Minggu, 13 Desember 2015

Sikap Golongan Golongan Syiah Terhadap Sahabat Rasulullah SAW



Dakwatuna.com – Syiah tidak semuanya sesat dan tidak semuanya kafir. Sebelumnya telah didedahkan bahwa syiah yang kafir sebagaimana kesepakatan semua ulama (Sunni, Mu’tazilah, syiah Zaidiah dan Imamiah) adalah syiah Ismailiah Batiniah. Adapun syiah Zaidiah adalah syiah yang paling dekat dengan Sunni, ulama Ahlu Sunnah berbeda tanggapan dan pandangan terhadap syiah Imamiah atau sering disebut sebagai syiah imam 12.

Syiah lebih awal menyesatkan dan mengkafirkan Ahlu Sunni, sehingga menjadi perkara yang wajar kalau sebahagian ulama mengatakan bahwa syiah imamiah adalah kafir atau sekurang-kurangnya mereka sesat, ini disebabkan karena syiah Imamiah Itsna’Asyariah sendiri yang menyesatkan dan mengkafirkan para sahabat Rasulullah saw, seperti Abu Bakar, Umar dan Usman. Mereka menzahirkan laknat kepada para sahabat tersebut baik dalam doa saat ziarah maqam imam Husain, atau dalam banyak karya-karya ulama mereka yang dipenuhi dengan cacian dan makian kepada orang-orang yang berada di sekeliling Nabi saw, dan hanya sedikit sahaja yang mereka tidak kafirkan yaitu: Ali, Ammar, Miqdad dan Salman.

Pandangan “Pengkafiran Sahabat” merupakan hal yang melampau dan negatif. Dan pandangan ini seakan-akan dijadikan pijakan dasar ajaran Syiah. Sikap mereka itu adalah warisan dendam teori politik mereka yang meyakini bahwa Rasulullah saw telah berwasiat jika beliau wafat maka Ali bin Abi Talib adalah pengganti beliau. Akan tetapi para sahabat menyembunyikan wasiat ini dan mereka merampas hak Ali ini secara zalim dan terang-terangan. Para sahabat telah berkhianat terhadap wasiat yang Rasulullah saw perkatakan dan sampaikan kepada Ali pada perhimpunan umum yang dikenal sebagai “Hadis Ghadir Khum”, yaitu:

“مَنْ كُنْتُ مَوْلاَهُ فَعَلِيٌّ مَوْلاَهُ”

Peristiwa ini semakin populer karena dijadikan oleh syiah Imamiah sebagai landasan teori kepimpinan “imamah”. Gambar berikut adalah salah satu setem negara Iran bertuliskan Hadis Ghadir Khum.
Apapun halnya, Ahlu Sunnah sepakat tentang kejujuran, keikhlasan empat khalifah, Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali. Namun bagi Syiah, ketiga khalifah sebelum Ali telah melakukan kesalahan besar. Oleh karena itu Syiah Imamiah dan Syiah Isma’iliyah bersepakat dalam satu pandangan tegas bahwa para khalifah dan sahabat telah melakukan pengkhianatan dalam perpolitikan Islam. Sebab mereka menyalahi wasiat Nabi saw –menurut klaim mereka- yang menentukan dan menyerahkan kepimpinan (imamah) untuk Ali bin Thalib dan anak-anaknya setelah kematian beliau. Atas dasar ini, Syiah Imamiah dan Syiah Isma’iliah mengecam, mencerca para sahabat dengan cercaan yang sangat buruk, dengan menuduh mereka telah melakukan sabotase, kedustaan, kezaliman dan pengkhianatan yang tiada taranya dalam sejarah politik Islam, oleh karena itu para sahabat telah murtad dan kafir.[1]

Seorang ulama Syiah Isma’iliah bernama Hamiduddin al-Karamani secara terang-terangan mengatakan: “jika Ali shalawatuulah ‘alaih adalah imam berdasarkan penentuan “nash” dari Rasulullah saw, maka pengklaiman orang yang selainnya terhadap imamah, serta keengganannya untuk melantiknya menjadi imam, mengikuti dan menaatinya adalah perbuatan melawan Allah dan Rasul-Nya saw, dan ini merupakan suatu perbuatan kezaliman dan perlawanan terhadap agama”[2].

Berdasarkan ini, maka Syiah Isma’iliyah bathiniah berkata bahwa tidak ada penentuan nash dari Allah dan Rasulullah saw bagi penentuan Abu bakar ash-Shiddiq ra. Dia tidak suci dan tidak tersucikan. Dia hanyalah seorang hamba dan pemuja berhala. Dan dia tidak bersih, karena dia pernah meminum minuman keras pada masa jahiliyah. Sebagai kebalikannya mereka berkata: jika Ali adalah seorang yang adil, penyayang, dan memiliki pengetahuan mengenai qadha dan ta`wil, perkara halal dan haram, maka dia termasuk orang-orang yang pertama masuk Islam, yang tidak pernah menyembah berhala, tidak pernah meminum minuman keras, dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya, serta ditentukan kepimpinannya langsung dari Allah dan Rasul-Nya”[3].

Dalam kitab “Zahru al-Ma’ani” karangan ad-Da’i Idris Imaduddin dipaparkan: “manakala Muhammad saw merupakan penyempurna bagi para nabi yang sebelumnya, maka pada masa risalahnya terkumpul musuh-musuh yang besar dan tangguh. Sebagaimana yang difirmankan oleh Allah taala:

(وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوّاً مِّنَ الْمُجْرِمِينَ وَكَفَى بِرَبِّكَ هَادِياً وَنَصِيراً) الفرقان: 31
“Dan seperti itulah, telah Kami adakan bagi tiap-tiap nabi, musuh dari (kalangan) orang-orang yang berdosa”.(QS.al-Furqan: 31).

Di antara musuh Nabi Muhammad adalah Abu Lahab. Dan Abdul Muththalib merasa takabur manakala kemuliaan mulai nampak pada diri Muhammad, dan dia bermaksiat sebagaimana kemaksiatan al-Harts bin Murrah, sikapnya semakin keras dan takabur. Para pendukungnya pada kemaksiatan tersebut adalah Abu Jahal bin Hisyam, Ibnu Abi Qahafah (Abu Bakar), dan Ibnul Khaththab. Dia bagaikan tangan setan untuk Abu Jahal yang lemah, dan dia bagaikan tangan Utaiq. Dan Umar adalah seorang yang perkasa, maka mereka berbuat kemakaran, kekafiran, kekerasan, kesombongan, mereka rubah dan rusak syariat Islam”[4].

Dari teks ini dapat dilihat dengan jelas bahwa mereka mengategorikan Abu Bakar ra dan Umar bin Khaththab ra sebagai orang-orang kafir, zalim, dan perusak agama Islam. Dan mereka kategorikan keduanya sederajat dengan Abu lahab dan pembesar musyrik yang lainnya.
Sedangkan mengenai sikap Syiah Isma’iliyah terhadap sahabat Rasulullah saw yang lain, maka hal ini dapat dilihat dengan jelas melalui ta`wil atau penafsiran seorang ulamanya yang bernama Idris Imaduddin terhadap firman Allah swt:

(وَكَانَ فِي الْمَدِينَةِ تِسْعَةُ رَهْطٍ يُفْسِدُونَ فِي الْأَرْضِ وَلَا يُصْلِحُونَ) النمل: 48
“Dan adalah di kota itu, sembilan orang laki-laki yang membuat kerusakan di muka bumi, dan mereka tidak berbuat kebaikan”. (QS. An-Naml:48).

Dia berpendapat bahwa yang dimaksud dengan sembilan orang ini adalah: Utaiq, Ibnu al-Dhahhak, Ibnu Affan, Thalhah, az-Zubair, Sa’ad, Abdurrahman bin Auf, dan Abu Ubaidah bin al-Jarrah. Mereka inilah yang merusak ajaran syariah Islam, dan tidak membuat kebaikan. Dan mereka menampakkan peperangan dengan amirul mukminin (Ali), maka mereka mengalami kerugian di dunia tanpa mendapatkan keuntungan”[5].

Seperti itulah pandangan mereka terhadap komunitas sahabat Nabi saw. Mereka anggap mereka semua melakukan konspirasi, yang tidak terlepas dari penyelewengan dan penyimpangan agama. Kecuali dua belas orang sahabat, yang mereka itu adalah –ditambah dengan Ali- Ammu al-‘Abbas, al-Fadhl, Sahal bin Hanif, Salman al-Farisi, Abu Dzarr al-Ghiffari, al-Miqdad bin Amru, Ammar bin Yasir, Jabir bin Abdullah, al-Barra` bin Azib, Ubay bin Ka’ab, Khalid bin Sa’id, dan Abu Ayyub al-Anshari.

Sedangkan para sahabat yang selain dua belas orang ini mereka hanyalah sekedar mafia, yang menampakkan loyalitas kepada Rasulullah saw dengan menyembunyikan tipu daya mereka. Mereka menyatakan ketaatan mereka, sedangkan mereka selalu menunggu hari yang menyaksikan kematian Rasulullah saw untuk mereka rebut singgasana darinya. Dan mereka rebut kekuasaan dari para keturunannya, atau yang lebih tepatnya adalah keturunan Fathimah az-Zahra ra. Dan berdasarkan dari keyakinan ini, maka pelaknatan dan pencacian sahabat Rasulullah dalam pemikiran Syiah Isma’iliyah bathiniah merupakan ajang ibadah untuk mereka mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla, karena –dalam bayangan mereka- para sahabat telah merampas singgasana khilafah.

Hal yang sama di atas, dilakukan juga oleh Syiah Imamiah. Dalam berbagai kitab-kitab dan penulisan, ditemui banyak ucapan-ucapan kafir, laknat, cacian, dan makian yang ditujukan kepada para sahabat Rasulullah saw. Sebagai contoh, Al-Kulaini dalam kitabnya “Ushul al-Kafi” telah meriwayatkan dari Abdullah as, ia berkata: “aku mendengar ia berkata: “tiga jenis manusia yang tidak diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat, mereka tidak disucikan, dan mereka mendapatkan azab yang pedih, adalah: orang yang mengklaim kepimpinan (imamah) dari Allah sedangkan itu bukanlah miliknya, orang yang menolak imam yang telah ditentukan dari Allah, dan orang yang mengklaim bahwa keduanya memiliki bagian dalam Islam”[6]. Yang mereka maksud dengan keduanya adalah Abu Bakar ra dan Umar ra.

Di tempat yang lain, ulama hadits imamiah ini meriwayatkan dari Abdullah mengenai firman Allah Azza wa Jalla:

(إِنَّ الَّذِينَ آمَنُواْ ثُمَّ كَفَرُواْ ثُمَّ آمَنُواْ ثُمَّ كَفَرُواْ ثُمَّ ازْدَادُواْ كُفْراً لَّمْ يَكُنِ اللّهُ لِيَغْفِرَ لَهُمْ وَلاَ لِيَهْدِيَهُمْ سَبِيلاً) النساء: 137
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman kemudian kafir, kemudian beriman (pula), kemudian kafir lagi, kemudian bertambah kekafirannya, maka sekali-kali Allah tidak akan memberi ampunan kepada mereka, dan tidak (pula) menunjuki mereka kepada jalan yang lurus”. (QS.an-Nisaa: 137).

Dia berkata: ayat ini diturunkan untuk membicarakan si Fulan[7], si Fulan[8], dan si Fulan[9]. Pada mulanya mereka itu beriman kepada Nabi saw, lalu mereka kafir manakala ditawarkan kekuasaan kepada mereka, manakala Nabi saw bersabda: “ barang siapa yang menjadikan aku sebagai penguasanya maka Ali menjadi penguasanya”. Kemudian mereka beriman dengan pembaitan Amirul mukminin, kemudian mereka kafir manakala Rasulullah saw meninggal dunia, dan mereka tidak mengakui pembaiatan Rasulullah -terhadap Ali-, kemudian kekafiran mereka bertambah manakala mereka mengakui pembaiatan orang yang membaiat mereka, maka mereka itu sama sekali tidak tersisa keimanan dalam diri mereka”[10].

Sebagai catatan penting dari salasilah imamah bahwa semua golongan Syiah -Zaidiah, Imamiah dan Isma’iliah- dengan berbagai perselisihannya bersepakat mengenai tiga imam: Ali bin Abi Thalib, Hasan, dan Husain. Dan perselisihan pada kepimpinan Ali Zainal Abidin, bagi Syiah imamiah dan Syiah Isma’iliah ianya dianggap sebagai imam, akan tetapi bagi Syiah Zaidiah dia bukanlah imam, karena dia mengutamakan taqiyah dibandingkan khuruj (revolusi). Oleh karena itu, Syiah Zaidiyah menganggapnya sebagai imam ilmu (rujukan keilmuan) bukan imam dakwah (pemimpin). Oleh karena itu, dalam mayoritas kitab-kitab Syiah Zaidiah, Ali Zainal Abidin tidak dimasukkan ke dalam silsilah imam-imam Zaidiah, dan dia dibelakangkan dibandingkan Hasan al-Matsna Ibnu al-Hasan as-Sabth.

Syiah Imamiah dan Syiah Isma’iliah bersepakat untuk membatasi kepimpinan (imamah) hanya pada keturunan Husain saja. Sedangkan Syiah Zadiyah tidak demikian, sebab mereka mengakui kepimpinan keturunan dari Hasan dan Husain, tanpa membedakan di antara keduanya dengan syarat harus melakukan khuruj (revolusi). Dan ketiga golongan Syiah –Zaidiah, Imamiah, Isma’iliah- bersepakat bahwa selain keturunan Hasan dan Husain tidak layak dijadikan imam.

Para imam Syiah Imamiah dan Syiah Isma’iliyah telah ditentukan secara “nash jali” dengan disebutkan jelas nama dan sifatnya, dari imam yang pertama sampai imam yang terakhir bagi masing-masing golongan. Karena setiap imam akan menentukan imam yang akan menggantikannya secara berantai. Oleh karena itu Hamiduddin al-Karamani al-Bathini berkata: “silsilah kepimpinan (imamah) mereka adalah tetap, diakui ataupun tidak diakui oleh orang” [11].

Sedangkan para imam Syiah Zaidiyah setelah tiga imam – Ali bin Abi Thalib, Hasan, dan Husain- ditetapkan dengan cara dakwah bukan dengan ketentuan “nash” seperti yang tradisi Syiah Imamiah dan Syiah Isama’iliah.

Semua golongan-golongan Syiah tanpa kecuali (Zaidiah, Imamiah, Isma’iliah) sepakat bahwa Nabi bertanggung jawab penuh menyelesaikan permasalahan kepimpinan ini. Hal ini disebabkan karena kepimpinan (imamah) telah dinyatakan, ditetapkan dan ditentukan secara langsung oleh Rasulullah saw terhadap pengangkatan kepimpinan Ali, Hasan, dan Husain dalam peristiwa Ghadir Kham.

Berdasarkan teori penentuan “nash” yang telah dijelaskan di atas, di mana setiap golongan Syiah memiliki pandangan tersendiri tentang “nash”, maka sebagai suatu yang alami timbul berbagai percanggahan di antara mereka dalam kepimpinan politik dengan silsilah yang berlainan. Setiap golongan akan menisbahkan kepimpinannya masing-masing, dan tidak akan mengakui kepimpinan golongan lain. Bahkan persoalan politik ini akan menimbulkan percanggahan akidah. Sebab hal agama bergantung kepada pandangan seorang imam, sehingga masing-masing golongan akan mendengar pandangan imamnya. Efek negatif dari perselisihan ini akan melahirkan di antara mereka sifat saling menuduh bahwa golongan yang lain telah melakukan kedustaan dan telah melakukan kesesatan. Bahkan akan saling mengkafirkan. Ini akibat dari perbedaan mereka mengenai konteks imamah.

Ada satu hal yang sangat berbahaya dalam masalah penentuan “nash”, yaitu mengenai sikap Syiah Imamiah dan Syiah Isma’iliyah terhadap kepimpinan (imamah) para sahabat, di mana mereka menuduh para sahabat dengan tuduhan yang tidak dapat diterima, seperti tuduhan bahwasanya para sahabat tidak adil, khianat, pendusta dan sebagainya. Tuduhan ini sangat berbahaya, sebab akan menimbulkan suatu keragu-raguan terhadap agama, karena para sahabat tersebutlah yang telah meriwayatkan hadits-hadits Nabi saw. Dan inilah yang dimaksudkan oleh orang-orang yang melakukan propaganda mengenai nash imamah dan sifat ma’shum imam. Karena manakala timbul keraguan dalam diri kaum muslimin terhadap para sahabat dalam agama mereka, maka keraguan terhadap apa yang mereka riwayatkan dari Rasulullah saw lebih besar lagi.

Dan dengan rasa keraguan ini hilanglah kewibawaan agama dari dalam diri manusia. karena tidak ada periwayat yang jujur, dan tidak ada riwayat yang dapat dipercayai. Dari celah ini, maka kelompok rafidhah dari Syiah Imamiah dan Syiah Isma’iliyah dapat menyebarkan racun mereka dalam barisan kaum muslimin, yang membuat mereka selalu memiliki rasa keraguan terhadap kaum muslimin terdahulu serta agama Islam[12].

Berikut nuqilan-nuqilan sumber ajaran Syiah yang termaktub dalam kitab mereka yang mengkafirkan para sahabat:

عَنْ أَبِي جَعْفَرٍ (عليه السلام) قَالَ كَانَ النَّاسُ أَهْلَ رِدَّةٍ بَعْدَ النَّبِيِّ (صلى الله عليه وآله) إِلَّا ثَلَاثَةً فَقُلْتُ وَمَنِ الثَّلَاثَةُ؟ فَقَالَ: الْمِقْدَادُ بْنُ الْأَسْوَدِ وَ أَبُو ذَرٍّ الْغِفَارِيُّ وَ سَلْمَانُ الْفَارِسِيُّ رَحْمَةُ اللَّهِ وَ بَرَكَاتُهُ عَلَيْهِمْ
Dari Abu Ja’far ‘alaihis-salaam, ia berkata: “Orang-orang (yaitu para sahabat – Abul-Jauzaa’) menjadi murtad sepeninggal Nabi saw kecuali tiga orang”. Aku (perawi) berkata: “Siapakah tiga orang tersebut ?” Abu Ja’far menjawab: “Al-Miqdaad, Abu Dzarr Al-Ghiffaariy, dan Salmaan Al-Faarisiy rahimahullah wa barakaatuhu ‘alaihim …” [13].

Riwayat syiah lain mengesahkan bahwa hanya ada 7 sahabat yang terselamat dan tidak tergolong kafir, seperti riwayat berikut:
 
عَنْ أَبِي عَبْدِ اللهِ عَلَيْهِ السَّلاَم قَالَ: … وَاللهِ هَلَكُوْا إِلاَّ ثَلاَثَةُ نَفَرٍ: سَلْمَان الفَارِسِي، وَأَبُوْ ذَر، وَالْمِقْدَاد وَلَحِقَهُمْ عَمَّار، وَأَبُو سَاسَان الأَنْصَارِي، وَحُذَيْفَة، وَأَبُو عَمَرَة فَصَارُوا سَبْعَةً
Dari Abu ‘Abdillah ‘alaihis-salaam, ia berkata: “…….Demi Allah, mereka (para sahabat) telah binasa kecuali tiga orang: Salmaan Al-Faarisi, Abu Dzarr, dan Al-Miqdaad. Dan kemudian menyusul mereka ‘Ammaar, Abu Saasaan, Hudzaifah, dan Abu ‘Amarah sehingga jumlah mereka menjadi tujuh orang” [14].

عَنْ أَبِي بَصِيرٍ عَنْ أَحَدِهِمَا عليهما السلام قَالَ إِنَّ أَهْلَ مَكَّةَ لَيَكْفُرُونَ بِاللَّهِ جَهْرَةً وَ إِنَّ أَهْلَ الْمَدِينَةِ أَخْبَثُ مِنْ أَهْلِ مَكَّةَ أَخْبَثُ مِنْهُمْ سَبْعِينَ ضِعْفاً .
Dari Abu Bashiir, dari salah seorang dari dua imam ‘alaihimas-salaam, ia berkata: “Sesungguhnya penduduk Mekah kafir kepada Allah secara terang-terangan. Dan penduduk Madinah lebih busuk/jelek daripada penduduk Mekah 70 kali” [15].
Shekh Al-Mufid berkata:

اِتَّفَقَتِ الإِمَامِيَّةُ عَلَى أَنَّ مَنْ أَنْكَرَ إِمَامَةَ أَحَدٍ مِنَ الأَئِمَّةِ وَجَحَدَ مَا أَوْجَبَهُ اللهُ تَعَالَى لَهُ مِنَ فَرْضِ الطَّاعَةِ فَهُوَ كَافِرٌ ضَالٌّ مُسْتَحِقٌّ لِلْخَلوْدِ فيِ النَّارِ
“Madzhab Imamiyyah telah bersepakat bahwa siapa saja yang mengingkari imamah salah seorang di antara para imam, dan mengingkari apa yang telah Allah ta’ala wajibkan padanya tentang kewajiban taat, maka ia kafir lagi sesat, dan berhak atas kekekalan di neraka” [16].

Shekh Yusuf Al-Bahraani berkata:

إِنَّ إِطْلاَقَ الْمُسْلِمِ عَلَى النَّاصِبِ وَأَنَّهُ لاَ يَجُوْزُ أَخْذُ مَالِهِ مِنْ حَيْثُ الإِسْلاَمِ خِلَافُ مَا عَلَيْهِ الطَّائِفَةُ الْمُحِقَّةُ سَلَفًا وَخَلَفًا مِنَ الْحُكْمِ بِكُفْرِ النَّاصِبِ وَنَجَاسَتِهِ وَجَوَازِ أَخْذِ مَالِهِ بَلْ قَتْلِهِ
“Sesungguhnya pemutlakan muslim terhadap Naashib, bahwa tidak diperbolehkan mengambil hartanya dengan sebab Islam (telah melarangnya), menyalahi apa yang dipahami oleh kelompok yang benar (Syiah Imamiah) baik dulu maupun sekarang (salaf dan khalaf) tentang hukum kafirnya Naashib , kenajisannya, dan diperbolehkannya mengambil hartanya, bahkan membunuhnya” [17].

Istilah “Nashiib” adalah gelaran bagi Ahlu Sunnah wal Jamaah yang dilekatkan oleh Syiah Imamiah.
Bahkan dalam doa yang selalu dibacakan oleh penganut syiah Imamiah dan diulang-ulang adalah doa kutukan khas terhadap Abu Bakar dan Umar dikenal sebagai (دعاء صنمي قريش) bermaksud Doa dua Berhala Quraisy, dan doa inilah yang selalu diucapkan dan digalakkan pembacaannya pada peringatan hari “Asyuraa” seperti berikut:

(اَللَّهُمَّ ألْعَنْ صَنَمَى قُرَيْشٍ وَجِبْتَيْهَا وَطَاغُوْتَيْهِمَا وَإِفْكَيْهَا وَابْنَتَيْهَا اللَّذِيْنَ خَالَفَا أَمْرَكَ، وَأَنْكَرَا وَحْيَكَ، وَجَحَدَا نِعَامَكَ وَعَصَيَا رَسُوْلَكَ، وَقَلَّبَا دِيْنَكَ، وَحَرَّفَا كِتَابَكَ وَأَحَبَّا أَعْدَائَكَ وَجَحَدَا آلاَءَكَ وَعَطَّلاَ أَحْكَامَكَ، وَأَبْطَلاَ فَرَائِضَكَ وَأَلْحَدَا فِي آيَاتِكَ، وَعَادَيَا أَوْلِيَائَكَ وَوَالَيَا أَعْدَائَكَ وَحَرَبَا بِلاَدَكَ، وَأَفْسَدَ عَبَادَكَ، اَللَّهُمَّ أَلْعِنْهُمَا وَأَتْبَاعَهُمَا وَأَوْلِيَاءَهُمْ وَأَشْيَاعَهُمَا)
“Ya Allah, laknatlah dua berhala Quraisy, dua jibt (penyihir)nya, dua thogutnya, dua pendustanya, serta dua putri mereka, mereka berdua menyalahi perintahMu dan mengingkari wahyuMu, dan menentang nikmatMu, dan menyalahi Rasul-Mu, dan memutar-balikkan agamaMu, dan mengubah kitabMu, dan mencintai musuh-musuhMu, dan menentang nikmat-nikmatMu, dan mengacuhkan hukum-hukumMu, dan membatalkan kewajiban-kewajibanmu, dan menyimpang dari ayat-ayatMu, dan memusuhi wali-waliMu, dan membela musuh-musuhMu, dan memerangi negeriMu, dan merusak hamba-hambaMu… Ya Allah, laknatlah mereka dan pengikut mereka berdua dan pembela-pembela mereka, dan kelompok mereka” [18].

Dalam kitab “Mafatih Al-Jinan”, disebutkan sebuah doa laknat bagi sahabat terutama khalifah pertama Abu Bakar Sidiq. Doa tersebut dikenal dengan “Doa Ziarah ‘Asyura” dan dibaca 100 kali:

(اللهُمَّ الْعَنْ أوّلَ ظَالِمٍ ظَلَمَ حَقَّ مُحَمَّد وَآلِ مُحَمَّد وَآخِرَ تَابِعٍ لَهُ عَلَى ذَلِكَ، اللَّهُمَّ الْعَنْ العِصَابَةَ الَّتِي جَاهَدَت الْحُسَيْن عَلَيْه السلاَمُ وَشَايَعَتْ وَبَايَعَتْ وَتَابَعَتْ عَلَى قَتْلِهِ، اللهُمَّ الْعَنْهُمْ جَميعاً)
“Ya Allah, Laknatlah orang pertama –Abu Bakar- yang menzalimi hak Nabi Muhammad dan keluarganya dan orang terakhir yang mengikutinya atas sikap zalim ini, … Ya Allah laknatlah sekelompok orang yang telah memerangi Husein as. Serta yang telah berkumpul, berjanji, dan ikut serta dalam membunuh Husein, Ya Allah laknatlah mereka semuanya “[19].

نَقَلَ الْكِشِي أَنَّ الْكُمَيْتَ بِن زَيْدٍ سَأَلَ أَبَا جَعْفَرٍ عَنِ الشَّيْخَيْنِ، فَقَالَ: “يَا كُمَيْتَ بْن ِزَيْدٍ، مَا أُهْرِيْق فِي الِإْسلاَم مَحْجَمَةُ دَمٍ، وَلاَ اكْتُسِبَ مَالٌ مِنْ غَيْرِ حِلِّهِ، وَلاَ نُكِحَ فَرْجُ حَرَامٍ؛ إِلاَّ وَذَلِكَ فِي أَعْنَاقِهِمَا إِلَى يَوْمٍ يَقُوْمُ قَائِمُنَا، وَنَحْنُ مَعَاشِرَ بَنِي َهاشِمٍ نَأْمُرُ كِبَارِنَا وَصِغَارَنَا بِسَبِّهِمَا، وَالْبَرَاءَةُ مِنْهُمَا”
Al-Kisyi menyebutkan, bahwa Al-Kumait bin Zaid suatu hari bertanya kepada Abu Ja’far (Al-Baqir) tentang dua syaikh, beliau berkata, “wahai Kumait bin Zaid, tidaklah darah ditumpahkan dalam Islam, dan tidaklah harta diambil dengan cara tidak halal, dan tidaklah terjadi pernikahan haram (zina), kecuali (dosa-dosa tersebut) berada pada tanggungan mereka berdua hingga hari keluarnya al-Qoim (Imam Mahdi), dan kami wahai sekalian bani Hasyim, yang besar dan yang kecil diperintahkan untuk menghina mereka berdua (Abu Bakar dan Umar), dan berlepas diri dari mereka berdua” [20].

عَنْ أَبِي عَلِي اَلخُرَاسَانِي عَنْ مَوْلَى لِعَلِيِ بن الْحُسَيْن عليه السَّلام قَالَ: كُنْتُ مَعَهُ عليه السلام فِي بَعْضِ خَلَوَاتِه فَقُلْتُ: إِنَّ لِي عَلَيْكَ حَقًا أَلاَ تُخْبِرُنِي عَنْ هَذَيْنِ الرَّجُلَيْنِ: عَنْ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرٍ؟ فَقَالَ: كَافِرَانِ كَافِرٌ مَنْ أَحَبَّهُمَا”
Dari Abu ‘Ali Al-Khurasani, dari ‘Ali bin Al-Husain alaihis salam, berkata, “aku bersamanya as (Ali) dalam sebagian khalwatnya, aku berkata, “Aku memiliki hak yang harus engkau penuhi, kecuali apabila engkau memberi-tahukan kepadaku tentang dua orang ini: tentang Abu Bakar dan Umar“. Maka beliau menjawab, “mereka berdua kafir, dan kafir pula orang yang mencintai mereka berdua!”[21].

عَنْ مُحَمَّدِ الْبَاقِرْ قَالَ: “ثَلاَثَةٌ لاَ يُكَلِّمُهُمُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَلاَ يُزَكِّيْهِمْ، وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ: مَنِ ادَّعَى إِمَامَةً مِنَ اللهِ لَيْسَتْ لَهُ، وَمَنْ جَحَدَ إِمَامًا مِنَ اللهِ، وَمَنْ زَعِمَ أَنَّ لِأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرٍ نَصِيْبًا فيِ الإِسْلاَمِ، لاَ يُكَلِّمُهُ اللهُ وَلاَ يُزَكِّيْهِ وَلَهُ عَذَابٌ أَلِيْمٌ”
Dari Muhammad Al-Baqir, berkata, “tiga golongan yang tidak akan diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat, dan tidak disucikan, dan bagi mereka azab yang pedih, 1) yang mengaku sebagai (imam) pemimpin dari Allah, padahal bukan, 2) yang mengingkari (imam) pemimpin yang sah dari Allah, dan 3) yang menganggap Abu Bakar dan Umar memiliki bagian dari keislaman!! Mereka tidak akan diajak bicara oleh Allah, tidak akan disucikan dan baginya azab yang pedih” [22].

عَنْ أَبِي جَعْفَر الصادِق رحمه الله تعالى قَالَ: “إِنَّ الشَّيْخَيْنِ فَارَقَا الدُّنْيَا وَلَمْ يَتُوْبَا، وَلَم يَذْكُرَا مَاصَنَعَا بِأَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ عَلَيْهِ السَّلام ، فَعَلَيْهِمَا لَعْنَةُ اللهِ وَالْمَلاَئِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ”
Dari Abu Ja’far As-Shadiq, beliau berkata, “Sesungguhnya dua syaikh (Abu Bakar & Umar) meninggal dalam keadaan belum bertaubat, dan mereka berdua tidak ingat apa yang mereka lakukan terhadap Amirul Mu’minin alaihis salam, maka atas mereka berdua laknat dari Allah, para malaikat dan seluruh manusia” [23].

Oleh karena itu, salah seorang pemikir Islam Dr. Muhammad Imarah (Phd, Darul Ulum Cairo University) dalam salah satu bukunya yang bertajuk: “Fitnah al-Takfir” menilai dengan tegas bahwa orang-orang syiah-lah yang memulakan penyesatan dan pengkafiran terhadap Ahlu Sunnah, dan baginya persatuan umat Islam itu jelas sangat diperlukan, ianya merupakan suatu kewajiban bagi umat muslim. Namun kaum Syiah Imamiah telah mengeluarkan seluruh kaum Ahlu Sunnah sejak zaman sahabat hingga hari kiamat dari lingkaran agama dan umat Islam -dalam artian mereka telah mengkafirkan Ahlu Sunnah. Maka masihkah ada pembenaran atas ajakan pendekatan antara Sunni dan Syiah?

إِنَّا لاَ نَجْتَمِعُ مَعَهُمْ -أى أَهْلُ السَّنَةِ- عَلَى إِلَهٍ، وَلاَ عَلَى نَبِيٍّ، وَلاَ عَلَى إِمَامٍ، وَذَلِكَ أَنَّهُمْ يَقُوْلُوْنَ: “إِنَّ رَبَّهُمْ هُوَ الَّذِي كَانَ مُحَمَّدٌ نَبِيَّهُ، وَخَلِيْفَتَهُ مِنْ بَعْدُ أَبو بَكْرٍ، وَنَحْنُ لاَ نَقُوْلُ بِهَذَا الرَّبِّ، وَلاَ بِذَلِكَ النَّبِيِّ، بَلْ نَقُوْلُ: إِنَّ الرَّبَّ الَّذِي خَلِيْفَةُ نَبِيِّهِ أَبُوْ بَكْرٍ لَيْسَ رَبَّنَا، وَلاَ ذَلِكَ النَّبِيَّ نَبِيُّنَا.
“Kita (Syiah Imamiah dan Ahlus Sunnah) tidak satu Tuhan, tidak satu Nabi dan tidak satu Imam. Pasalnya, Tuhan yang mereka (Ahlus Sunnah) akui adalah Tuhan yang menjadikan Muhammad sebagai Nabi-Nya dan Abu Bakar sebagai khalifahnya sepeninggal beliau, sedangkan kami (Syiah Imamiah) tidak mengakui Tuhan yang seperti ini. Akan tetapi Tuhan yang menjadikan Abu Bakar sebagai khalifah bukanlah Tuhan kami, dan Nabi itu pun bukanlah Nabi kami” [24].

Sebagai catatan, dalam menanggapi hadis Nabi saw:

“فَمَنْ كُنْتُ مَوْلاَهُ فَعَلِيٌّ مَوْلاَهُ”
“barang siapa yang menjadikan aku sebagai walinya, maka Ali adalah walinya”,
sesungguhnya tidak menjadi dalil bagi wilayah sultan yang merupakan kepimpinan (imamah) ataupun khilafah. Dan lafaz ini tidak dipergunakan di dalam Al-Quran dengan makna ini. Bahkan yang dimaksudkan dengan wilayah di dalam Al-Quran adalah wilayah pertolongan dan kasih sayang, yang difirmankan oleh Allah swt bagi setiap orang mukmin dan kafir. Maka firman Allah swt mengenai muwalah (menjadikan pemimpin) orang mukmin antara sebagian mereka dengan sebagian yang lain adalah:

(وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللّهَ وَرَسُولَهُ أُوْلَـئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللّهُ إِنَّ اللّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ) التوبة: 71
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS. At-Taubah: 71).
Sedangkan firman Allah Swt mengenai muwalah (menjadikan pemimpin) orang kafir, sebagian mereka dengan sebagian yang lain adalah:

(وَالَّذينَ كَفَرُواْ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ إِلاَّ تَفْعَلُوهُ تَكُن فِتْنَةٌ فِي الأَرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيرٌ) الأنفال: 73
“Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar”. (QS.al-Anfal: 73).

Jika begitu, maka makna wilayah (kepimpinan) adalah: barang siapa yang menolong dan membela aku, maka tolonglah dan belalah Ali. Artinya, barang siapa yang membela dan menolongku, maka bela dan tolonglah Ali. Dan kesimpulan maknanya adalah: sesungguhnya mereka mengikuti jejak Nabi saw, jadi mereka tolong orang yang telah menolong Nabi saw, dan bagi orang yang menolong Nabi maka dia juga harus ditolong juga. Dan ini adalah sebuah keistimewaan yang besar. Di samping itu, Ali Karramallahu wajhah telah menolong dan membantu Abu Bakar, Umar, dan Utsman, serta dia bela mereka. Maka hadits tadi bukanlah hujjah kecaman bagi orang yang membela mereka yang terdiri dari pada golongan Ahlu sunnah wal jamaah, akan tetapi hadits di atas adalah hujjah kecaman bagi orang yang membenci dan mencerca mereka. Artinya, hadits ini adalah hujjah untuk golongan ahlu sunnah melawan Syiah, bukannya sebaliknya. Jadi hadits tersebut tidak memberikan adanya isyarat atau indikasi kepimpinan (imamah), akan tetapi mengisyaratkan adanya sikap sokongan kepadanya, baik dalam kondisi menjadi imam ataupun makmum. Jika hadits ini menjadi dalil bagi kepimpinan ketika hadits ini diucapkan, maka berarti ada pemimpin (imam) ketika Nabi saw masih hidup, dan tidak ada seorangpun yang berpendapat demikian[25].

Bagaimanapun juga, benar jika dikatakan bahwa pendapat semua golongan-golongan Syiah mengenai kewujudan penentuan “nash” Rasulullah saw bagi kepimpinan tiga imam, baik penentuan “nash jaliyy” ataupun penentuan “nash khafiyy” adalah pendapat yang batil dan keliru. Suatu kejelasan dari teks zahir ayat Al-Quran di atas bahwa tidak ada dalil yang boleh mendukung pendapat mereka mengenai kewujudan penentuan “nash” bagi kepimpinan Ali, atau kepimpinan imam-imam yang didakwa oleh setiap golongan Syiah.

Di samping itu juga telah jelas bahwa tidak ada dalil mengenai penentuan “nash” kepimpinan dari Nabi saw. Jika memang ada penentuan “nash” yang jelas yang disabdakan oleh Rasulullah saw, bagaimana nash ini bisa tersembunyi dari para sahabat Nabi saw atau kenapa para sahabat tidak mengenal pasti hal tersebut, sedangkan Nabi saw pernah ditanya oleh sahabat mengenal mengenai insan yang baik dan mulia, dan beliau menjawab:

“قَرْنِي، ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ، ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ”
“yang hidup sezaman denganku, kemudian manusia yang setelah mereka, kemudian manusia yang seterusnya[26].

Beliau juga bersabda:

“اَللهُ اَللهُ فِي أَصْحَابِي، لاَ تَتَّخِذُوْهُمْ غَرْضًا بَعْدِي، فَمَنْ أَحَبَّهُمْ فَبِحُبِّيْ أُحِبُّهُمْ، وَمَنْ أَبْغَضَهُمْ فَبِغَضْبِي أَبْغَضُهُمْ، وَمَنْ آذَاهُمْ فَقَدْ آذَانِي، وَمَنْ آذَانِي فَقَدْ آذَى اللهَ، وَمَنْ آذَى اللهَ يُوْشِكُ أَنْ يَأْخُذَهُ”
Yang artinya: “Allah, Allah, pada para sahabatku, jangan engkau jadikan mereka tujuan setelah kematianku. Barang siapa yang mencintai mereka (sahabat), maka dengan cintaku aku cintai mereka. Dan barang siapa yang membenci mereka (sahabat), maka dengan rasa benciku aku benci mereka. Dan barang siapa yang menyakiti mereka (sahabat) berarti dia telah menyakiti aku, dan orang yang menyakiti aku berarti dia telah menyakiti Allah. Dan barang siapa yang menyakiti Allah berarti Dia hampir mengambilnya”[27].

Jika memang ada penentuan “nash”, dan semua sahabat telah bersepakat untuk menolak dan menyembunyikan nash tersebut –sebagaimana tuduhan Syiah terhadap sahabat- dan jika semua tabiat mereka bersepakat untuk melupakannya, maka Ibnu Hazam bertanya-tanya: “ dari mana perkara penentuan “nash” ini bisa sampai jatuh ke golongan rafidhah (Syiah) dan siapa yang menyampaikan dan memberikan kepada mereka”. Pertanyaannya ini dia jawab sendiri oleh beliau: “ semua ini adalah suatu imajinasi dan perkara yang mustahil. Maka menjadi batillah perkara kewujudan “nash” kepimpinan (imamah) untuk Ali ra dengan penuh keyakinan tanpa ada keraguan sama sekali”[28].

Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Al-Abbas telah berbincang dengan Ali mengenai siapa yang akan menjadi khalifah, dan pada saat itu Ali bin Abi Thalib telah keluar dari mengunjungi Rasulullah saw yang tengah mengalami sakit yang berujung kepada kewafatan beliau. Riwayat selengkapnya sebagai berikut:

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنَ عَبَّاسٍ أَنَّ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ رضي الله عَنْهُ خَرَجَ مِنْ عِنْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي وَجْعِهِ الَّذِي تُوُفِّىَ فِيْهِ فَقَالَ النَّاسُ: يَا أَبَا الْحَسَنِ كَيْفَ أَصْبَحَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ أَصْبَحَ بِحَمْدِ اللهِ بَارِئًا فَأَخَذَ بِيَدِهِ الْعَبَّاسُ فَقَالَ لَهُ أَلاَ تَرَاهُ أَنْتَ وَاللهِ بَعْدَ ثَلاَثٍ عَبْدُ الْعَصَا وَاللهِ إِنِّي َلأَرَى رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَوْفَ تُوُفِّىَ فِي وَجْعِهِ وَإِنِّي َلأَعْرِفُ فِي وُجُوْهِ بَنِي عَبْدِ الْمُطَّلِبِ الْمَوْتَ فَاذْهَبْ بِنَا إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنَسْأَلُهُ فِيْمَنْ هَذَا اْلأمْرُ؟ فَإِنْ كَانَ فِيْنَا عَلِمْنَا ذَلِكَ وَإْنْ كَانَ فِي غَيْرِنَا عَلِمْنَا ذَلِكَ فَأَوْصَى بِنَا. قَالَ عَلِيُّ وَاللهِ لَئِنْ سَأَلْنَاهَا رَسُوْلَ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمَنَعْنَاهَا لاَ يُعْطِيْنَاهَا النَّاسُ بَعْدَهُ وَإِنِّي وَاللهِ لاَ أَسْأَلُهَا رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. (رواه البخاري)
Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, bahwasanya Ali bin Abi Thalib keluar dari sisi Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam ketika beliau sakit menjelang wafatnya. Maka manusia berkata: “Wahai Abal Hasan, bagaimana keadaan Rasulullah saw?” Beliau menjawab: “Alhamdulillah baik”. Abbas bin Abdul Muthalib (paman Rasulullah saw) memegang tangan Ali bin Abi Thalib, kemudian berkata kepadanya: “Engkau, demi Allah, setelah tiga hari ini akan memegang tongkat kepemimpinan. Sungguh aku mengerti bahwa Rasulullah saw akan wafat dalam sakitnya kali ini, karena aku mengenali wajah-wajah anak cucu Abdul Muthalib ketika akan wafatnya. Marilah kita menemui Rasulullah saw untuk menanyakan kepada siapa urusan ini dipegang? Kalau diserahkan kepada kita, maka kita mengetahuinya. Dan kalau pun diserahkan untuk selain kita, maka kitapun mengetahuinya dan beliau akan memberikan wasiatnya”. Ali bin Abi Thalib menjawab: “Demi Allah, sungguh kalau kita menanyakannya kepada Rasulullah saw, lalu beliau tidak memberikannya kepada kita, maka tidak akan diberikan oleh manusia kepada kita selama-lamanya. Dan sesungguhnya aku demi Allah tidak akan memintanya kepada Rasulullah saw”[29].

Jelas kelihatan dari dialog yang terjadi antara Abbas dan Ali ra ini bahwa tidak ada penentuan “nash” kepimpinan untuk salah seorang ahlil bait, karena Abbas tidak memiliki nash mengenai imamah salah seorang ahlul bait. Jika dia memang memilikinya, maka dia pasti tidak akan meminta Ali bin Abi Thalib ra bertanya kepada Nabi saw mengenai perkara ini.

Qadhi Abu Bakar bin al-Arabi memberikan komentar mengenai teks riwayat di atas: “bagiku pendapat Abbas paling benar dan lebih dekat kepada akhirat, serta menjelaskan kebenaran. Dan ini membatalkan perkataan orang yang mendakwa wujudnya isyarat mengenai kekhilafahan Ali, bagaimana dia bisa mendakwa bahwa ada nash dalam perkara ini?”[30].

Seorang ulama Mu’tazilah bernama Al-Qadhi Abdul Jabbar menegaskan bahwa jika memang benar kewujudan nash mengenai kepimpinan Ali, maka dia pasti berkata kepada Abdul Muththalib: “wahai paman, tidakkah engkau mengetahui bahwa Rasulullah saw telah mengeluarkan nash mengenaiku, dan beliau jadikan aku hujjah untuk semesta alam, beliau jadikan aku dan kedua anakku khalifah untuk umatnya sampai hari kiamat, bagaimana kamu bisa melupakan sedangkan nash itu belum lama diucapkan”[31].

Di tempat yang lain, ar-Razi –ulama Asy’ariah-memaparkan berbagai dalil aqli untuk menyokong pendapat ahli sunnah bahwa kepimpinan ditetapkan dengan kesepakatan dan pemilihan (pilihan raya). Akan tetapi, dia filosofiskan dalilnya dengan ucapan: “Imam yang benar setelah Rasulullah saw adalah Abu Bakar ra, selanjutnya Umar ra, selanjutnya Uthman ra, dan selanjutnya Ali ra. Dan dalil yang menunjukkan kebenaran apa yang kami ucapkan ada dalam berbagai sisi:
  • Pertama: telah ditetapkan secara mutawatir bahwa Ali ra tidak berperang dengan Abu Bakar dalam menuntut khilafah.
  • Kedua: jika benar khilafah adalah hak Ali, akan tetapi dia tidak berperang untuk menuntutnya, maka berarti dia merasa rela dizalimi. Dan rela dizalimi adalah suatu kezaliman, dan orang yang zalim tidak layak menjadi khalifah.
  • Ketiga: sabda Rasulullah saw: “ ikutilah orang yang setelahku, yaitu Abu Bakar dan Umar”. Maknanya: ikutilah kepimpinan Abu Bakar dan Umar. Jika kepimpinan keduanya adalah suatu kezaliman, maka pasti Nabi saw tidak akan memerintahkan umatnya untuk mengikuti keduanya, maka terbukti bahwa imamah keduanya adalah benar dan legal[32].
Untuk lebih memperjelas lagi kritikan terhadap ide pemikiran teori penentuan “nash” dalam Syiah maka kami akan menyentuh pandangan kritis seorang pakar tafsir (al-Mufasir) dari kalangan ahli sunnah yaitu imam al-Qurthubi, yang dalam pandangan saya layak untuk diberikan perhatian. Karena dia mengupas secara mendalam penjelasan mengenai kelemahan pendapat golongan Syiah dalam pembuktian kewujudan “nash” mengenai kepimpinan Syiah. Dari sudut pandangannya, dia melihat bahwa orang-orang yang mengatakan tidak ada jalan untuk menuju kepimpinan kecuali dengan penentuan “nash” dari Allah dan Rasul-Nya, sebenarnya mereka berpendapat demikian karena mereka menganggap bahwa qiyas (analogi), ra’yu (pendapat), dan ijtihad adalah batil, dengan alasan bahwa ketiga hal tersebut tidak dikenal dalam agama.

Sehingga mereka menolak qiyas secara ushul (asal) ataupun furu’ (cabang). Kemudian mereka terbagi kepada tiga kelompok: yaitu kelompok yang mendakwa wujudnya penentuan “nash” kepimpinan bagi Abbas ra. Dan kelompok yang mendakwa wujudnya penentuan “nash” bagi kepimpinan Ali bin Abi Thalib ra.

 Adapun dalil sebenar tentang ketiadaan “nash” kepimpinan bagi seorang imam secara spesifik, yaitu bahwa jika Nabi saw mewajibkan kepada umat untuk menaati seorang imam, sehingga tidak boleh menggantikannya dengan orang yang lain, maka umat Islam pasti mengetahui hal itu; karena mustahil membebankan seluruh umat untuk menaati Allah pada sesuatu yang tidak jelas (spesifik). Dan tidak ada jalan bagi mereka untuk mengetahui kewajiban tersebut. Dan jika wajib untuk mengetahuinya maka jalan untuk mengetahuinya tidak terlepas dari berbagai dalil aqli atau hadits. Dan pada dalil aqli tidak ada yang menunjukkan penetapan kepimpinan “imamah” untuk individu tertentu. Dan begitu juga di dalam hadits tidak ada yang menunjukkan penetapan imam tertentu. Karena hadits tersebut bisa jadi adalah hadits mutawatir yang wajib diketahui secara darurat, ataupun dengan kesimpulan (konklusi) dalil, ataupun boleh jadi dengan hadits ahad, yang jalan untuk mengetahuinya bukanlah secara mutawatir yang wajib diketahui secara darurat ataupun secara kesimpulan (konklusi) dalil. Jika seperti ini keadaannya, maka setiap orang yang mukallaf mendapati dalam dirinya pengetahuan mengenai kewajiban menaati imam tertentu, dan hal ini termasuk kewajiban agama Allah yang wajib dia patuhi.

Sebagaimana setiap orang yang mukallaf memiliki pengetahuan bahwa kewajiban agama Allah yang mesti dia laksanakan adalah: shalat lima waktu, puasa di bulan Ramadhan, melaksanakan haji ke baitullah, dan yang lainnya. Dan tidak ada seorangpun yang mengetahui hal ini secara darurat dengan sendiri. Jadi dakwaan ini menjadi batal. Dan menjadi batal juga bahwa dia mengetahui hadits-hadits ahad karena kemustahilan untuk mengetahuinya. Juga sesungguhnya jika memang wajib penukilan nash mengenai seorang imam dalam bentuk apapun juga, maka menjadi wajib juga pembuktian kepimpinan “imamah” Abu Bakar dan al-Abbas. Karena bagi masing-masing keduanya ada suatu kaum yang menukil nash secara terang-terangan mengenai kepimpinannya. Dan jika pembuktian “nash” batal karena tidak ada jalan untuk mencapainya, maka berarti penetapan ataupun pengangkatan seorang pemimpin akan dijalankan dengan cara pemilihan dan ijtihad[33].
Terdapat beberapa hadits yang dijadikan dalil oleh Syiah mengenai kewujudan penentuan “nash” kepimpinan bagi Ali ra, sehingga umat Islam dianggap sesat dan kafir atas pengingkarannya terhadap nash tersebut, sebab mereka telah melanggar perintah dan keputusan Rasulullah Saw. Hadits tersebut adalah:

“مَنْ كُنْتُ مَوْلاَهُ فَعَلِيٌّ مَوْلاَهُ، اَللَّهُمَّ وَالٍ مَنْ وَالاَهُ وَعَادٍ مَنْ عَادَاهُ”
“barang siapa yang menjadikan aku sebagai walinya maka Ali adalah juga walinya. Ya Allah, belalah orang yang membelanya, dan perangilah orang yang memeranginya”.

Mereka berkata: lafazh “al-mawla” di dalam bahasa arab memiliki makna “Aula”, yaitu: paling utama, manakala beliau bersabda “maka Ali juga menjadi walinya” dengan fa ta’qib, maka diketahui bahwa yang dimaksud dengan perkataan “mawla” adalah paling berhak dan paling utama. Jika demikian berarti maksud Nabi adalah kepimpinan “imamah” yang harus ditaati.

Imam al-Qurtubi menjawab penafsiran tersebut dengan beberapa hal:

1) Ini bukanlah hadits mutawatir. Dan kesahihannya telah diperdebatkan. Abu Daud as-Sajastani dan Abu Hatim al-Razi telah mengkritik hadits ini, dan membantahnya dengan hadits lain yaitu:

“مُزَيَّنَة، وَجُهَيْنَة، وَغِفَّار، وَأَسْلَمْ مَوَاليِ دُوْنَ النَّاسِ كُلُّهُمْ، لَيْسَ لَهُمْ مَوْلَى دُوْنَ اللهِ وَرَسُوْلِه”
“Muzayyanah, Juhainah, Ghiffar, dan Aslam, mereka tidak mempunyai wali selain Allah dan Rasul-Nya”.
Jika memang benar Nabi saw telah bersabda:

“مَنْ كُنْتُ مَوْلاَهُ فَعَلِيٌّ مَوْلاَهُ”
“barang siapa yang menjadikan aku sebagai walinya, maka Ali juga menjadi walinya”,
berarti salah satu dari kedua hadits di atas adalah dusta.

2) Sesungguhnya hadits tersebut jika benar (sahih), karena diriwayatkan oleh para perawi yang terpercaya, akan tetapi di dalamnya tidak ada yang menginsyaratkan kepimpinan bagi Ali, melainkan isyarat yang ada hanyalah tentang kemuliaan Ali. Karena al-Mawla memiliki makna wali, jadi makna hadits: ‘barang siapa yang menjadikan aku sebagai walinya maka Ali juga menjadi walinya”. Jadi maksud hadits ini adalah agar manusia mengetahui bahwa zahirnya Ali sama dengan batinnya. Dan itu adalah suatu kemuliaan yang besar bagi Ali.

3) Sesungguhnya hadits ini muncul berdasarkan suatu sebab tertentu (s Wurud) [34], yaitu manakala Usamah dan Ali berselisih paham, maka Ali berkata kepada Usamah: “kamu maulaku”, dan Usamah menjawab: “aku bukan maula kamu; akan tetapi aku adalah mawla Rasulullah saw”. Maka perkara tersebut dilaporkan kepada Nabi saw, dan beliau bersabda: “ barang siapa yang menjadikan aku sebagai walinya maka Ali juga adalah walinya”.

Sabda Rasulullah saw untuk Ali: “ kedudukan kamu bagiku sama dengan kedudukan Harun bagi Musa, akan tetapi tidak ada nabi setelahku”. Dalam hadits ini, Rasullah mengumpamakan kedudukan Ali disisinya seperti kedudukan Nabi Harun di sisi Nabi Musa, jadi ini memberikan makna dan isyarat bahwa Ali adalah sebagai khalifah setelahnya.

Imam al-Qurtubi mengomentari hadits di atas bahwa ulama sepakat tentang makna hadits, yaitu ucapan Nabi bukan bertujuan bahwa Nabi Harun menjadi khalifah setelah Nabi Musa, di samping itu Nabi Harun meninggal dunia sebelum Nabi Musa. Jika yang beliau maksudkan dengan perkataannya: “posisi kamu bagiku sama dengan posisi Nabi Harun bagi Nabi Musa” adalah khilafah, maka beliau pasti berkata: posisi kamu bagiku sama dengan posisi Yusya’ bagi Nabi Musa. Dan manakala beliau tidak berkata seperti itu berarti menunjukkan bahwa bukan khilafah yang beliau maksudkan, akan tetapi yang beliau maksudkan adalah: “sesungguhnya aku menyerahkan tanggung jawab kepadamu mengenai keluargaku ketika aku masih hidup, dan ketika aku telah tiada”[35].

Di lain tempat, al-Baqilani mengkirik pandangan Syiah mengenai kewujudan penentuan “nash” kepimpinan bagi para imam mereka. Dan beliau memberikan penegasan yang mendalam bahwa penetapan seorang imam adalah dengan cara pemilihan dari kalangan umat Islam. Sebab jika Nabi saw memberikan nash bagi imam tertentu, dan umat Islam hanya diwajibkan untuk menaati imam tersebut, dan beliau berkata kepada umat Islam: “ini adalah penggantiku dan imam setelah kematianku, maka dengarkanlah dan taatilah kata-katanya”.

Berarti perkataan beliau ini diucapkan di hadapan satu atau dua orang sahabat, atau mayoritas sahabat. Jika beliau telah mengumumkan hal itu, maka akan diucapkan dengan ucapan yang lantang, maka perkataan beliau ini pasti telah ditulis (dinukil) dengan banyak dan tentunya akan tersebar dengan luas sebagaimana halnya perkara ibadat yang lain yang tidak ada perbedaan dalam kewajibannya di antara umat Islam. Dan penentuan “nash” dari Nabi saw kalau memang wujud, maka ia merupakan suatu perkara yang mulia, yang tidak bisa disembunyikan dan ditutupi dari manusia. Adapun nash dari Nabi saw untuk kepimpinan Ali berdasarkan sifat yang didakwa oleh Syiah sebagai suatu nash yang bersifat terang-terangan dan jelas adalah suatu perkara yang lebih besar dan lebih krusial dibandingkan perkara pelantikan para emir dan qadhi, dan unsur kepentingan untuk menukilnya adalah lebih besar. Jika memang seperti itu keadaannya, maka penukilan nash oleh para ulama -jika memang keadaannya seperti apa yang mereka katakan- lebih dominan dibandingkan penyembunyiannya, dan nash tersebut pasti dimunculkan, serta terus dinukil dari semenjak zaman dahulu sampai sekarang ini dengan secara meluas. Dan jika memang seperti itu keadaannya, maka wajib diketahui secara darurat kebenaran Syiah terhadap nash yang telah mereka nukil, dan tidak didapati dari umat Islam –yang jumlahnya mencukupi- menyalahi dan mengingkari nash tersebut, serta menolak untuk mempraktikkannya. Sebagaimana juga tidak didapati orang yang mengingkari kewajiban shalat, puasa, pelantikan Usamah bin Zaid dan Zaid bin Haritsah. Pengetahuan mengenai kebatilan nash ini merupakan bukti yang paling jelas bagi jatuh dan batalnya pendapat mereka[36].

Sesungguhnya hadits-hadits yang didakwa oleh Syiah sebagai nash bagi kepimpinan Ali bin Abi Thalib telah ditentang keras dan tidak diakui oleh kaum muslimin yang hidup pada era pertama. Karena semua umat Islam pada masa itu telah dipimpin oleh Abu Bakar ra dan Umar ra, serta menyeru mengenai kewajiban menaati keduanya, dan bersetuju atas kepemimpinan keduanya. Dan termasuk di antara mereka itu adalah Ali, al-Abbas, Ammar bin Yasir, al-Miqdad, Abu Dzarr, Zubair bin al-Awwam.
Fenomena yang nampak dari sikap para sahabat ini tidak ada seorangpun baik dari kalangan Ahlu Sunnah dan kalangan Syiah yang mampu menafikan realitas sejarah. Dan mungkin saja Syiah berkata bahwa kami bertaqiyyah sesuai dengan perkataan yang mereka nisbahkan kepada imam Ja’far Sadiq yang berbunyi:

“إِنَّ التَّقِيَّةَ دِيْنُنَا وَدِيْنُ آبَائِنَا”
“sesungguhnya taqiyyah adalah agama kita dan agama nenek moyang kita”

Akan tetapi hadits yang seperti ini tidak boleh dipraktikkan, karena ini adalah hadits ahad, dan kita meyakini untuk tidak mempergunakan periwayatannya, maka kita wajib mempergunakan hadits-hadits yang diriwayatkan dari para sahabat”. Dan hadits ini yang diklaim oleh Syiah telah ditentang oleh orang yang berkata bahwa terdapat penentuan “nash” kepimpinan untuk Abu Bakar, dan al-Abbas, dan periwayatan mereka mengenai nash tersebut lebih jelas dan tepat, dan pelaksanaannya pada masa pertama sejarah Islam sesuai dengan riwayat nash kepimpinan untuk Abu Bakar. Jika begitu, maka riwayat itu lebih kuat dan lebih tepat, dan kita wajib meninggalkan yang lebih lemah untuk mempergunakan yang lebih kuat. Jika kita tidak melakukannya, maka setidaknya ada keyakinan bahwa telah terjadi pertentangan di antara hadits-hadits ini, tentang kesejajaran kedudukannya, serta satupun dari padanya tidak dapat dipraktikkan atau diamalkan, jadi kita kembali kepada kondisi kita yang pertama bahwa pada asalnya tidak ada penentuan “nash”. Dan jika tiada nash maka pengangkatan seorang pemimpin (imam) ditetapkan dengan cara pemilihan, dan hal ini tidak dapat dinafikan dan diingkari[37].

Al-Baqilani juga membantah klaim Syiah bahwa ketiga khulafa`urrasyidun –Abu Bakar, Umar dan Uthman telah merampas hak kepimpinan dari Ali. Dan sesungguhnya mereka telah menzaliminya. Dan dia berdiam diri dari menuntut haknya sebagai suatu amalan praktik taqiyyah. Maka al-Baqilani berpandangan bahwa hubungan Ali ra dengan para khulafa`urrasyidun merupakan hubungan yang penuh dengan kasih sayang dan cinta. Yang menjadi buktinya adalah dia kawinkan putrinya Ummu kalthum (anak Fathimah ra) kepada Umar bin al-Khaththab ra. Dia laksanakan hudud dengan disaksikan oleh Uthman. Dia melakukan peperangan bersama dengan Abu Bakar. Serta ucapan pujian yang dia berikan untuk Abu Bakar dan Umar, dia berkata:

“إِنَّ خَيْرَ هَذِهِ الأُمَّةِ بَعْدَ نَبِيِّهَا أَبُوْ بَكْرٍ، ثُمَّ بَعْدَ أَبِي بَكْرٍ عُمَر”
“sesungguhnya kebaikan umat ini setelah kepergian Nabinya berada di tangan Abu Bakar, kemudian setelah Abu Bakar adalah Umar”.

Juga berbagai ungkapan dia yang masyhur dalam memuji ketiga khalifah. Di samping itu Ali merelakan kepimpinan mereka. Dan jika benar Rasulullah saw telah memberikan penentuan “nash” kepimpinan untuk Ali, maka tidak mungkin dia akan mengucapkan kalimat pujian ini untuk orang yang telah membuatnya marah dan merampas haknya. Jika Syiah berkata: semua ini yang muncul darinya adalah merupakan amalan praktik taqiyyah, rasa takut, serta untuk melindungi dirinya dari mereka, maka patut diberikan pertanyaan: manakah dalil bagi semua ini?[38].

Dari paparan dan uraian yang lalu menjadi jelas bahwa tidak ada penentuan “nash” kepimpinan untuk Ali ra dan imam-imam Syiah lainnya, karena tidak ada seorangpun yang menuntut khilafah setelah kematian Nabi saw. Sebagaimana pada dasarnya dia juga tidak mengejar pangkat kepimpinan, dan hanya para pendukung Ali sahaja yang menginginkannya untuk menjadi khalifah. Telah disebutkan di dalam kitab “Nahju al-Balaghah” bahwa dia berbicara kepada Thalhah ra dan Zubair ra setelah pembaiatannya sebagai khalifah, maka di antara ucapannya adalah:

“وَاللهِ مَا كَانَتْ لِي فِي الْخِلاَفَةِ رَغْبَةٌ، وَلاَ فِي الْوِلاَيَةِ إِرْبَةٌ، وَلَكِنَّكُمْ دَعَوْتُمُوْنِي إِلَيْهَا، وَحَمَّلْتُمُوْنِي عَلَيْهِمَا”
“demi Allah, aku tidak memiliki ambisi pada khilafah (menjadi khalifah), serta keinginan dalam wilayah (kepimpinan umat), akan tetapi kalianlah yang mendorongku untuk maju sebagai pemimpin, dan kalianlah yang memaksaku untuk memikul kepimpinan tersebut”[39].

Oleh karena itu, ditetapkan kebatilan perkataan semua Syiah mengenai kewujudan nash imamah bagi para imam. Dan di samping itu, jika perkara imamah ditetapkan dengan nash maka Hasan pasti tidak akan menyerahkannya dengan mudah kepada Mu’awiyah.

Dengan demikian betapa dahsyatnya Syiah Imamiah mencaci dan memaki para sahabat Rasulullah. Di tambah lagi dengan tuduhan yang tidak bertanggung jawab bahwa para sahabat sengaja menghalangi Rasulullah berwasiat kepada Ali bin Abi Thalib dan merebut kepimpinan darinya. Ucapan mereka ini jelas salah, keliru dan penuh dengan kedustaan.

Cukuplah Al-Quran dan Sunnah menjadi pedoman umat Islam. Allah swt telah bersaksi bahwa para sahabat Nabi, baik dari Muhajirin maupun Anshar bahwa mereka adalah mukmin yang haqiqi. Allah berfirman:

(وَالَّذِينَ آمَنُواْ وَهَاجَرُواْ وَجَاهَدُواْ فِي سَبِيلِ اللّهِ وَالَّذِينَ آوَواْ وَّنَصَرُواْ أُولَئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقّاً لَّهُم مَّغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ) الأنفال: 74
“Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka memperoleh ampunan dan rezeki (nikmat) yang mulia”. (Al-Anfaal:74)

Di dalam ayat yang lain pula dijelaskan bahwa sahabat telah diridhai oleh Allah swt, bahkan Allah menjanjikan bagi mereka surga, firman Allah:

(وَالسَّابِقُونَ الأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأَنصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم بِإِحْسَانٍ رَّضِيَ اللّهُ عَنْهُمْ وَرَضُواْ عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَداً ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ) التوبة: 100
“Dan orang-orang yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar. (At-Taubah:100).
Semua ayat di atas diturunkan untuk memuji para sahabat Rasulullah saw. Sehingga imam al-Tusi sendiri sebagai seorang pakar tafsir Syiah Imamiah mengakuinya dalam kitab tafsirnya yang bertajuk (al-Tibyan fi Tafsir Al-Quran) [40].

Dalam hadits disebutkan bahwa Rasulullah saw melarang keras mencaci para sahabat, sabda beliau:

“لاَ تَسَبُّوا أَصْحَابِي وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ أَنْفَقَ أَحَدُكُمْ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلاَ نَصِيْفَهُ”
“Janganlah kalian mencaci sahabat-sahabatku. Demi Allah yang jiwaku berada di tanganNya, kalaupun sekiranya seorang dari kalian menginfakkan emas sebesar gunung Uhud, maka hal itu tidak akan menyamai infak segenggam atau setengah genggam dari seorang mereka”[41].

Dari paparan di atas, dapat dikatakan bahwa:
  1. Ali menolak meminta atau menuntut khilafah kepada Nabi saw.
  2. Nabi saw wafat dan tidak pernah menyatakan suatu wasiat apapun tentang kepimpinan.
  3. Kalau saja ada penentuan “nash” atau wasiat sebelum Nabi wafat untuk Ali dijadikan sebagai khalifah, tentu wasiat tersebut telah diketahui orang ramai.
  4. Nabi sangat mencintai para sahabat-sahabatnya.
Yang membuat heran, apakah mungkin para sahabat bersepakat untuk melakukan pelecehan dan perampasan hak kepimpinan dari imam Ali ra? Bukankah imam Ali ra ikut membaiat Abu Bakar, Umar dan kemudian Utsman. Ali tidak berkata kepada salah seorang dari mereka itu, ”Sesungguhnya aku mempunyai wasiat dari Rasulullah saw namun mengapa kalian bersikap seolah-olah tidak tahu? Imam Ali tidak bertanya atau mempersoalkan mesyuarat yang terdiri dari enam orang. Di samping itu jika sekiranya imam Hasan bin Ali benar-benar telah tercatat sebagai khalifah setelah Ali karena ada wasiat dari Rasulullah saw, tapi mengapa justru imam Hasan mengalah dan memberikan jawatan khalifah “kepimpinan negara” ini kepada Muawiyah?

Salah satu bukti penghormatan Ahlul Bait terhadap sahabat seperti Umar bin Khatab, sebuah kisah dinyatakan bahwa Abdullah bin Al-Hasan, salah seorang tokoh terkemuka Ahlul Bait yang sudah diakui keilmuan dan keutamaannya. Hafsh bin Qais mengisahkan; Aku pernah bertanya kepada Abdullah bin Al Hasan tentang boleh tidaknya seseorang mengusap dua khuf ketika berwudhu. Dia menjawab: ”Tidak mengapa, usaplah karena Umar bin Khathab juga melakukannya”, “Yang aku tanya itu dirimu, apakah kamu mengusap khuf ketika berwudhu?” tanyaku lagi, dia menjawab: “Apakah jawabanku tadi tidak cukup memuaskanmu!” balasnya. “Aku menyampaikan riwayat dari Umar, tetapi kamu justru menanyakan pendapatku! Umar itu lebih baik daripada aku, bahkan dari semua yang ada di bumi pada hari ini!”. Aku masih belum puas, lalu kukatakan: “Wahai Abu Muhammad, sebagian orang mengatakan kalian sebenarnya sedang ber-taqiyah.” Saat itu kami berada di antara makam nabi dan mimbar beliau. Mendengar perkataanku itu, Abdullah langsung bermunajat, “Ya Allah, persaksikanlah, inilah pendapat yang aku katakan ketika sedang sendirian maupun di tengah keramaian. Maka janganlah Engkau perdengarkan padaku orang yang menuduh kami demikian!”. Setelah itu, Abdullah berkata: “Siapa yang menyatakan bahwa Ali tertekan, dan bahwa Rasulullah memerintahkan sesuatu namun dia tidak melaksanakannya, sungguh adalah penghinaan terhadap Ali jika seseorang menuduhnya demikian!”.

Dari kisah ini, tentu menunjukkan bahwa kalangan Ahlul Bait sendiri, baik generasi yang hidup semasa Umar maupun generasi setelahnya, semuanya mengakui kelebihan Umar, merujuk pendapatnya, dan mencintainya. Mereka menjalin ikatan pernikahan dengan Umar, menamai anak-anak mereka dengan nama “Umar”, melaksanakan kebijakan Umar, dan mendahulukan pendapat Umar daripada pendapat sendiri. Karena itu, mereka berlepas tangan sebersih-bersihnya dari siapapun yang berusaha menimbulkan api permusuhan antara sang Khalifah Umar dan Ahlul Bait.

Rujukan:
  1. Ar-Razi, 1328 H, al-Masa`il al-Khamsun Fi Ushul al-Kalam, Bimajmu’ah ar-Rasa`il, hal 384-385, cet Kairo.
  2. Ridha, Muhammad Rasyid, 1375 H, Tafsir al-Manar, Kairo, Thab’ah Darul Manar.
  3. Al-Jalayand, Muhammad as-Sayyid, Qadhiyyatu al-Khair wasy-Syarr fil-Fikri al-Islami, Maktbah Kaherah.
  4. Abdul Jabbar, Tatsbutu Dala`il an-Nubuwwah, Beirut, Darul Arabiyyah.
  5. Al-Tusi, al-Tibyan fi Tafsir Al-Quran, al-Hajriah, Taheran, 1365 H.
  6. Ibnu Qutaibah, Al-Ikhtilaf fi al- Lafdh wa al-Rad ‘ala al-Jahmiyah wal Musyabbihah, Cet. As Sa’adah
  7. Al Baghdadi, Al Farq Baina Al Firaq, Darul Kutub Ilmiah, Beirut-Lebanon.
  8. Ibnu Hazam, 2014, Al-Fisal fi Al-Milal wa Al-Ahwa’, Darul Kutub Ilmiah, Beirut-Lebanon.
  9. Ibnu al-Arabi, 2008, al-Awasim Min al-Qawasim, Maktbah al-Sunnah, Kaherah.
  10. Al-Qurthubi, 1372H, al-Jami’ Li-Ahkam Al-Quran, Dar al-Sya’b, Kaherah.
  11. Al-Baqilani, al-Tamhid, Darul Fikr al-Arabi, Kaherah.
  12. Ibnu Taimiah, 2011, Majmu’ al-Fatawa, Darul Kutub Ilmiah, Beirut-Lebanon.
  13. Al-Baghdadi, 2012, Al- Farq baina al- Firaq, Darul Kutub Ilmiah, Beirut-Lebanon. Mesir, tahun 1349 H.
  14. Ibnu Hazam, 2010, Al-Ihkam Fi Usul al-Ahkam, Darul Kutub Ilmiah, Beirut-Lebanon.
  15. Muqaddimah “al-Syiah, al-Mahdi, al-Darruz”, Dar al-Hurriyah, Kaherah.
  16. Abu al-Fath al-Arbili, Kasyfu al-Ghummah fi Ma’rifat al-Aimmah, Beirut-Lebanon, Darul Adwaa’, 1985.
  17. Ja’far bin Mansur, 1984, Kitab al-Kasyf, Darul Andalus, Beirut-Lebanon.
  18. Ali Bin Walid, 1982, Damighu al-Bathil, Muassasah ‘Izzu al-Din, Beirut-Lebanon
  19. Idris ‘Imaduddin, 1991, Zahru al-Ma’ani, al-Muasssasah al-Jaami’iyyah, Beirut-Lebanon.
  20. Yusuf Al-Bahrani, 1985, Al-Hadaaiqun-Naadlirah, Dar al-Adwaa, Beirut-Lebanon.
  21. Al-Majlisi, 1983, Biharul Anwar, Darul Ihaya al-Turats al-‘Arabi, Beirut-Lebanon.
  22. Al-Kulaini, Ushul al-Kaafi, Dar al-Ta’aruf lil Matbuu’at, Beirut-Lebanon.
  23. Shekh al-Mufid, 1983, Awaail al-Maqaalat, Darul Kitab al-Islami, Beirut-Lebanon.
Catatan Kaki:
[1] Lih, ad-Da’i Ja’far bin Manshur, Kitab al-Kasyf, hal 67, dst.
[2]ad-Da’i Hamiduddin al-Karamani, ar-Risalah al-Kafiyah, hal 175.
[3] Lih, ad-Da’i Ali bin al-Walid, Damigh al-Bathil wa Hatfu al-Munadhil, 2/110, 112.
[4] Lih, ad-Da’i Idris Imaduddin, Kitab Zahrul Ma’ani, hal 155.
[5] Idris Imaduddin, Zahrul Ma’ani, hal 155.
[6] Al-Kulaini, Ushul al-Kafi, 1/421, Bab Man Idda’a al-Imamah Wa Laisa Bi Ahlih.
[7] Maksudnya adalah Abu Bakar ra.
[8] Maksudnya adalah Umar ra.
[9] Maksudnya Utsman ra.
[10] Al-Kulaini, Ushul al-Kafi, 1/420.
[11] Hamiduddin al-Karamani, Risalah Mubasim al-Bisyarat, hal 114-115.
[12] Lih, al-Jalayand, Muhammad as-Sayyid, Qadhiyyatu al-Khair wasy-Syarr fil-Fikri al-Islami, hal 342.
[13] Al-Majlisi, Al-Kaafi, 8/245.
[14] Al-Mufid, Al-Ikhtisas, hal. 5.
[15] Al-Majlisi, Al-Kaafi, 2/410.
[16] Al-Mufid, Awaail Al-Maqaalaat, hal 44.
[17] Yusuf Al-Bahrani, Al-Hadaaiqun-Naadlirah, 12/323-324.
[18] Tuhfatul Awwam, hal. 423-424
[19] Shekh ‘Abbas al-Qumi, Mafatih Al-Jinan, 594.
[20] Al-Kisyi, Ikthyar Ma’rifat Al- Rijal, Hal 135.
[21]Al-Majlisi, Bihar Al- Anwar, 30/381.
[22] Al-Kulaini, Al-Kafi, 1/373.
[23] Al-Kulaini, Al-Kafi, 8/246.
[24] Nikmatullah al-Jazairi, al-Anwar an-Nu’maniyyah, 2/278.
[25] Ridha, Muhammad Rasyid, 1375 H, Tafsir al-Manar, 6/456-466, Kairo, Thab’ah Darul Manar.
[26] Diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shahihnya, Kitab Fadha`il ash-Shahabah, bab Fadhlu ash-Shahabah allazina Yalauwnahum, no 4600, dengan sanad Abdullah bin Mas’ud.
[27] Diriwayatkan oleh at-Tirmizy dalam Sunan-nya, Kitab al-Manaqib An Rasulillah, bab: Fiman Sabba Ashabin-Nabiyy, no 3797, dengan sanad Abdullah bin Mughaffal.
[28] Ibnu Hazam, al-Fashlu fil-Milal wal-Ahwa wan-Nihal, 4/81.
[29] Diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab Shahih-nya, kitab al-Mughazi, bab: Maradhun-Nabiyy Wawafatuh, no 4182.
[30] Ibnu al-Arabi, al-Awashim Min al-Qawashim, hal 315.
[31] Lih, al-Qadhi Abdul Jabbar, Tatsbutu Dala`il an-Nubuwwah, hal 256, Beirut, Darul Arabiyyah.
[32] Ar-Razi, 1328 H, al-Masa`il al-Khamsun Fi Ushul al-Kalam, Bimajmu’ah ar-Rasa`il, hal 384-385, cet Kairo.
[33] Al-Qurthubi, al-Jami’ Li-Ahkam al-Qur`an, 1/184.
[34] Asbab Wurud al-Hadits, adalah sebab atau latar belakang hadits keluar dari lisan Rasulullah Saw.
[35] Al-Qurtubi, al-Jami’ li-Ahkam al-Qur`an, 1/184.
[36] Al-Baqilani, at-Tamhid, hal 442-444.
[37] Al-Baqilani, at-Tamhid, hal 449-450.
[38] Al-Baqilani, at-Tamhid, hal 463-465.
[39] Lih, Nahju al-Balaghah, 1/419.
[40] Lihat: Shekh al-Tusi, al-Tibyan fi Tafsir al-Qur’an, 1/845, al-Hajriah, Taheran, 1365 H.
[41] Muttafaq ‘Alaih, Bukhari dan Muslim.
Redaktur: Ardne