Bahwa latar belakang seseorang, dalam hal ini pemuka agama atau seseorang yg religiusitasnya tak
dipertanyakan lagi, tidak perlu dipersoalkan apabila dia berpolitik, karena agama tidak hanya mengatur pribadi/makhluk (Hamba Allah) dengan Sang Khalik, tapi
juga mengatur hubungan sesama manusia dengan pemimpinnya, disini hendaklah
terjadi keseimbangan, apabila dia jadi pemimpin, ketika dia taat kepada Tuhan
sesuai aturan-Nya, maka otomatis dia akan menjalankan kekuasaannya dengan
tidak melanggar aturan Tuhan itu sendiri dan juga aturan manusia demi
kemaslahatan bersama.
Seorang sahabat pernah meminta jabatan kepada Nabi SAW, tapi beliau tidak mau memberikan jabatan tersebut karena beliau tahu bahwa sahabat tersebut tidak akan mampu mengemban amanah, meskipun mampu sekalipun karena sahabat beliau tersebut meminta maka beliau tidak memberikan jabatan yang diminta, hal ini ada hikmahnya apabila seseorang minta jabatan (berambisi terhadap suatu jabatan) maka Allah tidak akan menolong dia dalam jabatan tersebut melainkan dia sendiri yang menolong dirinya sendiri.
Kita hidup di negara demokrasi seperti Indonesia maka aturan positifnya tentu harus kita ikuti sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip keadilan, namun dalam hal ini alangkah lebih baik mekanisme di partai politik mencontoh seperti kisah diatas, semua kader tidak mengajukan diri tapi diajukan pengurus atau masyarakat atau tokoh masyarakat di daerahnya karena amanah dan ketokohannya, bukan karena isi dompetnya. Bagaimanapun seorang kader tersebut harus siap, kalaupun tidak toh tidak mengapa karena harus dihormati juga yang bersangkutan itu utk memilih, tapi apabila setiap kader telah diamanahkan maka dia harus siap menerimanya, tibo di mato indak dipiciangkan, tibo di paruik indak dikampih an, karena hanya bila telah memenuhi syarat pada dirinya yaitu siddiq-benar, amanah-dipercayai, fathanah-berilmu dan tabligh-menyampaikan, tapi bila dengan segala cara maka ini yang tidak boleh karena bisa mengarah ke politik uang yang jelas tidak dibenarkan.
Ada cerita menarik pada zaman khalifah Umar bin Khattab, meskipun tidak diajarkan secara tekstual dalam agama namun Amirul Mu'minin Umar bin Khattab RA mengajarkan sistim Syuro yg sekarang diadopsi oleh partai-partai Islam. Setelah beliau ditikam dan sebelum ajal menjemput, dikumpulkanlah para sahabat utama yang akan menggantikan beliau nantinya, tapi beliau tdk mengizinkan putranya sendiri Abdullah untuk ikut serta, sehingga kemudian diadakan musyawarah dan terpilihlah Usman bin Affan sebagai khalifah. Meskipun pada saat itu belum dikenal pemilihan langsung oleh rakyat seperti sekarang tapi prinsip musyawarah dalam menentukan sesuatu sudah tidak asing bagi kita sekarang, apa yang baik di zaman dahulu tidak salah kita terapkan sekarang, lain dahulu lain sekarang seperti yang dikatakan pak Zulkifli Zul, memang betul, zamannya sudah beda tapi nilai dan semangatnya tetap sama.
(diambil dari status dan komentar saya dalam Grup Facebook : GERAKAN PEMILIH CERDAS )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar