan pertempuran Front Agam yaitu Kapten Sidi Amir Hosen yang
kebetulan tinggal di Kapau merasa kagum akan keberanian yang cukup luar biasa
Angku Dotor ini, mereka pun berteman akrab. Disamping itu beliau juga adalah salah
seorang komandan PMT yang paling dicari oleh tentara Belanda di daerah Tilatang
Kamang namun tidak pernah berhasil menangkapnya karena sering berpindah dari
satu tempat ke tempat yang lain.
Usaha
pembunuhan terhadap dirinya tidak pernah membuahkan hasil, sampai berakhirnya
perang kemerdekaan dan Negara Indonesia
kembali aman. Kejadian demi kejadian yang menimpanya tidak menyebabkan beliau
sombong tapi beliau semakin rendah hati dan bersahaja.
Nama Angku Dotor pun
sempat singgah di telinga pasukan Belanda sehingga dijadikannya Angku Dotor
sebagai salah satu targetnya karena dia merupakan komandan pejuang di Kapau. Pada
suatu ketika di dekat pasar Kapau sejumlah tentara Belanda berkumpul dengan
senjata di tangan yang siap untuk ditembakkan. Pada waktu itu dengan tenang
Angku Dotor berjalan sambil memikul suatu beban di pundaknya melewati tentara
Belanda yang sedang berkumpul. Salah seorang dari serdadu itu bertanya kepada
Angku Dotor, apakah tahu dengan angku dotor pemimpin pejuang di Kapau. Seketika
Angku Dotor menghentikan langkahnya, mendengar pertanyaan seperti itu Angku
Dotor berusaha tetap tenang dan tidak panik sambil menggelengkan kepala. “Tidak
tahu tuan” jawab Angku Dotor singkat, kemudian terus berlalu. Disini ternyata
nama Angku Dotor telah dikenal oleh Belanda tapi mereka tidak tahu wajah angku
dotor yang sebenarnya dan tidak pernah tahu sampai berakhirnya pendudukan
Belanda di Indonesia yang
ditandai dengan penyerahan kedaulatan Belanda kepada Republik Indonesia.
{ 07 }
Amanat Dari Kaum
Di Minangkabau terkenal pepatah ”kaciak
babaduang kain, kok gadang babaduang adat, kok kaciak dibari bapak namo, kok
gadang diagiah mamak gala”. Pada tahun 1950 Angku Dotor mengakhiri masa
lajangnya dengan menikahi seorang gadis yang bernama Fathimah sama dengan nama
putri Nabi, seorang perempuan yang satu suku namun lain induk sukunya atau
cabang suku tersebut. Kampung isteri beliau ini adalah Parak Maru.
Kalau di nagari Kapau boleh menikah dengan satu suku asalkan berbeda
Induknya, karena yang dinamakan suku adalah nan
barinduak atau nan barinyiak. Misalnya
di dalam suku Jambak Gadang ada enam induak, maka anggota induak yang satu
dengan induak yang lainnya boleh menikah, tapi dilarang menurut adat menikah dalam
satu induak.
Pada waktu berhelat/kenduri atau baralek
kawin diberikanlah gelar adat oleh mamak/paman atau kaum kepada Angku Dotor
atau Aminuddin dengan gelar Sutan Rajo Bujang. Gelar ini adalah gelar menurut
adat. Di Minangkabau semua laki-laki yang sudah menikah diberi gelar dan gelar
inilah yang disebut apabila memanggil orang tersebut.
Keadaan nagari Kapau di awal tahun 1950 an cukup aman, sehingga kehidupan
penduduk berjalan kembali dengan normal setelah berakhirnya perang kemerdekaan.
Disamping aktifitasnya di nagari Angku Dotor juga kembali beraktifitas sebagai
penduduk biasa, bertani di daerah tempat tinggalnya yang baru setelah menikah
yaitu dusun Parak Maru. Kondisi nagari sehabis perang memang cukup sulit namun
Angku Dotor dan Keluarganya menghadapi semua itu dengan baik-baik saja.
Ada suatu kesempatan yang didapatkan oleh beliau untuk merobah ekonomi
keluarga yaitu mencoba berdagang kentang, maka kesempatan ini tidak
disia-siakannya, maka digadaikanlah sepetak sawah untuk modal berdagang. Pada
awalnya berkembang cukup menggembirakan, namun sangat disayangkan tidak bertahan
lama usaha ini bangkrut. Salah satu faktornya adalah karena tidak adanya bakat
dagang. Tahun berganti tahun, tapi keadaan kehidupannya biasa-biasa saja tidak
ada perubahan yang berarti.
Pada tahun 1955 Angku Dotor yang bergelar Sutan Rajo Bujang diserahi amanah
oleh kaumnya di Surau Sirah menjadi seorang penghulu atau pemimpin adat dengan
gelar pusaka Datuk Bagindo Basa. Gelar datuk ini terdapat dalam persukuan Guci
Datuk Bagindo (Koto Panjang Hilir) sebagai induk dengan 4 anggota-anggotanya Datuk
Bagindo Basa (dusun Koto Panjang Hilir), Datuk Bagindo (Dangkek), Datuk Rajo
Basa (Cubadak) dan Datuk Gadang Majolelo (Banau). Semua itu dinamakan Ninik
Mamak satu induk artinya mereka satu keturunan menurut garis adat (Matrilineal)
dan terkenal dalam adat barek sapikua
ringan sajinjiang, artinya apabila terjadi baik dan buruk ditengah
keluarga, maka semua keluarga dibawah penghulu itu saling bantu membantu.
Sebetulnya Datuk Bagindo (Induk) sudah/masih ada waktu itu yaitu paman
Angku Dotor sendiri yaitu Abdul Muluk Dt Bagindo. Sedangkan Gelar Datuk Bagindo
Basa ini sebenarnya tidak jatuh ke tangan Angku Dotor, akan tetapi yang
benar-benar berhak memikul gelar ini tidak ada satu pun yang mau memikulnya,
sehingga seluruh kaum sepakat bahwa gelar pusaka Datuk Bagindo Basa ini
diberikan kepada Aminuddin (Angku Dotor). Sebab Angku Dotor sangat layak
menerima gelar tersebut melihat karakter dan kiprahnya selama ini.
Pada awalnya Angku Dotor menolak pemberian gelar ini kepadanya secara
halus, namun karena semua kaum telah sepakat termasuk mamak/pamannya sendiri
Abdul Muluk Datuk Bagindo, akhirnya dia menerimanya dengan berat hati. Karena
memikul gelar ini sebetulnya sangat berat, sebab merupakan tanggung jawab
kepada anak kemenakan yang harus dipimpin.
Akhirnya Aminuddin diangkat menjadi Penghulu suku Guci dengan gelar Datuk
Bagindo Basa dan diresmikanlah pada waktu itu di Balai Adat Kapau beserta
sejumlah Penghulu lainnya. Maka mulai saat itu Angku Dotor resmi menjadi Datuk
Bagindo Basa dengan panggilan Pak Datuk atau Inyik Datuk atau lebih sering
dipanggil Inyik Indo. Kalau orang yang lebih tua darinya cukup memanggil Datuk
saja.
Di tahun itu juga sekitar bulan Agustus Angku Dotor yang sekarang bergelar
Pak Datuk Bagindo Basa ditunjuk sebagai utusan mengikuti Kongres Partai Islam
Perti ke 8 di Jakarta, salah satu utusan dari Kabupaten Agam. Dari Bukittinggi
berangkatlah rombongan ke Padang terus ke Teluk Bayur yang selanjutnya
diberangkatkan dengan kapal api ke Jakarta. Ditengah perjalanan dengan kapal
inilah ada usaha sistematis dari sekelompok orang yang tidak merasa senang
dengan kepemimpinan Dewan Pimpinan Pusat Partai yaitu Buya H.Siradjuddin Abbas
(Buya Siradj), dimana mereka berencana mendongkel kepemimpinan beliau.
Pak Datuk yang kenal dekat dan kader Buya Siradj sejak dahulunya, sangat
menghormati beliau, mendengarkan dengan seksama perbincangan orang-orang
tersebut, tapi mereka itu tidak tahu bahwa Pak Datuk adalah orang dekat Buya
Siradj. Sehingga Pak Datuk berencana menyampaikan ini langsung setiba di
Jakarta nantinya. Setiba di Jakarta maka Pak Datuk langsung menuju rumah Buya
Siradj, disampaikanlah berita ini kepada Buya Siradj Mendengar berita ini
beliau tetap tenang dan sangat berterimakasih mendapat berita ini, untuk lebih
siap menghadapi acara kongres yang akan diadakan tidak lama lagi.
Peranan Pak Datuk di kampung halamannya juga semakin bertambah, disamping
beraktifitas di nagari sekaligus juga memimpin kemenakan yang ada di
persukuannya. Kecerdasannya dalam pengetahuan
adat dan kemasyarakatan bukan hanya ketika beliau telah menjadi
Penghulu, tapi sudah diperolehnya sejak lama bahkan semenjak masih sekolah. Hal
ini karena perhatiannya yang sangat tinggi terhadap adab-adab keseharian
disamping sering bertanya persoalan masyarakat dan bagaimana cara mengatasinya
kepada orang-orang tua. Sehingga dengan kemampuannya ini beliau diangkat
sebagai Pamong urusan-urusan adat dan kemasyarakatan lainnya di nagari.
Sehingga apapun persoalan krusial yang terjadi dan sulit untuk diselesaikan
maka beliaulah yang mengurusnya untuk dicari jalan keluar yang terbaik.
{ 08 }
Wajib Bela Desa
Pemberontakan, adalah sesuatu yang asing dan tidak dikenal sebelumnya bagi
orang Minangkabau karena orang Minang itu dimanapun dia berada mempuyai sifat egaliter
dan mengutamakan musyawarah untuk mufakat. Namun Pemerintahan Revolusioner
Republik Indonesia (PRRI) yang terbentuk di Sumatera Tengah pada 1958, selalu
dikaitkan dengan pemberontakan, tapi sebetulnya adalah bentuk ketidakpuasan
daerah kepada pemerintah yang berpusat di Jakarta.
Tanggal 15 Februari 1958
terjadi peristiwa bersejarah yang amat sangat penting di ranah Minang, yang
mampu mengubah sejarah perkembangan kawasan ini pada masa berikutnya. Pada
tanggal itu Dewan Perjuangan memproklamirkan berdirinya Pemerintahan
Revolusioner Republik Indonesia,
disingkat PRRI. Proklamasi ini merupakan puncak dari rentetan
peristiwa-peristiwa sebelumnya, yang bermula dari rasa ketidak puasan
daerah-daerah di luar Jawa atas ketimpangan pembangunan yang terjadi antara
Jawa dan luar Jawa.
Tapi pada tanggal
17 April 1958, sekitar dua bulan setelah proklamasi PRRI, pemerintah pusat
mulai mendaratkan pasukannya di pantai parupuk Tabing dibawah komando Kolonel
Ahmad Yani dengan sandi “Operasi 17 Agustus”. Pasukan Gerak Tjepat (PGT) AURI
diterjunkan dari pesawat udara di lapangan udara Tabing. Kemudian mereka
bergerak menuju pusat kota dan pada sore itu
juga kotaPadang
jatuh ke tangan tentara pusat tanpa perlawanan. Tentara Pusat terus mendesak
tentara PRRI yang mengambil taktik mundur dari kota-kota dan bertahan di daerah
pegunungan dan perkampungan yang tidak
akan dapat dijamah oleh tentara pusat.
Demikianlah pula
dengan kota-kota lainnya seperti Bukittinggi juga jatuh ke tangan tentara pusat
tanpa perlawanan yang berarti. Peluru Mortir dan Kanon ditembakkan dari
Bukittinggi ke basis tentara PRRI yang telah mundur ke daerah Kamang melewati
daerah Kapau, bunyi ledakan pun terdengar silih berganti. Kapau sebuah nagari
yang selama ini aman sekarang penduduknya diliputi ketakutan.
Di sebuah rumah
di daerah Kapau, Pak Datuk termenung sendirian, sebagai Ketua Keamanan
sekaligus Komandan Wajib Bela Desa (WBD) dia berpikir keras, karena keamanan
nagari dan warganya terletak di bawah tanggung jawabnya. Beliau sendiri pula
yang berinisiatif membentuk suatu Pasukan di nagari Kapau pada tahun 1957 yang
diberi nama Pasukan Saga Djantan (PSD) dan telah mendapat izin dari Kolonel
Dahlan Djambek, yang setelah terbentuk PRRI tahun 1958 Pak Dahlan ini adalah Sekretaris
Jenderal Dewan Perjuangan dan Menteri Dalam Negeri PRRI. Beliau sendiri yang
berinisiatif mendatangi rumah Kol Dahlan Djambek (Pak Gaek) di Jalan Panorama Bukittinggi (sekarang museum
perjuangan) untuk mendapatkan izin. Komandan PSD ini adalah adalah Letnan Satu
Sjahmenan temannya satu kampung dan seperjuangan dan sama-sama pernah jadi
tentara Heiho.
Perang tengah
berlangsung, tapi yang dihadapi bukan penjajah Belanda tapi saudara satu bangsa.
Yang sangat mengganggu fikiran Pak Datuk bukan menghadapi tentara pusat tapi
bagaimana keamanan dan ketenteraman masyarakat Kapau yang dibawah tanggung
jawabnya dapat terjamin dan tidak timbul korban jiwa pada masyarakat sipil.
Nagari dan penduduknya sudah merupakan darah daging bagi Pak Datuk dan dia
merasa tidak tenang bila nagarinya hancur karena perang saudara yang sudah di
pelupuk mata.
Jarang
ada laki-laki baik dia itu sipil apalagi militer yang sanggup terang-terangan tinggal
di nagari Kapau(maksudnya tanpa bersembunyi di lobang persembunyian), berbeda dengan Pak Datuk dan anggota keamanan yang mau tidak mau telah dibekali
keberanian ekstra selalu bergerilya, kenapa demikian karena
Kapau adalah daerah yang sangat strategis karena terletak di front dan
berbatasan langsung dengan kota Bukittinggi, sewaktu-waktu tentara pusat selalu
datang secara mendadak. Semua pemuda, tentara dan para tokoh masyarakat menyingkir
jauh ke pedalaman, hutan dan bukit-bukit yang kiranya tidak akan mungkin
terjamah oleh tentara pusat. Kalaupun ada yang berani pulang hanya di waktu
malam, karena khawatir bertemu dengan patroli atau razia yang dilakukan pasukan
pusat ke rumah-rumah.
Tindakan Pak Datuk melakukan gerilya dari satu tempat ke
tempat yang lain adalah suatu taktik dan strategi dalam menghadapi suatu
peperangan. Tapi resiko maut akan selalu datang mengintai. Tidak jarang terjadi
ledakan bom atau mortir yang banyak memakan korban jiwa.
Pada suatu ketika keberuntungan masih berpihak kepada Pak Datuk, sewaktu terjadi
ledakan mortir di pinggir jalan Korong Tabik Kapau yang menimbulkan beberapa
orang korban jiwa. Pak Datuk pada saat sebelum terjadi ledakan sedang mengayuh
sepeda akan menuju Korong Tabik ini. Akan tetapi setelah sampai di simpang
dekat pasar beliau merubah niat dan membelokkan sepedanya menuju Koto Panjang
Hilir. Ketika baru saja bersepeda sejauh seratus meter terdengar olehnya
ledakan mortir dari arah Korong Tabik. Ternyata jarak antara ledakan mortir
dengan simpang tempat beliau berbelok tadi juga seratus meter. Maka dapat
disimpulkan bila terus saja bersepeda dan tidak berbelok besar kemungkinan
beliau terkena ledakan mortir.
Tidak sampai
hitungan bulan satu kompi pasukan pusat atau APRI dibawah Komandan Kompi Letnan
Satu (Lettu) TNI Djamil telah mampu mencapai Balai Panjang, suatu daerah Gadut
di kecamatan Tilatang Kamang tiga kilometer sebelum Pakan Kamis dari Bukittinggi,
mereka membangun pos atau basis pertahanan di sana. Sedangkan para pemimpin dan
pasukan PRRI serta para sukarelawan terdesak mundur ke pedalaman dan
hutan-hutan sekitarnya. Dalam hal ini menunjukkan PRRI mungkin mempunyai
keterbatasan baik dari segi persenjataan maupun personil berhadapan langsung
dengan tentara pusat yang memiliki persenjataan lengkap.
Setelah adanya pos pertahanan APRI
di Balai Panjang maka secara teoritis pemerintah pusat sudah menguasai
kecamatan Tilatang Kamang dan menguasai ibu kecamatan tinggal hanya menghitung
hari. Memang sejak saat itu tidak pernah ada perlawanan yang berarti dari PRRI
karena bagaimanapun tingginya semangat perjuangan tapi apabila tidak didukung
logistik dan senjata yang cukup tentu sangat sulit bertahan apabila perang
berlanjut dalam jangka waktu yang lama. Dan hal ini sering menjadi perhatian dan
bahan renungan Pak Datuk karena jangkauan pemikiran-pemikirannya yang jauh ke
depan yang tidak terjangkau oleh sebagian pemimpin pada waktu itu yang sering mengukur
sesuatu dalam jangka menengah.
{ 09 }
Sahabatdi Tengah
Pergolakan
Desember 1958 di pagi yang cerah di dusun Balai Panjang, Pak Datuk
menghentikan kayuhan sepeda ontelnya dan kemudian berhenti persis di depan pos
penjagaan Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI), suasana tampak santai
tidak tampak penjagaan yang berlebihan, hanya ada beberapa prajurit berseragam
yang bersenjatakan laras panjang yang berjaga-jaga di tempat itu.
Disana ada beberapa lobang yang cukup besar dengan karung-karung pasirnya yang
dilengkapi persenjataan layaknya sebuah kubu pertahanan. Dan memang daerah
tersebut memang dirancang sebagai markas pertahanan. Dusun Balai Panjang ini
adalah daerah yang sangat strategis terletak di pinggir jalan dari Kota
Bukittinggi menuju Pakan Kamis ibu kecamatan Tilatang Kamang Kabupaten Agam,
yang dikelilingi oleh persawahan.
”Mau kemana,
Pak?” tanya salah seorang prajurit.
”Saya mau menemui
mamak (paman) saya di rumah yang itu” sahut Pak Datuk sambil menunjuk ke arah
sebuah rumah.
”Ya, silakan,
Pak”
”Terimakasih,
Pak” kata Pak Datuk dan kembali mengayuh sepedanya menuju rumah gadang yang
tidak berapa jauh dari pos penjagaan tadi.
Rumah ini dimiliki oleh sanak famili yang masih satu suku dengan Pak Datuk yang
dikenal dengan nama Balahan. Dari rumah gadang inilah terungkap cerita-cerita
tentang keberadaan Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) yang bermarkas di
situ, mereka terkenal dengan sebutan Tentara Pusat. Markas mereka di Balai
Panjang ini dinamakan Kompi B dengan daerah kekuasaan Kecamatan Tilatang Kamang
dan sekitarnya, komandannya adalah Letnan Satu TNI Djamil.
Melalui sanak famili inilah Pak Datuk ingin sekali diperkenalkan dengan Komandan
Kompi B Letnan Satu TNI Djamil. Pak Datuk dibawa paman beliau menuju sebuah rumah
yang dijadikan kantor komandan kompi. Setelah sampai di sebuah ruangan komandan
diperkenalkanlah Pak Datuk dengan Letnan Satu Djamil, sang komandan kompi.
Mereka bersalaman.
”Oh, ya berarti
Bapak seorang Datuk?”,
”Betul, Pak
Letnan, Datuk Bagindo Basa, suku Guci”
”Ya, silakan
duduk, Pak”
”Baik, Pak”
Sebagai seorang
yang sangat pandai bercerita atau maota,
sehingga Pak Datuk bercerita dan waktu berjalan tanpa terasa. Letnan Djamil
mendengarkan dengan antusias, hal ini terlihat dari ekspresinya, sehingga
timbul rasa senang dan suka akan kehadiran Pak Datuk.
Pada masa itu komandan kompi
bertugas mengedarkan atau membagikan kartu penduduk di markas kompi kepada semua
penduduk Tilatang Kamang yang akan masuk ke kota Bukittinggi, terutama para
pedagang. Letnan Djamil sebagai komandan merasa penasaran kenapa pengedaran
kartu penduduk tersendat-sendat, demikian juga bagi penduduk Kapau yang banyak
berdagang ke pasar Bukittinggi.
Pak Dotor mempunyai pemikiran yang bijaksana dan brilian, hal ini
disampaikannya kepada Letnan Djamil sebagai sebuah usulan, bahwa sebaiknya
pembagian kartu penduduk ini dilakukan di Simpang Kapau dimana tempat itu
sangat strategis dan ditempuh orang yang akan pergi ke kota Bukittinggi.
Setelah dipertimbangkan baik dan tidaknya termakan juga dalam pemikiran Letnan
Djamil, dan akhirnya usulan ini diterima dan tidak lama setelah itu langsung dilaksanakan
dan ternyata masyarakat ramai yang meminta kartu penduduk di Simpang Kapau.
Disamping itu keberadaan beliau
selama ini sebagai seorang tokoh penting PRRI di Kapau tidak diketahui sama sekali
oleh Letnan Djamil, mungkin dia mengira Pak Datuk adalah seorang sipil biasa,
dan mungkin juga dia mengira disamping Pak Datuk bukan tentara juga posisinya
sebagai orang yang sangat berpengaruh di Kapau dan Tilatang Kamang dan sangat
mengenal daerahnya inci demi inci sangat penting untuk didengarkan
kata-katanya. Tapi yang sangat mengherankan dan sangat mencengangkan ada satu
rahasia yang selalu dapat disimpan oleh Pak Datuk dengan sangat rapi dibalik hubungan
kedekatannya dengan Komandan Kompi Letnan Djamil, apa rahasianya, inilah yang
tak seorang pun tahu sampai bertahun-tahun setelah zaman PRRI.
Ada satu saran Pak Datuk yang betul-betul dilaksanakan oleh Letnan Djamil
yaitu pengurangan opslap, operasi lapangan ke daerah-daerah tertentu untuk
menghalangi dan menghalau tekanan dari tentara PRRI. Dalam setiap operasi
militer Pak Datuk selalu diikutsertakan, dan konsep yang ada dalam benak Letnan
Djamil adalah terwujudnya keamanan dan terhindar dari kontak senjata langsung
dengan tentara PRRI yang akan berimplikasi lebih luas, dan ini terlaksana
setelah Pak Datuk ”bergabung” dengan Tentara Pusat/APRI. Padahal dalam hal ini
Pak Datuk telah mengirimkan kabar rahasia kepada tentara PRRI kapan akan adanya
operasi lapangan tentara APRI, sehingga ada waktu bagi tentara PRRI yang sudah
terdesak untuk mundur. Sehingga nyaris tidak ada kontak senjata antara kedua
”musuh” tersebut.
Khabar kedekatan Pak Datuk dengan
Letnan Djamil yang notabene adalah Komandan Kompi B /APRI, beredar dengan
cepat. Beberapa orang yang selama ini berseberangan secara politik dengan Pak
Datuk mendapat kesempatan emas untuk menghantam Pak Datuk dengan telak, mereka
menganggap Pak Datuk adalah seorang pengkhianat, ada yang berpandangan bermuka
dua dan ada pula yang hati-hati menyikapi karena mereka tidak tahu ada apa
dibalik semua itu.
Pro kontra terjadi di masyarakat, sehingga suatu saat terdengarlah berita
bahwa keamanan keluarga Pak Datuk yang berada di Parak Maru terancam oleh
pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Pak Datuk menyikapi ini dengan tenang
seraya mengatur strategi. Situasi ini disampaikanlah kepada Letnan Djamil yang
langsung memerintahkan penyiapan sebuah bendi dan satu peleton tentara untuk
menjemput keluarga beliau di Parak Maru, akhirnya keluarga Pak Datuk yang
terdiri dari isteri dan anak-anaknya dijemput dan dibawa dengan aman ke Balai
Panjang. Untuk sementara beliau tinggal di Balai Panjang sampai situasi kembali
tenang.
Tinggalnya Pak Datuk di Balai
Panjang sangat disyukuri oleh Letnan Djamil, karena setiap hari dapat bertemu
dan lebih banyak menimba pengetahuan dari Pak Datuk dalam mengenal daerah
Tilatang Kamang secara lebih jauh. Mengerti karakter masyarakatnya dalam
mengatur strategi yang lebih baik. Selama ini Pak Datuk telah memberikan banyak
masukan dan saran yang sangat penting bagi tentara pusat dan juga bagi rakyat
yang tidak tahu apa-apa.
Figur Pak Datuk memang sangat dibutuhkan Letnan Djamil dalam situasi dan
kondisi yang ada, seolah-olah layaknya seorang penasehat baginya. Hal ini tidak
mengherankan karena dalam operasi yang dilakukan ke lapangan Pak Datuk sering
diikutsertakan. Sampai-sampai anak buah Letnan Djamil banyak yang demikian
hormatnya kepada beliau. Kemanapun dia
pergi selalu didampingi oleh Basita dan Restim, dua orang prajurit kepercayaan
sang komandan kompi.
Pernah suatu hari dalam operasi yang dilakukan menyisiri kaki sebuah bukit
terjadilah kontak senjata pasukan pusat
dengan pejuang PRRI, dimana terdengar beberapa letusan senjata pasukan PRRI
dari balik sebuah bukit. Para prajurit sebanyak satu peleton secara serentak
segera tiarap. Tapi Pak Datuk dan Letnan Djamil secara kebetulan tetap tenang
dan tidak tiarap, karena mereka punya analisa dan menganggap tidak akan terkena
tembakan, sebab arah tembakan diketahui secara alam bawah sadar seorang yang
terlatih, karena baik Letnan Djamil dan Pak Datuk adalah tentara dan bekas
tentara yang terlatih dan berpengalaman, jadi mempunyai insting yang lebih
tajam.
”Nah, lihat oleh kalian Pak Datuk, tidak ikut tiarap padahal beliau seorang
sipil tapi mengerti militer” ujar Letnan Djamil kepada prajuritnya.
”Kalian dapat belajar banyak dengan beliau” kata Letnan Djamil menambahkan.
Titik penting keberadaan Pak Datuk
di Balai Panjang sangat terasa bagi tentara PRRI yang akan menyerah atau
meletakkan senjata. Karena Perjuangan PRRI dari hari ke hari semakin berat
karena hidup di hutan atau pedalaman dalam segala hal serba sangat kekurangan.
Maka tidak ada jalan lain selain meletakkan senjata karena syarat utama
menyerahkan diri kepada tentara pusat adalah setiap personil tentara yang akan
menyerah harus memiliki senjata organik. Kalau tidak dia dianggap bersalah dan
akan dikenai hukuman disiplin yang berat, sebab senjata bagi personil TNI
menjadi satu kesatuan dengan personil tentara itu sendiri.
Tentara PRRI yang menyerah baik itu
per kesatuan atau per personil itu sendiri telah sering terjadi. Disinilah
peran Pak Datuk sebagai penghubung penyerahan tentara PRRI khususnya di daerah
Tilatang Kamang. Salah satu peranan penting Pak Datuk adalah tatkala seorang
kurir yang datang mengabarkan bahwa Jurubicara PRRI yang terkenal pada waktu
itu Buya Zaidalani Chatib tidak sanggup lagi berjuang di hutan-hutan, beliau
berniat untuk kembali ke kota menjalani kehidupan yang lebih baik.
Pak Datuk segera menjemput beliau
dengan terlebih dahulu minta izin kepada Letnan Djamil, sehingga ditugaskanlah
beberapa orang tentara bersama Pak Datuk dengan menaiki sebuah jeep militer.
Mereka meluncur ke daerah Kamang Hilir untuk menjemput Buya Zaidalani dan
berhasil membawa beliau sampai ke kota Bukitinggi dengan aman.
Demikian pula dengan orang lain
bahkan yang tidak beliau kenal sekalipun dibantunya dalam memproses penyerahan
diri ke komandan kompi. Pernah terjadi penangkapan oleh anggota tentara pusat
terhadap salah seorang yang masih satu
kampung dengan Pak Datuk. Penangkapan ini karena kedapatan mempunyai kartu
penduduk ganda yaitu PRRI dan Pusat. Pada waktu itu datanglah orang tua dari
yang bersangkutan kepada Pak Datuk sambil menangis terisak-isak memohon supaya
anaknya dibebaskan.
Pak Datuk segera ke markas kompi dan berbicara dengan Letnan Djamil supaya
orang yang sekarang ditahan untuk dapat dibebaskan karena masih merupakan
saudara atau adiknya. Letnan Djamil tanpa pikir panjang segera memerintahkan anak
buahnya untuk membebaskan tahanan tersebut.
{ 10 }
Hari-hari Yang Mencekam
Di
mata sebagian besar para pejuang dan para tokoh PRRI figur seorang Pak Datuk
tidaklah pernah pudar, meskipun dia ‘membelot’ ke tentara pusat tapi ada suatu
pesan rahasia bahwa keberadaan Pak Datuk di tengah-tengah pasukan APRI adalah
suatu strategi yang sulit diterima akal masyarakat awam.
Pada
suatu hari berkumpullah para tokoh-tokoh PRRI dalam suatu rapat yang diadakan
di suatu tempat rahasia tapi tanpa dihadiri oleh Pak Datuk. Salah satu
keputusan rapat adalah apabila PRRI menang dalam peperangan maka Pak Datuk akan
diangkat sebagai Wali Nagari Kapau. Maka dibuatlah dalam notulen rapat seluruh
keputusan yang diambil tersebut, semua nya disimpan dalam suatu dokumen rahasia
yang harus dijaga jangan sampai jatuh ke tangan musuh. Dan memang dokumen hasil
rapat tersebut tidak boleh jatuh ke tangan tentara pusat. Apabila sampai jatuh
ke tangan tentara pusat maka akan sangat berbahaya bagi keselamatan Pak Datuk.
Dalam
suatu operasi militer yang dilancarkan oleh tentara pusat ke suatu tempat
persembunyian pejuang PRRI telah gagal menangkap para tokohnya yang telah
berhasil melarikan diri. Akan tetapi dokumen rahasia yang berada di dalam
sebuah tas ternyata tertinggal maka jatuhlah dokumen itu ke tangan tentara
pusat. Berdasarkan isi dokumen rahasia tersebut terungkaplah rahasia Pak Datuk
selama ini yang ternyata tetap menjalin komunikasi dengan para tokoh PRRI.
Buktinya adalah adanya dokumen yang menyatakan akan mengangkat Aminuddin Dt
Bagindo Basa sebagai Wali Nagari Kapau apabila PRRI menang dalam perang.
Pak
Datuk sudah mencium adanya rencana penangkapan atas dirinya. Letnan Djamil
sahabatnya yang mungkin dapat membantunya, tapi fikirannya dibuangnya
jauh-jauh, mungkin sahabatnya sedang sibuk atau dia tidak ingin sahabatnya
direpotkan masalah ini. Namun Pak Datuk tetap tegar walaupun usaha untuk
melarikan diri dapat saja dilakukannya, tapi ia berfikir itu tidaklah kesatria.
Pak Datuk kemudian ditangkap
dan dibawa ke markas Batalyon C1 APRI di Bukittinggi. Markas Batalyon ini
terletak dekat Lapangan Kantin atau nama lainnya Lapangan Wirabraja. Di sana Pak Datuk
diinterogasi oleh petugas dengan ratusan pertanyaan. Tidak ada jalan lain bagi
Pak Datuk selain mengakui semua kebenaran dokumen tersebut.
Berdasarkan
pengakuan Pak Datuk terhadap isi dokumen, maka tanpa melalui proses sidang di
pengadilan Pak Datuk langsung dijebloskan ke dalam ruang tahanan yang ada di
Markas Batalyon C1. Pak Datuk dibawa ke suatu kamar tahanan oleh petugas dan
harus menjalani hari-harinya di penjara dengan pengawalan petugas yang cukup
ketat. Di sana
beliau bertemu dengan orang-orang lain yang merupakan tahanan politik juga
sebagaimana dirinya.
Berdirinya
PRRI juga merupakan reaksi terhadap kepemimpinan Presiden Soekarno yang condong
ke blok komunis. Dan Partai Komunis Indonesia (PKI) semenjak pemilu 1955 telah
menunjukkan eksistensinya di Indonesia
sebagai partai terbesar. Mereka pun berkembang di Sumatera Tengah basis PRRI,
dan PRRI sangat tegas anti komunis, sehingga tidak mengherankan sangat banyak
orang komunis yang dibunuh di masa kekuasaan PRRI. Salah seorang tokoh PRRI
Kolonel Dahlan Djambek bahkan membentuk suatu gerakan yang dinamakan Gerakan
Bersama Anti Komunis (Gebak) di Padang.
Di
nagari Kapau juga berkembang paham komunis ini, sehingga banyak juga anak
nagari Kapau menjadi kader PKI. Di masa PRRI posisi mereka benar-benar
terjepit, karena banyak para gembongnya yang tertangkap bahkan dibunuh. Salah
satu tokoh PKI yang terbunuh adalah Pak Cimpam di daerah Rawang Kapau, mayatnya
tergeletak di tepi jalan setelah diberondong tembakan oleh orang tak dikenal.
Berita
tewasnya pak Cimpam berhembus sampai ke Markas Batalyon dimana tempat
ditahannya Pak Datuk. Berita ini dibawa oleh salah seorang tokoh PKI Kapau yang
menyatakan bahwa terjadinya peristiwa pembunuhan pak Cimpam adalah atas
perintah halus dari Pak Datuk Bagindo Basa yang sekarang ditahan di markas
batalyon. Berita yang dihembuskan oleh salah seorang tokoh PKI ini adalah
fitnah belaka karena memang Pak Datuk sama sekali tidak tahu menahu mengenai
peristiwa itu. Namun fitnah ini beredar bukan tanpa alasan karena Pak Datuk
adalah seorang yang terang-terangan anti PKI. Sehingga berkemungkinan sakit
hati maka dihembuskanlah kebohongan ini ke markas batalyon.
Komandan
Batalyon yang menerima berita tersebut diduga berfaham komunis karena langsung
percaya khabar yang dibawa oleh tokoh PKI ini, sehingga tanpa melalui proses
apapun dia segera memerintahkan anak buahnya memasukkan Pak Datuk ke ruangan
khusus. Pak datuk yang telah dua bulan meringkuk di tahanan sekarang akan
dipindahkan ke ruangan khusus, seperti apakah ruangan itu. Ternyata ruangan
khusus ini sangat tidak mencerminkan perikemanusiaan karena sangat sempit
sekitar 2 meter x 3 meter dan sebelumnya telah diisi oleh tujuh orang tahanan,
setelah Pak Datuk masuk maka menjadi delapan orang. Ruangan ini hanya ada satu
pintu masuk dan satu ruang ventilasi udara.
Ruangan
ini tidak mempunyai kasur dan juga dipan untuk tempat tidur serta tidak
mempunyai wc untuk tempat buang air besar atau kecil, tapi hanya ditampung saja.
Sulit untuk dibayangkan bagaimana situasi di didalam ruangan ini dihuni oleh
delapan orang.
Ketika
memasuki ruangan ini Pak Datuk melihat pemandangan yang sangat mengiris hati,
ada tujuh orang yang sudah lebih dahulu masuk, entah sejak kapan mereka masuk.
Ketujuh orang ini sangat lusuh dengan wajah pucat dan menerawang dengan tatapan
kosong melompong. Tak ada suara, tak ada gumam sehingga hampir seperti tidak
ada lagi kehidupan. Pak Datuk merasa kasihan dan iba melihat keadaan ini tapi
apalah daya untuk menolong, diri sendiri pun tidak tertolong.
Kehadiran
Pak Datuk sedikit demi sedikit dapat menghibur kepedihan kawan-kawan barunya
ini, lantaran dia suka menghibur dengan kepandaiannya bercerita dan berjenaka.
Ruangan yang pengap serta dikelilingi tembok yang angker tidak menciutkan nyali
Pak Datuk untuk tetap tegar. Teman-temannya senasib seolah mendapat udara baru
dengan kehadiran Pak Datuk, meskipun terkungkung di dalam tembok penjara yang
sangat angkuh ini.
Berada
di kamar sempit walau bagaimanapun, tetap mengandung kenestapaan yang tidak
terkira karena masa depan penuh ketidakpastian, entah bagaimana nasib yang akan
terjadi besok atau lusa, tidak seorang pun yang tahu. Masing-masing mungkin
bermimpi akan dibawa ke regu tembak esok. Tapi semua penuh dengan teka-teki. Mungkinkah
disesuaikan dengan kadar kesalahan atau bagaimana tidak ada yang tahu.
Tapi sudah rahasia umum di
zaman perang seperti ini bahwa nyawa ayam mungkin lebih berharga daripada nyawa
manusia. Karena sewaktu waktu mudah saja terjadi penculikan dan pembunuhan sehingga
banyak kejadian orang yang hilang tidak tahu rimbanya atau ada pula yang
ditemukan saja mayatnya tapi tidak tahu siapa pelaku pembunuhan terhadap si
mayat. Kalaupun diketahui siapa pembunuhnya dari tentara atau orang sipil yang
bersenjata sulit untuk disentuh oleh hukum.
{ 11 }
Kembalinya
Seorang Sahabat
Letnan
Satu Djamil telah kembali dari Jawa setelah berada di sana selama beberapa
minggu. Secara kebetulan dia muncul di markas Batalyon dan mendengar bahwa Pak
Datuk sahabatnya sedang ditahan di kamar sempit. Dia segera menuju ke ruangan
yang dihuni Pak Datuk dan teman-teman senasibnya.
“Sabar, Pak Datuk, saya akan
berusaha membantu” kata Letnan Djamil
meyakinkan.
“Tidak apa-apa Pak, sebelumnya
terima kasih atas pertolongannya” sahut Pak Datuk dengan tetap bersikap tegar.
Kemudian sambil menepuk pundak Pak Datuk, Letnan Djamil segera berbalik dan
bergegas pergi, Pak Datuk mengikuti dengan pandangan sampai dia hilang dari
ramainya orang yang lalu lalang.
Beberapa jam setelah kedatangan
Letnan Djamil, tiba-tiba pintu dibuka. Secercah cahaya dari luar menerpa
ruangan pengap yang agak gelap itu. Seorang petugas berseragam tentara muncul dan
memanggil “pak Aminuddin Dt Bagindo Basa”. Mendengar namanya dipanggil Pak
Datuk segera bangkit dari duduknya, kemudian petugas menyodorkan sebuah surat
dan Pak Datuk mengambil dan membaca isinya yang menyatakan kebebasannya, alhamdulillah,
matanya pun berkaca-kaca. Pak Datuk menoleh ke arah teman-teman senasibnya. Dari
raut wajah dia tidak mampu menyembunyikan rasa sedih akan berpisah meskipun
hanya sembilan hari bergaul, tapi selama itu kesan dalam batinnya sangat
menyentuh. Teman-temannya pun tidak kuasa menahan tangis, semuanya menitikkan
air mata, Pak Datuk juga demikian, mereka semua berangkulan.
Pak Datuk ditahan selama dua bulan
di tahanan biasa dan sembilan hari di ruangan khusus atau terkenal dengan kamar
sempit. Sekarang dia telah menghirup udara bebas, bebas dari tirani keangkaramurkaan. Semua
berkat kebaikan sahabatnya yang tulus dalam membantu membebaskannya,
Letnan Djamil.
Kebebasan Pak Datuk dari penjara akan
menjadi tantangan yang mungkin lebih berat. Keadaan di luar tahanan masih tidak
menentu, penyerahan secara resmi pasukan PRRI belum terlaksana sepenuhnya.
Masih banyak pasukan PRRI yang berada jauh di pedalaman, tapi dari hari ke hari
semakin banyak saja dari kalangan PRRI yang menyerahkan diri, baik itu dari
kalangan militer maupun sipil. Apalagi dengan turunnya Amnesti atau pengampunan
umum dari Presiden Soekarno terhadap anggota PRRI. Pak Datuk yang sebelum masuk
tahanan sudah menjadi penghubung penyerahan tentera PRRI ke tentara Pusat.
Sekarang pun dia melakoni itu kembali.
Hari
berganti hari dan berlalu dengan cepat, semakin hari semakin banyak juga
tentara yang menyerah. Pak Datuk semakin sering pula dimintai tolong mengenai
perkara ini. Beliau secara sukarela bersedia membantu, hanya sekedar membantu
dan menolong dan tidak ada sedikitpun niatnya mengambil keuntungan dalam
situasi seperti itu. Kalau lah beliau mempunyai niat memancing di air keruh,
sekiranya dia minta tebusan berupa uang atau emas sekalipun tentu orang akan
mau saja membayar berapa pun, asalkan orang-orang yang dicintai dapat
diselamatkan nyawanya dan dijamin keamanannya.
Tapi
ternyata Pak Datuk tidak demikian, dia tidak meminta hal-hal seperti itu. Pak
Datuk masih mempunyai akal sehat, pikirannya jauh ke depan. Karena kalau itu
yang dilakukannya, maka nanti di kemudian hari pasti nama baiknya akan
tercoreng, keluarganya akan malu. Dan imej negatif tentu akan sering
dialamatkan kepadanya.
Dalam hal penyerahan diri ini tidak semua
anggota PRRI yang mau menyerah, baik sipil maupun militer. Ada seorang teman
Pak Datuk yang bernama Dewan Sutan Basa, seorang yang pemberani atau bagak, dia sudah berada di Kapau. Dia
telah dikirim pesan oleh Pak Datuk apabila mau menyerah maka keselamatannya
akan dijamin. Pada awalnya dia tidak mau, namun setelah didesak dia berjanji dalam
tiga hari akan menyerah setelah menyelesaikan panen sawahnya. Sebelumnya Camat
Tilatang Kamang pada waktu itu Hasrul Datuk Rangkayo Basa yang pro pemerintah
pusat telah mendesak Pak Datuk agar mempercepat penyerahan orang-orang tertentu
termasuk Dewan St Basa, kalau tidak maka keselamatan orang-orang itu tidak
terjamin.
Setelah jangka waktu yang dijanjikan
Dewan St Basa sampai, ternyata dia tidak muncul untuk menyerahkan diri melalui
Pak Datuk. Setelah dia tidak menepati janjinya Pak Datuk tidak dapat berbuat
apa-apa, apalagi setelah terdengar selentingan khabar dia tidak mau menyerahkan
diri. Seminggu telah berlalu ternyata tidak ada tanda-tanda Dewan St Basa
menyerahkan diri, pada suatu malam beberapa tentara menuju ke rumah Dewan St
Basa di Parak Mingkah. Rumah dikepung. Dewan St Basa sudah mengetahui
kedatangan tentara maka ia segera bersembunyi dibalik pintu dan telah siap
dengan parangnya, apabila pintu didobrak dia berfikir akan segera memukulkan
parangnya kepada orang yang memasuki rumah. Salah seorang tentara mendobrak
pintu tapi dengan cerdik dia tidak masuk tapi keluar kembali.
Di saat itulah tentara yang telah
siap dengan senapan memberi peringatan kepada Dewan St Basa agar menyerah.
Akhirnya dia menyerah dan keluar dengan mengangkat tangan. Dia kemudian
digiring ke dekat Surau Sirah sekitar dua ratus meter dari rumahnya. Sesampai
di sana dia dipukuli oleh para tentara, sampai akhirnya dia mohon ampun, tapi
tidak digubris sama sekali. Setelah
puas melampiaskan kegeramannya dengan memukul dan menyiksa Dewan St
Basa, para tentara akhirnya tanpa belas kasihan memberondong Dewan
St Basa dengan tembakan dari jarak dekat sehingga ia tewas bersimbah darah. Saksi mata yang ada pada waktu tidak
ada yang berani menolong karena takut dengan tentara yang bersenjata lengkap.
Setelah mereka semua pergi barulah berdatangan untuk mengambil jenazah Dewan St
Basa.
Di lain kesempatan teman
seperjuangan Pak Datuk dan juga sama-sama mantan Heiho Letnan Satu Sjahmenan telah
diketahui keberadaannya di sekitar daerah Tabek Patah Tanah Datar. Ceritanya
lain lagi, Pak Datuk telah mengirim pesan kepada temannya ini agar tidak lari
semakin jauh tapi disarankan untuk kembali ke kampung menyerahkan diri agar
selamat. Beliau dengan seorang anak buahnya mendekati daerah Tabek Patah
berniat hendak pulang kampung. Di suatu tempat karena ada satu keperluan, anak
buahnya meminjam pistol yang memang satu-satunya milik Letnan Sjahmenan, dengan
alasan untuk berjaga-jaga apabila terjadi sesuatu hal, oleh karena beliau
adalah orang yang jujur dan lugu maka dipinjamkanlah pistol kepada anak buahnya
tersebut.
Khabar yang diketahui kemudian
ternyata anak buahnya tadi menyerahkan diri ke tentara pusat dengan modal
pistol yang dipinjam kepada komandannya. Akan nasib Letnan Sjahmenan setelah
dikibuli prajuritnya tidak diketahui dengan pasti mungkin tertangkap atau
terbunuh oleh tentara Pusat. Tapi apabila tertangkap atau terbunuh biasa mudah diketahui dan mencari buktinya
tapi beliau hilang tak
tentu rimba dan hanyut tak tahu lautannya, sampai detik tulisan ini ditulis.
Nasib yang menyedihkan juga menimpa Kolonel Dahlan DjambekSekjen Dewan Perjuangan dan Menteri
Dalam Negeri PRRI.Sebelum melakukan penyerahan diri kepada tentara Pusat ketika itu beliau
sedang berada di Laring mungkin didaerah Palupuh, maka diutuslah kurir supaya beliau dijemput oleh sepasukan tentara
ke daerah Laring. Ketika sedang menunggu
pasukan yang akan menjemput, datang pasukan lain yang diduga kuat berfaham komunis.
Kolonel Dahlan Djambek tidak
menduga sama sekali karena ternyatapasukan yang datang itu adalah pasukan
pengkhianat bukan pasukan yang akan menjemputnya. Tokoh besar putra Syech
M.Djamil Djambek ini akhirnya gugur
setelah ditembak oleh pasukan yang tidak dikenal tersebut.
Berapa
banyaknya yang hilang dan berapa banyaknya yang mati ketika peristiwa PRRI
sungguh tidak terhitung lagi jumlahnya. Lembaran Kelam sejarah yang kita
harapkan tidak terulang kembali mengingat korban jiwa yang sangat banyak dan
belum lagi penderitaan bagi keluarga yang ditinggalkan.
{ 12 }
Dari
Politikus Sampai Wakil Rakyat
Sejarah PRRI telah
berakhir anti klimaks, ditandai dengan menyerahkan tokoh-tokoh penting sampai
prajurit. Lembaran-lembaran sejarahnya yang mengakibatkan ribuan nyawa telah
melayang akan tetap berbekas dan dikenang sepanjang masa. Sisanya menyerah dan
kembali ke pangkuan ibu pertiwi. Pak Datuk kembali ke kampung halaman dengan
sehat wal afiat menjalani hari-harinya kembali menjalani kehidupan.
Sebagai seorang kader Persatuan
Tarbiyah atau Perti sejak masa mudanya, Pak Datuk memiliki bekal untuk menjadi
seorang tokoh yang disegani. Di saat masih duduk di bangku sekolah agama atau
Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI), yang waktu itu terdiri dari kelas satu
sampai kelas tujuh, sekarang sama dengan tingkat Tsanawiyah dan Aliyah, Pak
Datuk telah aktif berorganisasi dalam kepanduan Al-Anshar, suatu kepanduan yang
dibentuk oleh organisasi Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) yang didirikan
oleh Syech Sulaiman Ar-Rasuly (Inyik Canduang) dan kawan-kawan pada tahun 1928.
Setelah
Indonesia
merdeka, Perti berubah menjadi Partai Politik dengan nama Partai Islam Perti
yang Pimpinan Pusat pertamanya diketuai Buya H.Siradjuddin Abbas anak dari
Syech Abbas Qadhi Bangkaweh. Pak Datuk semenjak mudanya disamping berjuang
mengangkat senjata menghadapi penjajah juga telah berjuang di politik, mulai
dari Ketua Penerangan Perti dan Ketua Perti nagari Kapau, kemudian Ketua DPAC
Partai Islam Perti Tilatang Kamang, dan Ketua DPC Partai Islam Perti Kabupaten
Agam.
Terjadinya
pemberontakan PKI, yang terkenal dengan Gerakan 30 September, G.30.S/ PKI tahun
1965. Merupakan masa transisi di tingkat pusat sampai ke daerah-daerah. Peranan
Pak Datuk di kampungnya sangat menonjol terutama mengenai keamanan nagari yang
berada di bawah tanggungjawabnya. Masyarakat Kapau yang kebetulan berfaham
komunis masih cukup banyak tapi setelah peristiwa G.30.S mereka menjadi
ketakutan dan tidak berani lagi mengaku secara terang-terangan sebagai anggota
PKI.
Pak Datuk yang berfaham
anti komunis sangat bijaksana dalam hal ini, beliau membiarkan para bekas
anggota komunis atau PKI hidup sebagaimana layaknya. Sebab yang dipikirkannya
adalah segi kemanusiaan berapa banyaknya anak dan isteri mereka yang akan
terlantar. Dan menurut analisa Pak Datuk bekas anggota PKI di Kapau tidaklah
berbahaya. Dengan keadaan transisi seperti ini karena penuh dengan resiko,
terjadi kekosongan kekuasaan di nagari Kapau maka Pak Datuk dianggap cakap
mengatasi situasi dan kondisi yang ada, maka beliau diangkat menjadi penjabat
Wali Nagari Kapau.
Ketika
beliau memimpin Partai Islam Perti Kabupaten Agam, keadaan Negara masih dalam suasana
transisi yaitu beralihnya kepemimpinan dari Orde Lama kepada Orde Baru namun
kondisi keamanan sudah lebih kondusif. Di dalam Partai politik semacam Perti
terdapat pula konflik-konflik internal namun tidak terlalu meluas. Namun
demikian ongkos yang harus dibayar adalah terjadinya benih-benih perpecahan di
tubuh Partai Islam Perti. Namun di tengah situasi demikian Pak Datuk berhasil
meredam kondisi di daerah khususnya Kabupaten Agam sehingga keberadaan Perti
yang dipimpinnya tetap diakui oleh pemerintah Daerah maupun Pusat.
Tahun
1967 Kabupaten Agam dipimpin oleh Bupati Kamaruddin, pada waktu itu menurut
aturan bahwa Bupati yang berhak memilih para politisi yang diusulkan untuk
dipilih menjadi Anggota DPRD, yang pada waktu itu masih bernama DPRD-Gotong Royong
atau DPRD-GR. Pak Datuk terpilih sebagai anggota DPRD-GR mewakili Partai Islam
Perti.
Menjadi
wakil rakyat di dalam DRPD-GR bukanlah tugas ringan, banyak tantangan dan
rintangan baik di dalam maupun di luar kelembagaan tersebut. Disamping
anggotanya yang berbeda latar belakang politik serta golongan juga mempunyai
kepentingan yang berbeda satu sama lain antara masing-masing fraksi. Tapi itu
menjadi suatu seni tersendiri bagi Pak Datuk karena beliau sudah tidak asing
lagi berhadapan dengan siapa, mulai dari masyarakat banyak sampai kepada
pejabat.
Beliau tidak memandang
perbedaan fraksi, semua adalah teman meskipun berbeda pandangan yang tajam
terhadap suatu pokok permaslahan, tapi secara pribadi tidak ada perbedaan.
Sehingga pergaulan beliau dengan teman sesama anggota dewan sangat baik dan
disukai oleh teman-teman dari fraksi lainnya. Pada waktu itu ada anggota dewan
yang juga dari Kapau yaitu Bahar Ruska, beliau merupakan anggota dari Fraksi
PNI.
Pada
suatu kali diadakanlah sidang paripurna dewan dengan agenda acara pemilihan
Sekretaris Daerah Kabupaten Agam. Pada waktu itu ada dua orang calon kandidat
sekda yaitu Rahmadsyah dan Fahmy Rasyad. Setelah diadakan pemungutan suara oleh
seluruh anggota dewan maka yang keluar sebagai pemenang adalah Rahmadsyah. Tapi
sebelum hasil pemungutan suara disahkan Fahmy Rasyad yang kalah dalam pemilihan
mengadukan nasibnya kepada pimpinan fraksi termasuk fraksi Perti pimpinan Pak
Datuk. Fahmy Rasyad yang merupakan teman dekat Pak Datuk mengutarakan keluh
kesahnya agar keputusan yang telah diambil tersebut dapat diubah.
Pak
Datuk tidak sampai hati juga melihat posisi temannya dan memutar otak, maka
dia mengambil inisiatif, yaitu dengan
melobi fraksi-fraksi lainnya untuk menggolkan Fahmy Rasyad sebagai Sekda, tapi
bagaimana caranya. Langkah pertama yang dilakukannya adalah melobi Rahmadsyah
agar bersedia memilih salah satu opsi yaitu menjadi Sekda atau disekolahkan untuk
memperoleh kenaikan pangkat.
Setelah dilakukan lobi
ternyata Rahmadsyah memilih disekolahkan, berarti dia bersedia mundur dari
jabatan Sekda Kabupaten Agam yang telah dimenangkannya. Kemudian Pak Datuk juga
melobi para anggota dewan lainnya untuk dapat menerima pengunduran diri
Rahmadsyah, dan secara otomatis mengesahkan Fahmy Rasyad menjadi Sekda
Kabupaten Agam.
Semua
hasil lobi Pak Datuk akhirnya membuahkan hasil dan Fahmy Rasyad kemudian resmi
disahkan dalam sidang paripurna menjadi Sekretaris Daerah Kabupatem Agam. Upaya
ini ternyata telah membuktikan bahwa Pak Datuk dalam perkara lobi ini sangat
mahir melakukan pendekatan psikologis dan emosional sehingga diperhitungkan
oleh para anggota dewan.
Konstelasi
politik pasca meletusnya pemberontakan PKI tahun 1965, di tubuh partai Perti
terjadi konflik internal. Bibit konflik ini sebetulnya telah terjadi ketika
penyelenggaraan Kongres tahun 1955 dan ini tetap berlanjut sampai pasca Orde
Lama dan beralih ke zaman Orde Baru. Pak Datuk selaku Ketua Umum DPC Perti
kabupaten Agam menyikapi persoalan ini dengan hati-hati dan tetap memantau
perkembangan partai di tingkat pusat.
Akhir
kisruh di tubuh Perti menyebabkan terjadinya dualisme kepemimpinan di tingkat
pusat, dalam arti kata menimbulkan perpecahan partai menjadi dua. Kondisi ini
menyebabkan Cabang di daerah-daerah ikut mengalami kegoncangan juga sebagaimana
yang terjadi di pusat.
Namun
demikian, setelah menerima khabar yang valid dari pusat, Pak Datuk mengambil
suatu sikap yang tegas dengan segala resikonya, yaitu memberikan salah satu
pilihan dengan mengakui bahwa Dewan Pimpinan Pusat adalah yang dipimpin oleh
Rusli Halil. Ini adalah untuk menjawab apa yang dipertanyakan oleh para kader
di daerah, sehingga dengan demikian dapat menjawab kebingungan kader serta
pemerintah daerah terhadap siapa pimpinan pusat yang sebenarnya.
Setelah
masa peralihan dari zaman Orde Lama ke zaman Orde Baru inilah Partai Perti
akhirnya terpecah menjadi dua. Yang satu kembali ke Khittah 1928 dan tidak lagi
menjadi partai politik, tetapi afiliasi politik para kader disalurkan ke Organisasi
Politik Golongan Karya (Golkar). Sedangkan pecahan yang satu lagi bergabung
dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) bersama bekas Masyumi, NU, Parmusi dan
PSII.
Ketika
menjadi wakil rakyat ini, kehidupan Pak Datuk dengan keluarganya sangat baik
begitu juga dengan saudara-saudaranya yang lain. Dalam kehidupan berkeluarga
Pak Datuk sampai saat itu mempunyai isteri hanya satu orang. Sebagaimana
kebiasaan sejak dahulu para tokoh masyarakat banyak yang mempunyai isteri lebih
dari satu. Hal ini bukan tanpa alasan, salah satunya jumlah wanita dan para
janda pada waktu itu cukup banyak dan alasan lain adalah mempunyai suami
seorang yang terpandang dan berpengaruh adalah suatu kebanggaan bagi seorang
wanita atau seorang janda.
Dan berpoligami tidak
bertentangan dengan agama Islam sehingga masyarakat pada waktu itu memandang hal ini wajar dan biasa saja. Haji
Abbas ayah Pak Datuk juga mempunyai isteri dua orang, begitu juga saudara
beliau Buya Rasyidin Kari Bagindo juga mempunyai isteri dua orang. Ketika itu
Pak Datuk minta izin kepada Fatimah isteri beliau untuk menikah lagi dengan
seorang janda di dusun Padang Canting. Janda dari teman beliau sendiri
Sjahmenan, tentara yang hilang di masa PRRI dahulu. Janda Sjahmenan ini bernama
Husnuddaiyar dan mempunyai anak lima
orang.
Tentu untuk ukuran
sekarang, kita mungkin tidak habis pikir kenapa beliau mempunyai motivasi ingin
menikah dengan janda beranak lima
sedangkan beliau sendiri mempunyai anak tiga orang dan yang satu masih
mengalami penyakit lumpuh. Isteri beliau adalah seorang yang sangat taat dan
setia pada suami dan mengizinkan Pak Datuk menikah lagi, meskipun pada waktu
itu dua orang anak beliau yang remaja nampaknya tidak setuju.
Setelah
menikah dan mempunyai isteri dua orang Pak Datuk memperlakukan kedua isterinya
dengan adil bahkan sampai akhir hayat beliau. Dan yang sangat menarik dan
mengherankan adalah bahwa hubungan beliau dengan kedua orang isteri dan antara
kedua orang isteri beliau ini selalu rukun dan tidak pernah terjadi permasalahan.
Selama
dua tahun menikah dengan isteri kedua, keinginan beliau mempunyai anak menjadi
tidak terlaksana karena anak yang dikandung isteri beliau tersebut mengalami keguguran.
Setelah menunggu selama dua tahun, pada tahun 1972 lahirlah seorang bayi yang
berjenis kelamin laki-laki yang kemudian diberi nama Zulfadli. Anak ini merupakan
anak laki-laki satu-satunya, karena isteri beliau kemudian tidak pernah lagi melahirkan
anak. Anak dari Fatimah isteri beliau yang tua tiga orang, dua orang perempuan
sedangkan yang laki-laki mengalami penyakit kelumpuhan yang sudah lama dan
sulit untuk disembuhkan.
{ 13 }
Pemimpin Yang Terpilih
Jiwa
kepemimpinan Pak Datuk tidak pernah luntur. Setelah tidak terpilih menjadi
Anggota DPRD hasil pemilu 1971, beliau kembali ke kampung, nagari Kapau yang
dicintainya. Memfokuskan diri memimpin anak kemenakan di kampung sendiri
sebagai pemimpin adat di kaumnya suku Guci.
Pada
tahun 1975 periode kepemimpinan Abdul Wahab Intan Batuah sebagai Wali Nagari
Kapau hampir berakhir. Maka nagari Kapau bersiap untuk mengadakan pemilihan
langsung Wali Nagari Kapau untuk periode lima
tahun ke depan. Maka muncullah tiga orang calon yang akan memperebutkan kursi
nomor satu di Kapau dan salah satunya adalah Pak Datuk. Ketiga calon tersebut
adalah Abdul Wahab Intan Batuah, Aminuddin Dt Bagindo Basa dan Slamat SM.
Setelah diadakan pemilihan langsung secara demokratis maka Aminuddin Dt Bagindo
Basa berhasil memperoleh suara terbanyak mengalahkan dua pesaingnya.
Kepemimpinan
Pak Datuk sebagai Wali Nagari Kapau membawa perubahan yang signifikan baik
fisik maupun non fisik. Pembangunan fisik adalah pengelolaan Bantuan Desa atau
Bandes pada waktu itu untuk memperbaiki infrastruktur jalan jorong se-
kenagarian Kapau yang sudah banyak yang rusak dan sulit dilalui kendaraan. Pada
waktu itu dilakukanlah renovasi jalan-jalan jorong secara besar-besaran dari
dana Bandes dan swadaya masyarakat. Kemudian pembangunan jembatan Koto Panalok
dan Jembatan Paninjauan. Juga pembangunan SD Inpres di Parak Maru Kapau dan
penambahan ruang belajar di SD 2 Pandam Basasak.
Kapau
termasuk salah satu nagari yang dibawah kepemimpinan Pak Datuk belum dialiri
listrik, sehingga masyarakat masih memakai petromak atau lampu dinding atau lampu togok di malam hari. Pak Datuk
mencari strategi agar Listrik Masuk Desa dapat segera diwujudkan di Kapau
dengan jalan politik. Pada waktu itu Golongan Karya (Golkar) adalah organisasi
politik pemerintah yang pada pemilu kedua zaman Orde Baru tahun 1971 belum
mengalami kemenangan di Kapau.
Pak Datuk berusaha secara
tidak langsung meyakinkan masyarakat agar memilih Golkar pada pemilu mendatang.
Usaha ini berhasil dan terwujud pada pemilu tahun 1977, dimana Golkar menang
mutlak di Kapau. Sehingga dengan demikian Listrik Masuk Desa di Kapau akhirnya
dapat diwujudkan. Dan dengan tidak memakan waktu lama setelah selesainya
pemilu, diresmikanlah pemancangan tiang pertama listrik masuk desa oleh Pemimpin
PLN waktu itu Ir. Yanuar Muin yang bertempat di jorong Induring.
Pada
tahun 1977 itu juga pemerintah pusat berencana akan membangun Sekolah Dasar
untuk menunjang pemerataan sarana dan prasarana di bidang pendidikan. Karena
pada waktu itu SD di Kapau baru dua buah yang terletak di sidang Induring dan
sidang Pandam Basasak. Sedangkan sidang Pasir belum memiliki Sekolah Dasar.
Sekolah ini berbentuk Instruksi Presiden yang dikenal dengan SD Inpres, dengan
persyaratan bahwa pengadaan tanah untuk lokasi harus diusahakan oleh pemerintah
nagari bersama masyarakat.
Adanya
peluang akan dibangunnya SD Inpres ini disambut baik oleh Pak Datuk selaku Wali
Nagari Kapau. Maka dalam waktu singkat Pak Datuk segera berembuk dengan tokoh
masyarakat dan pemilik tanah dalam rangka misi mulia ini. Karena apabila tanah
belum tersedia dalam jangka waktu yang ditentukan maka bisa jadi SD yang akan
dibangun dipindahkan pembangunannya ke daerah yang lain.
Maka secara maraton
diadakanlah negosiasi dengan pemilik tanah dimana tanah ini berlokasi di jorong
Parak Maru, agar pemilik tanah bersedia mewakafkan tanahnya. Usaha ini cukup
sulit karena lokasi pembangunan SD yang direncanakan dimiliki oleh banyak
keluarga dan sebagian pemilik tanah berada di perantuan. Dan belum tentu mereka
sepakat untuk mewakafkan tanahnya.
Pak
Datuk berusaha bernegosiasi dan meyakinkan para pemilik tanah. Negosiasi
berjalan alot dan memakan waktu yang cukup lama. Namun dengan sabar proses
negosiasi terus dilanjutkan dan dengan upaya yang terus menerus tanpa mengenal
lelah akhirnya para pemilik tanah berhasil diyakinkan. Dengan demikian prosedur
telah dilalui untuk memuluskan pembangunan Sekolah Dasar yang sangat penting bagi
pendidikan anak-anak. Kemudian diadakanlah goro massal pembersihan lokasi yang
merupakan ladang yang sebagian besar ditumbuhi tanaman tua.
Keberhasilan pembangunan
sekolah dasar inpres ini memang sangat ditentukan oleh kebersamaan antara
pemimpin dan masyarakat, terutama bagaimana melakukan pendekatan yang
komunikatif serta konstruktif sehingga masyarakat secara sukarela bersedia dan
rela mengorbankan kepentingannya demi untuk kepentingan umum. Dan kesadaran
masyarakat telah dibentuk secara intensif oleh suatu kepemimpinan yang
melayani, sehingga masyarakat memahami bahwa arti kepentingan umum itu diatas
kepentingan pribadi dan kelompok.
Pada
tahun 1979 seorang perantau Kapau di Jakarta dan Pengusaha Rumah Makan Roda
Group yaitu beliau Haji Hashuda pulang kampung dan bertemu dengan sahabat
karibnya yang telah menjadi Wali Nagari Kapau. Maka terjadilah diskusi kecil
membicarakan perihal kampung. Pembicaraan sampai kepada apa saja syarat adanya
sebuah nagari.
Di dalam sebuah nagari itu
harus “babalai bamusajik, batapian tampek
mandi, bapandam bapakuburan, bapasa tampek manggalaeh” artinya mempunyai
balai tempat bermusyawarah, mempunyai masjid, mempunyai MCK yang bersih dan
bagus, mempunyai tempat pemakaman dan mempunyai pasar tempat berdagang.
Berdasarkan
kenyataan waktu itu balai belum ada, dalam hal ini yang dimaksud adalah Balai Adat untuk tempat bermusyawarah.
Maka terpikirlah bagi mereka berdua kalau balai tidak ada tentu nagari
Kapau belum memenuhi syarat sebagai nagari
atau persyaratan untuk menjadi suatu nagari itu belum lengkap. Kemudian muncul gagasan
dari Pak Haji Hashuda bagaimana kalau dibangun Balai Adat untuk memenuhi
persyaratan suatu nagari, dan beliau bersedia untuk membantu biayanya.
Mendengar respon positif
dari beliau, Pak Datuk menyambut baik karena ini adalah kesempatan emas untuk
mewujudkan impian masyarakat Kapau selama ini akan adanya sebuah balai
pertemuan dan tempat musyawarah yaitu Balai Adat.
Dalam
kepala Pak Datuk ada pula gagasan untuk menindaklanjuti rencana pembangunan gedung
Balai Adat. Tanpa membuang waktu lama beliau segera menginstruksikan kepada
Sekretaris Nagari Lukman St.Mudo untuk membuat undangan rapat seluruh Kepala
Jorong, LKMD jorong, Ninik Mamak dan Pemuka
Masyarakat untuk membicarakan rencana pembangunan Balai Adat ini. Pada rapat
yang diselenggarakan itu dikemukakanlah oleh Pak Datuk selaku Wali Nagari suatu
gagasan pembangunan balai adat tersebut, kemudian juga diterangkan akan
kesediaan beliau Haji Hashuda untuk membantu pendanaannya, disamping diharapkan
juga dari dana pemerintah dan dana lainnya.
Untuk
merealisasikan pembangunan untuk tahap awal, maka Pak Datuk mengusulkan bahwa
dana Bantuan Desa atau Bandes (untuk satu tahun) pada tahun depan kita
pergunakan untuk pembangunan balai adat ini. Setelah berbagai tanggapan dari
peserta rapat yang mengemuka pada forum itu akhirnya seluruh peserta setuju
bahwa dana bandes yang seharusnya untuk jorong dalam satu tahun dipergunakan
mendanai pembangunan Balai Adat. Alhamdulillah, sesuatu yang patut diapresiasi
dan diacungi jempol, ternyata peserta rapat sanggup mengedepankan kepentingan
yang lebih besar dan menyampingkan kepentingan pribadi atau kepentingan kampungnya
masing-masing.
Kemudian
dibentuklah panitia pembangunan yang Ketua Umumnya adalah H.Hashuda dan Ketua
Pelaksana kakak Pak Datuk sendiri yaitu Rasyidin Kari Bagindo. Dalam waktu yang
tidak terlalu lama, panitia bekerja dengan giat maka dimulailah pembangunan
gedung Balai Adat secara Swadaya Masyarakat dan juga dari bantuan Pemerintah.
Pembangunan gedung ini tidak main-main, karena berlantai dua lengkap dengan
Balai Adat di lantai dua dan Kantor Wali Nagari dan Lembaga Nagari di lantai
satu.
Dalam
jangka waktu yang tidak terlalu lama lebih kurang selama tiga tahun, selesailah
pembangunan Balai Adat Nagari Kapau beserta kantor Wali Nagari berlantai dua
yang megah dan representatif. Adalah suatu kebanggaan tersendiri bagi anak
nagari Kapau baik yang berada di kampung maupun yang berada di perantauan.
Semua itu berkat kebersamaan antara pimpinan nagari dan lembaga dengan seluruh
lapisan masyarakat. Kemudian direncanakanlah peresmian Balai Adat ini oleh
Gubernur Sumatera Barat yang pada waktu itu adalah Brigjen TNI Ir. H. Azwar Anas.
Pada waktu itu timbul pula
rencana Pesta Batagak Penghulu atau Mambangkik Batang Tarandam dari Pak
Datuk yang pada waktu itu juga selaku wakil Guci Pili dalam Kerapatan Ninik
Mamak VI Suku dan kawan-kawan, yaitu
suatu pesta mengangkat penghulu atau ninik mamak yang sudah meninggal dan
sebagainya. Disamping itu Listrik Masuk Desa juga direncanakan untuk
diresmikan. Sehingga tiga acara tersebut disatukan pelaksanaannya menjadi satu
kesatuan, di medan
nan bapaneh depan Balai Adat.
Pada saat acara
dilaksanakan sangat terlihat kemeriahan yang luar biasa dan sangat jarang
terjadi, karena acara yang sangat monumental ini memang baru pertamakali
dilakukan di nagari Kapau semenjak tahun 1955, dimana pada waktu itu yang
dilaksanakan hanyalah acara batagak
penghulu. Acara ini juga memiliki pengaruh yang luar biasa untuk lebih
memperkenalkan Nagari Kapau ke tingkat yang lebih tinggi, karena pada waktu itu
banyak para perantau yang pulang kampung menyaksikan acara besar ini. Dan
media-media pun meliput acara ini sehingga Kapau tersosialisasi dengan baik
bagaimana spesifikasi Kapau dengan adat dan kebiasaan yang berbeda dengan
nagari-nagari lainnya.
{ 14 }
Galodo Yang Datang dari Hilir
Setelah
tidak lagi menjabat lagi sebagai Wali Nagari Kapau, pemikiran Pak Datuk masih
dibutuhkan oleh orang banyak. Terutama menyelesaikan persoalan-persoalan adat
dan sosial kemasyarakatan. Pemerintah nagari masih merangkul beliau untuk tetap
aktif memberikan gagasan dan pemikiran-pemikiran untuk kemajuan nagari.
Pada
tahun 1986 kakak beliau Buya Rasyidin Kari Bagindo atau terkenal dengan Inyik
Khatib berpulang ke Rahmatullah. Beliau adalah sosok ulama kharismatik yang
sangat disegani di Kapau, selama hayatnya banyak jabatan yang dipegang beliau
mulai dari Wali Nagari, Kepala KUA, Qadhi dan Ketua Pengurus atau Pengasuh
Sekolah Agama di Kapau yang bernama Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Kapau.
Dengan
meninggalnya Buya Rasyidin Kari Bagindo menimbulkan kekosongan kepemimpinan di
MTI Kapau. Maka beberapa pengurus yang masih ada mengundang komponen masyarakat
untuk rapat membahas perkembangan MTI untuk masa yang akan datang. Maka
hadirlah banyak tokoh masyarakat waktu itu yang peduli terhadap MTI Kapau.
Diantara yang hadir diantaranya beliau-beliau Umi Aisyah (Isteri Buya Rasyidin
Kari Bagindo), H.M.Noer Amin St Mangkuto, Dt Rajo Basa, Dt Rajo Dilangik, A.H.
St Kayo, Ibuk Sabidar, St Rajo Intan, Asfirman Rusad, SH, Drs. Suardi, AM
(Kepala MTI Kapau) dan banyak kader Tarbiyah lainnya.
Dalam
rapat tersebut diambillah suatu keputusan untuk memilih kepengurusan yang baru
pasca meninggalnya Buya Rasyidin Kari Bagindo atau Inyik Khatib. Maka
terpilihlah kepengurusan baru MTI Kapau secara aklamasi, termasuk Pak Datuk
dengan susunan: Ketua I: H. Hashuda Dt Majo Nan Tuo, Ketua II: H. Daiman St
Mangkuto dan Ketua III: Aminuddin Dt Bagindo Basa. Sekretaris : D. Dt Rajo
Dilangik, Bendahara: Dt Rajo Basa. Dan lain-lain seperti H.M. Noer Amin St
Mangkuto, H. Abdul Hadi St Kayo, dan lain-lain.
Pada
awal terbentuknya kepengurusan baru ini, maka kepengurusan menjalankan tugasnya
dengan baik untuk kemajuan pendidikan di MTI Kapau. Tapi setelah berjalan
sekitar tiga tahun terjadilah persoalan intern dalam kepengurusan. Timbul
fitnah yang mengadu domba antara seorang pengurus dengan pengurus yang lain.
Sebelumnya telah diawali dengan persoalan intern pimpinan madrasah dengan
beberapa orang guru, kemudian merembet kepada institusi kepengurusan disebabkan
masalah-masalah yang tidak substansial menjadi masalah yang serius.
Salah
seorang pengurus yang menjadi target utama fitnah itu adalah Pak Datuk sendiri
sebagai Ketua III (hanya ketua III yang berada di kampung sedangkan ketua I dan
II berada di Jakarta).
Beliau dengan pengalamannya yang segudang maka menghadapi persoalan ini tetap
tenang dan santai menghadapinya. Maka diadakanlah rapat pengurus lengkap dalam
menjernihkan persoalan.
Pak Datuk telah
memprediksi akan menjadi sasaran tuduhan kepada nya, tapi beliau telah
menyiapkan amunisi apabila nanti diserang dalam rapat. Dan ternyata beliau
diserang secara bertubi-tubi dengan tuduhan yang tidak beralasan. Salah satu
tuduhan kepada beliau menyebutkan bahwa Ketua III telah dipengaruhi oleh
pimpinan sekolah.
Mendengar
tuduhan seperti itu, Pak Datuk yang sedang memimpin rapat menjadi sangat marah
dan langsung menunjuk kepada orang yang menyampaikan tuduhan. “Apa kata anda,
belum lahir anda ke dunia saya sudah berpolitik…”. Mendengar pak Datuk berkata
seperti itu suasana rapat menjadi hening, tidak ada yang berani bersuara. “Terserah
tuan tuan lah…” kata Pak Datuk dan terus meninggalkan ruang rapat. Rapat tidak
dapat dilanjutkan dan tanpa menghasilkan keputusan. Beberapa saat kemudian para
peserta rapat membubarkan diri.
Gagalnya
rapat tidak membuat yang kontra terhadap kepemimpinan Pak Datuk menjadi tidak
bersemangat tapi mereka mengatur strategi lain. Maka dikumpulkanlah semua
tokoh-tokoh masyarakat kampung sampai perantauan untuk memilih kembali pengurus
baru, akhirnya terpilih kepengurusan baru dimana Pak Datuk tetap dimasukkan dalam
susunan pengurus tapi sebagai penasehat. Pernah suatu kali salah seorang ustadz
yang mengajar di MTI menemui beliau di Padang Cantiang, pada waktu itu beliau
sedang bekerja di sawah. Ustadz tadi merasa heran melihat Pak Datuk masih
tenang-tenang saja bekerja, padahal di sekolah sudah heboh membicarakan
persoalan MTI.
Pada suatu hari datanglah
tiga orang tokoh masyarakat menemui Pak Datuk di Gedung MTI depan pasar, dalam
rangka rekonsiliasi. Di luar telah banyak masyarakat yang duduk di kedai dan
ada yang berkata “Tiga lawan satu…”. Rekonsiliasi yang dimaksud di sini adalah dengan
memakai istilah yang populer “Siriah
suruik ka gagangnyo, pinang baliak ka tampuaknyo”. Artinya beberapa pengurus
yang yang telah mengundurkan diri kembali diajak.
Maka
berkatalah Pak Datuk dengan kalimat yang terkenal “Sirih yang surut ke
gagangnya dan pinang yang balik ke tampuknya itu hanya terpakai apabila ada
orang semenda yang meninggalkan rumah “taganyuik”,
dalam organisasi tidak ada istilah seperti itu, apabila difikirkan dengan
jernih betapapun canggihnya kepandaian manusia mustahil daun sirih akan dapat
disurutkan ke gagangnya, sirih akan tetap layu.
Mendengar jawaban seperti
itu ketiga orang tadi hanya terpaku mendengarnya. Kemudian salah seorang
berkata “Tapi Pak Datuk, bukankah MTI itu kepunyaan masyarakat…”. “Kepunyaan
masyarakat.. masyarakat yang mana?” kata Pak Datuk memotong pembicaraan.
“masyarakat PNI.. tidak, masyarakat Masyumi.. tidak, masyarakat PKI juga tidak,
jadi masyarakat yang mana menurut anda...”. Suasana menjadi hening, tidak ada
jawaban, akhirnya tiga orang tadi tidak mampu berdebat dengan Pak Datuk dan mohon
diri dengan tidak membawa hasil apapun untuk dibawa pulang.
Persoalan MTI ini kemudian
dibawa ke dalam Musyawarah Besar Nagari Kapau (Mubes) I pada bulan November
1991 untuk dibahas. Tapi usaha ini pun kandas tidak membawa hasil sama sekali. Akhirnya
usaha menggoyang beliau dari Ketua III kepengurusan menjadi gagal total karena
Pak Datuk tidak sedikitpun bergeming dari kedudukannya. Bagaimana nasib
kepengurusan baru yang dibentuk tidak ada lagi kelanjutannya. Beberapa waktu
kemudian salah seorang dari mereka sempat mengakui dengan mengatakan “Tidak ada
dasar hukum bagi kita untuk mengambil alih kepemimpinan di MTI Kapau...”
Bagaimanapun persoalan
yang terjadi di tubuh kepengurusan ini dapat diibaratkan “Galodo nan datang dari hilia, Batu nan maimpok dari bawah”. Beliau
mampu menghadapinya dengan tenang dan santai, dan tidak ada sedikitpun ada
celah bagi “lawannya” untuk mematahkan argumentasi yang beliau sampaikan.
Hal ini bukan karena
apa-apa, tapi karena beliau betul-betul memahami setiap akar permasalahan yang
terjadi. Dan yang terpenting adalah kemampuannya berkomunikasi secara efektif
dengan mengolah logika berfikir yang sulit untuk bisa dibantah. Bahkan beliau
tidak mempunyai keraguan dan kebimbangan sedikitpun dengan keputusan yang
beliau tempuh tapi punya keyakinan bahwa sesuatu yang dilakukannya akan
berhasil. Hal ini terbukti ketika suasana masih hangat-hangatnya mengenai
permasalahan MTI Kapau, beliau malah berangkat ke Malaysia untuk kunjungan keluarga.
Ternyata selama di Malaysia
keadaan MTI aman-aman saja sehingga beliau kembali pulang ke kampong.
Keteguhan beliau memegang
prinsip yang sudah diyakininya benar, terbukti mampu dipertahankannya sampai
saat-saat terakhir, adalah luar biasa dan sangat dikagumi kawan maupun lawan,
seolah-olah sebuah pilar yang begitu kokoh yang tidak goyah sedikitpun diterpa
oleh ombak dan angin badai. Tapi yang sangat mengagumkan adalah sikap beliau
dalam menghadapi persoalan begitu tenang dan tidak menampakkan sedikitpun
gelisah apalagi kepanikan.
Dan sikap beliau ini
hampir sesuai dengan bunyi pepatah; “anjing
menggonggong, kafilah tetap berlalu”. Namun anehnya orang yang pernah
menjadi “musuh” nya, ternyata tidak sakit hati ataupun dendam, karena di
kemudian hari secara lahiriah tetap bertegur sapa. Kemampuan seperti ini tidak ditemui pada
tokoh lain yang sezaman dengan beliau, entah kalau dikemudian hari akan muncul
Pak Datuk atau Aminuddin – Aminuddin baru. Wallahu
a’lam bish Shawab.
Setelahnya selesainya
permasalahan di MTI, suasana pendidikan di MTI kembali berjalan normal dan
lancar. Bahkan murid pun bertambah banyak seolah-olah sekolah tidak pernah
mengalami suatu persoalan. Dan Pembangunan Asrama MTI yang telah dirancang
sebelumnya tetap dilanjutkan dengan memanfaatkan dana dari donatur, yang tidak
terpengaruh dengan konflik di dalam kepengurusan. Kepengurusan MTI dibawah
kepemimpinan Pak Datuk tetap didukung oleh Pengurus lama yang masih tetap
bertahan.
Ada satu hal yang menarik
di balik problematika yang terjadi di kepengurusan MTI Kapau yang jarang
diketahui orang, yaitu usaha fihak ketiga yang sakit hati ingin mengadu domba
antara H.Hashuda Dt Majo Nan Tuo (ketua I) dengan A. Dt Bagindo Basa (ketua
III), padahal semua orang tahu hubungan antara kedua orang ini sejak dahulu
bersahabat dekat atau “konco palangkin”, sehingga
hubungan kedua sahabat sempat kurang baik. Meskipun H.Hashuda Dt Majo Nan Tuo
tidak lagi menjadi pengurus MTI Kapau setelah kejadian ini. Tapi secara pribadi
di kemudian hari hubungan mereka tetap baik. Hal ini terbukti ketika Pak Datuk
pada pertengahan tahun 90 an berkunjung ke Jakarta dan singgah ke Restoran Roda
Group milik H.Hashuda Dt Majo Nan Tuo, ternyata beliau menyambut Pak Datuk
dengan sangat baik tanpa adanya persoalan sebelumnya.
Di lain pihak sikap beliau
yang tegas menimbulkan “ketakutan” bagi sebagian orang yang tidak paham,
sehingga apabila diadakan suatu rapat dimana seharusnya beliau diundang untuk
dimintai pendapat dan seterusnya, justru tidak diundang, istilah beliau “dikuliciak-an”. Padahal ini tidaklah
beralasan, justru merugikan orang yang tidak mengundang tersebut, karena ilmu dan
pengetahuan beliau terhadap pemecahan persoalan tidak jadi didapat. Sehingga
banyak persoalan-persoalan nagari yang terkatung-katung, tapi lama kelamaan
beliau juga yang dimohon untuk menyelesaikannya.
Pak Datuk sebagai bekas
veteran pejuang kemerdekaan RI sudah selayaknya mendapatkan penghargaan berupa
tunjangan di hari tuanya. Namun nasib baik belum berpihak kepadanya karena
belum mendapat tunjangan dari negara, sedangkan teman-teman seperjuangan
lainnya telah lebih dahulu mendapatkan Tuvet atau tunjangan veteran, bahkan ada
yang minim peranannya dalam perjuangan atau tak ada telah lama mendapatkannya.
Pak Datuk tetap sabar
meskipun dia telah cukup lama mengurus Tuvet. Terakhir teman seperjuangannya H.
Sjamsuddin Zul atau pak Saud yang tinggal di Medan turut membantu mengurus
Tuvet Pak Datuk dan berhasil, sehingga Pak Datuk bersyukur dan berterimakasih
atas bantuan temannya tersebut.
Persoalan yang terkenal
dan menghebohkan nagari adalah persoalan meruntuh pusako setelah Batagak
Panghulu tahun 1996. Hal ini terjadi ketika Pucuak Bulek Suku Guci Pili yaitu
A.Datuk Tandi Langik diruntuh pusakonya (Gelar Adat) oleh lima orang koleganya sendiri yang duduk di
Kerapatan Ninik Mamak Enam Suku (Ninik Mamak Nan Baranam). Sedangkan Dt
Tandilangik adalah pimpinan tertinggi Suku Guci Pili di nagari bersama lima suku lainnya (Cucu
dari Pak Datuk menurut hukum adat / matriachart).
Datuk Bagindo Basa adalah
orang tua yang sudah banyak pengetahuan adatnya selama puluhan tahun tidak
pernah diundang untuk sekedar dimintai pendapat seputar masalah tersebut.
Akhirnya persoalan ini berlarut-larut tidak pernah terselesaikan sampai lebih
dari sepuluh tahun.
Persoalan ini muncul
karena hal yang sangat sederhana. Dimana
ditengah rapat atau sidang Kerapatan di Balai Adat, terjadi perbedaan pendapat
dan perdebatan yang berakhir dengan keluarnya Dt Tandi Langik sebagai pimpinan dari
ruangan sidang. Hal ini dianggap oleh ninik mamak yang berlima sebagai “mahariak mahantam tanah”. Artinya sesuatu
yang tidak dibolehkan dalam adat dilakukan oleh seorang penghulu atau pemimpin.
Sehingga diadakanlah rapat oleh lima
orang Ninik Mamak Nan Baranam, minus Dt.Tandilangik, dengan menghasilkan
keputusan bahwa Pusako atau gelar adat Dt.Tandi langik runtuh.
Keputusan Ninik Mamak yang
berlima ini ternyata menimbulkan kehebohan di nagari Kapau. Terjadi pro dan
kontra di tengah masyarakat menyikapi keputusan ini karena keputusan seperti
ini baru pertama kali terjadi. Terutama bagi yang paham tentang adat salingka
nagari menganggap keputusan ini janggal karena Ninik Mamak Nan Baranam
mempunyai kedudukan yang sama duduak samo
randah, tagak samo tinggi, sehingga sebetulnya tidak dapat saling
menjatuhkan hukuman menurut hukum adat
lamo pusako usang. Sebagaimana biasa setiap keputusan adat di tingkat
nagari diumumkan di masjid, maka keputusan ini pun diumumkan di tiga masjid
yang ada di nagari Kapau.
Keputusan Ninik Mamak yang
berlima mendapat penolakan dari persukuan Guci Pili sehingga timbul protes keras
dari persukuan Guci Pili, supaya keputusan tersebut dicabut karena tidak sesuai
dengan adat salingka nagari yang berlaku dan bertentangan dengan adagium adat “Maa adiaknyo nan marangkak dan maa kakaknyo
nan baruban”, artinya tidak pernah ada terjadi keputusan seperti ini. Tapi
Ninik Mamak yang berlima ini tak bergeming dan tetap pada keputusannya.
Sehingga diambillah berbagai cara untuk menyelesaikan persoalan ini dengan
mediasi dengan melibatkan perantauan dan sebagainya, atau di bawa ke aie nan janiah dan sayak nan landai.
Tapi segala cara yang ditempuh tidak membuahkan hasil yang memuaskan. Persoalan
ini terkatung-katung sampai bertahun-tahun.
Kemudian
dari itu setelah sekian lama segala upaya yang dilakukan tidak berhasil, dikirimlah
surat kepada pangka tuo Guci Pili yaitu
Pak Datuk, yang isinya meminta Ninik Mamak Guci Pili mewakili Dt Tandi Langik
untuk duduk di Kerapatan Ninik Mamak Anam Suku. Pak Datuk membalas surat dari Ninik Mamak
yang berlima yang isinya :
“…Surat saya ini adalah membalas surat saudara-saudara tertanggal 12 September
1999 yang isinya meminta wakil ninik mamak Guci Pili untuk duduk di Kerapatan
Ninik Mamak VI Suku Nagari Kapau. Kami tidak akan mengirim wakil selain kami
akan tetap mengirim Dt Tandi Langik langsung karena pusako Dt Tandi Langik
tidak sumbiang dan tidak sakah.
Harap
saudara baca kembali Piagam (Sumpah Satia) tahun 1955, dikuatkan lagi dengan
Undang-Undang Nagari yang Saudara-saudara buat sendiri Nomor: 01/KAN-KP/NM/1997
tentang Peraturan Nagari Kapau tentang adat …, pada Bab II dinyatakan bahwa
kepenghuluan itu tidak rusak atau tidak dapat dirusakkan berdasarkan pepatah
alam Minangkabau: INDAK LAKANG DI PANEH, INDAK LAPUAK DI HUJAN, DIRANDAM INDAK
BASAH, DIPANGGANG INDAK ANGUIH, DIBUBUIK INDAK MATI, DIASAK INDAK LAYUA”
Kecuali kesalahannya sendiri, sebagai contoh: TALALAH TAKAJA, TAIKEK TAKABEK,
TATANDO TABITI, TAPIJAK DI BARO ITAM TAPAK, TAPIJAK DI KAPUA PUTIAH TAPAK, maka
pusako runtuh dengan sendirinya, dimana hal ini terkandung dalam Undang-Undang
Duo Puluah ( 20 ).
Apakah
Saudara-saudara mengerti maksud pepatah tersebut di atas, apabila tidak
mengerti tanyakan kepada orang yang tahu. Kalau Saudara-saudara mengerti maka
keputusan Saudara-saudara meruntuh atau merusak pusako Dt Tandi Langik, dengan
sendirinya batal menurut Hukum Adat. Kalau kita teliti dengan pikiran yang jernih
maka pusako saudara-saudara-lah yang runtuh karena melanggar Sumpah/Janji
(Piagam tahun 1955).
Menurut
adat, bahwa silang pendapat itu (bertukar buah pikiran) adalah masalah biasa.
Sebagaimana kata pepatah: PINCALANG ANAK RANG TIKU, MANDAYUANG SAMBIE MANUNGKUIK,
BASILANG KAYU DALAM TUNGKU, BAITU API MANGKO IDUIK. Ninik Mamak baalam laweh
bapadang lapang, badama sasukek. Kalau terjadi beda pendapat batupang barasah,
sarantak babandiang. Musti terjadi dakwa dan jawab, saksi dan bainat. Semuanya
dikumpulkan kepada semacam Panitera dan Panitera menyerahkannya kepada Hakim.
Maka Hakim lah yang memutuskan.
Ada
lagi pepatah Minangkabau yang mengatakan: URANG MAKAH MAMBAO TARAJU, URANG
BAGHDAD MAMBAO TALUA, TALUA DIMAKAN BULAN PUASO, RUMAH NAN BASANDI BATU, ADAT NAN
BASANDI ALUA, ALUA ITULAH NAN KA GANTI RAJO.
Sekianlah
semoga Saudara-saudara mencari jalan penyelesaiannya, KUSUIK BULU PARUAH
MAISAI, KUSUIK KAPALO JANGKIE MAISAI. Dan dengan harapan Saudara-saudara dapat
memakluminya…”.
Wassalam,
A.Dt.
Bagindo Basa
Namun surat tersebut tidak pernah ditindaklanjuti
oleh Ninik Mamak yang Berlima. Mereka telah menunjukkan arogansi yang
berlebihan sehingga nasehat dari orang tua yang telah lama makan asam garam
masalah adat tidak pernah digubris sama sekali. Dan masalah ini menjadi
berlarut-larut hingga Pak Datuk wafat, bahkan sampai tujuh tahun setelah Pak
Datuk meninggal dunia.
Pada tahun 1997 Pak Datuk
terserang stroke ringan terhadap tangan kirinya sehingga tidak dapat
digerakkan. Setelah dirawat di RSUD Achmad Mochtar Bukittinggi selama 10 hari
akhirnya beliau boleh pulang, dan stroke yang dialaminya berangsur-angsur
sembuh.
Aktifitas beliau setelah
mengalami stroke ringan lebih banyak mengurus MTI Kapau yang dilaksanakan
sampai selama lebih kurang tiga tahun kemudian. Beliau memimpin kepengurusan
MTI Kapau bersama kawan kawan yang sejalan terutama dengan H.M. Noer St
Mangkuto dan H.D.S Mangkuto dengan aman dan tidak pernah lagi terjadi gejolak.
Pada Tahun 1998 didirikanlah Yayasan MTI Kapau dengan Akta Notaris Yulfaisal,
SH, dimana para pendirinya adalah: Aminuddin Dt.Bagindo Basa (Pak Datuk),
H.Muhammad Noer Amin (Mantan Kepala SMP 1 Bukittinggi), H.Daiman Sutan Mangkuto
(Pengusaha Rumah Makan Rindu Alam), H.Firdaus Efendi, AH (Mantan Kajati Riau),
Ummi Aisyah dan Ibuk Sabidar. Ketua Umum Yayasan dipercayakan kepada Aminuddin
Dt. Bagindo Basa yang tetap beliau pegang sampai akhir hayat.
Selama kepemimpinan beliau
di yayasan yang meskipun hanya dua tahun tapi telah mampu mengelola dan membawa
perkembangan pendidikan yang menggembirakan di MTI Kapau, baik kemajuan sarana
dan prasarana maupun dukungan terhadap proses pembelajaran yang terjadi di
madrasah.
Kami pernah bertanya
kepada Pak Datuk pada suatu saat, seandainya beliau sudah tidak ada, bagaimana
dengan nasib MTI Kapau siapa lagi yang akan mempertahankan dan membelanya
sebagaimana beliau telah mempertahankannya selama ini. Dengan raut muka yang
tidak menunjukkan kekhawatiran dan penuh optimisme beliau berkata “bagaimana pengurus nantinya maka dia yang
akan menjadikan MTI mau dibawa kemana”.
Sepintas lalu apabila kita
renungkan, kalimat yang beliau lontarkan seolah-olah tidak peduli apakah MTI
ini akan mati atau tetap hidup. Tetapi ada makna yang tersirat yang terkandung
di dalam kalimat tersebut. Ada
suatu keyakinan dan kepercayaan bahwa MTI Kapau akan tetap eksis dan diakui
keberadaannya. Padahal pada waktu itu beliau tidak pernah menyiapkan kader
dalam menyambut tongkat estafet MTI Kapau sekiranya beliau atau para penerus
yang juga sudah tua-tua sudah tidak ada. Dengan keyakinan beliau itulah
Alhamdulillah sampai sekarang MTI Kapau tetap ada dan berjalan sebagaimana
biasa.
Tantangan
demi tantangan serta ujian yang dihadapinya dalam tugas kemasyarakatan dapat
diibaratkan Galodo Yang Datang dari Hilir,
artinya sesuatu kejadian yang menimpa datangnya tidak disangka-sangka, sehingga
pepatah member tamsil demikian. Mana ada orang yang mengira galodo (banjir bandang) datangnya dari
hilir. Tapi bagi Pak Datuk sesuatu yang tidak disangka-sangka itu mampu beliau
hadapi dengan tenang dan secara cerdik mampu pula dihindarinya, seolah-olah
beliau sudah siap kapan pun sehingga apabila suatu bencana yang datang dapat
dihindari sehingga tidak menimpa dirinya.
{ 15 }
Akhir Dari Perjuangan
Ditandatanganinya
Peraturan Pemerintah (PP) No. 84/1999 tentang Perubahan Batas Wilayah Kota
Bukittinggi atau Perluasan Kota Bukittinggi ke sebagaian daerah Kabupaten Agam
oleh Presiden B.J Habibie, ternyata telah menyebabkan terjadinya pro dan kontra
di tengah masyarakat. Nagari Kapau dan Gadut adalah dua nagari di kecamatan
Tilatang Kamang yang termasuk ke dalam rencana perluasan kota tersebut. Wacana perluasan kota ini sudah muncul
sejak zaman Orde Baru dan wakil rakyat kedua daerah telah setuju.
Pak
Datuk adalah seorang yang mempunyai pendirian yang teguh dan kokoh dan mempunyai analisa yang tajam. Tidak ada maksud
dan tujuan untuk kepentingan pribadinya. dari seluruh perjuangan yang dilakukan
semasa hidupnya tapi hanya keikhlasan. Kalau dia berorientasi materi sejak
dahulu tentu dia sudah kaya tapi ternyata beliau tetap bersahaja.
Pro
dan kontra PP No. 84 Tahun 1999 tidak luput dari perhatiannya. Beliau pernah
sebagai anggota Dewan di Kabupaten Agam selama lima tahun, dan telah dirasakannya suka duka
bagaimana banyaknya persoalan yang dihadapi masyarakat Agam. Terutama daerah
Agam Tuo atau Agam Timur, sejak dari dahulu adalah daerah yang minus sumber
daya alam. Banyak terjadi berbagai macam konflik diantaranya persoalan pasar
serikat dengan Bukittinggi, Air minum sungai tanang, sengketa masyarakat Jambak
dan Sianok. Itu adalah sebagian kecil persoalan yang ada.
Pak
Datuk berfikir menurut kacamata beliau, bahwa dengan telah keluarnya PP No. 84
Tahun 1999 maka itu patut disyukuri, karena akan mendatangkan kebaikan bagi
kedua daerah, baik bagi Kabupaten Agam maupun bagi Kota Bukittinggi yang juga
merupakan kota Rang Agam. Kenapa demikian karena daerah yang masuk ke dalam
perluasan kota
akan mengalami kemajuan secara jangka panjang. Dan bagi Kabupaten Agam akan
mengurangi beban pembangunannya karena sebagian daerah Agam Timur merupakan
daerah minus itu tadi.
Bagi kota
Bukittinggi sebagai daerah yang standar ekonominya agak lebih tinggi akan lebih
mudah dalam menata kota
untuk lebih baik. Kalau ada yang mengatakan banyak kerugiannya bagi Agam, maka
timbul pertanyaan dimana kerugiannya, toh dari segi ekonomi masyarakat Agam
selalu mencari nafkah dan berusaha di Bukittinggi.
Dari
segi sejarah dan sosiologis dan bahkan adat, kota Bukittinggi sejak nenek moyang merupakan
Koto Rang Agam artinya tempat berbelanja dan berdagang bagi masyarakat Agam dan
merupakan wilayah Agam atau bagian dari
Agam sejak dari dahulu kala. Baru setelah Indonesia merdeka dibuatlah
batas-batas wilayah secara administratif pemerintahan. Maka timbul pertanyaan
mengapa dipertentangkan?. Istilah yang terkenal dari Pak Datuk adalah “Angek tadah daripado cawan”. Karena
memang pada awalnya yang menentang PP No. 84 tahun 1999 adalah rakyat diluar
wilayah yang masuk perluasan kota
itu sendiri.
Polemik tentang PP No. 84
tahun 1999 ini terus terjadi dan tidak berkesudahan. Sehingga semua orang
berbicara mulai rakyat jelata sampai pejabat angkat bicara sehingga tidak ada lagi
ujung pangkalnya. Semua media cetak maupun elektronik sering memberitakan dan
membahasnya. Tapi tidak ada titik temu yang dapat diterima akal sehat.
Sebenarnya Pak Datuk
sebagai seorang tokoh tua, ninik mamak dan juga cerdik pandai tidak mau terlalu
memikirkan persoalan ini. Namun hati kecilnya tetap tidak merasa tenang dan ingin
ikut memikirkannya. Pada suatu malam beliau menerima surat undangan dari kantor
Camat Tilatang Kamang yang isinya Pertemuan Silaturrahmi dengan anggota DPRD
Kabupaten Agam serta dengar pendapat mengenai PP No. 84 tahun 1999 yang akan
dilaksanakan pada tanggal 18 Mei 2000, bertempat di Pakan Kamis. Setelah
membaca surat
undangan dari awal sampai akhir, semangat muda beliau kembali timbul dan berniat
untuk hadir dalam pertemuan tersebut.
Pada pagi itu, hari Kamis berangkatlah beliau dengan angkutan
desa / angdes menuju ke Pakan Kamis guna menghadiri pertemuan dengan anggota
DPRD Agam. Pada waktu itu para pemuka masyarakat Kapau lainnya juga banyak yang
hadir. Dalam pertemuan tersebut berbicaralah beliau dalam kapasitasnya sebagai
tokoh masyarakat dan tokoh adat dengan pemikiran yang objektif. Kemudian
berbicara pula tokoh lainnya. Ada dua pendapat yang berbeda mengenai persoalan yang
dibahas pada waktu itu.
Tidak sebagaimana biasanya Pak Datuk merasa pusing
beberapa saat setelah beliau berbicara, dan bersandar di kursi. Orang lain menganggap
beliau tertidur, tapi sebenarnya dalam suatu pertemuan apapun beliau tidak
pernah tertidur. Beberapa saat kemudian peserta rapat lainnya baru sadar bahwa
beliau sudah tidak sadarkan diri. Pak Datuk langsung dibawa ke ruangan Camat
dan dibaringkan di atas kursi roda menunggu petugas kesehatan. Setelah petugas
kesehatan datang dan saya sendiri baru datang beberapa menit kemudian,
disepakatilah supaya beliau dibawa ke UGD Rumah Sakit Dr. Achmad Mochtar (RSAM)
Bukittinggi.
Setelah sampai di RSAM beliau langsung dibawa ke ruang
UGD untuk diambil tindakan selanjutnya. Beberapa saat kemudian setelah
dilakukan tindakan medis beliau dimasukkan ke ruangan neuro atau syaraf, oleh
karena ruangan syaraf penuh maka beliau dititipkan di ruangan jantung. Selama
di ruangan jantung beliau masih koma, maka dokter menyarankan supaya beliau dirawat
di ICCU. Pada hari Sabtu beliau dibawa ke ICCU untuk dirawat secara intensif.
Pada hari Senin tanggal 22 Mei 2000 jam 04.30 Pak Datuk
menghembuskan nafas terakhir menghadap Sang Khalik. Pejuang Yang Tak Dikenang
akhirnya berpulang ke Rahmatullah. Pagi itu juga jenazah itu dibawa ke Koto
Panjang Hilir Kapau untuk disemayamkan. Berita meninggalnya Pak Dotor dengan
cepat menyebar, para karib kerabat, handai taulan dan ratusan orang
berbondong-bondong ke rumah tempat jenazah untuk memberikan doa dan melepas
Almarhum untuk terakhir kalinya.
Tokoh
Masyarakat, Teman-teman
Almarhum, Kepala Desa se nagari Kapau, Camat Tilatang Kamang Sofyan
Djas, S.Sos dan Staf, hingga
Walikota Bukittinggi Drs. H.Djufri
serta Ketua DPRD H.Zainal
Djis, SH juga sempat
hadir melayat Almarhum dan membacakan doa sebelum jenazah dimandikan. Menjelang
shalat zuhur setelah
dishalatkan di Masjid Jami’k Pandam Basasak beliau dimakamkan
dengan selamat di dekat
gerbang masjid dalam komplek MTI Kapau berdekatan dengan pusara kakaknya
Rasjidin Kari Bagindo.
Pada bulan Juni Bupati Agam Drs. H.Aristo Munandar, Wakil Bupati dan Kakandepag
Agam Drs. H.Helmi Khatib, juga ikut menyempatkan diri menjenguk keluarga
Almarhum di Koto Panjang Hilir Kapau.
Wafatnya
Almarhum merupakan kehilangan terbesar bagi nagari Kapau. Tidak berlebihan
kiranya apabila ada yang mengatakan telah padam pelita yang selama ini
menerangi dalam kegelapan. Sebab sejak muda beliau telah berjuang dan sampai
detik kehidupannya di dunia masih sempat menyumbangkan pemikiran yang
konstruktif.
Dan
besar kemungkinan sesudah beliau wafat tidak ada lagi tokoh yang mempunyai pengaruh
yang sangat signifikan terhadap nagari dan masyarakat, menyamai beliau dalam segi
kemampuan multidimensi. Figur yang tidak banyak dipublikasikan dan tidak banyak
dibicarakan sesudahnya tapi hasil peranan yang telah dilakukannya telah
dirasakan banyak pihak.
{ 16 }
Daftar Riwayat Hidup
Nama/Gelar : AMINUDDIN DATUK BAGINDO BASA (Engku/Angku
Dotor/Inyiak
Indo bin
Haji Abbas bin Ahmad Chatib bin Sabar Datuk Rajo Labiah
(Laras Kapau)
Lahir : Koto Panjang Hilir Kapau, Ahad, 10 Agustus
1924
Wafat : Bukittinggi, Senin 22 Mei 2000 / 18 Shafar
1421 H Jam 04.30 WIB
Usia : ± 76 Tahun
Agama : Islam
Suku : Guci
Anak
dari : Haji Abbas (Ayah) dan Sada (Ibu)
Anak
ke- : 4 (empat) dari 7 (tujuh) bersaudara
Tadjuddin,
Rasjidin, Bariah, Aminuddin, Alm, Naimah dan Ali
Amran
Keluarga : Nama Isteri : 1. Hj. Fatimah (Alm Th.2011)
2.
Husnuddaiyar
Nama
anak-anak dari perkawinan dengan isteri :
Pertama
: 1. Zulhasni
2.
Nurtety
3.
Jusrizal (Alm)
4.
Novayenti (Alm)
Kedua
: 1. Zulfadli
Anak
tiri : Yetmen (Alm), Masna, Masni, Mastati, dan Eliza
Riwayat Pendidikan
1.Sekolah
Desa (Volkschool) dan Sekolah Sambungan (Gubernemen), 1931-1935 dan berijazah
Sekolah
Tarbiyah Islamiyah PERTI, 1936-1943 dan berijazah
Riwayat Dalam Kehidupan Organisasi
1.1942-1943
Anggota Kepanduan Al Anshar di
Bukittinggi
2.1944-1957
Ketua Dewan Penerangan Perti kenagarian
Kapau
3.1957-1966
Ketua DPAC Partai Islam Perti Kecamatan
Tilatang Kamang
4.1967-1969
Ketua Umum DPC Partai Islam Perti
Kabupaten Agam
5.1969-1971
Wakil Ketua II DPC Partai Islam Perti
Kabupaten Agam
6.1969-1971
Wakil Ketua IV DPD Partai Islam Perti
Sumatera Barat
7.1988-1998
Ketua III Pengurus Madrasah Tarbiyah
Islamiyah(MTI) Kapau
1998-2000
Ketua Umum Yayasan MTI Kapau
Riwayat Pekerjaan
1.1943-1945
Anggota Heiho Rikugun Bioyin Butai 10499
di Bukittinggi
2.1946-1947
Anggota Lasjmi (Lasykar Muslimin Indonesia)
pangkat Letnan Dua kesehatan
3.1949-1950
Komandan PMT (Pasukan Mobil Teras) di
Kapau Front Agam
4.1948-1949
Ketua BPNK (Badan Pengawal Nagari dan Kota)
5.1951-1960
Staf Wali Nagari Kapau
6.1958-1961
Ketua Keamanan / Komandan WBD (Wajib
Bela Desa)
7.1961-1966
Pamong Urusan Adat Nagari Kapau
8.1964-1965
Pjs Wali Nagari Kapau
9.1967-1971
Anggota DPRD-GR Kabupaten Agam
10.1975-1971 Wali Nagari Kapau
1955-2000
Penghulu Suku Guci dengan Gelar
Datuk Bagindo Basa
Riwayat Perjuangan
1.Januari
1947- Mei 1947 Clash I di Padang sebagai anggota Lasjmi
2.Februari
1949- Desember 1950 Clash II sebagai Komandan PMT (Pasukan Mobil Teras) di
Front Agam
Riwayat lain-lain
1.1945-1946
Melatih seluruh pemuda Kapau secara
militer menghadapi perjuangan revolusi menghadapi Belanda
2.1957
Membentuk Pasukan Saga Djantan (PSD) di Kapau dengan pengakuan oleh Kolonel M.
Dahlan Djambek
3.18
Mei 1998 Satu dari enam orang pendiri Yayasan MTI Kapau
Pemikiran Tentang Adat
dan Kemasyarakatan Antara Lain :
ØAdat
di Minangkabau adolah Adat Basandi Syarak
syarak basandi Kitabullah. Ma nan dahulu rumah daripado sandi (tamsil)
jawabnyo adolah: Dahulu rumah, artinyo rumah ditagakkan dahulu baru sandi
datang kamudian. Baa mako kini sandi dahulu daripado rumah? Itu adolah rumah
ala Barat. Dahulu sabalun agamo (baca Islam) masuak ka Minangkabau, nan ado di
Minangkabau adolah adat Jahiliyah, bajudi, manyabuang ayam dan lain-lain.
Sasudah agamo datang adat jahiliyah tadi diluruihkan. Rumah nan masih tungkang
tengkeng (alun data) tadi akhianyo dipadata oleh sandi nan datang kamudian
tadi. Sahinggo disinanlah dinamokan adat basandi syarak, syarak basandi
kitabullah.
ØAdat
nan tapakai di nagari Kapau adat Koto
Pili (Kalarasan Koto Piliang) terkenal dengan istilah Lareh Nan Bunta, nan diwariskan oleh Datuak Katumangguangan. Tapi di
dalam praktek terpakai istilah Koto
Piliang inyo antah, Bodi Chaniago Inyo bukan, artinya: Adat Koto Piliang
tidak sepenuhnya dilaksanakan karena bisa berubah sesuai dengan kesepakatan
bersama “kato dahulu batapati, kato
kudian kato bacari”. Kato
mufakat bukan diambil dengan suara terbanyak tapi dengan suaro bulek (Aklamasi).
Bila tidak tercapai kata mufakat maka batupang
barasah, sarantak babandiang dan
bajanjang naiak batanggo turun.
ØPanghulu
di Minangkabau dipiliah manuruik Alua jo
patuik sarato mungkin. Apobilo kurang salah satu diantaro tigo syarat, mako
panghulu itu tidak sah.
ØSalah
satu sifat seorang panghulu adolah Baalam
laweh, bapadang lapang, badama sasukek.
ØPanghulu/Niniak
Mamak di dalam suatu musyawarah tidak berani menyokong atau membantah pandapek
urang lain, itulah nan dikatokan Niniak
Ngangak. Sifat seoramg panghulu pandai/berani mangecek/bicara. Pandai
mangaluakan pandapek dan pandai badebat mempertahankan kebenaran dalam sidang
atau rapek.
ØDi
dalam adat indak dikenal hukuman Skorsing.
Apobilo ado Pangulu/Niniak Mamak na
basalah, mako ditimbang kadar kasalahannyo: Runtuah baamba, Kuma basasah, baabu bagantiak. Hukuman skorsing
dikenal umpamo anak bola nan malanggar disiplin. Apobilo Niniak Mamak dihukum
skorsing mako itu indak manuruik adat. Diumpamokan baju nan kuma atau kumuah,
kamudian disimpan di dalam lamari salamo anam bulan misalnyo, apokoh baju bisa
barasiah dengan sandirinyo?, sudah tantu indak.
ØHukuman
meruntuh/merusak pusako sudah
dihapuskan sejak tahun 1955 (terkenal dengan Sumpah Satia), kecuali kesalahan yang dibuat niniak mamak itu
sendiri, umpamo Talalah Takaja, Taikek
Takabek, Tatando Tabiti, Tapijak di baro itamtapak, tapijak di kapua putiah tapak, nan tarangkum dalam
Undang-Undang 20. Sumpah satia atau Piagam tahun 1955 nan manyabuik bahaso; “Kepenghuluan itu indak lakang di paneh,
indak lapuak di hujan , dirandam indak basah, dipanggang indak hanguih,
dibubuik indak mati, diasak indak layua”. Apabila dilanggar maka merupakan
pengkhianatan terhadap Sumpah/janji atau Piagam tahun 1955.
ØMenurut
adat, silang pandapek atau batuka buah pikiran adolah biaso dalam kehidupan.
Sabagai kato papatah: Pincalang anak rang Tiku, badayuang sambia manungkuik,
basilang kayu dalam tungku, disinan api makonyo iduik. Niniak mamak baalam laweh
bapadang lapang badama sasukek. Bilo tajadi beda pandapek mako batupang barasah
sarantak babandiang. Terjadi dakwa dan jawab, saksi dan bainat. Semua dikumpul
dan diserahkan kepada Panitera, Panitera menyerahkan ke Hakim, maka Hakim lah
yang memutuskan.
ØDi
dalam manyalasaikan masalah dalam nagari: karuah
mak janiah, kusuik mak salasai, handaklah dibao ka aie nan janiah ka sayak nan landai. Dalam adat dikenal
dengan: apobilo kusuik kapalo mako
jangkia maisai, apobilo kusuik bulu paruah maisai. Jangkie jo paruah adalah
tamsilan suatu badan yang berwenang yang akan mendamaikan. Apabila hal itu
diabaikan mako basuo kato papatah: Maa
adiaknyo nan marangkak dan maa kakaknyo nan bauban artinya tidak pernah
dilakukan dan terpakai dalam adat nagari.
ØSilang
sangketo di dalam nagari nan indak salasai oleh pihak katigo (secara damai)
mako dibao ka dalam Sidang Nagari dan Hakim lah yang berhak mamutuih parkaro
berdasarkan Saksi dan Bainat.
ØApobilo
tajadi silang sangketo dalam pucuak pimpinan adat dalam nagari, tidak ado jalan
nan bisa ditampuah melainkan dengan mengumpulkan Urang Ampek Jinih di suatu
Sidang yaitu: Alim Ulama, Niniak Mamak, Cadiak Pandai (termasuk pemuda) dan
Bundo Kanduang. Keputusan dalam sidang Ampek Jinih itulah yang berwenang
membentuk suatu Dewan (Yudikatif) atau
Badan yangdipilih berdasarkan Kecakapan serta Pengalaman dan memenuhi unsur
Ampek Jinih. Badan tersebut berhak dan berkewajiban menyelesaikan perkara yang
bersangkutan.
ØSeseorang
atau calon Ninik Mamak kehilangan haknya menjadi ninik mamak, apabila terjadi Gugua di muluik larak di tangkai,
artinya ada kesediaannya menyerahkan pusako kepada orang lain di dalam kaumnya,
diluar hukum Alua di dalam adat.
Begitu juga orang yang melanggar Undang-Undang
Nan Duo Puluah. Umpama Tapijak di
baro hitam tapak, tapijak di kapua putiah tapak, maka haknya menuntut
pusako menjadi hilang.
ØPimpinan
adat di nagari berhak dan berkewajiban untuk menyelidiki, menindaklanjuti
apabila ada diantara anak kemenakan nan Babuek
sumbang salah dan sebagainya di lingkungan kekuasaannya dan menghukum
apabila bersalah menurut undang-undang yang terpakai di nagari Kapau.
ØAdalah
sah diangkatnya seorang Niniak Mamak nan
Indak bakapak barembai, artinyo pudua indak badunsanak dan bakamanakan, dan
tungkek “dipasisikkan” di pinggang. Artinya tidak mempunyai
panungkek.
ØPimpinan
adat harus aktif dan kreatif dalam mandanga, mancaliak
setiap kejadian dan informasi yang sampai ke telinganya tentang tiap-tiap persoalan masyarakat, kemudian
menindaklanjuti persoalan tersebut, mendamaikan yang bertikai, menghukum yang
bersalah dan melindungi yang tidak bersalah.
ØKeputusan
adat yang apabila memberatkan diri sendiri termasuk keputusan terhadap ninik
mamak itu sendiri adalah keputusan hara
kiri atau keputusan bunuh diri.
Di dalam adat boleh diterapkan barek
bakisa ka nan ringan, jauah bakisa ka nan ampie.
ØPersoalan
yang timbul ke permukaan haruslah ibarat
maremoh dalam sarang, maelo banang dari tapuang, banang indak putuih tapuang
indak taserak. Indak manapuak aie di dulang, indak maangok kalua badan, indak
maimbauan busuak ka langau dan ibarat mambuhua indak mangasan.
ØDi
dalam organisasi tidak dikenal istilah Siriah
suruik ka gagangnyo, pinang baliak ka tampuaknyo. Istilah itu terpakai
apobilo ado Sumando taganyuik. Di
dalam organisasi mustahil siriah suruik ka gagangnyo … betapapun canggihnya
kepandaian manusia.
ØIstilah
atau hukum utang piutang dan pagang gadai
di dalam adat harus dipahami. Utang
babaie, piutang batarimo dan dalam pagang gadai gadai pulangnyo batabuih si
penggadai berhak menerima kembali barang yang tergadai sesudah ditebus ke si
pemagang dan si pemagang berhak menerima tebusan dan berkewajiban menyerahkan
barang yang dipagang.
ØAda tiga macam sifat dan kebiasaan
manusia yang perlu kita jauhi dalam
kehidupan sehari-hari : Yang pertama: Hiduik
tangguang jan dipakai. Hiduik tangguang adolah ibarat kayu gadang tangguang
bungkuak, ka bajak indak amuah, ka singka kok ampang amek, ka dapua
kasudahannyo. Yang kedua: Urang nan salalu mancari kasalahan urang lain
sedangkan kesalahan sendiri tidak nampak. Ibarat kato papatah: Si Manan upeh si kauik, baju rancak nan
dipakainyo, kaciak kuman di baliak lauik, salalu tampak di matonyo, tapi arang
kancah laweh tangango, tajarang di tungku ampek, gadang gajah di bawah mato,
jarang bana nan diliek.Yang ketiga: Urang nan indak maharagoi dan indak
tahu batarimo kasih kapado pangabdian pendahulu-pendahulunyo. Bak kato papatah:
Indak ado sikiie nan babungo, antah kok
daun tapak leman, jarang manusia nan mambaleh guno, antah kok tinam-tinaman.
ØHarato
pusako indak dimakan bali, malainkan: rumah
gadang katirihan, maik tabujua di tangah rumah, anak gadih alun balaki.
ØSeorang
pemimpin harus memenuhi kriteria sebagaimana yang dikatakan oleh Nabi SAW,
yaitu : Shiddiq; Benar, Amanah; dipercayai, Tabligh; menyampaikan dan Fathanah;
pintar atau pandai.
ØOrang
yang Gadang daripado bumi dan tinggi
daripado langik, ialah Nan anggan
mancontoh ka nan sudah, indak amuah maambiak tuah ka nan manang, sagan baguru
ka nan tahu, malu batanyo ka nan pandai. Suatu saat akan tiba kesulitan
pada dirinya, sehingga: tacucuak hiduang
baru baraie mato, diatai mako diatun, dirasai makonyo santun.
Ringkasan
Pengalaman Semasa Hidup, beberapa diantaranya :
Mulai
aktif di organisasi PERTI (Persatuan Tarbiyah Islamiyah) yang kemudia
menjadi Partai Islam PERTI. Yaitu aktif sebagai anggota kepanduan
Al-Anshar (1942), Pemuda Perti Kapau, Dewan Penerangan Perti Kapau, Ketua
Anak Cabang Partai Perti Tilatang Kamang, Ketua umum Partai Perti Agam,
Ketua IV DPD Partai Perti Sumbar dan Majelis Pertimbangan Cabang (MPC)
Tarbiyah Agam: 1942-2000
Menjadi
anggota tentara HEIHO setelah lulus tes pada tahun 1943 dan ditugaskan di
Rumah Saki Militer Jepang yang berlokasi di RSUD Dr. Achmad Mochtar
sekarang. Dibawah pimpinan Panglima Tentara Jepang se-Sumatera Letnan
Jenderal Watanabe Murikata yang bermarkas di Kota Bukittinggi: 1943-1945
Terjun
ke kancah Revolusi Kemerdekaan melawan Belanda sebagai anggota Lasjkar
Muslimin Indonesia
(Lasjmi) dan ikut perang gerilya di Padang
dengan markasnya di Belimbing Kuranji : 1946-1947
Sebagai
Komandan Pasukan Mobil Teras (PMT) di Kapau dengan anggota tetap atau
reguler sebanyak 70 orang dan
anggota cadangan lebih kurang 250 orang. Dan pelatih para anggota tersebut
secara militer: 1947-1949
Mengerahkan
dan memimpin lebih kurang 300 (tiga ratus) orang yang terdiri dari pemuda
Kapau menuju Patanangan untuk membebaskan Inyiak Adjo – Wali Perang Kapau
yang ditahan oleh Oknum CPM dan berhasil dibebaskan: 1949
Memperkirakan
akan adanya serangan serdadu Belanda ke pasar Kapau yang ditandai oleh
pesawat capung yang terbang rendah. Penduduk segera diberitahu agar
mengungsi pada hari yang diperkirakan. Perkiraan itu terbukti dengan
datangnya serbuan pasukan Belanda. Lebih kurang 30 orang pemuda pejuang
gugur yang tida mau mengungsi yang berasal dari daerah Tilatang Kamang :
1949
Membangun
kembali benteng pertahanan dan tempat perlindungan, menghadapi perang
gerilya menghadapi Belanda di Ladang Laweh-Kapau : 1948
Menghadiri
Kongres Perti ke 8 tahun 1955 di Jakarta.
Beliau mengabarkan kepada Buya H.Siradjuddin Abbas akan adanya rencama
sejumlah pihak yang ingin menggoyang kedudukannya sebagai pimpinan partai.
Keretakan partai dapat diantisipasi : Agustus 1955
Menyeberang
ke pihak Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) dan menjalin
persahabatan dengan Komandan Kompi B Letnan Satu TNI Djamil di Pos APRI
Balai Panjang : Desember 1958
Menjaga
keberadaan di pihak PRRI dan pihak APRI tanpa menimbulkan kecurigaan pada
kedua belah pihak : 1958-1961
Berperanan
penting sebagai penghubung antara tentara atau anggota PRRI yang akan
menyerah / meletakkan senjata kepada APRI dengan jaminan keamanan tanpa
adanya prosedur yang sulit : 1959-1961
Membebaskan
banyak orang tanpa syarat yang sempat ditahan oleh APRI di Balai Panjang
bila tidak mempunyai kesalahan yang berat : 1959-1961
Ikut
serta dalam operasi militer APRI (pasukan kompi Lettu Djamil) tanpa
menimbulkan kontak senjata yang berarti dengan pasukan PRRI (sebelum
operasi dimulai beliau mengirim pesan supaya pasukan PRRI terlebih dahulu
segera mengundurkan diri) : 1958-1959
Negosiator
permasalahan Banda Tangah yang dihadiri oleh Kolonel Poniman : 1962
Menemui
Letnan Kolonel M.Dahlan Djambek dalam upaya meminta persenjataan dan
amunisi dalam rangka perjuangan menghadapi Belanda, atas perintah beliau
persenjataan diperoleh di Tanjung Alam : 1949
Menemui
Pak Dahlan Djambek guna meminta pengakuan beliau terhadap pembentukan
Pasukan Saga Djantan (PSD) di nagari Kapau dan PSD diakui oleh Pak Dahlan
: Juli 1957
Berhasil
menemukan empat karung padi hasil curian sekelompok maling di Lungguk Muto
IV Angkek. Hasil curian tersebut berasal dari sebuah lumbung padi di Kapau
: 1960
Negosiator
permintaan air bandar /kali dari wilayah Kapau oleh sejumlah pemuka
masyarakat nagari tetangga, Koto Tangah Tilatang Kamang. Perundingan
berakhir dengan damai tapi permintaan tersebut tidak dikabulkan dengan
argumentasi masuk akal dari beliau : 1961
Berupaya
meredakan kemarahan dan melunakkan hati beliau Inyik Candung (Syech
Sulaiman Ar-Rasuly) terhadap Buya H.Siradjuddin Abbas dengan penjelasan
yang dapat diterima oleh beliau Inyik Candung : 1962
Melakukan
konsolidasi dan koordinasi serta mengisi kekosongan pimpinan (Ketua Umum)
partai Perti Kabupaten Agam akibat perpecahan di tubuh partai, dengan
mengakui kepemimpinan pusat partai dengan ketuanya Rusli Halil : 1967
Terpilih
menjadi anggota DPRD-GR Kabupaten Agam, satu dari dua orang utusan Perti
Agam : 1967-1971
Anggota
Panitia Khusus (Pansus) DPRD-GR untuk masalah: pasar Serikat Bukittingi
dan Agam, pembagian PDAM Sungai Tanang dengan Bukittinggi dan Masalah
nagari Jambak dan Sianok dan lain-lain : 1969
Mempelopori
kegiatan Study Tour (studi banding) Anggota DPRD-GR Agam ke Medan dalam
masa reses, rombongan disambut oleh Walikota Medan Drs. Sjoerkani,
meskipun kegiatan pada awalnya ditentang oleh beberapa anggota dewan dan
media masa : 1969
Inisiator
Lobi Politik kepada anggota DPRD-GR Agam dan berhasil, sehingga mengantarkan
Drs. Fahmy Rasjad menjadi Sekda Agam : 1968
Melakukan
lobi dan meyakinkan para Ulama Perti di Agam supaya dapat mengajak kader
Perti untuk berafiliasi ke Golkar dalam menyalurkan hak politiknya.
Terkenal istilah beliau “sakandang
lai sabaun indak” apabila bergabung dengan partai yang sehaluan tapi
berbeda prinsip : 1970
Terpilih
sebagai Wali Nagari Kapau melalui pemilihan langsung yang demokratis,
dengan memperoleh 521 suara mengalahkan dua orang saingan yaitu Abdul
Wahab Intan Batuah (Guru/Pak Gaya) dengan 500 suara dan Slamat S.M yang
mengumpulkan 176 suara : 1975
Diangkat
menjadi Wali Nagari Kapau definitif, berdasarkan Surat Keputusan Gubernur
Sumatera Barat Prof. Drs. Harun Zain, No. 167/GSB/1975 tanggal 13
September 1975
Mengikuti
Rapat Kerja (Raker) Wali Nagari se Sumatera Barat di kantor Gubernur.
Memohon kepada Bpk Harun Zain sebagai Gubernur agar para peserta Raker di
Balai Prajurit yang fasilitasnya kurang memadai dipindahkan. Permohonan
ini dikabulkan segera oleh Gubernur dengan memindahkan semua peserta di
Balai Prajurit ke Hotel Tiga-Tiga :
1976
Menjadikan
12 Jorong yang ada di Kapau menjadi Desa, sehingga penduduk nagari Kapau
yang hanya berpenduduk lebih kurang 3000 jiwa memiliki 12 Desa, meskipun
pada awalnya ditentang oleh beberapa orang masyarakat : 1980
Mempelopori
pembangunan SD Inpres di Parak Maru : 1977
Menyambut
Gubernur Ir Azwar Anas dan Rombongan yang pulang dari kunjungan kerja ke
Kamang. Gubernur dan Rombongan disambut dengan meriah di Pandam Basasak
–Kapau. Meskipun tidak masuk dalam protokoler namun Bapak Gubernur dengan
senang hati bersedia melihat ruangan Sekolah Agama atau MTI dimana
lantainya masih dari tanah. Gubernur membantu 100 zak semen : 1977
Membangun
jembatan di jorong Koto Panalok dan jembatan Paninjauan melalui dana Bantuan Desa (Bandes)
1978/1979 serta memperbaiki seluruh jalan jorong di nagari Kapau yang
rusak : 1978-1979
Mempelopori
Bandes gabungan bersama dengan H.Hashuda Dt Madjo Nan Tuo. Dana Bandes tersebut diambil dari 12 jorong
untuk pembangunan gedung kantor Wali Nagari dan Balai Adat serta ditambah
dana dari perantau (donatur) Bapak H. Hashuda Dt. Madjo Nan Tuo : 1978
Memprakarsai
dan melaksanakan Alek Nagari Batagak Pangulu, Peresmian Balai Adat dan
Peresmian Listrik Masuk Desa yang dilakukan oleh Gubernur Sumbar Ir Azar
Anas : 1980
Memprakarsai
Angkutan Pedesaan MERSI di Kapau, dengan konsekuensi timbul konflik
perebutan lahan antara sopir MERSI dengan sopir PPMT (Perusahaan
Pangangkutan Motor Kamang) yang menyebabkan satu orang korban tewas : 1981
Memberikan
sumbangan fikiran dan tenaga untuk membangun kembali Masjid Jami’k Pandam
Basasak - Kapau 1986-1988 dan pembangunan kembali Surau Sirah Koto Panjang
Hilir - Kapau : 1998
Mempertahankan
MTI Kapau dari upaya gagal total dari orang yang ingin memfitnah
kepemimpinan yang sah di Kepengurusan MTI Kapau dan juga Pimpinan Madrasah
: 1990
Membangun
kampus baru MTI Kapau bersama pengurus yang lain secara bertahap dengan
memanfaatkan dana dari donatur : 1990-2000
Menyumbangkan
pemikiran dan jalan keluar dalam hal penyelesaian sengketa secara damai
antara pengurus KAN
dengan pemilik tanah (suku jambak) bekas tunggul pohon Katapiang. Di atas
tanah tersebut direncanakan akan dibangun Puskesmas Kapau. Atas prakarsa
A. Dt.Bagindo Basa, maka hasil musyawarah menetapkan bahwa tanah tersebut
diakui milik kaum Pasukuan Jambak : 1991
Memprakarsai
hukum adat “Barek bakisa ka nan
ringan, jauah bakisa ka nan ampie” dalam hal pengangkatan penghulu/
ninik mamak secara bersama-sama. Menurut kebiasaan adat lamo pusako usang biayanya satu ekor kerbau untuk satu
orang ninik mamak kaum diganti dengan bentuk iuran yang disepakati
Kerapatan Adat Nagari, kecuali apabila peresmiannya di rumah sendiri.
Sehingga hal ini menjadi preseden yang baik pada pengangkatan pangulu
berikutnya : 1980
Mendirikan
Yayasan Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Kapau bersama dengan lima orang pendiri
lainnya: Haji Muhammad Noer Amin, haji Daiman Sutan Mangkuto, Haji Firdaus
Efendi A.H, Ny. Aisyah dan Ny. Sabidar : 18 Mei 1998
Ketua
Umum Yayasan MTI Kapau, 18 Mei 1998 s/d 22 Mei 2000
Penutup
Kepergian
Papa ke Rahmatullah pada hari Senin 22 Mei 2000 diluar dugaan saya, karena
tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan berupa firasat apapun. Pada malam Kamis
tanggal 17 Mei 2000 kira-kira sehabis maghrib di rumah yang beralamat di dusun
Padang Cantiang Kapau, kami yang kebetulan hanya Papa dan saya yang berada di
rumah sedangkan mak sedang berada di Malaysia ada keperluan keluarga.
Pada waktu itu datanglah dua orang yang mengantarkan surat undangan dengan
sepeda motor, siapa orangnya saya sudah lupa dan saya sendiri yang menerima
surat tersebut yang disodorkannya melalui jendela. Surat tersebut ditujukan
kepada Papa A. Dt Bagindo Basa dan langsung saya berikan ke tangan Papa yang
ketika itu sedang duduk menonton televisi.
Setelah beliau baca ternyata surat
itu berasal dari Camat Tilatang Kamang untuk besoknya hari Kamis tanggal 18 Mei
2000, waktunya sekitar jam 14.00 WIB dengan acara Pertemuan Anggota DPRD
Kabupaten Agam dengan Pemerintahan dan Masyarakat Kapau sehubungan dengar
pendapat perihal PP No.84 Tahun 1999 tentang perubahan batas wilayah kota
Bukittinggi ke sebagian wilayah Kabupaten Agam, termasuk Kapau.
Sekilas saya lihat ekspresi serius
dari wajah Papa dan dengan bersemangat beliau menyatakan hadir dalam pertemuan
tersebut. Saya sendiri sudah menduga apabila berbicara tentang PP tersebut
beliau bersemangat sekali mendukung pelaksanaannya dengan alasan-alasan yang
dapat diterima akal sehat. Dalam kacamata Papa penolakan sebagian orang terhadap PP tersebut patut disesalkan karena proses
politik sudah ditempuh dengan diterimanya rencana perluasan kota Bukittinggi
oleh DPRD Kabupaten Agam sebelum masa reformasi. Untuk sekedar diketahui beliau
sangat antusias mengikuti perkembangan perluasan kota melalui koran dan media
lainnya. Sehingga beliau sempat menggunting berita tersebut dari surat kabar untuk beliau jadikan
kliping.
Beliau menduga penolakan tersebut
disuarakan oleh orang-orang yang tinggal di daerah diluar perluasan kota, yang
beliau sebut “angek tadah daripado cawan”.
Disamping itu ketika Papa pernah menjadi anggota DPRD-GR Kabupaten Agam tahun
1967-1971, beliau tahu persis potensi Kabupaten Agam terutama daerah Agam Timur
atau Agam Tuo adalah daerah minus Sumber Daya Alam. Maka apabila terjadi
perluasan kota akan potensial menjadi daerah maju dari segi peningkatan ekonomi
masyarakat.
Alasan sebagian orang bahwa pengaruh
negatif yang tidak sesuai dengan adat istiadat akan mudah masuk ditepis oleh
beliau dengan alasan; “Semua dapat
dibentengi dengan kelembagaan adat nagari yang kuat dan sistem kemasyarakatan
yang sudah ada turun temurun, bukan yang ada seperti sekarang ini. Dan ini bisa
terbentuk hanya oleh adanya kemauan dari masyarakat Kapau dan pemimpinnya”.
Hari Kamis pagi kira-kira jam 09.00
WIB tanggal 18 Mei 2000, Dengan bersepeda Papa pergi ke rumah Kepala Desa
Sidang Induring guna membayar rekening listrik. Setelah membayar rekening listrik beliau kembali
pulang, beberapa puluh meter menjelang sampai kembali ke rumah mendadak beliau
pusing kepala seolah bumi berputar. Setiba di rumah beliau menceritakan
kejadian ini kepada saya. Saya menyarankan apabila beliau pergi rapat nanti ke
Pakan Kamis janganlah bersepeda dan beliau menyetujui. Sedikitpun tidak ada
firasat saya akan terjadi sesuatu terhadap beliau. Setelah itu saya berangkat
ke Bukittinggi untuk mengikuti Kursus atau Les Bahasa Inggris di BCC
Bukittinggi dan pulang kira-kira jam 16.00 WIB.
Sekitar jam 14.00 WIB Papa sampai di
Pakan Kamis guna menghadiri pertemuan. Kira-kira acara dimulai jam 14 30 atau
15.00 WIB. Hadir pada saat itu utusan dari kenagarian Kapau yaitu tiga orang
Kepala Desa dan beberapa Tokoh masyarakat Kapau lainnya. Dalam acara tersebut
beliau mendapat kesempatan berbicara sebagai peserta dan mengemukakan pendapat
yang merupakan pendirian beliau mendukung pemberlakuan PP.No.84 Tahun 1999
dengan memberikan alasan-alasan yang relevan dan bertujuan demi kemajuan
masyarakat.
Begitulah, kemudian ada pula peserta lain yang ikut berbicara menolak
PP.No.84 Tahun 1999 dengan alasan-alannya pula. Sehingga dalam pertemuan itu
terjadi perdebatan dengan argumentasi masing-masing dan bertahan dengan sikap
yang diyakininya benar, sehingga tidak menghasilkan titik temu dan keputusan
yang diharapkan.
Dengan kondisi seperti itu
barangkali merupakan memberatkan
fikiranbagi Papa. Sebenarnya beliau telah terbiasa menghadapi
kondisi dan situasi seperti itu, tapi sayang Papa kebetulan mengidap penyakit
darah tinggi, sehingga beliau merasakan pusing dan bersandar di kursi seolah-olah
tertidur. Tak seorang pun hadirin yang menyadari karena semua menduga beliau
tertidur, padahal dalam setiap rapat apapun beliau tidak pernah mengantuk
apalagi tertidur. Setelah rapat usai barulah hadirin menyadari bahwa beliau
sebenarnya pingsan atau tak sadarkan diri, sehingga beliau dibawa ke ruangan
Camat.
Saya pulang dari Les Bahasa Inggris
pada sore hari kira-kira pukul 16.00 (4 sore). Sekitar setengah jam kemudian
datang sebuah mobil kijang memasuki halaman rumah, waktu itu saya sedang menyapu
sampah di halaman samping
rumah. Seorang penumpang keluar dari dalam mobil dan ternyata adalah
uni Emi Iskandar yang langsung mengabarkan bahwa Papa dalam keadaan tidak sadar
dan sekarang masih berada di
kantor Camat. Saya juga agak terkejut tapi tanpa pikir panjang dan setelah
ganti pakaian saya segera menumpang ke mobil
dan kembali menuju kantor Camat di Pakan Kamis.
Setiba di kantor Camat saya
mendapati Papa terbaring di kursi sofa ruangan Camat dan sedang dikelilingi pak
Camat dan beberapa pegawai dan orang-orang lainnya. Melihat kedatangan saya
beliau masih sempat mengucapkan kata-kata tapi tidak jelas karena lidah beliau
nampaknya sudah kelu. Saya tidak mampu harus berbuat apa, tanpa banyak bicara
saya langsung meminta supaya beliau segera di bawa ke rumah sakit umum.
Papa dibawa dengan mobil ambulan
langsung ke bagian UGD Rumah Sakit Umum Achmad Mochtar (RSAM) Bukittinggi.
Setelah diperiksa di UGD diketahui bahwa beliau terserang Stroke yang cukup
parah dan tekanan darah mencapai 280. Keadaan beliau antara sadar dan tidak,
namun beberapa menit kemudian tidak sadarkan diri. Dari UGD beliau dipindahkan
ke ruangan penyakit syaraf, karena ruangan penuh maka akhirnya dibawa ke
ruangan penyakit jantung dan dirawat selama dua malam. Karena tidak mengalami
perkembangan pada hari Sabtu sore beliau dipindahkan ke ruangan ICCU. Selama
berada di ICCU kondisi beliau tetap tidak sadar atau koma.
Pukul 04.30 pagi Senin 22 Mei 2000
Papa menghembuskan nafas terakhir menghadap Allah Swt. Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Raaji’uun. Meninggalnya Papa menjadi beban
berat bagi saya tapi saya menyadari sepenuhnya bahwa ini Kehendak Allah Swt, di
luar kemampuan kita sebagai makhluk-Nya untuk menolak takdir yang sudah
digariskan. Dan saya tidak ingin mengaitkan dengan sebab akibat yang
dicari-cari yang justru kan mengurangi keimanan kita.
Tapi yang menjadi catatan penting
bagi saya adalah pendirian beliau dalam
suatu hal berdasarkan pemikiran yang matang. Mustahil beliau akan rela membawa
masyarakat atau nagari ke dalam jurang kesulitan. Karena justru selama masa
perjuangan fisik, Agresi Belanda dan PRRI beliau menjadi ujung tombak
penyelamat nagari dan masyarakatnya dari kesulitan dan kehancuran. Semua itu
diakui oleh kawan maupun lawan. Sangat sulit mencari orang yang mempunyai
kemampuan seperti beliau, sehingga tidak berlebihanlah kiranya orang
mengatakan: “Telah padam pelita di nagari
Kapau”.